Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB II

BAB 2
PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN

COLLECTIVE ACTION
Bagian ini memuat perspektif Livelihood dengan tekanan
mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari
pemikiran Chambers dan Conway serta pemikir lain tentang
permasalahan Livelihood pedesaan yang berkelanjutan. Selain itu
kajian studi literatur ini juga memuat sejumlah tinjauan mengenai
social movement dan collective action. Social movement dan collective
action ditempatkan di sini untuk meneropong lebih jauh aktivitasaktivitas
bersama
kelompok
masyarakat
dalam
rangka
memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.

Latar Belakang Konsep Livelihood
Bagian ini merupakan pembahasan tentang pemikiran
Chambers dan Conway (1991) mengenai Livelihood dan Sustainable

Livelihood. Istilah Livelihood dan Sustainable Livelihood yang
digunakan dalam tulisan ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia karena beberapa tulisan tentang pokok ini dalam bahasa
Indonesia dari sejumlah studi yang dibuat ada yang mengartikannya
sebagai penghidupan atau mata pencaharian bahkan juga dilihat
sebagai nafkah. Selanjutnya, dalam tulisan ini Livelihood dilihat atau
diartikan sebagai penghidupan.
Chambers dan Conway berpendapat bahwa telah terjadi
perubahan yang begitu cepat dalam semua bidang kehidupan manusia.
Gejala-gejala perubahan dimaksud dapat diamati pada aspek ekologi,
ekonomi, intelektual, profesi, psikologi, sosial dan teknologi. Dikatakan
19

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

secara khusus terjadi perubahan dan perkembangan yang luar biasa
pada aspirasi manusia yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan
akses informasi. Berkaitan dengan akselerasi perubahan, secara
kontekstual terdapat dua hal yang belum pernah ada sebelumnya yaitu,

pertama, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, cara-cara dan perilaku umum
yang berlaku di masyarakat ditinggalkan; kedua, kondisi masa depan
menjadi lebih pelik dan sulit diprediksi. Menurut keduanya, dalam
kondisi seperti itu kita menghadapi masa depan yang tak menentu,
berlangsung dalam perubahan yang cepat dan kita akan tertinggal
bahkan keliru mengantisipasi masa depan. Sehingga muncul suatu
prediksi, akan terjadi bencana alam dan wabah penyakit sebagai
bencana masif berkepanjangan, dan pada abad ke-21 populasi manusia
akan bertambah besar dari masa sebelumnya. Akibatnya beban
pertumbuhan akan menimbulkan meluasnya daerah-daerah miskin
dan diproyeksikan sampai tahun 2025, tiga perempat penduduk dunia
di daerah-daerah yang berpendapatan menengah akan memperoleh
pendapatan yang rendah. Keadaan ini mempunyai implikasi bagi
strategi pembangunan kota dan desa yang sangat besar. Menurut
keduanya, ketika jutaan orang terperangkap dalam kemiskinan secara
masif tanpa mengetahui sebabnya dan bila tidak diantisipasi
pertambahan penduduk yang begitu banyak di masa depan, kita sulit
mencapai tingkat kehidupan yang adil, memadai dan pantas. Keadaan
demikian merupakan situasi yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan.
Chambers dan Conway mengungkapkan, walaupun banyak penjelasan

dan argumen dalam tulisan yang dibuat ini dapat diterapkan pada
kondisi masyarakat urban, tetapi sesungguhnya keduanya lebih
berfokus pada kondisi masyarakat pedesaan.
Chambers dan Conway lebih memperhatikan kondisi hidup
masyarakat pedesaan karena alasan-alasan berikut: pertama,
kebutuhan-kebutuhan orang miskin pedesaan nampaknya tidak akan
diperhatikan di masa depan. Hal ini disebabkan karena, aspirasi dan
kebijakan organisasi politik yang muncul serta pengaruh perkotaan
terpusat pada sumber-sumber daya di wilayah perkotaan; kedua,
sejumlah besar orang dapat hidup dengan layak di wilayah perkotaan,
tanpa tekanan dan kesulitan, tetapi banyak pengalaman dalam
20

Perspektif Livelihood dan Collective Action

pembangunan menunjukkan perlu dicari cara-cara membangun untuk
mendukung lebih banyak orang di wilayah pedesaan; ketiga, strategi
pembangunan dan lingkungan di abad ke-21 sesungguhnya berpusat
pada masyarakat, keadilan dan hidup berkelanjutan, akan tetapi
senyatanya banyak dari antara masyarakat mengalami kerentanan dan

kertersisihan. Keaadan ini memunculkan pertanyaan yang menantang
yaitu, bagaimana dapat mempercepat dan memperbesar jumlah orang
yang dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya berdasarkan
Livelihood pedesaan secara berkelanjutan?
Selanjutnya keduanya mempertanyakan, bagaimana mencari
petunjuk dan jawaban atas pertanyaan tentang beberapa aspek pokok
yang perlu diuji berkaitan dengan analisis konvensional ilmu
pengetahuan sosial. Dua hal yang disebutkan ialah perlu
memperhatikan kelemahan analisis profesional konvensional dan halhal fundamental dalam Livelihood yang terdiri dari kapabilitas,
keadilan dan keberlanjutan. Dalam konteks perubahan yang begitu
cepat dan ketidakpastian, sering dipertentangkan konsep-konsep
kovensional dan konservatif, berkaitan dengan nilai-nilai, metodemetode dan perilaku. Dikatakannya ada tiga bentuk pemikiran yang
diajarkan dan digunakan dalam analisis yang bertentangan dengan
semangat perubahan, yaitu production thinking, employment thinking
dan poverty-line thinking. Pertama, menurut perspektif production
thinking, berbagai masalah seperti kelaparan, ketiadaan nutrisi, dan
malnutrisi merupakan masalah produksi (penghasilan) atau berkaitan
dengan jenis-jenis makanan yang diproduksi. Kedua, dalam perspektif
employment thinking, masalah kemiskinan dilihat sebagai keadaan
tanpa pekerjaan. Dengan demikian masyarakat ideal adalah suatu

masyarakat yang berada dalam keadaan di mana setiap anggotanya
mempunyai pekerjaan. Tetapi dalam kenyataan di daerah pedesaan
banyak orang hidup dalam keadaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi. Ketiga, perspektif poverty-line
thinking. Menurut perspektif ini deprivasi dipahami dalam terminologi
kemiskinan bagaikan sebuah garis lurus yang panjang berdasarkan
ukuran pendapatan atau konsumsi dan jasa semata-mata. Padahal
deprivasi dan kesejahteraan seperti yang dialami orang miskin
21

