Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Kanker Serviks Di Instalasi Rawat Inap Rsup H. Adam Malik Kota Medan Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, yakni penelitian dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan
untuk melihat gambaran atau deskripsi suatu keadaan secara objektif metode
penelitian deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan Cross Sectional yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor beresiko
dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus
pada suatu saat. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dimana peneliti
akan mengkaji informasi dan mengumpulkan data yang telah ada sebelumnya lalu
data tersebut ditelaah (Notoatmodjo, 2010).

3.2

Waktu dan Lokasi Penelitian

3.2.1 Waktu
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016-September 2016.
3.2.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan.


3.3

Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn
RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016.

Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Sampel
Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:
a. Rekam medis pasien yang diagnosis utama kanker serviks baik tanpa
komplikasi ataupun dengan komplikasi penyakit lainnya.
b. Rekam medis pasien kanker serviks rawat inap di ruang obgyn RSUP H.
Adam Malik Kota Medan periode Juni 2016-September 2016.
c. Pasien kanker serviks yang mendapatkan obat kanker.

d. Pasien kanker yang tidak mendapatkan obat kanker.
Kriteria eksklusi adalah:
a. Data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca.
b. Data pasien yang disertai penyakit kanker lainnya.
c. Data pasien yang pulang atas permintaan sendiri.

3.4 Rancangan Penelitian
Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari data rekam
medis dan status pasien penyakit kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP
H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016 menjadi beberapa
kelompok.
Adapun data rekam medis yang dikelompokan dalam penelitian ini adalah:
a. Mengelompokkan data rekam medis berdasarkan inklusi.
b. Mengelompokkan identitas, pengobatan yang diberikan dan data klinis.
c. Mengidentifikasi DRPs berdasarkan studi literatur.

Universitas Sumatera Utara

3. 5 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif, data

kuantitatif diuraikan dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan data kualitatif
diuraikan dalam bentuk uraian.

3.6 Diagram Alur Penelitian
Adapun gambaran pelaksanaan penelitian adalah seperti
Gambar 3.1:

Rekam Medis

Analisis Data

Memilih data rekam
medis berdasarkan
kriteria inklusi

Identifikasi
DRPs

Analisis DRPs, Meliputi:
a. Obat tanpa indikasi

b. Perlu tambahan obat
c. Obat tidak efektif
d. Dosis terlalu rendah
e. Dosis terlalu tinggi
f. Adverse drug reactions

Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

3.7

Langkah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat
melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.
b. Menghubungi Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan untuk

mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan
membawa surat rekomendasi dari fakultas.
c. Mengumpulkan data berupa rekam medis dan status yang tersedia di
RSUP H. Adam Malik Medan.
d. Menganalisis data dan informasi yang sehingga didapatkan kesimpulan
dari penelitian.

3.8 Definisi Operasional Penelitian
Data yang digunakan adalah rekam medis pasien kanker serviks rawat inap di
ruang obgyn RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan variabel
bebas yaitu obat-obat yang tercatat dalam rekam medis pasien, serta menggunakan
variabel terikat yaitu: obat tanpa indikasi, obat tidak tepat, perlu tambahan obat,
dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, dan adverse drug reactions. Penelitian
ini dilakukan hanya menggunakan 6 kategori DRPs, karena dalam penelitian ini
diidentifikasi rekam medis pada pasien rawat inap sehingga kepatuhan pasien
tidak diidentifikasi.
Adapun penjelasan kategori DRPs yang digunakan yaitu:
a. DRPs adalah beberapa peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien berkaitan dengan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome
yang diinginkan.


Universitas Sumatera Utara

b. Obat tanpa indikasi adalah pasien mempunyai kondisi medis dan
menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang sesuai pada
saat itu.
c. Perlu tambahan obat adalah pasien memiliki kondisi medis yang
membutuhkan terapi tetapi tidak mendapatkan obat untuk indikasi
tersebut.
d. Obat tidak efektif adalah pasien mendapatkan terapi yang bukan
merupakan drugs of choice.
e. Dosis terlalu rendah adalah pasien mempunyai kondisi medis dan
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut terlalu rendah
untuk menghasilkan terapi yang diinginkan.
f. Dosis terlalu tinggi adalah pasien mempunyai medis dan mendapatkan
obat yang benar tetapi dosis obat tersebut terlalu tinggi sehingga dapat
meningkatkan resiko reaksi obat merugikan.
g. Adverse drug reactions adalah pasien mempunyai kondisi medis akibat
reaksi obat yang tidak diinginkan seperti interaksi obat.


Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1

Demografi Pasien Kanker Serviks
Berdasarkan rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-

September 2016 diperoleh seluruh data pasien kanker serviks di ruang rawat inap
obgyn RSUP H. Adam Malik sebanyak 62 pasien. Rekam medis yang memenuhi
kriteria inklusi adalah sebanyak 35 orang (56,45%).

4.2

Demografi Pasien Kanker Serviks

4.2.1 Demografi Pasien Kanker Serviks Berdasarkan Usia
Menurut Depkes RI (2009), pengelompokan pasien dilakukan dengan
membagi pasien menjadi lima kelompok usia yaitu 26-35 tahun, 36-45 tahun, 4655 tahun, 56-65 dan > 60 tahun. Pengelompokan pasien bertujuan untuk

mengetahui prevalensi pasien kanker serviks periode Juni 2016-September 2016.
Berdasarkan rekam medis pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP
H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-Agustus 2016 diperoleh gambaran
umum usia pasien kanker serviks seperti pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Demografi Pasien Kanker Serviks Berdasarkan Usia
Usia
26 – 35
36 – 45
46 – 55
56 – 65

Jumlah Pasien (n=35)
4
10
14
5

%
11,43
28,57

40
14,29
5,71

>
65

2

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien kanker serviks paling banyak
terdapat pada kelompok usia 46-55 tahun sebanyak 14 pasien (40%). Pasien

Universitas Sumatera Utara

dengan kelompok usia usia 36-45 tahun sebanyak 10 pasien (28,57%). Kemudian
kelompok usia 56-65 tahun sebanyak 5 pasien (14,29%), pada kelompok usia 2635 tahun sebanyak 4 pasien (11,43%) dan terakhir pada kelompok usia > 65
terapat 4 pasien (11,43%).
Sebagian besar penderita kanker serviks adalah wanita berusia 40 tahun
keatas. Sangat jarang ditemukan wanita berusia dibawah 35 tahun yang mengidap
kanker seviks. Hal ini dikarenakan virus HPV perlu waktu antara 10-20 tahun

untuk bertransformasi menjadi kanker serviks. Selain itu, semakin tua usia
seseorang semakin rendah daya tahan tubuhnya (Savitri, 2015).
4.2.2 Demografi Pasien Berdasarkan Usia Pertama Kali Berhubungan
Seksual
Salah satu faktor penyebab kanker serviks adalah usia pertama kali
berhubungan seksual. Pengelompokan pasien dilakukan dengan membagi
kelompok usia menjadi dua yaitu usia < 20 dan ≥ 20. Wanita yang melakukan
aktivitas seksual sebelum usia 20 tahun memiliki resiko tinggi terkena kanker
serviks, karena sebelum usia 20 tahun organ reproduksi wanita belum memiliki
tingkat kematangan yang sesuai. Usia yang paling optimal untuk reproduksi
wanita adalah usia 20-35 tahun (Savitri, 2015).
Tabel 4.2 Demografi Pasien Berdasarkan Usia Pertama Kali Berhubungan
Seksual
No.
Kelompok Usia
Jumlah Pasien (n=35)
%
1
< 20
19

54,29
2
≥ 20
16
45,71
Berdasarkan Tabel 4.2 dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa 54,29%
pasien menikah diusia dini≤ 20 yakni pada rentang usia 16 -18 tahun. Sedangkan
45,71% pasien kanker serviks melakukan hubungan seksual diusia > 20 tahun

Universitas Sumatera Utara

yakni pada rentang usia 20-30 tahun. Hasil penelitian Dewanti (2010) yang
dilakukan di RS. Dharmais Yogyakarta juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu
pasien kanker serviks dengan usia menikah < 20 tahun memiliki persentase
sebesar 60% dan pasien yang menikah≥ 20 tahun sebesar 40%.
4.2.3 Demografi Pasien Berdasarkan Stadium Kanker Serviks
Menurut Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), klasifikasi
stadium kanker serviks terdiri atas stadium 0, I, IA, IA 1 , IA2, IB, IB 1, IB 2, II, IIA,
IIA1, IIA2, IIB, III, IIA, IIIB, IVA, IVB. Klasifikasi stadium kanker serviks
berdasarkan pemeriksaan fisik, histopatologi, kolposkopi, biopsi dan surver
metastasis (Kemenkes, 2015).

