Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

BAB 6
RESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA
Konflik berkaitan dengan pengembangan perkebunan kelapa
sawit di Distrik Arso meliputi Kampung Arsokota, Workwana,
Wambes dan beberapa kampung lain di wilayah Distrik Arso. Konflik
berkepanjangan ini berujung pada munculnya sikap resistensi
penduduk. Konflik tersebut ternyata berlangsung terus hingga saat ini
tanpa penyelesaian yang berarti sesuai dengan harapan penduduk
setempat. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, bahan yang disajikan
di sini diangkat berdasarkan informasi orang-orang Workwana,
termasuk tokoh-tokoh adat dan masyarakat di wilayah Arso Kabupaten
Keerom.

Konflik tentang Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Dari berbagai informasi dan ceritera penduduk setempat
yang dihimpun terkait perihal tanah ulayat yang menimbulkan
masalah berujung pada konflik dan resistensi penduduk terhadap
perusahaan PTPN II di Arsokota dan Workwana. Berikut akan
dibahas latar belakang konflik dan dampaknya bagi kehidupan
penduduk setempat.
Menurut Hubertus Kwambre, salah satu tokoh adat masyarakat

di Arsokota masalah tanah perkebunan kelapa sawit mulai mengemuka
di daerah pada tahun 1985, karena ditemukan surat pelepasan tanah
seluas 5.000 hektare, ternyata luas areal perkebunan diubah menjadi
50.000 hektare oleh pemerintah Kabupaten Jayapura dan perusahaan
kelapa sawit pada tahun 1982. Ketika masyarakat adat Arso
menemukan data bahwa surat pernyataan pelepasan lahan yang
diberikan pemerintah kepada PTPN II luasnya mencapai 50.000
207

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

hektare, yang seharusnya hanya 5.000 hekare, sejak saat itu,
masyarakat mulai melakukan protes baik kepada pemerintah daerah
maupun kepada perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh rencana awal
perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya berada di Kampung
Arsokota sedangkan daerah transmigrasi direncanakan berada di
daerah Workwana sampai ke Kampung Wembi, seluas 7.500 hektare.
Kemudian Gubernur Irian Jaya waktu itu, memindahkan lokasi
perkebunan tersebut sehingga terjadi pergeseran dan perluasan lahan

kelapa sawit, mulai dari Arso sampai Workwana dan Wembi. Keadaan
itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana
serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar
membayar kembali luas tanah yang pada awal penyerahan oleh tokohtokoh adat setempat, luasnya 5.000 hektare namun kemudian
dimanipulasi menjadi 50.000 hektare oleh pemerintah daerah. Dan
tanah seluas itu kemudian hanya dibayar sebesar Rp 54.000.000,- pada
tanggal 17 Mei 1997. Menurut Kwambre, penyerahan tanah di masa itu
disaksikan oleh almarhum Bapak Frans Dumatubun Camat Arso dan
Bapak P. Abdul Laitef Danramil 1701 Arso (Ansaka, dkk., 2009).
Seperti dicacat oleh Kristian Ansaka, dkk, urusan pelepasan tanah
perkebunan kelapa sawit di Arso, terjadi dalam situasi penuh tekanan
dan todongan senjata aparat, sehingga masyarakat melakukan
pelepasan tanah dalam keadaan terpaksa. Pengalaman yang dicacat
Ansaka, dkk., di atas senada dengan apa yang diungkapkan oleh
beberapa informan di Workwana. Ketika urusan tanah berlangsung,
orang-orang tua dan tokoh masyarakat menandatangani surat
pelepasan pada malam hari, bahkan sejumlah tokoh adat dan warga
masyarakat mendapat tawaran untuk makan bersama di Kota Jayapura,
namun ditolak masyarakat. Penolakan tersebut kemudian menyebabkan aparat keamanan mengambil langkah masuk ke rumah-rumah
warga di wilayah Arso, termasuk Workwana. Akhirnya surat dari

perusahaan ditandatangi di depan laras senjata dengan sejumlah janji
kepada masyarakat antara lain akan diberikan beras dan mie instan.
Pengalaman ini mengingatkan masyarakat Papua mengenai sebuah
kisah pengambilalihan tanah masyarakat di masa lalu di Jayapura, yang
mana dusun sagu ditukar dengan bir. Kisah ini berkaitan dengan
208

Resistensi Masyarakat di Workwana

penjualan dusun sagu milik orang Enggros di daerah pasar Abepura,
oleh seorang tokoh adat saat itu dengan satu karton bir, satu karung
beras dan uang tunai Rp 40.000,- (KDK. No. 1-2, Th I. April 1983, 2627). KDK dalam laporannya menjelaskan, permasalahan tanah yang
dijual begitu rendah harganya sangat disesalkan oleh penduduk
Enggros, khususnya kaum muda, sehingga mereka bersikeras
mempertahankan dusun sagunya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa
hak-hak masyarakat adat sangat tidak dihargai oleh pemerintah dan
pemilik modal, yang dapat dikatakan masih sering terjadi hingga saat
ini di seluruh Tanah Papua. Artinya ketidakadilan terus berlangsung
terhadap masyarakat lokal atas nama pembangunan dan kepentingan
negara. Ironisnya, bila keinginan pemerintah ditolak, stigma-stigma

diberlakukan kepada masyarakat tapi bila dijual, dibeli dengan harga di
bawah standar oleh pemodal, akibatnya masyarakat dirugikan dan
kehilangan hak atas tanah ulayatnya secara turun-temurun tanpa
imbalan yang setimpal.
Hubertus Kwambre menyatakan pada tahun 2010 sesungguhnya akan dilakukan peremajaan kelapa sawit di PIR I, II dan PIR III,
tetapi ternyata petani plasma di tempat ini tidak mempunyai bukti
pelepasan tanah adat dari masyarakat adat di Arso dan Workwana
sehingga rencana tersebut tidak dilaksanakan. Menurut Kwambre, bila
ingin melakukan peremajaan kelapa sawit harus dibicarakan kembali
dengan masyarakat adat tentang status tanah tersebut.
Fenomena di seputar pelepasan tanah dan hutan hak ulayat
penduduk serta konflik yang ditimbulkannya ternyata dilatarbelakangi
oleh hal-hal berikut. Berdasarkan informasi yang disampaikan
penduduk baik di Arsokota maupun di Workwana saat penelitian
dilakukan dan dari sumber informasi lain (Rosariyanto dkk., 2008 &
Ansaka dkk., 2009) yang dihimpun penulis tentang permasalahan
tanah di Distrik Arso, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pada
tanggal 9 Juli 1981 dikeluarkan surat pernyataan pelepasan hak atas
tanah adat seluas 18.000 hektare oleh tujuh orang yang mempunyai
hak atas tanah ulayat yang terletak di Desa Skanto, Desa Arsokota dan

Desa Workwana. Sesudah surat pelepasan tanah tersebut dibuat,
209

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

muncullah Keputusan Panitia Pembebasan Tanah Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Jayapura, No. 18/KPTS/Pan/1981. Kedua,
selanjutnya pada tanggal 17 September 1981, diterbitkan Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura No.
59/KPTS/BUP-JP/1981 tentang pelepasan dan penunjukan tanah untuk
keperluan proyek transmigrasi Arso di Kecamatan Arso dan Koya
Kecamatan Abepura Daerah Tingkat II Jayapura. Ketiga, pada tanggal
19 Oktober 1982 keluarlah surat pernyataan pelepasan hak atas tanah
adat seluas 50.000 hektare oleh 24 orang yang mempunyai hak atas
tanah ulayat, terletak di Desa Arsokota dan di Desa Workwana
(Rosariyatno, dkk., 2008, 38-39 & Ansaka dkk, 2009, 335-336).
Keempat, pada 23 Maret 1983, muncullah Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Irian Jaya No. 53/GIJ/1983 tentang Penetapan Lokasi
atau areal Transmigrasi di Kecamatan Arso Kabupaten Daerah Tingkat