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

pedesaan mempunyai banyak dimensi yang tidak dapat dijelaskan
dengan ukuran-ukuran tersebut. Jadi menurut Chambers dan Conway
ketiga bentuk analisis tadi mempunyai dua kelemahan, yakni pertama,
pemikiran-pemikiran tersebut merupakan cara berpikir dunia industri;
kedua, terjadi pereduksian nilai untuk mempermudah pengukuran
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.
Setelah melihat kelemahan analisis yang dikritik Chambers dan

Conway, perlu disimak pula penjelasan keduanya tentang hal-hal
fundamental Livelihood yang terdiri dari kapabilitas (capability),
keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Keduanya
menyatakan, ketiga aspek tersebut saling berkaitan sebagai suatu
paradigma pembangunan yang mempunyai sisi normatif dan praktis
untuk pencapaian Livelihood yang memadai. Selain itu kerangka
berpikir ini dapat digunakan juga untuk meredam konflik dan
mendukung pencapaian tujuan hidup masyarakat secara timbal balik.
Chambers dan Conway menjelaskan, istilah kapabilitas
digunakan merujuk pada konsep Amartya Sen (1999), yakni
kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berfungsi untuk
melakukan sesuatu, termasuk kemampuan manusia untuk mengatasi
tekanan dan goncangan serta untuk memanfaatkan peluang-peluang
yang diperoleh dalam Livelihood. Dengan kata lain kapabilitas
merupakan sesuatu yang bermakna, dapat mendukung dan
memungkinkan tercapainya Livelihood secara memadai. Dengan
demikian hidup yang berkualitas nampak pada aktivitas yang
bermakna dan terbuka bagi seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan. Jadi kapabilitas
tidak bersifat reaktif, tapi merupakan sebuah respon terhadap kondisikondisi hidup manusia yang berubah. Dalam kapabilitas ada

kemampuan yang bersifat proaktif dan adaptif untuk menyesuaikan
diri secara dinamis dengan situasi yang ada, termasuk kemampuan
melihat peluang untuk mendapatkan akses dan memperoleh pelayanan
serta informasi, mengusahakan masa depan, melakukan percobaan dan
inovasi, berkompetisi dan berkolaborasi dengan yang lain, bisa
menguasai situasi baru dan sumber-sumber daya yang ada. Kemudian
22

Perspektif Livelihood dan Collective Action

aspek equity atau keadilan. Secara konvensional equity digunakan
sebagai ukuran yang relatif berhubungan dengan distribusi
pendapatan. Tetapi dalam perkembangannya kata tersebut kemudian
juga digunakan dalam arti yang lebih luas, berkaitan dengan masalah
kapabilitas, ketidakadilan pendistribusian aset-aset dan peluangpeluang perbaikan hidup yang hilang di masyarakat. Equity juga dapat
dikaitkan dengan persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan,
golongan minoritas dan semua orang yang lemah, seperti kaum urban
dan kaum miskin pedesaan yang tak berdaya. Sedangkan sustainability
dikatakan mengandung nilai, makna dan tujuan, terkait dengan sumber
daya hidup secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi

yang akan datang. Dari sisi pembangunan dan lingkungan,
Sustainability mengacu pada pandangan dunia global yang baru terkait
dengan polusi, pemanasan global, deforestasi, eksploitasi tak terbatas
terhadap sumber-sumber daya yang tak dapat diperbaharui dan adanya
degradasi lingkungan. Menurut keduanya, semua istilah tersebut itu
hanyalah bersifat verbalistik bila tidak ditindaklanjuti dengan langkahlangkah konkrit jangka panjang. Langkah-langkah kongkrit
dibutuhkan karena dunia secara global mengalami ancaman
keterbatasan sumber daya alam akibat konsumsi yang boros dan polusi
di satu sisi serta dampak dari derasnya pertumbuhan populasi
penduduk dunia di sisi lain. Dalam keadaan biasa Sustainability
mengandung arti berkecukupan bagi diri sendiri. Sebagai suatu ideologi
sustainability berhubungan juga dengan pengendalian diri dan nasib
manusia jangka panjang. Selain itu pandangan ini digunakan juga
untuk menyoroti gaya hidup atau life styles yang menganggap remeh
kehidupan di bumi. Misalnya berkaitan dengan penggunaan pupukpupuk kimia di bidang pertanian serta rendahnya kesadaran
mengembangkan pertanian organik. Hal ini sesungguhnya dapat
dilakukan oleh institusi-institusi terkait untuk meningkatkan
pendapatan atau penghasilan, mendukung usaha-usaha masyarakat
sebagai proses pengembangan diri sendiri tanpa subsidi atau bantuan.
Livelihood, dalam konteks sosial, menggunakan Sustainability

berfokus pada cara memaknai kemungkinan memelihara atau
meningkatkan aset-aset lokal dan global sesuai kapabilitas manusia
23

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

sebagai upaya mewujudkan kemandirian Livelihood. Setelah melihat
latar belakang pemikiran Chambers dan Conway tentang permasalahan
Livelihood dan Sustainable Livelihood, khususnya di pedesaan, berikut
dibuat penjelasan lebih jauh mengenai paham-paham dimaksud.

Livelihood
Pokok ini merupakan bagian kedua dari pembahasan dalam
makalah tersebut yang berhubungan dengan paham Livelihood dan
Sustainable Sivelihood. Penjelasan pemikiran Chambers dan Conway
tentang Livelihood dibagi dalam tiga subtema. Ketiga subtema
dimaksud ialah pertama, Livelihood Sustainability sebagai suatu konsep
yang terintegrasi; kedua, faktor-faktor penentu Livelihood; ketiga,
human livelihood yang alamiah.


Sustainability Livelihood sebagai Konsep yang Terintegrasi
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa aspek kapabilitas
(capabilities), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability),
merupakan satu keterpaduan dalam konsep Sustainability Livelihood.
Dikatakan demikian karena kapabilitas mendukung peningkatan usaha
yang menguntungkan dalam Livelihood. Equity dalam Livelihood
berkaitan dengan hak-hak yang adil dalam pemanfaatan aset dan akses
yang menguntungkan. Sedangkan Sustainability atau berkelanjutan
berhubungan dengan perihal sumber daya kehidupan yang bermakna,
penyediaan kondisi-kondisi Livelihood yang berkelanjutan bagi
generasi yang akan datang.
Gagasan-gagasan mengenai konsep Livelihood dikembangkan
oleh World Commision on Environment and Developmnet (WCED)
dengan usulan yang disebut Sustainable Livelihood Security (SLS)
sebagai suatu konsep yang terpadu. Rumusan Sustainable Livelihood
Security berbunyi sebagai berikut:
Livelihood is defined as adequate stocks and flows of food
and cash to meet basic need. Security refers to secure
ownership of, or access to, resources and income-earning

activities, including reserves and assets to offset risk, ease

24

Perspektif Livelihood dan Collective Action

shocks and meet contingencies. Sustainable refers to the
maintainance or enhancement of resource productivity on a
long-term basis. A household may be enabled to gain
sustainable livelihood security in many ways-through
ownership of land, livestock or trees; rights to grazing,
fishing, hunting or gathering; through stable employment
with adequate remuneration; or through varied repertoires of
activities.