Stadium
IB
5,71% IB2
8,57%
IIIB
37,14%

IIA
8,57%
IIA1
2,86%
IIA2
2,86%

IIB
34,29%

Gambar 4.1 Diagram Demografi Stadium Pasien Kanker Serviks
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah pasien stadium IIIB
menempati urutan pertama yaitu sebanyak 13 pasien (37,14%). Pasien dengan
stadium IIB sebanyak 12 pasien (34,29%). Pasien dengan stadium IIA dan IB 2
masing-masing sebanyak 3 pasien (8,57%). Pada urutan keempat, pasien dengan

Universitas Sumatera Utara

stadium IB sebanyak 2 pasien (5,71%) dan terakhir pasien dengan stadium IIA 1
dan IIA2 masing-masing sebanyak 1 pasien (2,86%).
Persentase terbesar pasien kanker serviks adalah pasien dengan stadium
IIIB hal ini menandakan bahwa masih kurangnya kesadaran penderita kanker
serviks untuk segera memeriksakan gejala-gejala klinis kanker serviks yang telah
muncul. Stadium kanker serviks yang lebih rendah akan mempunyai prognosis
yang lebih baik. Umumnya angka survival rate pasien kanker serviks adalah 5
tahun untuk stadium 0 dan I adalah 93%, stadium IA 80%, stadium IIA 63%,
stadium IIB 58%, stadium IIIA 35%, stadium IIIB 32%, stadium IVA 16% dan
terakhir stadium IVB 15% (Kemenkes, 2015).

4.3 Kejadian DRPs
Drug Related Problems adalah beberapa peristiwa yang tidak diinginkan
yang dialami oleh pasien berkaitan dengan terapi obat yang dapat berpengaruh
terhadap pencapaian terapi yang diinginkan. DRPs dibagi menjadi tujuh kategori
yaitu obat tanpa indikasi, perlu tambahan obat, obat tidak efektif, dosis terlalu
rendah, dosis terlalu tinggi, adverse drug reaction dan kepatuhan pasien (Cipolle,
et al., 2004)
Berdasarkan identifikasi terhadap regimen dosis yang diberikan kepada
pasien di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni
2016-September 2016. Pada pasien kanker serviks terdapat 30 pasien (85,71%)
yang mengalami DRPs (+) dan 9 pasien (14,29%) tidak mengalami DRPs (-)
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2

Universitas Sumatera Utara

Persentase

100,00%
80,00%
60,00%
40,00%
20,00%
0,00%
DRPs (+)

DRPs (-)

Gambar 4.2 Diagram Kejadian DRPs
Adapun angka kejadian DRPs adalah adverse drug reaction sebanyak 24
kasus (34,29%), perlu tambahan obat sebanyak 19 kasus (27,147%), obat tidak
efektif sebanyak 16 kasus (22,86%), dosis terlalu tinggi sebanyak 4 kasus
(5,71%), dan obat tanpa indikasi sebanyak 7 kasus (10,14%). Kejadian DRPs
tertinggi terdapat pada kategori adverse drug reaction. Hasil analisis DRPs dapat
dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 4.3 Kategori DRPs
No

4.4

Kategori DRPs

Jumlah
Kasus

Persentase
(%)

1

Obat tanpa indikasi

7

10,14

2

Perlu tambahan obat

19

27,14

3

Obat tidak efektif

16

22,86

4

Dosis terlalu rendah

0

0

5

Dosis terlalu tinggi

4

5,71

6

Adverse drug reaction

24

34,29

Total

70

100

Pembahasan

4.4.1 Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi medis adalah pasien tidak memiliki indikasi klinis pada
saat itu untuk mendapat terapi yang diberikan. Obat tanpa indikasi biasanya