II Jayapura. Kelima, pada tanggal 4 Mei 1983, keluarlah Keputusan
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura No.31/KPTS/BUP-JP/1983
tentang perubahan lokasi pencadangan tanah untuk proyek
transmigrasi di Kecamatan Arso Daerah Tingkat II Jayapura. Dalam
surat keputusan bupati tersebut ditetapkan untuk pertama kali lahan
seluas 12.000 hektare di Workwana untuk proyek perkebunan kelapa
sawit dan karet. Maka sejak tahun 1983 masyarakat adat Arsokota dan
Workwana mulai bereaksi karena merasa ditipu oleh pemerintah
terkait dengan perubahan lokasi untuk transmigrasi berhubung karena
batas-batas tanah tidak sesuai lagi dengan surat pernyataan pelepasan
hak atas tanah yang dibuat tahun 1981. Keenam, pada 15 Maret 1986,
panitia pembebasan tanah mengeluarkan SK No 06/KPTS-PAN/III/86
yang isinya, penetapan pemberian rekognisi atas tanah seluas 7.500
hektare di Desa Arsokota dan Desa Kwimi sebesar Rp 90.000.000,-.
Dalam surat keputusan yang sama ditetapkan pemberian rekognisi
juga atas tanah seluas 3.600 hektare di Desa Arsokota sebesar Rp
10.000.000,-. Dan pada saat yang sama berlangsung pertemuan dengan
masyarakat di Arsokota untuk menerima ganti rugi di Arsokota.
Rekognisi diberikan kepada masyarakat diwujudkan dalam bentuk
barang. Pada saat itu pula masyarakat menolak pemindahan lahan

seluas 12.000 hektare dari Workwana ke Arsokota karena tidak
210

Resistensi Masyarakat di Workwana

didasarkan atas musyawarah. Karena itu rekognisi lahan seluas 12.000
hektare untuk masyarakat Arso dan Workwana disiapkan dalam
bentuk barang, yakni mobil truk 2 buah, mobil “Toyota Kijang” bak
terbuka 5 buah, mesin jahit 4 buah, Chain-saw 2 buah. Ketujuh, pada
12 Desember 1992, keluar lagi surat pernyataan pelepasan hak atas
tanah adat seluas 1.310 hektare untuk areal kebun inti kelapa sawit
PTPN II, yang ditandatangani oleh Kepala Kampung Workwana dan
Arsokota, Mikael Wabyager dan Yakobus Gusbager, disaksikan Camat
Ikram Baasalem, Danramil Kapten TNI Subandi R dan Kapolsek Arso
Letda Pol. Dwi Karyanto.
Dari berbagai urusan pelepasan tanah ulayat sebagaimana
dicacat di atas, muncul masalah bagi penduduk di Kampung Arsokota,
Workwana, Kwimi dan lain-lain ketika pada tanggal 19 Oktober 1982,
keluarlah surat pelepasan yang ditandatangi sejumlah orang sebagai
tokoh adat dan masyarakat, tanah seluas 50.000 hektare. Menurut

Ketua Dewan Adat Keerom Bapak Servo Tuamis, yang saat itu menjadi
saksi mata peristiwa penandatanganan surat dimaksud, terdapat
kejanggalan-kejanggalan dalam pembuatan surat tersebut. Penulis
menjumpainya tanggal 16 Januari 2017 di Arso, untuk melakukan
konfirmasi tentang beberapa hal terkait masalah kelapa sawit di Distrik
Arso, tepatnya di Gedung Dewan Adat Keerom. Servo Tuamis
menyampaikan hal-hal berikut. Ia sebagai saksi mata dan pelaku
penandatanganan surat tersebut menyaksikan bahwa surat yang
disodorkan untuk ditandatangani, tidak diketahui kepala surat dan
perihalnya karena yang disodorkan oleh petugas pemerintah setempat
saat itu ialah hanya bagian yang harus ditandatangani. Menurut Servo,
namanya berada di urutan ke tujuh, sedangkan sebagain besar nama
yang tercantum tidak berada di kampung karena masih berada di
daerah perbatasan, di PNG dan di tempat lain. Surat tersebut kemudian
ditandatangani lagi oleh 4 tokoh lainnya yang berada di kampung.
Sedangkan selebihnya tidak diketahui siapa sebagai pengganti yang
menandatangai surat tersebut mewakli tokoh adat dan masyarakat
yang tidak berada di tempat. Dengan demikian terlihat seolah-olah
bahwa 24 orang yang diharapkan sebagai pemilik hak ulayat semuanya
telah menandatangani surat tersebut. Menurut Servo kemarahan

211

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

penduduk tidak hanya berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan tetapi
juga berkaitan dengan luas lahan yang dimanipulasi. Dikatakannya
semula ada perjanjian hanya 5.000 hektare yang diserahkan kepada
perusahaan akan tetapi kemudian dalam surat tersebut tertulis
penyerahan tanah-tanah di daerah tersebut seluas 50.000 hektare.
Menurut Servo, hal ini diketahui dari sebuah arsip surat yang didapat
oleh seorang staf kecamatan yang berasal dari Kampung Arsokota di
Kantor Kecamatan Arso pada waktu itu.
Menurut informasi lain yang disampaikan penduduk ketika
penelitian di Workwana ialah pelepasan tanah ulayat penduduk
dilakukan perusahaan dan pemerintah dengan kompensasi yang tidak
seimbang dengan luasnya lahan yang diserahkan masyarakat baik di
Workwana maupun di Arsokota, Kwimi dan lain-lain. Apalagi
pelepasan tanah-tanah tersebut dikatakan telah berdampak
menimbulkan korban nyawa penduduk setempat karena penyerahan

tanah-tanah warga masyarakat dilakukan di depan laras senjata aparat
keamanan.
Relasi-relasi yang berdampak pada konflik penduduk dengan
perusahaan juga dilatarbelakangi oleh adanya janji-janji perusahaan
kelapa sawit yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan para informan,
janji-janji yang dibuat adalah pembangunan rumah beton, pembuatan
jalan, pemberian mobil, penyediaan air bersih dan pemberian beasiswa
bagi anak-anak kampung dan lain-lain. Berikut, disampaikan data
tentang luas tanah-tanah yang telah dilepas penduduk kepada
perusahaan di Distrik Arso (Ansaka, dkk, 2009, 336).
Tabel 6.1
Jumlah Pelepasan Tanah Di Distrik Arso untuk Kelapa Sawit
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.