Berikut ini penulis mencoba membuat terjemahan bebas
tentang rumusan Sustainable Livelihood Security (SLS) sebagai berikut:
Livelihood didefinisikan sebagai ketersediaan barang-barang, makanan
dan uang secara memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar manusia. Security merujuk pada kemungkinan-kemungkinan
seseorang atau sekelompok orang beraktivitas untuk memperoleh
barang-barang yang bersifat pribadi atau adanya akses-akses terhadap
sumber-sumber penghidupan dan pendapatan yang aman serta asetaset untuk penanggulangan resiko, meredakan goncangan. Unsur
Sustainable mengacu pada pemeliharaan atau pengembangan sumbersumber penghidupan yang produktif dalam jangka waktu yang
panjang. Dengan demikian suatu rumah tangga dimungkinkan
memperloleh livelihood berkelanjutan yang aman dengan berbagai
cara, memiliki tanah, ternak atau jenis-jenis tanaman; dengan hak-hak
sebagai peternak, nelayan, pemburu atau peramu; mempunyai
pekerjaan yang tetap dengan imbalan yang memadai; melalui aktivitasaktivitas yang bervariasi.
Berdasarkan definsi WCED di atas, Chambers dan Conway
mengusulkan definisi kerja tentang Sustainable Livelihood (SL)
sebagaimana termuat dalam tulisan mereka yang berjudul Sustainable
Rural Livelihood: Practical Concepts for the 21st Century, berikut ini:
A livelihood comprises the capabilities, assets (stores,
resources, claims and acces) and activities required for a
means on living: a livelihood is sustainable which can cope
with and recover from stress and shocks, maintain or
enhance its capabilities and assets and provide sustainable
livelihood opportunities for the next generation; and which
contributes net benefits to other livelihoods at the local and
global levels and in the short and long term.

25

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Suatu Livelihood terdiri dari kapabilitas, aset-aset (barangbarang, sumber-sumber penghidupan, hak-hak dan akses-akses) dan
aktivitas-aktivitas yang bermakna bagi kehidupan; suatu Livelihood
disebut berkelanjutan jika dapat menangkal dan memulihkan tekanan
serta goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas dan asetaset serta menyediakan peluang-peluang Livelihood secara berkelanjutan bagi generasi yang akan datang; dan dapat berkontribusi dengan
berjejaring pada Livelihood lainnya di tingkat lokal dan global dalam
jangka pendek dan jangka panjang.
Senada dengan pemikiran di atas, Lasse Krantz (2001) dalam
tulisan berjudul The Sustainable Livelihood Approach to Proverty
Reduction An Introduction, menyatakan definisi tentang Livelihood
pada umumnya disepakati penggunaannya oleh para ahli berkaitan
dengan kehidupan rumah tangga (household), sebagaimana dijelaskan
Chambers dan Conway. Hal yang sama juga berlaku terhadap
pandangan tentang kesejahteraan dan akses baik pada tataran individu
di dalam rumah tangga, maupun secara lebih luas pada tataran keluarga
besar (extended family), kelompok sosial, dan komunitas.
Selanjutnya dikatakan baik oleh Chambers dan Conway
maupun Krantz, jenis-jenis komponen Livelihood bersifat kompleks.
Livelihood bisa meliputi, aset dan akses. Pertama, aset-aset. Yang
dimaksud dengan aset-aset adalah sesuatu yang digunakan orang dalam
hidupnya, meliputi aset yang kelihatan (tangible) dan yang tak
kelihatan (intangible). Aset-aset yang kelihatan seperti bahan
makanan, emas, perhiasan dan uang. Aset juga bisa berupa sumber daya
alam seperti, tanah, air, pohon-pohon, ternak, kebun dan berbagai
peralatan. Di samping itu juga ada aset-aset yang tidak kelihatan seperti
cita-cita dan dukungan moral untuk melakukan sesuatu. Kedua, akses.
Akses merupakan peluang yang ada dalam hidup untuk mendapatkan
sesuatu seperti sumber daya alam, tempat berbelanja, atau akses untuk
mendapatkan pelayanan atau informasi, barang-barang, teknologi,
pekerjaan, makanan atau pendapatan. Oleh sebab itu menurut
Chambers dan Conway perlu diperhatikan kapasitas internal
Livelihood agar dapat dikembangkan kemampuan bertahan melawan
26

Perspektif Livelihood dan Collective Action

tekanan dari luar, sehinga dapat mengatasi tekanan dan goncangan.
Tekanan (streses) di sini diartikan sebagai ancaman yang berkelanjutan
secara tipikal dan kumulatif. Tekanan yang berkelanjutan berpengaruh
menimbulkan goncangan atau shock. Keadaan tersebut secara tipikal
tersembunyi, tidak dapat diramalkan dan bersifat traumatik, seperti
ketika berhadapan dengan kebakaran, banjir, dan situasi epidemik
tertentu.
Selanjutnya menurut Krantz, sejumlah penulis ketika
mendefinisikan Livelihood Sustainability menempatkan di dalamnya
aspek makna untuk menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai
kapabilitas untuk menjauhi atau menghindarkan diri, termasuk
kebiasaan bertahan dan kemampuan memulihkan diri dari tekanan dan
goncangan yang dihadapi. Oleh karena itu menurut Krantz, tulisan
Chambers dan Conway mempunyai arti yang penting karena
menjelaskan konsep Sustainable Livelihood, yang kemudian dapat
dikembangkan. Selain pembahasan Chambers dan Conway serta
Krantz mengenai Sustainable Livelihood, akan dijelaskan pula catatan
lain yang serupa menurut Institute for Development Studies (IDS) dan
Departement for International Development (DFID) seperti yang
terdapat dalam catatan Krantz dan Scoone (1998).
Menurut Krantz, definisi Sustainable Livilihood yang
dimodifikasi oleh Institute for Development Studies (IDS) dari
Universitas Sussex, Brington, United Kingdom (UK), sebagaimana
dilaporkan Ian Scoones, adalah sebagai berikut:
A livelihood comprises the capabilities, assets (including both
material and social resources) and activities required for a
means of living. A livelihood is sustainable when it can cope
with and recover from stresses and shocks, maintain or
enhance its capabilities and assets, while not undermining
the natural resource base.