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang
digunakan, banyak produk obat yang digunakan untuk kondisi tertentu yang
hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih tepat diobati tanpa
terapi obat, dan terapi obat yang digunakan untuk mencegah adverse drug
reaction yang berhubungan dengan terapi lainnya (Cipolle, et al., 2004).
Tabel 4.4 Analisis DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi
No

Penyebab

Obat

Jumlah
Kasus

%

1

Pasien dapat pengobatan yang tidak Antibiotika
tepat untuk indikasi pada saat itu

3

4,28

2

Pasien mendapat banyak produk
obat yang digunakan untuk kondisi
tertentu yang hanya memerlukan
terapi obat tunggal

3
1

4,28
1,43

Antibiotika
Novalgin
tramadol,
parasetamol

Pada penelitian ditemukan pasien mendapat banyak produk obat yang
digunakan untuk kondisi tertentu yang hanya memerlukan terapi obat tunggal.
Terdapat 3 pasien (4,28%) mendapat terapi antibiotika kombinasi. Terdapat 1
pasien menerima tiga kombinasi antibiotika tanpa ada indikasi yang jelas untuk
menerima tiga kombinasi antibiotika tersebut. Sebaiknya pemberian antibiotika
dipertimbangkan kembali untuk menghindari resistensi antibiotika pada pasien.
Terdapat 2 pasien mendapatkan tiga kombinasi antibiotika untuk profilaksis pada
prosedur histerektomi, sedangkan prosedur histerektomi sudah efektif dengan
metronidazol dosis tunggal. Menurut (BPOM, 2008) Antibiotika profilaksis pada
prosedur histerektomi adalah metronidazol supposutoria atau intravena dengan
dosis tunggal sudah efektif. Indikasi penggunaan terapi antibiotika profilaksis
berdasarkan operasi yang akan dijalani pasien kemudian melihat faktor-faktor

Universitas Sumatera Utara

resiko lain yang dapat berpengaruh terhadap resiko terjadinya morbiditas pasca
operasi (Komite Farmasi dan Terapi RSUP H. Adam Malik, 2014).
Berdasarkan Tabel 4.4 terdapat 3 kasus (4,28%) pasien yang mendapatkan
terapi pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi saat itu. Pasien diberikan
antibiotika sejak awal dirawat sedangkan hasil laboratorium pasien menunjukkan
nilai sel darah putih yang normal dan pasien tidak dijadwalkan untuk operasi
sehingga tidak ada indikasi untuk pemberian antibiotika profilaksis. Penggunaan
antibiotika yang seharusnya tidak digunakan dapat meningkatkan resiko resistensi
antibiotika. Resistensi antibiotika merupakan konsekuensi dari penggunaan
antibiotika yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri,
bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO, 2016).
Hasil menelitian menunjukkan terdapat 1 pasien (1,43%) mendapat obat
penghilang rasa sakit yang berlebih. Menurut WHO Pain Ladder (2009),
penatalaksaan nyeri sedang diberikan kombinasi penggunaan NSAID hanya
digunakan dua kombinasi NSAID. Sedangkan untuk nyeri berat diberikan terapi
opioid kuat seperti morfin dengan pemberian dosis titrasi.
4.4.2 Perlu Tambahan Obat
Perlu tambahan obat adalah terapi yang dibutuhkan pasien untuk mengobati
kondisi medis atau penyakit yang telah memburuk. Beberapa hal yang sering
menyebabkan kejadian DRPs terkait perlu tambahan obat adalah kondisi medis
yang memerlukan inisiasi obat, terapi pencegahan obat diperlukan untuk
mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, dan kondisi medis yang
memerlukan farmakoterapi lanjutan untuk memperoleh sinergisme atau efek
tambahan (Cipolle, et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.5 Tabel Analisis DRPs Kategori Perlu Tambahan Obat
Penyebab

Kondisi Pasien

Jumlah

(%)