Lokasi kampung
Arsokota, Workwana,
Skanto
Arsokota, Workwana
Workwana
Arso, Kwimi
Arso
Workwana
Sumber: Diolah dari Rosariyanto, dkk (2008) dan Ansaka, dkk (2009)

212

Waktu pelepasan
9 Juli 1981
19 Oktober 1982
4 Mei 1983
15 Maret 1986
s.d.a
12 Desember 1992

Luas (ha)
18.000.
50.000.
12.000.
7.500.
3.600.
1.310

Resistensi Masyarakat di Workwana

Berdasarkan data Tabel 6.1 di atas dapat dikatakan tanah ulayat
yang telah dilepas penduduk untuk kepentingan perkebunan kepala
sawit baik untuk perkebunan inti, plasma dan pemukiman transmigrasi
PIR berjumlah 92.410 hektare. Menurut Servo, kampung-kampung
yang kehilangan tanah adat yang begitu luas di Distrik Arso karena
diserahkan kepada perusahaan, meliputi Arsokota, Workwana,
Wambes, Kmiwi, Bagia dan Sawyetami ada, termasuk Yeti dan Kriku
di Distrik Arso Timur. Menurutnya, hingga saat ini tidak diketahui
berapa luas tanah yang sudah dipakai dan berapa yang belum dipakai,
supaya dikembalikan kepada masyarakat.
Selain itu keluhan penduduk setempat muncul terkait dengan
pengaturan sistem kepemilikan lahan kebun kelapa sawit di PIR,
melalui sistem afdeling. Menurut pandangan salah tokoh adat
Masyarakat Arso ketika ditemui di rumahnya di kampung Arsokota,
pada 16 Januari 2007 dikatakan sistem afdeling dapat menimbulkan
masalah bagi masyarakat karena sistem tersebut dapat membuat
perpecahan antarmarga. Menurutnya dengan sistem afdeling, marga A
bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik marga B, demikian pula
sebaliknya. Hal seperti ini bisa memicu masalah antarmarga dan
antarwarga, karena sebelum ada sistem afdeling masing-masing warga
masyarakat setempat mencari nafkah di wilayah adatnya masingmasing.
Dari informasi lain yang diberikan oleh Benny Montolalu,
sistem afdeling diatur demikian. Setiap afdeling terdiri dari 20
kelompok, dan 1 kelompok terdiri dari 20 sampai 25 KK. Hanya saja
warga masyarakat yang ada di dalam suatu afdeling dan kelompok pada
umumnya bukan berasal dari wilayah atau tempat kepemilikan tanah
adat yang sama tetapi terdiri dari warga yang berbeda wilayah adat
bahkan berbeda pula daerah asal.
Menurut Fauzi & Bachiardi [dalam Fauzi dan Nurjaya
(Penyunting), 2000, 127-160], sistem tenurial atau sistem penguasaan
sumber daya agraria dalam suatu masyarakat biasanya berlangsung
dari satu generasi ke generasi sedemikian rupa sebagai aturan yang
diketahui bersama. Demikian pula sistem tenurial penduduk setempat
213

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

di wilayah Distrik Arso secara turun-temurun dihidupi warga
setempat. Menurut Gusbager (2001, 8) dan para informan di
Workwana sistem pengelompokkan dan pemanfaatan hutan serta
tanah diatur sebagai berikut. Na Numui atau dusun sagu, merupakan
tempat untuk menokok sagu sebagai makanan pokok masyarakat; Ma
Disih, merupakan tempat untuk berburu hewan liar yang berada di
hutan; Ma Mandap, merupakan hutan tempat untuk berkebun atau
yang disebut juga kebun-hutan; Ubyagey, merupakan sungai atau
telaga, tempat untuk mencari dan menangkap ikan. Pengabaian sistem
tenurial setempat seperti terjadi di Workwana dan sekitarnya
berdampak menimbulkan konflik yang bermuara pada resistensi
masyarakat yang berkepanjangan terhadap perusahaan hingga saat ini.

Resistensi Penduduk Terhadap Perusahaan PTPN II
Pokok ini berbicara tentang latar belakang sikap resistensi
penduduk terhadap PTPN II berkaitan dengan pelepasan tanah adat
untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan berbagai dampak
yang ditimbulkan oleh hadirnya perkebunan kelapa sawit di daerah
ini. Kemudian juga akan dibahas bentuk-bentuk resistensi yang
dilakukan penduduk terhadap PTPN II.
Latar Belakang Resistensi Penduduk
Ketika penelitian berlangsung di Workwana, para informan
berkisah mengenai sikap mereka terhadap kehadiran kelapa sawit
setelah 25 tahun masa tanam di wilayah ini. Sikap-sikap tersebut
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dilihat dari masa tanam kelapa
sawit. Menurut penduduk di Workwana kelapa sawit yang ada setelah
25 tahun ternyata mengalami penurunan produksi dari waktu ke
waktu. Sebagaimana diketahui bahwa kelapa sawit ditanam di daerah
Workwana pada tahun 1983/1984 sampai 1985/1986. Menurut
ungkapan warga dan buruh tani yang dijumpai di sekitar kebun kelapa
sawit di Workwana, tidak setiap pohon mempunyai buah atau TBS.
Sehingga perlu waktu berhari-hari untuk mencari, memetik dan
mengumpulkan TBS. Kedua, dari segi perkembangan pohon kelapa
214

Resistensi Masyarakat di Workwana

sawit. Kelapa sawit dari waktu ke waktu bertumbuh makin tinggi
sehingga menyulitkan penduduk untuk memetik atau mengegreknya.
Dikatakan oleh beberapa informan, untuk memetik kelapa sawit
dibutuhan fisik yang kuat dan sehat. Menurut warga, pengalaman di
sini menunjukkan bahwa banyak orang kampung sakit karena kerja
keras mengegrek buah sawit dari pohon yang semakin tinggi.
Dikatakan oleh sejumlah informan hal tersebut disebabkan karena
keadaan hidup sehari-hari penduduk tidak mendukung untuk
seseorang bisa kerja keras di kebun kelapa sawit, berhubungan dengan
masalah gizi dan keadaan kesehatan diri. Sehingga pengalaman
tersebut membuat orang kampung mengalami trauma memetik sawit.
Akibatnya penduduk perlahan-lahan tidak tertarik lagi untuk
merawat, dan memanen kelapa sawit. Ketiga, ongkos-ongkos yang
dikeluarkan untuk urusan kelapa sawit, ternyata besar. Dikatakan oleh
para informan, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya
yang dikeluarkan untuk mengurus kelapa sawit tinggi. Dari
pengalaman penduduk dikatakan biaya-biaya yang dikeluarkan adalah
untuk membayar buruh yang memetik dan memikul buah kelapa
sawit. Biaya buruh tersebut tergantung pula dari jarak pikul. Selain itu
pemilik lahan harus memberi makan dan minum bagi buruh tani atau
kelompok yang bekerja membantu pemilik lahan ketika panen dan
pemeliharaan lahan dan kelapa sawit. Biaya lain pula dikatakan cukup
membebani petani ialah ongkos mobil truk dari lahan ke pabrik,
termasuk uang pelicin untuk mempercepat penimbangan kelapa sawit
di pabrik. Keempat, menurut sejumlah informan mengurusi kelapa
sawit bukan merupakan kebiasaan kerja penduduk di tempat ini.
Dikatakan bahwa sebagai petani kelapa sawit dirinya terikat, harus
secara teratur mengurus kelapa sawit sebagaimana seharusnya seorang
petani kelapa sawit bekerja di kebun sawit. Selain itu hasilnya pun
tidak segera diperoleh. Menurut beberapa informan, pekerjaan
pemeliharaan terdiri dari pembersihan lahan, perawatan pohon sawit,
pemupukan, memetik buah kelapa sawit dan sebagainya menghabiskan
banyak waktu. Kelima, dari segi harga sawit. Dikatakan oleh sejumlah
informan, harga sawit beberapa tahun terakhir ini tidak menentu.
Harga kelapa sawit di tempat ini pernah turun hingga mencapai Rp 500
215