[Suatu Livelihood berisikan kapabilitas, aset-aset (termasuk
sumber-sumber daya material dan sosial) serta aktivitas-aktivitas yang
bermakna bagi suatu kehidupan. Suatu livelihood berkelanjutan
bilamana dapat menangkal dan memulihkan ketegangan dan
27

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas serta aset-aset,
namun tidak mengurangi sumber-sumber daya alam yang pokok]
Jadi menurut IDS, seperti yang dicatat Scoones, Livelihood
dilihat berisikan aspek-aspek yang mengandung kapabilitas dan aset
yang terdiri dari sumber daya material maupun sumber daya sosial.
Dengan demikian Sustainable Livelihood dipahami sebagai kekuatan
yang dapat menguasai dan memulihkan tekanan dan goncangan,
memelihara atau mempertinggi kapabilitas dan aset-aset, tanpa
mengurangi sumber daya alam yang pokok. Menurut Krantz perbedaan
pokok antara definisi IDS dengan rumusan awal yang dielaborasi oleh
Chambers dan Conway tidak memasukkan aspek rekrutmen atau
pengembangan
Livelihood
agar
sungguh-sungguh
menjadi
berkelanjutan sebagai kontribusi yang bermanfaat dari hubungan
antar-livelihood. Dikatakannya, walaupun definisi Livelihood versi
IDS kurang mengandung banyak persyaratan tetapi rupanya lebih
realistik.
Sedangkan rumusan lain muncul dari Departement for
International Development (DFID), yang berasal dari Inggris sebagai
kerangka tentatif untuk menganalisis Sustainable Rural Livelihoods,
sebagai kontribusi IDS yang diadopsi dan dielaborasi oleh Scoone. Ada
tiga elemen penting, yaitu, a. Livelihood Resources (sumber-sumber
daya penghidupan). b. Livelihood Strategies (strategi-strategi
penghidupan). c. Institusional Processes and Organizational Studies
(proses-proses institusional dan studi-studi organisasi). Pertama,
dijelaskan lebih lanjut bahwa Livelihood Resources, terdiri dari unsurunsur dasar yang bersifat material dan sosial serta aset yang kelihatan
dan tidak kelihatan yang digunakan masyarakat untuk membangun
hidupnya. Hal ini secara konseptual berbeda dari jenis-jenis modal
yang menekankan peranan modal-modal sebagai sumber daya utama
(Sachs, 2005), di mana Livelihood dikonstruksikan. Ada empat tipe
kapital atau modal yang diindentifikasi dalam kerangka kerja IDS,
yaitu natural capital, economic or financial capital, human capital dan

28

Perspektif Livelihood dan Collective Action

social capital1. Menurut Scoones sebagaimana dijelaskan Krantz,
menarik untuk menggunakan secara terpadu jenis-jenis aset yang
berbeda sebagai modal masyarakat mengembangkan hidupnya. Oleh
karena itu perlu mengindentifikasi jenis-jenis Livelihood Resources
sebagai modal atau kapital untuk mengembangkan strategi Livelihood
melalui langkah-langkah proses analisis. Kedua, berkenaan dengan
strategi Livelihood dikatakan, masyarakat sendiri harus menjadi
subyek analisis dan konsisten memadukan aktivitas-aktivitas yang oleh
Scoone disebut “Livelihood Portofolio”. Suatu portofolio boleh jadi
merupakan spesialisasi dan berpusat pada satu atau beberapa aktivitas,
yang barangkali berbeda, dengan demikian dapat diuraikan faktorfaktor penting di samping suatu strategi terpadu.
Selain itu, perbedaan “livelihood pathways” (peluang-peluang
kecil livelihood) bisa diusahakan melampaui waktu dan di antara masa
yang lebih panjang, antargenerasi, dan akan bergantung pada jenisjenis pilihan, langkah di mana rumah tangga berada dalam lingkaran
domestik atau secara lebih fundamental ada dalam perubahan secara
lokal karena kondisi eksternal. Untuk menganalisis secara terpadu
Livelihood
masyarakat dapat digunakan pendekatan sejarah.
Akhirnya, dikatakan frekuensi strategi Livelihood sangat berbeda
antara individu-individu dan rumah tangga bergantung pada
perbedaan aset yang dimiliki, tingkat pendapatan, gender, usia,
golongan, status sosial dan politik. Suatu pendekatan analisis sosial
yang berbeda diperlukan bagi strategi Livelihood. Untuk memahami
kompleksitas dan proses-proses pembedaan melalui mana Livelihood
dikonstruksikan, menurut Scoones tidak cukup menganalisis aspekKerangka kerja IDS menyebutkan, Natural capital, terdiri dari persediaan sumber daya
alam seperti tanah, air, udara, sumber daya alam turunan lainnya serta jasa-jasa
lingkungan seperti pompa air, pengatur udara dan sebagainya. Economic or financial
capital, seperti uang, sistem kredit dan debit, tabungan, dan aset-aset ekonomi lainnya
termasuk infrastruktur dasar serta alat-alat produksi dan tekonologi. Semuanya ini
merupakan hal-hal penting pada umumnya dicari dalam rangka mengembangkan
strartegi livelihood.Human capital, terdiri dari ketrampilan, pengetahuan, kemampuan
kerja, kesehatan yang baik, kemampuan fisik, penting untuk keberhasilan mencari
strartegi livelihood yang berbeda. Selanjutnya Social capital, adalah sumber-sumber
daya sosial seperti, jejaring sosial, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi, asosiasiasosiasi,
1

29

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

aspek sumber daya Livelihood dan strategi yang berbeda sebagai
elemen-elemen yang terpisah. Salah satu hal yang harus juga dianalisis
bersama-sama ialah proses institusional dan struktur organisasi yang
berhubungan dengan berbagai unsur yang ada. Ketiga, secara khusus
penting adanya investigasi tentang subyek dalam konteksnya. Scoones
menunjukkan bahwa institusi-institusi yang didefinisikan sebagai
aturan-aturan praktis atau ketentuan-ketentuan perilaku terstruktur
oleh aturan dan norma-norma masyarakat yang mana digunakan secara
terus-menerus dan meluas. Institusi-institusi boleh jadi bersifat formal
atau informal, bersifat tidak stabil dan ambigu serta menginspirasi
suatu frekuensi kekuatan. Dengan begitu institusi-institusi, langsung
atau tidak langsung menjadi penghubung ke akses sumber-sumber daya
Livelihood yang mana pada gilirannya berdampak pada pilihan strategi
Livelihood dan bagi ruang lingkup Livelihood berkelanjutan. Karena
itu yang mau diggarisbawahi di sini terkait dengan insititusi ialah
institusi diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial dan dinamika
kekuatan yang tersembunyi, sebagai sesuatu yang vital.
Menurut Krantz, secara teoritis memungkinkan untuk
menganalisis dimensi-dimensi dan elemen-elemen Sustainable
Livelihood yang bervariasi. Namun lebih sulit menentukan mana
faktor-faktor penting dalam situasi riil, sebab masing-masing
mempunyai situasi unik dan karena itu dibutuhkan analisis konteks
yang khusus. Sebab apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang penting
dan memuaskan atau tidak memadai sebagai Livelihood bersifat
subyektif. Oleh karena itu secara esensial analisis Sustainable
Livelihood melibatkan orang setempat dengan pengetahuan, persepsi
dan interes mereka sebagai suatu kekuatan. Ini merupakan suatu
praktek yang menghargai orang setempat sebagai analis utama yang
menggunakan konsep-konsep mereka sendiri. Sesudah melihat
pemahaman yang terintegrasi mengenai Sustainable Livelihood baik
yang diusulkan oleh WCED yang dicacat Chambers dan Conway,
Krantz dan Scoone, berisikan konsep-konsep capabilities, equity dan
sustainability. Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang
menentukan Livelihood.
30