Pasien dengan kondisi medis
membutuhkan terapi obat

Albumin rendah

6

8,57

Sel darah putih tinggi

5

7,14

Anemia
Diabetes Mellitus tipe 2
Hipokalemia

4
3
1

5,71
4,28
1,42

Berdasarkan Tabel 4.5 ditemukan 6 pasien (8,57%) menunjukkan nilai
albumin yang dibawah normal, kondisi ini perlu dipertimbangkan untuk
pemberian terapi albumin, apabila penurunan albumin disebabkan oleh
penggunaan obat sebaiknya hentikan penggunaan obat atau digantikan dengan
terapi obat lain. Albumin didalam tubuh berfungsi sebagai pembawa obat-obatan
termasuk obat kanker. Apabila kadar albumin pasien menurun, kadar obat dalam
darah tidak memberikan efek farmakologis yang maksimal. Pasien dengan kadar
albumin dibawah normal sebaiknya diberikan terapi untuk meningkatkan albumin
baik secara nonfarmakologis dan secara farmakologis. Terapi nonfarmakologis
yang dapat meningkatkan kadar albumin adalah dengan mengkonsumsi putih telur
sedangkan untuk terapi farmakologis diberikan terapi penggantian albumin
(Dinkes Pakpak Bharat, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 pasien (7,14%) dengan hasil
laboratorium nilai sel darah putih yang menunjukkan nilai diatas normal.
Sebaiknya

antibiotika

direkomendasikan

sesuai

dengan

kondisi

pasien

berdasarkan hasil laboratorium. Pasien kanker sangat rentan mengalami infeksi
karena penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit kanker itu sendiri atau akibat
dari pembedahan, radiasi maupun kemoterapi. Sekitar 90% penderita kanker
meninggal akibat infeksi, perdarahan atau infeksi bersama-sama dengan

Universitas Sumatera Utara

perdarahan. Oleh karena itu sebagian besar pasien kanker serviks menerima
antibiotik baik untuk teerapi empiris maupun profilaksis (Reksodiputro, 2006).
Terdapat 4 pasien (5,71%) dengan hasil laboraturium menunjukkan nilai
hemoglobin dan sel darah merah pasien dibawah normal yang menunjukkan
pasien mengalami anemia, sebaiknya pasien diberikan terapi antianemia untuk
meningkatkan kondisi umum pasien. Anemia pada pasien kanker merupakan
anemia sekunder atau anemia yang disebabkan oleh karena penyakit kronis.
Selain hasil laboraturium, gejala klinis anemia dapat berupa pucat, lemah, dan
keluhan anemia lainnya, gejala lain sesuai penyakit pasien. Terapi anemia
sekunder disesuaikan dengan penyakit utama pasien, apabila sangat diperlukan
pasien diberikan transfusi darah. Sebaiknya pasien dirawat sampai kondisi umum
pasien meningkat (Komite Medik RSUP H. Adam Malik, 2011).
Berdasarkan Tabel 4.5 ditemukan 3 pasien (4,28%) dengan diabetes
mellitus tapi tidak mendapatkan terapi untuk menurunkan kadar gula darah
pasien. Sebaiknya pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 diberikan obat penurun
glukosa darah oral seperti golongan sulfonilurea, biguanid, dan acarbose, apabila
kadar gula darah pasien tidak dapat dikontrol dengan diet dan latihan jasmani.
Kadar gula darah yang normal dapat meningkatkan kondisi umum pasien (Komite
Medik RSUP H. Adam Malik, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 1 pasien (1,42%) dengan kondisi
hipokalemia dan tidak diberikan terapi untuk mengobati kondisi umum tersebut.
Pasien dengan kondisi hipokalemia sebaiknya diberikan terapi penggantian
kalium. Sebaiknya diberikan terapi penggantian kalium selama 3-5 hari
bergantung pada penyakit yang mendasarinya. Terapi dihentikan apabila hasil