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

per kg. Fluktuasi harga sawit yang sedemikian, mengurungkan niat
penduduk untuk terus mengusahakan sawit sebagai mata
pencahariannya. Keenam, masih ada pandangan sejumlah warga
masyarakat bahwa di hutan masih tersedia sumber nafkah. Padahal
menurut beberapa warga Kampung Workwana, hutan milik penduduk
Workwana, sebagian besar sudah beralih fungsi dan kempemilikan
karena masuknya perkebunan kelapa sawit. Ketujuh, masuknya kelapa
sawit justru menimbulkan berbagai masalah bagi penduduk seperti,
hilangnya hutan tempat berburu binatang, hilang pula berbagai jenis
tumbuhan untuk sayur-sayuran, hilang pula berbagai jenis buah-hutan
yang biasa dipetik penduduk, hilangnya hutan sagu sebagai salah satu
makanan pokok penduduk. Dikatakan juga penduduk semakin sulit
mencari kayu untuk rumah dan keperluan rumah tangga yang lain.
Kedelapan, menurut penduduk, pemilik kebun sawit dibebani biayabiaya yang tidak seharusnya menjadi tanggung jawab petani. Mereka
menyatakan, seperti kredit yang diambil perusahaan,beberapa tahun
lamanya tidak seharusnya menjadi beban para petani. Tapi beban
kredit perusahaan untuk mengurus perkebunan sawit dipotong dari
hasil panen setelah ada pembayaran di pabrik. Dikatakan oleh
beberapa informan, kemudian pada tanggal 29 November 1997
dikeluarkan pemberitahuan oleh pemerintah setempat tentang rencana
pemotongan uang sebesar Rp 20.000,- per petani setiap kali panen
sampai berjumlah Rp 18.000.000 untuk kepentingan peremajaan
tanaman sawit. Surat ini dipandang menambah beban bagi masyarakat.
Sesudah itu pada tanggal 6 Januari 1998 dibuat surat kepada Bupati
Kepala Daerah Tk II Jayapura oleh Yuskwondor (Kepala adat) dan
Kepala Marga (Keret) yang salah satu isinya menolak keras dan tidak
mengakui SK Bupati No 31/KPTS/Bup-JP/1983, tertanggal 4 Mei 1983
tentang pelepasan tanah ulayat di Kampung Arsokota dan Workwana.
Kemudian pada tanggal 15 Februari 1998 dilakukan pertemuan dengan
Camat Arso di balai desa dan berselang beberapa tahun kemudian,
tepatnya pada tanggal 24 Mei 2008 berlangsung pertemuan di balai
desa PIR V oleh masyarakat adat yang isinya menolak surat pelepasan
tanah 1.310 hektare di areal kebun Inti PTPN II yang dibuat oleh
sejumlah orang pada tangal 12 Desember 1992. Ada dua alasan
216

Resistensi Masyarakat di Workwana

penolakan yang diangkat pada waktu pertemuan tersebut. Satu,
pelepasan tanah pada 12 Desember 1992 tersebut tidak melibatkan
pemilik tanah yang sesungguhnya. Dua, menolak edaran pemerintah
tentang pemotongan hasil kelapa sawit, yang dibuat pada 29 November
1997 (Rosariyanto, dkk., 2008 & Ansaka, dkk, 2009). Kesembilan,
terjadi manipulasi, alih fungsi, alih kepemilikan. Keadaan ini dinilai
penduduk menjadikan mereka terpinggirkan, termarjinalisasi dan
menimbulkan disorientasi dan dislokasi penduduk.
Bentuk-bentuk Resistensi Penduduk
Menurut penduduk setempat bentuk resistensi ini bukan
merupakan gerakan politik melawan pemerintah tetapi merupakan
gerakan moral sosial masyarakat menutut keadilan atas hak-hak hidup
mereka. Menurut para informan bentuk-bentuk resistensi masyarakat
adat setempat diwujudkan melalui tindakan-tindakan berikut.

Pertama, diwujudkan dalam bentuk protes melalui suratmenyurat masyarakat adat kepada pemerintah. Resistensi masyarakat
dimulai dengan melakukan surat-menyurat kepada pemerintah daerah.
Pada tanggal 15 April 1988 tokoh-tokoh masyarakat adat membuat
surat kepada Gubernur Propinsi Irian Jaya, menuntut ganti rugi tanah
dan tanaman budidaya di atas tanah hak ulayat seluas 50.000 hektare
untuk pengembangan proyek PIR di Kecamatan Arso. Penolakan ini
merupakan kelanjutan dari reaksi-reaksi masyarakat terhadap
keputusan Bupati Kabupaten Jayapura tahun 1983 tentang penetapan
areal Transmigrasi. Kemudian pada tanggal 19 April 1997 masyarakat
Arso19 membuat surat kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Jayapura yang isinya sepakat untuk mengambil uang penghargaan dari
Pemerintah Daerah Tingkat II Jayapura dan pada tanggal 17 Mei 1997
uang sebesar Rp 54.000.000 diambil dari bendahara Setwilda Tingkat II
Jayapura. Uang tersebut dipakai untuk pembayaran biaya rekognisi
19Penggunaan istilah masyarakat Arso di kalangan masyarakat luas sesungguh nya tidak
terbatas hanya pada penduduk Kampung Arsokota tetapi meliputi kampung-kampung
di sekitar Distrik Arso, seperti Workwana, Kwimi, Ubiyau, Sawyatami, Sanggaria,
Yuwanain, Asyaman, Yammua, Warbo, Yamta, Yaturaharja, Dukwia, Sawanawa,
IfiaFia, Bagia. Hal ini disebabkan karena Arso merupakan pusat kegiatan
pemerintahan, perekonomian, pendidikan, keamanan dan lain-lain.

217

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

kepada masyarakat adat Arso atas penyerahan tanah adat untuk lokasi
PIR20. Pada tanggal 24 Mei 1997 dikirim surat lagi kepada Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Jayapura yang isinya masyarakat adat Arso
menolak penyerahan uang Rp 54.000.000 sebagai ganti rugi tanah PIR
Arso seluas 50.000 hektare. Dalam surat tersebut disertakan alasanalasan sebagai latar belakang penolakan transaksi antara pemerintah
dan masyarakat. Alasan-alasan tersebut adalah, satu, pemilik hak ulayat
belum mengakui pelepasan tanah seluas 50.000 hektare pada 19
Desember 1981; dua, uang sebasar Rp. 54.000.000,- tidak seimbang
dengan luas lahan yang digunakan PTPN II; tiga, uang Rp. 54.000.000,tidak sesuai dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan
tanah; empat, dengan menerima uang tersebut dikhawatirkan status
hak tanah akan hilang selamanya.