Perspektif Livelihood dan Collective Action

Faktor-faktor yang Menentukan Livelihood
Ada sejumlah hal yang merupakan faktor penentu keberlangsungan Livelihood. Faktor-faktor dimaksud akan dilihat dari
beberapa sudut pandang yang diangkat oleh beberapa pemikir
Livelihood. Pertama, Chambers dan Conway (1991), berbicara
mengenai pengaruh kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti
pengalaman di India, termasuk kemungkinan memanfaatkan peluang
perubahan yang ada, seperti pendidikan dan migrasi. Kedua, catatan
Krantz (2001), juga merupakan masukkan penting yang melihat
kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood, sekaligus
menawarkan sejumlah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan
pedesaan. Ketiga, Saragih dkk.,(2007), dengan pengalaman di Aceh
dan Nias menawarkan pendekatan pengelolaan (manajemen)
Sustainable Livelihood dengan memperhatikan faktor-faktor penentu
keberhasilan Livelihood, yakni bersifat people-centered, holistik,
dinamis, memperhatikan hubungan aspek makro dan mikro,
keberlanjutan. Dengan demikian akan terjadi keberlanjutan
lingkungan (ekologi), ekonomi, sosial dan kelembagaan. Keempat,
tawaran berbagai strategi Sustainable Livelihood. Cambers dan Conway
(1991), Butler & Mazur (2007), menawarkan strategi pengembangan
Livelihood melalui diversifikasi Livelihood berdasarkan pengalaman
masyarakat pedesaan di Uganda. Selain Butler dan Mazur, Ian Scoones
(2009), menawarkan tiga macam strategi pengembangan Sustainable
Livelihood yaitu, intensifikasi dan ekstensifikasi, diversifikasi dan
migrasi. Strategi lain juga dari Nigeria Tengah dikemukakan oleh
Morse, Mc Namara dan Acholo (2009) yakni, melakukan intervensi
pendekatan Sustainable Livelihood (SLA) terhadap penduduk di desa
melalui usaha kredit mikro.
Faktor pertama, kebiasaan dan pengaruh perubahan. Chambers
dan Conway mengemukakan, pengalaman dan kebiasaan desa-desa di
India. Keduanya menjelaskan bahwa anak-anak di India lahir dalam
golongan masyarakat yang secara sosiologis berada dalam hirarki kastakasta yang mempunyai berbagai peranan. Satu, misalnya, ada yang
menjadi pembuat barang-barang tembikar, sebagai gembala ternak atau
31

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

pencuci pakaian. Artinya secara sosial peranan laki-laki dan
perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu aktivitas
Livelihood sebagaimana digambarkan sebelumnya. Dua, bila bukan
merupakan suatu kebiasaan, seseorang tentu lahir, berada dan menyatu
di dalam suatu Livelihood sebagai bagian dari keluarga atau masyarakat
di mana ia berada. Misalnya, seorang anak merupakan bagian dari
keluarga yang sudah mempunyai lahan dan peralatan-peralatan rumah
tangga untuk berusaha, atau sebagai seorang gembala dengan ternakternak, sebagai seorang pengembara di tengah hutan atau sebagai
seorang nelayan dengan perahu dan alat penangkap ikan atau sebagai
seorang pengusaha dengan barang-barang yang dimiliki. Dengan kata
lain seseorang dapat pula berada dalam situasi Livelihood yang sudah
disediakan keluarga sebagai kekayaan yang dinikmati oleh generasi
berikut dari keluarga tersebut. Tiga, dalam kenyataan juga terjadi
bahwa setiap orang boleh berubah, menciptakan sesuatu yang baru
atau tetap melakukan pekerjaan yang sama dan seseorang sebagai
pribadi atau keluarga boleh juga memilih Livelihood lain khususnya
melalui pendidikan dan migrasi. Karena melalui pendidikan dan
migrasi, terbuka kemungkian bagi seseorang untuk memilih dan
bertumbuh secara ekonomi dengan lebih baik. Menurut keduanya, di
masa depan perubahan berlangsung cepat, maka dibutuhkan suatu
kapabilitas yang adaptif untuk mengeksploitasi peluang-peluang baru
yang dibutuhkan dan lebih merata. Jadi dapat dikatakan di sini
Livelihood amat ditentukan oleh kebiasaan dalam keluarga dan
masyarakat, dampak sosialisasi, pengaruh pendidikan serta kemampuan
adaptif seseorang memilih suatu pekerjaan dan mengembangkannya
dalam hidup sehingga dapat hidup secara lebih baik.
Faktor kedua, kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable
Livelihood. Menurut hemat penulis, keberhasilan Sustainable
Livelihood dipengaruhi juga oleh seberapa jauh kita menyadari faktor
kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Untuk
menganalisis kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood penulis
merujuk pada pemikiran Krantz yaitu: Satu, kekuatan Sustainable
Livelihood. Kekuatan Sustainable Livelihood terletak pada
pendekatannya yang menyeluruh terkait dengan berbagai sumber daya
32