Universitas Sumatera Utara

laboraturium menunjukkan serum kalium dalam rentang normal (Komite Medik
RSUP H. Adam Malik, 2011).
Hasil penelitian menunjukan tingginya angka kejadian DRPs kategori
perlu tambahan obat menandakan bahwa pasien tidak mendapatkan pengobatan
supportif terkait kondisi umum pasien. Pengobatan supportif yang diberikan
kepada pasien kanker dapat menunjang pengobatan kanker. Pengobatan supportif
tidak jarang lebih penting dari pengobatan kanker itu sendiri, karena pengobatan
supportif ini justru dapat mengatasi masalah-masalah yang dapat menyebabkan
kematian pasien. Masalah-masalah tersebut seperti anemia dan neutropenia pada
pasien menyebabkan kemoterapi atau radiasi harus ditunda apabila kemoterapi
atau radiasi tetap dilakukan dan nilai leukosit dan Hb belum berhasil dinaikkan
maka dapat berakibat fatal untuk pada pasien (Reksodiputro, 2006).
4.4.3 Obat Tidak Efektif
Obat tidak efektif adalah produk obat yang digunakan tidak efektif untuk
menimbulkan respon yang diinginkan. Beberapa hal yang sering menyebabkan
obat tidak efektif terdiri atas obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif
untuk kondisi masalah medis yang dialami, kondisi medis yang sukar
disembuhkan dengan produk obat, bentuk sediaan obat tidak tepat, dan produk
obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami (Cipolle, et al., 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 16 kasus (22,86%) obat tidak
efektif pada pemberian antibiotika. Pemberian antibiotika dilakukan tanpa uji
kultur pada pasien. Menurut IONI (2008), pemberian antibiotika yang paling ideal
adalah berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman.
Penggunaan antibiotika yang seharusnya tidak digunakan dapat meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

resiko resistensi antibiotika. Resistensi antibiotika merupakan konsekuensi dari
penggunaan antibiotika yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme
itu sendiri, bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO,
2016).
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang
digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini
menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan.
Salah satu contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunan antibiotika.
Angka kematian akibat Resistensi Antimikroba sampai tahun 2014 sebesar
700.000 per tahun. Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran
infeksi bakteri, diperkirakan pada tahun 2050, kematian akibat AMR lebih besar
dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.
Masalah resistensi antimikroba adalah masalah yang kompleks karena bersifat
multi dimensi dan multifaktor serta banyak stakeholders (Kemenkes, 2016).
4.4.4 Dosis Terlalu Rendah
Dosis obat terlalu rendah adalah dosis yang diberikan terlalu rendah untuk
memberikan efek farmakologis. Dosis terlalu rendah biasanya disebabkan oleh
dosis yang diberikan terlalu rendah untuk menimbulkan respon yang diinginkan,
interval dosis yang tidak sesuai, interaksi obat menurunkan zat aktif yang tersedia
dan durasi obat terlalu singkat untuk mengasilkan efek farmakologis (Cipolle, et
al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan dari hasil penelitian, tidak ditemukan dosis terlalu rendah
pada pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik
Medan periode Juni 2016-Agustus 2016.
4.4.5 Dosis Terlalu Tinggi
Dosis terlalu tinggi adalah dosis yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi
sehingga menimbulkan respon yang tidak diinginkan. Beberapa hal yang sering
menyebabkan kejadian DRPs kategori dosis terlalu tinggi adalah dosis yang
diberikan terlalu tinggi, frekuensi obat yang terlalu singkat, durasi obat terlalu
lama, interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik obat dan dosis obat yang
diberikan terlalu cepat (Cipolle, et al., 2004).
Tabel 4.6 Tabel Analisis DRPs Kategori Dosis Terlalu Tinggi
No

Penyebab

1.

Durasi terapi terlalu lama

Jumlah

(%)

Injeksi Ketorolac

2

2,86

Antibiotika

2

2,86

Obat

Berdasarkan Tabel 4.6 terdapat 2 pasien (2,86%) mendapatkan terapi
antibiotika dengan durasi pemberian melebihi durasi maksimal. Penggunaan
terapi antibiotika sebagai terapi empiris sebaiknya diberikan selama 5 hari lalu
dilakukan uji kultur pada pasien tersebut dan penggunaan antibiotika sebagai
profilaksis diberikan selama 3 hari atau sesuai dengan prosedur yang akan
dilakukan. Pemberian antibiotika terlalu lama menyebabkan dapat resistensi pada
pasien (Komite Farmasi dan Terapi RSUP H. Adam Malik, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 2 pasien (2,86%) mengalami DRPs
kategori dosis terlalu tinggi akibat pasien menerima terapi injeksi ketorolac terlalu