Kedua, penduduk menolak kompensasi ganti rugi tanah.
Berkaitan dengan urusan tanah di wilayah Workwana dan Arso ketika
perkebunan kelapa sawit dibuka, masyarakat adat melalui 52 tokoh
adat masyarakat Keerom menolak pemberian uang sebesar Rp 54.
000.000,- Ada beberapa alasan penolakan yang dibuat masyarakat,
antara lain karena menurut masyarakat adat, uang tersebut tidak sesuai
dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan tanah dengan
berbagai pihak dan dengan uang tersebut dikhawatirkan status hak atas
tanah akan hilang untuk selamanya (Ansaka, 2009). Kekhawatiran
masyarakat mengenai status tanah yang dikuasai oleh perusahaan
ternyata sesuai dengan ungkapan salah satu manajer PTPN II Kebun
Arso, Bapak J. Worengga. Dalam pertemuan dengan masyarakat pada
tanggal 24 Mei 2008 di Kampung PIR V Yamara,Worengga
mengungkapkan bahwa kontrak PTPN II Kebun Arso berlangsung
selama 60 tahun. Pernyataan ini menunjukkan bahwa hak masyarakat
terhadap tanah ulayatnya baru dapat dikembalikan oleh perusahaan
sekitar tahun 2042 (didasarkan pada waktu masuknya PTPN II di Arso
Dalam dokumen salah satu tokoh adat Kampung Workwana, Bapak Herman Fatagur,
yang penulis peroleh, terdapat sebuah kuitansi bukti pembayaran biaya rekognisi
untuk Masyarakat Arso atas penyerahan tanah adat untuk lokasi PIR kepada
Pemerintah Daerah Tingkat II Jayapura, tanggal 17 Mei 1997. Uang sebesar Rp.
54.000.000,-diterima dan ditandatangani olehbapak Damian Borotian.

20

218

Resistensi Masyarakat di Workwana

tahun 1982). Memang dalam sebuah surat pernyataan pelepasan yang
dibuat di Arso, pada tanggal 8 Desember 1982 yang ditandatangani
oleh Administrator PTP II Proyek Arso, Ir .D Simandjuntak dan
Mikael Wabyager Ondoafi di Workwana Kecamanatn Arso berisikan
pernyataan, areal 1.310 hektare yang dipergunakan untuk Kebun
Kelapa Sawit Inti. Apabila areal 1.310 hektare tidak dimanfaatkan lagi
oleh PTP II maka kepada masyarakat akan diberikan hak atas tanah
tersebut. Surat pernyataan pelepasan tersebut ditandatangani dan
diketahui oleh USPIKA Kecamatan Arso, Camat Arso, Drs. Ikram
Baasalem, Kapolsek Arso dan Danramil Arso. Namun pemakaian tanah
oleh PTPN II Kebun Arso selama 60 tahun dapat mengakibatkan
dampak yang semakin berat dalam pelbagai aspek seperti lingkungan
hidup, ekonomi, sosial budaya, hak ulayat dan kondisi keamanan bagi
masyarakat bukan hanya 1.310 hektare tetapi seluas 92.410 hektare
yang dikuasai perusahaan. Dengan demikian harus dikatakan posisi
masyarakat adat sangat lemah ketika menghadapi permasalahanpermasalahan hak ulayat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam
yang dikelola baik oleh pemerintah maupun korporasi pemilik modal.

Ketiga, bentuk resistensi juga dinyatakan penduduk melalui
usaha advokasi dengan melibatkan berbagai pihak. Menurut Servo
Tuamis, para pihak yang dilibatkan sebagai usaha advokasi dalam
rangka menunjukkan resistensi terhadap PTPN II adalah Sekreatriat
Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKP KJ), Lembaga
Bantuan Hukum Universitas Cendrawasih Jayapura dan Komnas HAM
Papua. Advokasi tersebut tidak hanya dilakukan di Jayapura dengan
berunjuk rasa di DPRD Kabupaten Keerom dan DPRP Provinsi Papua
tetapi perjuangan tersebut diteruskan hingga ke Jakarta. Di Jakarta
masyarakat adat telah bertemu dengan DPR RI, Pertemuan dengan
Komisi II DPR RI dan Presiden ketika itu disponsori oleh Sekretariat
Keadilan Perdamaian Keuskupan-keuskupan se-Tanah Papua bekerja
sama dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Yang terlibat
dalam pertemuan tersebut adalah perwakilan masyarakat adat
Kalimantan dan masyarakat adat Arso Kabupaten Keerom Papua pada
tanggal 11 Oktober 2010. Sesudah itu audiensi dilanjutkan dengan
Presiden RI ketika itu, Soesilo Bambang Yudoyono di Istana Negara.
219

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Namun sampai saat ini belum ada titik terang penyelesaian sengketa
tersebut.
Gambar 6.1 di bawah ini memperlihatkan Bapak Herman
Fatagur salah satu perwakilan masyarakat adat Arso dari Kampung
Workwana menyalami Presiden SBY pada acara silahturahmi di Istani
Negara. Gambar ini diambil di rumah Bapak Herman Fatagur ketika
penulis menemuinya saat melakukan penelitian di Workwana.

Sumber: Dokumentasi Herman Fatagur

Gambar 6.1. Bapak Herman Fatagur Bersalaman dengan Presiden
Soesilo Bambang Yudoyono

Keempat, sikap resistensi masyarakat juga diwujudkan dengan
cara berhenti memanen. Ada berbagai alasan diungkapkan oleh para
informan terkait sikap berhenti panen sebagai bentuk reistensi
penduduk, ketika penelitian dilakukan di Workwana. Satu, petani asli
Workwana berhenti memanen karena lahan kelapa sawitnya dijual
kepada orang lain, sehingga terjadi alih kepemilikan lahan kebun
kelapa sawit. Dengan menjual lahan kelapa sawit petani asli setempat
melihat urusan sawit bukan urusannya lagi. Ia tidak ingin lagi
berurusan dengan usaha kelapa sawit dan beralih pada usaha atau
pekerjaan lain. Artinya, urusan kelapa sawit menjadi urusan pemilik
lahan yang baru. Dengan demikian urusan panen kelapa sawit
merupakan urusan pemilik lahan yang membeli dari pemilik
sebelumnya. Penjualan lahan kelapa sawit dilakukan karena
220

Resistensi Masyarakat di Workwana

masyarakat menilai usaha kelapa sawit tidak berdampak membawa
kesejahteraan hidup sebagaimana dijanjikan perusahaan dan
pemerintah serta diharapkan masyarakat itu sendiri. Dua, penduduk
asli Workwana sebagai pemilik lahan sawit juga tidak memanen sendiri
kelapa sawit karena lahannya dikontrakan kepada orang lain. Petani
asli di Workwana yang mengontrakan lahan sawitnya hanya
menunggu uang hasil kontrak lahan tersebut, melalui pembayaran
setiap bulan atau setiap tahun, tergantung pada sistem kontrak yang
disepakati. Dari berbagai kisah masyarakat khususnya di kampung
Workwana, penduduk asli sebagai pemilik lahan kebun plasma
berhenti memanen sendiri kelapa sawitnya sejak tahun 2000.
Sementara penduduk asli di Kampung Arsokota sudah berhenti panen
kelapa sawit beberapa tahun sebelumnya. Beberapa alasan yang
menyebabkan masyarakat berhenti memanen dapat disebut secara
garis besar sebagai berikut. Satu, ada yang beralasan setelah 25 tahun
lebih pohon kelapa sawit semakin tinggi sehingga
sulit diegrek.
Sejumlah informan lain lagi mengatakan mereka tidak mampu
mengegrek sendiri kelapa sawit karena keterampilan terbatas dan
keadaan kesehatan yang tidak mendukung untuk bekerja keras di
kebun kelapa sawit. Keadaan kesehatan yang buruk ini diakibatkan
oleh kurang gizi, malaria, dan fisik lemah. Dikatakan, ada pengalaman
di masa lalu, ada warga kampung yang memaksa diri bekerja di lahan
sawit kemudian jatuh sakit bahkan ada yang meninggal karena
pekerjaan di kebun kelapa sawit cukup berat. Informan lain
menyatakan orang kampung juga melihat produksi kelapa sawit setelah
berusia lebih dari 25 tahun terus menurun. Dan ada pula anggapan
bahwa dengan mengontrakan lahan, si pemilik lahan sawit tidak perlu
bekerja keras, akan tetap memperoleh uang. Ada pula warga yang
menyatakan, aspek fluktuasi harga jual TBS ke pabrik yang tidak
menentu menyebabkan petani asli tidak termotivasi untuk
mengusahakan lagi kebun kelapa sawitnya. Selain itu ada pula warga
kampung setempat yang beranggapan dengan berubahnya status
daerah ini sebagai kabupaten, ada banyak uang yang disediakan
pemerintah daerah. Akibatnya orang mulai bergantung pada dana
pemerintah daripada mengusahakan kelapa sawit atau berkebun.
221