Perspektif Livelihood dan Collective Action

seperti, sumber daya alam, maupun juga sumber daya sosial. Sumber
daya tersebut merupakan unsur-unsur yang penting bagi orang miskin
yang terlibat menilai keadaan kemiskinannya karena kemiskinan
merupakan fenomena yang kompleks. Selain itu pendekatan
Sustainable Livelihood mampu memfasilitasi pemahaman yang
terfokus pada masalah kemiskinan yang rumit di tataran yang berbedabeda, langsung atau tidak langsung, menentukan dan mendesak orang
miskin memperoleh akses sumber daya alam atau aset-aset yang
beragam berkaitan dengan Livelihood mereka. Kemendesakan seperti
itu bisa muncul dari institusi formal dan informal serta faktor-faktor
lain pada tingkat lokal atau boleh jadi merupakan hasil dari kebijakan
yang mengesampingkan proses ekonomi pada tataran makro. Tinjauan
mikro-makro yang dibangun dalam pendekatan Sustainable Livelihood
merupakan kemungkinan untuk mengarahkan lebih banyak
intervensi-intervensi strategis. Dengan berfokus pada cara di mana
masyarakat bisa membangun strategi Livelihood, mereka diharapkan
mampu dan berhasil menanggapi secara khusus “konteks kerentanan”,
karena pendekatan Sustainable Livelihood memungkinkan orang yang
paling miskin melihat bagaimana orang miskin aktif membuat
keputusan-keputusan dan tidak sekedar pasif saja, dalam penentuan
Livelihood mereka sendiri. Hal ini penting bagi orang miskin untuk
merencanakan aktivitas pendukung membangun diri. Juga dalam
perspektif Livelihood yang lebih dinamis, strategi-strategi oramg
miskin sebagai penguatan masyarakat dalam merespon secara personal
keadaan eksternal, sewaktu-waktu dapat berubah. Pendekatan
Sustainable Livelihood memfasilitasi terbentuknya satu pemahaman
yang mempunyai keterkaitan antara strategi-strategi Livelihood
masyarakat, status aset-aset dan cara-cara masyarakat menggunakan
sumber-sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu Sustainable
Livelihood merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah,
mempromosikan ruang lingkup pembangunan berkelanjutan pada
tingkat lokal. Akhirnya, konsep Livelihood merupakan tawaran yang
lebih tepat atau cocok berdasarkan evaluasi dalam memengaruhi aspek
sosial-ekonomi proyek-proyek atau program-program yang dapat
mengurangi kemiskinan sebagai tujuan yang menyeluruh. Karena
33

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

dalam Sustainable Livelihood tersedia kerangka kerja lebih realistik
bagi penilaian langsung dan tidak langsung terkait dengan efek-efek
kondisi kehidupan masyarakat.
Dua, kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Krantz
menyebutkan kelemahan pendekatan ini terletak pada metodologi dan
praktek untuk menentukan, misalnya siapa orang miskin. Beberapa
pendekatan seperti pendekatan geografis untuk mengetahui di mana
orang miskin berada, yang dalam kenyataan hidup menyebar, tidak
membentuk suatu komunitas sosial yang homogen, bagaimana
menentukan garis kemiskinan dan rangking kekayaan berdasarkan
tingkat pendapatan dan konsumsi. Dikatakan penentuan garis
kemiskinan dan rangking kekayaan, merupakan usaha yang sulit dan
mahal serta pengklasifikasian tersebut hanya akan menghasilkan
gambaran kemiskinan yang relatif. Menurutnya yang mendasar
dilakukan ialah memahami terlebih dahulu situasi ekonomi, sosial,
budaya dan institusional setempat sebelum menentukan identitas,
karakteristik orang miskin yang hidup tanpa natural capital, economic
capital, human capital dan social capital sebagai aset yang
menghidupinya. Karena tanpa memahami situasi riil masyarakat, sulit
mengenal karakteristik orang miskin. Oleh sebab itu tersingkirnya
Sustainable Livelihood sesungguhnya menandai terjadinya peremehan
identitas lokal yang dimiliki masyarakat.
Faktor ketiga, manajemen yang integratif. Sementara itu
catatan lain muncul pula dari Saragih, Lassa, Ramil (2007). Saragih dan
kawan-kawannya itu menyatakan penerapan konsep inti Sustainable
Livelihood hendaknya selalu menggunakan prinsip-prinsip Sustainable
Livelihood, yaitu people-centred, holistik, dinamis, membangun
kekuatan dan kapasitas lokal, memperhatikan hubungan makro-mikro
dan keberlanjutan. Gagasan ini muncul dari pengalaman praktik
penguatan organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal di Aceh dan Nias
pasca tsunami dan konflik. Berkaitan dengan aspek keberlanjutan,
dikatakan bahwa keberlanjutan meliputi lingkungan dan ekologis,
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlajutan
kelembagaan. Selain itu Saragih dan kawan-kawan pun melihat adanya
34

Perspektif Livelihood dan Collective Action

relevansi antara gagasan Sustainable Livelihood dengan praktik di
lapangan dan di tingkat kebijakan. Karena hubungan makro-mikro
menjadi ruang bagi analisis Sustainable Livelihood untuk melihat
bagaimana kebijakan, lembaga dan berbagai lapisan organisasi
pemerintah dan non-pemerintah mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan sejauh mana masyarakat itu sendiri mempengaruhi
struktur-struktur dan proses-proses analisis.
Faktor keempat, strategi Livelihood. Chambers dan Conway
menyuguhkan strategi Sustainable Livelihood yang lebih bevariasi,
yaitu
strategi
penghematan,
pengumpulan,
perlindungan,
pengosongan, keragaman usaha, memperjuangkan hak-hak dan
menggerakkan usaha. Kemudian, Scoones (1998) menawarkan suatu
strategi pengembangan Sustainable Livelihood yang berbeda.
Menurutnya, ada tiga macam strategi yang dapat dikembangkan yaitu,
satu, agricultural intensification/extensification (melalui dukungan
input eksternal dan policy) dan adanya tenaga kerja yang mandiri; dua,
livelihood diversification (merupakan reinvestasi melalui aktivitasaktivitas yang bersifat akumulatif, sekaligus juga sebagai suatu
mekanisme menangani tekanan dan goncangan kelompok); tiga,
migration (ada perbedaan antara sebab-sebab migrasi (seperti gerakangerakan yang sukarela dan yang bukan) serta akibat-akibat migrasi
(seperti, reinvestasi di bidang pertanian, usaha-usaha keluarga atau
tempat-tempat migrasi) serta pola-pola gerakan (yang berasal dari
tempat-tempat yang berbeda). Setelah melihat strategi yang
ditawarkan Scoones, berikut akan dibahas secara singkat pengalaman
Bultler dan Mazur di pedesaan Uganda.
Tawaran lain menurut Butler dan Mazur (2007) berdasarkan
pengalaman pembangunan pedesaan di Uganda, dikatakan bahwa
pendekatan diversifikasi Livelihood merupakan suatu strategi
pendekatan yang esensial bagi food security dan perbaikan pendapatan
untuk pembangunan manusia pada komunitas pedesaan Afrika.
Menurut keduanya, kehidupan ekonomi petani Uganda yang penuh
penderitaan berasal dari keterbatasan diversifikasi, degradasi
lingkungan, pendapatan yang rendah dan berbagai dampak negatif
35

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

HIV/AIDS. Maka untuk merangsang dan mendorong inovasi melalui
teknologi pertanian yang produktif, bentuk-bentuk organisasi sosial
dan pasar-pasar orang miskin merupakan elemen pokok dalam
mempromosi Livelihood pedesaan berkelanjutan. Butler dan Mazur
juga menyatakan, konsep-konsep Sustainbale Livelihood telah diuji
maknanya untuk memahami situasi pembangunan pedesaan Afrika
kontemporer secara lebih baik. Keduanya melakukan identifikasi
prinsip-prinsip dan berproses secara kritis untuk mencapai Sustainble
Livelihood secara kolaboratif, termasuk berdiskusi tentang hubunganhubungan yang kompleks dalam relasi yang seimbang untuk
keberhasilan program-program dasar komunitas pedesaan. Dalam
kaitan dengan usaha tersebut nilai-nilai dari perspektif ilmu
pengetahuan sosial diangkat sebagai proses penguatan pembangunan
desa dalam kerangka pembangunan daerah.