Universitas Sumatera Utara

lama sedangkan dosis harian injeksi ketorolac masih dalam dosis sesuai.
Pemakaian ketorolac seharusnya digunakan tidak lebih dari 5 hari, karena
pemakaian lebih dari 5 hari dikhawatirkan terjadi efek samping pada
gastrointestinal (Mitra et al., 2012).
4.4.6 Adverse Drug Reaction
Adverse drug reaction terjadi adalah kejadian DRPs terkait dengan produk
obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan dan tidak berhubungan
dengan dosis, ada produk obat yang lebih aman terkait dengan faktor resiko,
interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan, pengaturan dosis yang
diberikan atau diganti dengan sangat cepat, produk obat yang menyebabkan reaksi
alergi, dan produk obat yang dikontraindikasi terhadap faktor resiko (Cipolle, et
al., 2004).
Tabel 4.7 Analisis DRPs Kategori Adverse Drug Reaction
Obat
Injeksi furosemid – injeksi
ketorolac
Injeksi albuterol – injeksi
furosemid
Injeksi ranitidin – injeksi
ketorolac
Tablet sulfas ferosus – tablet
siprofloksasin
Tablet asam mefenamat –
tablet siprofloksasin
Tablet morfin – tablet
amitriptilin
Tablet siprofloksasin –
tablet metoclopramide

Jenis Interaksi

Tingkat
Keparahan

Jumlah
Kasus

(%)

Farmakodinamika

Sedang

2

2,85

Farmakodinamika

Sedang

1

1,42

Farmakokinetika

Ringan

8

11,43

Farmakokinetika

Sedang

7

10

Farmakodinamika

Sedang

4

5,71

Farmakodinamika

Sedang

1

1,42

Farmakokinetika

Ringan

1

1,42

Hasil analisis DRPs kategori Adverse drug reaction dapat dilihat pada
Tabel 4.7 terdapat 24 kasus interaksi obat dengan obat. Angka kejadian DRPs
pada kategori interaksi obat yaitu sebesar 34,29%. Kejadian interaksi obat yang

Universitas Sumatera Utara

paling sering terjadi adalah interaksi obat antara injeksi ranitidin-injeksi ketorolac,
namun interaksi ini bersifat ringan sehingga tidak mempengaruhi secara
signifikan terapi obat tersebut dan waktu pemberian diberikan tidak dalam waktu
yang bersamaan. Kejadian interaksi obat yang paling sering terjadi kedua dan
dapat mengganggu terapi adalah interaksi antara tablet sulfas ferosus dan tablet
ciprofloxacin dengan tingkat keparahan interaksi bersifat sedang. Sebaiknya
pemberian kombinasi ini diberikan rentang waktu agar dapat menghindari
kejadian interaksi obat. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah interaksi
obat dengan jenis interaksi farmakokinetika. Interaksi farmakinetika adalah
interaksi yang terjadi bila satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi,
metabolisme atau eksresi obat lain (Tatro, 2009).
Interaksi obat merupakan hasil interaksi dari obat dengan obat, obat
dengan makanan dan obat dengan laboratorium. Hal ini dapat terjadi pada pasien
yang menerima obat dari kelas farmakologis yang berbeda serta dalam kelas
farmakologis yang sama (Mahmoud, 2008).

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dari 35 pasien
terdapat 26 pasien (74,29%) yang mengalami DRPs di ruang rawat inap obgyn
RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016. Jenis DRPs
yang paling banyak terjadi adalah adverse drug reaction (52,17%), perlu
tambahan obat sebanyak (34,78%), obat tanpa indikasi sebanyak (8,89%), dan
dosis terlalu tinggi (4,35%).

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan:
a. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar meneliti kejadian DRPs kategori
kepatuhan pasien.
b. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar meneliti kejadian DRPs pada
kanker lainnya.

Universitas Sumatera Utara