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Kelima, resistensi penduduk berikutnya diwujudkan dengan
melakukan pemalangan. Pemalangan pertama dilakukan di pabrik
pengolahan kelapa sawit di Arso 7 beberapa tahun silam. Sebagaimana
diceriterakan warga dan juga diberitakan oleh Aliansi Demokrasi
untuk Papua (AIDP) melalui jurnalnya bahwa masyarakat adat Arso
memalang Pabrik Kelapa Sawit PTPN II di Arso 7, terjadi pada pada 24
Mei 2012. Alasan pemalangan ialah karena permintaan masyarakat
untuk ganti rugi lahan yang digunakan perusahaan selama 30 tahun
tidak dipenuhi pemerintah. Menurut salah satu tokoh adat Arso Servo
Tuamis, seperti dikutip AIDP, menyatakan:
“benar, kami sudah palang pabriknya, aktivitas semua petani
sawit kita hentikan. Karena selama 30 tahun kami menderita.
Kayu palang akan dibuka kalau gubernur tiba di lokasi, tapi
kalau gubernur tidak datang dan mendengar apa yang kami
minta, palang tidak akan dibuka”.

Tuntutan ini dilakukan karena menurut warga setempat, telah
terjadi pelanggaran hak-hak azasi penduduk terkait dengan kehidupan
ekonomi, sosial-budaya dan tanah ulayat. Mereka merasa hak miliknya
atas tanah hilang. Karena itu masalah perkebunan harus diselesaikan
dalam waktu dua bulan, demikian tuntutan masyarakat. Dari sejumlah
informasi juga yang penulis peroleh dan sebagaimana dicatat AIDP,
Komnas HAM Papua, telah memfasilitasi masyarakat adat Arso dengan
mengirim surat bahkan membicarakan masalah ini dengan para pihak
seperti Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan DPRP. Bahkan Komisi
Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura bersama Konferensi
Wali Gereja Indonesia (KWI) juga telah memediasi pertemuan dengan
DPR RI dan Presiden SBY di Jakarta, namun hingga saat ini belum juga
terlihat ada tanda-tanda penyelesiannya. AIDP mencatat, berdasarkan
data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom, luas Kebun
Sawit di wilayah itu mencapai 11.921 hektare, dengan luas panen
10.195 hektare. Pada tahun 2006, PTPN II Arso memanen hingga 8.339
hektare. Luas areal panen tersebut berasal dari kebun plasma 3.600
hektare, kebun inti 1.871 hektare, KKPA 1.800 hektare dan Bumi Irian
Perkasa 1.068 hektare. Padahal bila kita mengurutkan data pelepasan
tanah di wilayah ini untuk keperluan perkebunan luas areal kelapa
222

Resistensi Masyarakat di Workwana

sawit dan lokasi pemukiman petani PIR luasnya jauh lebih besar dari
data yang disebutkan. Kemudian pemalangan kedua, dilakukan pada
tanggal 3 Mei 2016, di wilayah Kebun Inti milik perusahaan oleh
masyakarat adat di Kampung Mur Dua. Dalam aksi pemalangan
tersebut muncul pernyataan-pernyataan yang berbunyi:
Baliho 1: Kami Minta kembalikan Tanah kami! Dan Kami
Tolak PTPN II. Selama 30 Tahun kami Anak2 Adat Tertipu
Dengan Kasus Penipuan oleh PTPN II Arso.
Baliho 2: Solidaritas Masyarakat Adat Arso Kami Tidak
Butuh Sawit Kami Hanya Butuh Hutan Save Hutan Papua
Save Hutan Keerom Demi Anak Cucu

Sumber: Foto Harun Rumbarar (Wartawan SuaraPapua, 2016)

Gambar 6.2. Pemalangan Kebun Inti PTPN II oleh Masyarakat Adat Arso

Sebagaimana diberitakan oleh Harian Cendrawasih Pos,
Jayapura 26 Mei 2016, akibat pemalangan kebun inti PTPN II, pabrik
kelapa sawit tidak bisa beroperasi sehingga petani plasma lainnya,
melakukan demonstrasi, membawa sekitar 10 mobil truk berisi TBS ke
Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Keerom, menuntut dan
memprotes PTPN II. Protes tersebut juga dipicu oleh adanya surat
edaran perusahaan tentang tidak menerima TBS dari kebun petani
plasma, kecuali hanya TBS dari kebun Inti perusahaan berhubung
mesin pengolah TBS berada dalam keadaan yang rusak dan perlu
diperbaiki. Namun selama kurang lebih 2 hari tidak ada penyelesaian,
buah kelapa sawit tersebut dibawa kembali ke lokasi panen karena
pabrik perusahaan juga tidak beroperasi. Keadaan ini mengakibatkan
223

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

buah-buah kelapa sawit yang ada membusuk dan petani atau buruh
tani tidak bisa memanen lagi kelapa sawit, mengakibatkan banyak
pihak merugi. Peristiwa ini terjadi sejak 3 Mei 2016 sampai 6 Juni 2016
saat informasi ini dihimpun.

Keenam, sikap resistensi masyarakat juga dilakukan dengan
berusaha mempertahankan daerah segitiga emas, yang tidak boleh
digunakan untuk kegiatan lain kecuali digunakan untuk pencarian
nafkah penduduk setempat. Wilayah ini dikatakan oleh para informan
sebagai wilayah hutan lindung bagi penduduk kampung Arsokota,
Workwana dan Wambes. Menurut beberapa informan di Workwana
daerah yang disebut segitiga emas sesungguhnya merupakan tanah adat
tempat masyarakat berburu, meramu, berkebun atau tempat mencari
makan. Segitiga emas merupakan hutan tanah adat yang tidak boleh
dimasuki oleh sembarang orang karena di dalam hutan ini terdapat
tempat keramat yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tua saja.
Tempat ini terletak di dekat Sungai Bewan dan berbatasan di antara
tanah orang Workwana, orang Arso dan orang Wambes. Hutan ini
disebut segitiga emas pertama-tama untuk melindungi hak-hak tanah
dan hutan masyarakat yang sebagian besar hilang karena digunakan
untuk perkebunan kelapa sawit. Selain itu secara ekonomi, tempat ini
merupakan tempat sumber daya alam yang menyediakan berbagai jenis
tumbuhan yang dapat dimakan, berbagai jenis pohon kayu yang dapat
digunakan untuk pembuatan rumah dan keperluan lain, berbagai jenis
binatang buruan sebagai sumber nafkah penduduk asli setempat.
Bahkan dikatakan juga oleh warga Kampung Workwana, segitiga emas
merupakan tempat kerja yang bisa membuat pemuda atau laki-laki
dewasa berusaha mencari bahan makanan. Dengan begitu mereka tidak
menganggur di kampung dan tidak terjebak dalam hal-hal politik
sebagai separatis atau terlibat dalam aktivitas yang tidak bermanfaat
bagi diri dan keluaga serta masyarakat seperti mabuk-mabukan dan
sebagainya. Segitiga emas mempunyai makna yang bersifat ekonomi,
sosial-budaya dan lingkungan hidup bagi masyarakat di wilayah Distrik
Arso, khususnya meliputi tiga kampung yang disebutkan di atas. Secara
sosial-budaya, tempat ini sesungguhnya merupakan tempat rahasia
yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang, karena daerah ini
224