Unsur-unsur Livelihood
Chambers dan Conway menyatakan, dalam pengertian yang
sederhana Livelihood mengandung makna sebagai suatu realitas yang
kompleks dan terstruktur menjamin kehidupan seseorang atau
sekelompok orang.
Dari sisi definisi, Livelihood dapat dibedakan dalam dua
kelompok. Pertama, pada tataran yang terbatas dan umumnya dikenal
adalah rumah tangga. Secara deskriptif rumah tangga diartikan sebagai
kelompok manusia yang hidup bersama saling berbagi perhatian dan
apa yang dibutuhkan dalam hidup. Selain itu biasanya ada juga
penghargaan di tingkat individu atau antaranggota rumah tangga,
terkait dengan kesejahteraan dan akses-akses anggota rumah tangga
khususnya perempuan dan anak yang boleh jadi diabaikan oleh kaum
laki-laki. Karena itu Livelihood di sini dilihat sebagai Livelihood
rumah tangga. Kedua, pada tataran yang lebih luas terdapat keluarga
besar (extended family), kelompok sosial dan komuniti. Di sini
Livelihood dilihat berkaitan dengan Livelihood kelompok atau
komunitas. Namun menurut Chambers dan Conway lebih signifikan
36

Perspektif Livelihood dan Collective Action

menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis. Keduanya
menetapkan empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yaitu: satu,
orang yang mempunyai kapabilitas Livelihood tertentu; dua, ada
aktivitas-aktivitas yang dilakukan; tiga, ada aset-aset berupa barangbarang yang kelihatan (sumber daya hidup dan barang-barang lain)
secara material dan yang non-material (hak-hak dan akses-akses) yang
bermakna sosial; empat, ada keuntungan atau hasil, terkait dengan
sesuatu yang dikerjakan. Berikut ini disajikan sebuah gambar berisikan
empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yang disebut Chambers
dan Conway.

Kapabilitas

Hasil yang
diperoleh

Rumahtangga

Aset-aset

Aktivitasaktivitas

Sumber: Diolah dari Chambers dan Conway (1991), Dp296.pdf
diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.1 Empat Kategori Pokok Livelihoods Rumah Tangga

Pengkategorian tersebut meliputi unsur manusia yang
mempunyai kapabilitas, aset-aset, aktivitas-aktivitas, dan hasil yang
diperoleh rumah tangga. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, yang
terpenting dalam Livelihood adalah komponen-komponen pokok
berupa, kapabilitas Livelihood (livelihood capabilities), hak-hak dan
akses (claims and acces) serta barang-barang dan sumber-sumber
penghidupan (strores and resources) serta keterjalinan antara
37

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

komponen-komponen tersebut. Berikut ini dibuat gambar komponenkomponen yang penting dalam Livelihood.
People
Livelihood
Capabilities

A Living
Strores and
Resources

Tangible Assets

Claims and
Access

Intangible Assets

Sumber: Chambers and Conway (1991), Dp296.pdf (diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Livelihood

Chambers dan Conway menyatakan ada tiga komponen utama

Livelihood sebagaimana digambarkan di atas. Pertama, stores dan
resources; kedua, livelihood capabilities; ketiga, claims dan assets.
Komponen-komponen tersebut dikatakan penting karena komponenkomponen tersebut merupakan inti dari sebuah kehidupan dan yang
saling berhubungan serta mempengaruhi satu sama lain. Komponenkomponen utama Livelihood yang dirumuskan Chambers dan Conway
di atas, diadopsi pula oleh United Nations Development Programme
(UNDP) sebagai suatu pendekatan dalam rangka mempromosikan
Sustainable Livelihood, sebagaimana dijelaskan Krantz (2001). Berikut
penjelasan secara singkat isi dari ketiga komponen tersebut di atas.
Barang-barang dan Sumber-sumber Livelihood (Stores dan Resources)
Komponen ini terdiri dari barang-barang untuk usaha dan asetaset nyata yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga.Yang termasuk
barang-barang untuk usaha adalah bahan konsumsi, barang benilai
seperti emas, perhiasaan, kain tenunan, uang tabungan. Sedangkan
sumber-sumber penghidupan meliputi, tanah, air, pohon-pohon,
38

Perspektif Livelihood dan Collective Action

persediaan bahan makanan, peralatan rumah dan kebun, perkakas,
perabot rumah tangga. Jadi barang-barang yang dimiliki sebagai
sumber-sumber penghidupan seperti yang disebutkan di atas
merupakan aset-aset rumah tangga. Selanjutnya akan dijelaskan apa itu
claims dan access serta apa saja yang tergolong ke dalam kedua unsur
tersebut.
Hak-hak dan Akses-akses (Claims and Access)
Menurut Chambers dan Conway, komponen-komponen claims
dan acces juga merupakan aset-aset rumah tangga yang tidak kelihatan.
Yang dimaksud dengan claims di sini adalah pemenuhan hak-hak
secara material dan moral yang mendukung seseorang atau sekelompok
orang memperoleh akses-akses hidup. Untuk memenuhi hak-hak
dalam Livelihood terdapat berbagai bentuk dukungan berupa makanan,
peralatan, pinjaman-pinjaman, hadiah-hadiah atau pekerjaan.
Tuntutan terhadap hak-hak sewaktu-waktu dapat menimbulkan
tekanan dan keterkejutan atau goncangan, namun memungkinkan
pihak lain baik secara individual, maupun sebagai lembaga seperti,
Non Government Organization (NGO) atau pemerintah,
memprogramkan
bantuan
misalnya,
program
pengurangan
kemiskinan. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari perpaduan antara
kesepakatan sosial, hak-hak, kewajiban moral dan kekuasaan.
Berkaitan dengan program pengurangan kemiskinan, Krantz
dalam tulisannya di bagian The Sustainability Livelihoods Approach to
Poverty menyatakan, ada tiga faktor yang dilihat dalam pendekatan
Sustainable Livelihood dalam mengurangi kemiskinan. Faktor-faktor
tersebut adalah, pertama, pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang
esensial dalam usaha pengurangan kemiskinan. Menurut Krantz tidak
otomatis terjadi hubungan sebab akibat di antara keduanya yakni
pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, karena kedua
hal tersebut tergantung pada kapabilitas orang miskin
memperjuangkan peluang-peluang ekonomi; kedua, kemiskinan bagi
orang miskin sendiri bukan semata-mata merupakan masalah
pendapatan yang rendah tetapi juga terkait di dalamnya kesehatan
yang buruk, ketidakmampuan membaca, tanpa pelayan sosial,
39