Resistensi Masyarakat di Workwana

merupakan tempat pelaksanaan ritus-ritus inisiasi adat masyarakat
setempat. Menurut Gusbager (2001), proses pendidikan sosio-kultural
dan pendewasaan anggota masyarakat sebenarnya berlangsung melalui
ritus inisiasi, sosialisasi peran dan fungsi sebagai laki-laki dewasa mulai
diperkenalkan melalui inisiasi di tempat ini. Karena itu dikatakan juga,
tempat ini secara kultural mempunyai fungsi religius karena di
dalamnya berdiam roh-roh leluhur masyarakat setempat bersama
dengan Kwembo, tokoh yang dipuja sebagai Pencipta dan Penguasa
alam semesta, dalam kepercayaan masyarakat setempat. Dari sisi
lingkungan hidup, di sini terdapat jenis-jenis flora dan fauna yang
sewaktu-waktu masih dapat dinikmati penduduk sesuai kebutuhan dan
keperluannya. Misalnya, untuk keperluan pembuatan rumah, kayu dan
bahan-bahan lain masih dapat diperoleh di tempat ini. Demikian juga
binatang buruan masih bisa di dapat di sini walaupun dari segi jumlah
dan jenis dari waktu ke waktu terus berkurang.
Namun menurut sejumlah informan di Workwana, fungsi awal
segitiga emas tersebut saat ini mulai terancam hilang karena diabaikan
oleh masyarakat yang hanya ingin mengeksploitasi dan memanfaatkan
berbagai sumber daya alam yang ada di dalamnya demi kepentingan
ekonomi semata-mata. Senada dengan pernyataan di atas, Servo
Tuamis juga mengatakan segitiga emas sekarang terancam karena ada
warga yang mulai berusaha menjualnya kepada pengusaha kayu dan
perkebunan sawit. Menurut penilaian sejumlah tokoh muda
masyarakat di Workwana sesungguhnya kelompok masyarakat ini
dahulu hidup secara arif mengatur dan mengolah alam sesuai dengan
hak-hak, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Artinya
fenomena ini menunjukkan bahwa pusat mata pencaharian masyarakat
setempat perlaha-lahan hilang seiring dengan perkembangan wilayah
Keerom sebagai daerah otonomi baru, sekaligus sebagai salah satu
daerah penyangga ekonomi di bidang pertanian bagi Kota Jayapura,
Abepura dan sekitarnya. Padahal pemanfaatan segitiga emas
sesungguhnya mengandung makna yang penting berkaitan dengan
adanya kesadaran masyarakat melindungi aset-aset komunalnya yang
sedang digiring ke dalam proses penghancuran hak-hak masyarakat
adat setempat atau hak-hak teritorial dan sistem tenurial masyarakat
225

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

adat. Dikatakan juga oleh salah seorang tokoh masyarakat adat di Arso,
keberadaan segitiga emas sekarang ini makin terancam juga karena
status hutan kampung Arsokota, Workwana, dan beberapa tempat lain
masuk dalam golongan Areal Penggunaan Lain (APL), yang mana izin
pemanfaatannya hanya dikeluarkan oleh bupati setempat. Artinya,
sewaktu-waktu bila pemerintah daerah membutuhkan, tanah-tanah
APL tersebut, bisa diambil dan digunakan oleh pemerintah atas nama
kepentingan pembangunan. Selain itu dikatakan juga oleh para
informan bahwa pengelolaan hutan yang lebih dikenal sebagai hak
penguasaan hutan (HPH) yang izinnya diatur dari pusat, kini diganti
dengan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat
(IPHHKMA).Tokoh masyarakat setempat menyatakan, pengelolaan
hutan melalui HPH ditetapkan dengan izin pemanfaatan kayu (IPK)
seluas 30 (tigapuluh) hektare per tahun, namun dalam setahun bisa
dikerjakan 60 (enampuluh) hektare hutan. Dengan demikian dapat
dikatakan pola pemanfaatan hutan memang diubah yakni dari
pemegang HPH ke masyarakat adat tapi sejatinya pengelolaannya tetap
sama, yaitu pemilik modal yang dikenal sebagai pemegang HPH.
Menurut tokoh masyarakat adat Arso trsebut, hal ini bisa terjadi
demikian karena adanya kelemahan masyarakat yakni masyarakat
tidak mempunyai modal yang diperlukan sedangkan yang mempunyai
modal adalah pengusaha-pengusaha besar. Tokoh masyarakat adat
tersebut,mengatakan, nama penggunaan hutan memang berubah tapi
sistemnya tetap sama dengan HPH. Dikatakannya, demikian pula
untuk IPHHKMA tidak ditentukan berapa besar luas hutan yang dapat
ditebang. Yang penting masing-masing orang mengambil dan
mengelola kayu di daerah yang menjadi hak ulayatnya.
Dari pengalaman di daerah segitiga emas ini muncul persoalan
antarmasyarakat adat pemilik hutan lindung tersebut. Dijelaskan
kembali oleh Pastor Ronny SVD beberapa waktu lalu di Arsokota
kepada penulis bahwa, ia pernah menginformasikan kepada Tim dari
Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) dan Aliansi Damai Papua (ALDP)
dalam sebuah pertemuan di Arsokota berkaitan dengan munculnya
masalah di daerah segitiga emas tersebut, pada tangga l 6 Mei 2014.
Kasus tersebut berawal dari adanya penebangan dan penggergajian
226

Resistensi Masyarakat di Workwana

kayu di daerah segitiga emas oleh sejumlah orang yang diminta oleh
salah seorang warga kampung tetangga. Karena diketahui oleh warga
Kampung Arsokota bahwa penebangan di hutan tersebut melanggar
kesepakatan bersama, maka masyarakat membakar dua sepeda motor
milik penebang kayu dan menghentikan kegiatan tersebut. Kemudian
masalah ini diteruskan pula oleh masyarakat Kampung Arsokota ke
pihak kepolisian tapi tidak diketahui hasilnya. Menurut informasi
Ronny SVD, rapat terkait masalah tersebut dihadiri tokoh-tokoh
masyarakat Arsokota, tokoh adat, tokoh perempuan dan pemudanya.
Dikatakannya masyarakat meminta dukungan yang serius dari berbagai
pihak untuk membantu mereka. Dijelaskan oleh Ronny SVD bahwa,
para tokoh adat yang hadir, sebagian besar adalah pemilik wilayah
Segitiga Emas yakni masyarakat adat di kampung Arsokota.
Menurutnya dalam rapat bersama tersebut masyarakat Kampung
Arsokota berkeberatan terhadap izin usaha perkebunan kelapa sawit
yang diberikan Bupati Keerom kepada PT Victory, karena dalam Surat
Perjanjian Pernyataan Pelepasan Hak Tanah Ulayat seluas 6.000
hektare di wilayah segitiga emas memang berada di tanah adat orang
Kampung Workwana, Wambes dan Arsokota. Namun ketika pelepasan
tanah itu terjadi, masyarakat Kampung Arsokota yang justru memiliki
bagian terluas dari tanah tersebut tidak dilibatkan. Ronny SVD
mengisahkan, yang paling mendasar diungkapkan masyarakat adat
Kampung Arsokota, mereka tidak mau melepaskan tanah itu karena
daerah tersebut merupakan sumber kehidupan mereka dan sekaligus
juga merupakan hutan lindung yang sarat dengan tempat-tempat
keramat masyarakat setempat. Lanjutnya, “Meskipun investasi masuk
Keerom, tapi masyarakat wilayah Arso tidak mendapatkan dampak
positifnya, mereka tetap pergi ke hutan, mencari kayu api, mencari
ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dikatakan
oleh Ronny SVD, masyarakat di daerah ini ternyata masih sangat
tergantung pada hutan yang disebut segitiga emas tersebut. Dalam
pertemuan itu dijelaskan oleh Frans Tafor salah satu tokoh adat
Kampung Arsokota bahwa tanah tersebut (segitiga emas) merupakan
hasil rampasan perang zaman dulu yang dikuasai oleh orang Arso. Ada
sembilan marga pemilik tempat tersebut yaitu marga Tuamis, Taigat,
227

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Borotian, Nouyagir, Kiayambe, Girbes, Giryar, Kyawot dan Tafor.
Kesembilan marga tersebut menyerahkan penanganan kasus mereka
kepada YTHP dan AlDP yang didukung oleh tim kerja dari masingmasing marga.

Ketujuh, resistensi penduduk dilakukan dengan mengadakan
upacara adat di perkebunan kelapa sawit. Infromasi yang penulis
terima berkaitan dengan resistensi penduduk terjadi pada akhir tahun
2016. Pada saat diadakan upacara adat yang mana secara simbolis bibit
kelapa sawit diserahkan kembali kepada perusahaan dan segumpal
tanah diambil kembali penduduk. Menurut Servo Tuamis, uparaca
tersebut mengandung arti bahwa tanah masyarakat secara adat diambil
kembali dan kelapa sawit dikembalikan kepada perusahaan. Dikatakan
juga dalam upacara tersebut ada ancaman, tidak boleh ada lagi yang
memanen kelapa sawit di seluruh wilayah kebun Arso. Bila ada yang
melanggar kesepakatan tersebut, resiko ditanggung sendiri oleh pelaku
yang memanen kelapa sawit. Peristiwa ini kemudian disikapi oleh
anggota DPRD Keerom yang diwakili oleh Kondrat Gusbager anggota
Komisi B yang membidangi masalah kelapa sawit. Kondrat
mengusulkan membentuk tim khusus untuk menyelesaikan
permasalahan ini dengan menyatakan, Pemda Kabupaten Keerom dan
Pemda Provinsi Papua harus segera menyelesaikan persoalan
masyarakat adat ini karena sudah bertahun-tahun masalah kebun
kelapa sawit PPTPN II tidak diselesaikan (Cepos, 26 Mei 2016).

Kedelapan, Akumulasi pengalaman masyarakat yang dirasakan
merugikan dan mengandung ketidakadilan atas hak-hak tanah ulayat
kemudian secara resmi dirumuskan juga dalam surat Dewan Adat
Keerom, berisikan pernyataan sikap memberikan kuasa kepada
Komnas HAM RI Provinsi Papua tanggal 14 Maret 2011 untuk
memediasi tuntutan masyarakat yang ditandatangani oleh Kepala suku
Arsokota, Kepala suku Kaya, Kepala suku Manem dan para
Yuskwondor, Ketua Forum Perempuan dan Ketua Forum Pemuda
masyarakat Arso. Pernyataan sikap masyarakat tersebut turut
ditandatangi Dewan Adat Keerom yang terdiri dari Ketua Dewan Adat
Arso, Ketua Dewan Adat Skanto dan Ketua Dewan Adat Kabupaten
228

Resistensi Masyarakat di Workwana

Kerom. Sedangkan yang menjadi mediator Komnas HAM Papua ialah
M. Ridha Saleh dan Andriani Salman Walli anggota Komisioner
Perwakilan Papua Sub Komisi Mediasi. Pada tanggal 26 Oktober 2011,
Mediator Komnas HAM bersama Juru Runding Masyarakat Adat Arso,
Juru Runding PTPN II dan Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemda
Provinsi Papua menyepakti penundaan perundingan yang dituangkan
dalam Berita Acara Penundaan Perundingan Mengenai Sengketa Lahan
Antara Masyarakat Adat Arso Dengan PTPN II di Kabupaten Keerom
Provinsi Papua. Isi berita acara penundaan tersebut memuat beberapa
hal, antara lain pihak yang terlibat dalam proses mediasi sepakat
menunda sidang yang kelanjutannya akan ditetapkan kemudian;
Pemerintah Provinsi akan melakukan rapat koordinasi dengan
Pemerintah Kerom dan Pemerintah Kabupaten Jayapura serta pihak
PTPN II untuk mengklarifikasi serta mencari titik temu sengketa hak
dasar tanah ulayat masyarakat Arso; hasil rapat koordinasi tersebut
akan dikomunikasikan kepada Komnas HAM Papua untuk melakukan
mediasi lanjutan; dan selama menunggu proses mediasi lanjutan para
pihak sepakat menjaga kondisi damai dan menjalin komunikasi. Surat
penundaan mediasi dimaksud ditandatangi oleh Mediator M. Ridha
Saleh, Komisioner Perwakilan Papua Andriani Salman Walli,
Masyarakat Adat Arso Servo Tuamis, Longginus Fatagur, Fitalis
Yanofrom, Paulus Kyambe, Robby Borotian, Herman Fatagur dan
Mikael Fatagur, Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemerintah Daerah
Provinsi Papua Petrus Korowa dan perwakilan PTPN II Kebun Arso J.
Worengga, H. Manurung, Nofri Jekson, Hamdan Rosidi, Aramansyah
dan Fabianus Tafor. Urusan ini kemudian berlanjut pada tanggal 5
September 2012, dengan membuat kesepakatan bersama yang isinya
Dewan Adat menyetujui program revitalisasi perkebunan kelapa sawit
kebun plasma PTPN II Kebun Arso. Sedangkan permasalahan tanah
adat tetap harus diselesaikan oleh pemerintah dengan melalukan
pertemuan Dewan Adat Keerom, LMA Keerom dengan Bupati Keerom.
Kemudian meminta kerja sama kemitraan antara PT Victory
Cemerlang dengan Dewan Adat Keerom yang difasilitasi oleh Dinas
Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua. Surat kesepakatan ini
ditandatangi oleh Ir La Saharun M.Si dari Dinas Perkebunan dan
229

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Peternakan Provinsi Papua, Abdurrahman Abd. Karim SP dari Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom, Gideon Fonataba B.Sc
dari Kantor Pertanahan Kabupaten Keerom, Ir. Robert Purba MBA dari
PTPN II Kebun Arso, J. Hutapea SH dari DPW Akpindo Provinsi
Papua, Serfinus Tuamis Ketua Pokja Adat Dewan Adat Keerom,
Sarifudin Ketua Koperasi Ngkawa Afdeling II, Nixon Sraum Ketua
Koperasi Aryatmi Afdeling I.

Hambatan dan Peluang Penyelesaian Sengketa Tanah
Hambatan Regulasi
Ada berbagai hambatan yang dialami masyarakat Kampung
Workwana dan Arsok

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

2 3 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB V

0 1 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB III

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB II

0 1 63

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Diri & Persepsi Diri Orang Papua Gunung & Orang Papua Pantai dalam Membentuk Pola Komunikasi

0 0 14