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

termasuk adanya perasaan tidak berdaya dan sebagainya; ketiga,
adanya penghargaan bahwa orang miskin sendiri mengetahui situasi
dan kebutuhannya lebih baik dan termasuk merancang kebijakan dan
proyek yang lebih baik bagi dirinya.
Sedangkan akses, merupakan peluang-peluang dalam hidup
yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumber daya kehidupan,
barang-barang yang tersedia untuk pelayanan masyarakat yang
menghasilkan informasi, materi, teknologi, pekerjaan, makanan atau
pendapatan. Unsur pelayanan di sini meliputi bidang transportasi,
pendidikan, kesehatan, pertokoan dan pasar bagi masyarakat. Aspek
informasi merupakan perluasan pelayanan melalui radio, televisi dan
surat kabar. Sedangkan teknologi merupakan pengembangan di bidang
teknik, termasuk temuan hal-hal baru. Kemudian, pekerjaan dan
usaha-usaha lain, merupakan hak-hak dan sumber daya kehidupan
milik bersama suatu masyarakat atau sebagai suatu negara. Berkaitan
dengan aset-aset yang kelihatan dan tak kelihatan, masyarakat dapat
memanfaatkannya untuk merancang dan membangun kehidupan,
melalui kerja fisik, keterampilan, pengembangan pengetahuan dan
kreativitas. Keterampilan dan pengetahuan bisa didapatkan dalam
pelayanan rumah tangga dari generasi ke generasi seperti pengetahuan
teknik penduduk asli atau pribumi, atau pun melalui magang,
pendidikan formal atau melalui eksperimen dan inovasi.
Dengan demikian peningkatan Livelihood pedesaan dapat
dilakukan melalui berbagai aktivitas, seperti pengolahan tanah,
pemeliharaan ternak, pengumpulan bahan makanan, saling berbagi
beban kerja, berdagang atau menjual barang, melakukan pekerjaan
keterampilan seperti menenun dan mengukir, penyediaan pelayanan
transportasi dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut merupakan jenisjenis kegiatan pendukung kehidupan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidup manusia. Di antara hal-hal tersebut terdapat aset-aset
yang bisa digunakan dalam jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang, baik untuk dikonsumsi maupun untuk investasi.
Berkaitan dengan perihal investasi, Chambers dan Conway mengutip
gagasan Swift (1989), yang antara lain menyatakan bahwa kapabilitas
40

Perspektif Livelihood dan Collective Action

dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan serta magangmagang. Bahkan menurutnya kapablitas dapat dikembangkan lebih
luas dengan memilih situasi dan peluang penguatan kembali nilai-nilai
budaya dan moral yang mulai tak berdaya dan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan dan pengalaman. Setelah mengulas pemikiran
Chambers dan Conway tentang Livelihood dan sejumlah aspek yang
diuraikan di dalam pokok tersebut, berikut ingin dijelaskan secara
singkat pemikiran keduanya mengenai Sustainability Livelihood.

Sustainability
Pokok Sustainability merupakan bagian ketiga dari seluruh
pembahasan Chambers dan Conway berkaitan dengan Livelihood.
Pokok ini akan ditinjau dalam dua bagian, yaitu pertama, tinjauan yang
berkaitan dengan environmental sustainability dan kedua, penjelasan
tentang social sustainability. Chambers dan Conway menjelaskan
bahwa environmental sustainability mempunyai konsern pada
pengaruh external terhadap Livelihood sedangkan pembahasan tentang
social sustainability berfokus pada kapasitas internal livelihood.

Environmental Sustainability
Menurut Chambers dan Conway, secara konvensional pemikirpemikir atau ahli-ahli pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) pada umumnya menyamakan sustainability atau
berkelanjutan dengan persoalan pemeliharaan dan peningkatan sumber
daya kehidupan produktif yang pokok, khususnya bagi generasi masa
depan. Namun dikatakan oleh keduanya, ada dua hal yang perlu
dibedakan. Pertama, kepentingan di tingkat lokal. Di sini muncul
pertanyaan, aktivitas Livelihood mana yang perlu dipelihara dan
dikembangkan atau sumber daya alam lokal mana yang berkurang dan
atau telah habis? Karena secara negatif, aktivitas Livelihood dapat
berkontribusi terhadap desertifikasi, deforestasi, erosi kesuburan tanah,
pengurangan air, salinisasi dan lain-lain. Secara positif, aktivitas
Livelihood dapat meningkatkan produktivitas sumber daya alam
terbarukan, seperti air tanah dan air sungai, kesuburan tanah dan
41

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

pepohonan secara organik2. Kedua, kepentingan pada aras global.
Pertanyaan dari sisi lingkungan ialah, apakah aktivitas lingkungan
berkontribusi positif atau negatif terhadap Livelihood dalam jangka
panjang secara berkelanjutan. Menurut Chambers dan Conway,
pertanyaan ini muncul karena hingga saat ini kita sulit mengubah dan
membantah isu-isu seperti polusi, gas rumah kaca dan pemanasan
global serta lapisan ozon menipis. Hal ini disebabkan karena
penggunaan sumber daya alam yang tersedia dan tidak terbarukan serta
penggunaan bahan-bahan karbon dioksida oleh manusia telah
menimbulkan polusi dan krisis berkepanjangan. Jadi menurut
keduanya pemikiran Sustainability berfokus pada aset-aset yang
kelihatan, namun juga hendaknya memperhatikan perihal
pemeliharaan dan pengembangan aset-aset yang tidak kelihatan karena
pemanfaatan lingkungan pada umumnya berdampak negatif, tidak
berkelanjutan, mengabaikan hak-hak dan akses-akses masyarakat.
Pengabaian terhadap hak-hak dan akses-akses masyarakat antara lain
dilakukan melalui produk hukum, kekuasaan atau birokrasi. Pada
tingkat global, tantangan Livelihood terjadi melalui perdagangan dan
kesepakatan internasional yang mereduksi hak-hak dan akses-akses
lokal serta kepemilikan bersama di pasar global. Menurut Davies dan
Lech (1991) sebagaimana dicatat Chambers dan Conway, keterjalinan
kepentingan antara dunia global dan lokal memang penting tetapi
mudah diabaikan. Berdasarkan latar belakang pandangan Davies dan
Lech, Chambers dan Conway memberikan perhatian yang lebih besar
pada persoalan Livelihood di tingkat lokal pada negara-negara Selatan3
Desertifikasi adalah tipe degradasi lahan di mana lahan yang relatif kering menjadi
semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga hewan liar. Keadaan ini
umumnya disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim d