Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

BAB 7
ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN
SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN

COLLECTIVE ACTION
Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan
perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana
Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa
dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat
memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal.
Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar
belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem
perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka
memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk
dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif
collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan
penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping
strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian
analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar
visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan
Provinsi Papua.


Pembangunan Berkelanjutan di Papua
Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru
menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan,
keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas.
Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada
Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63,
245

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

terdapat pokok tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan
Hidup. Pasal ini menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua
dikembangkan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan,
pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah. Kemudian pada pasal 64, tertulis bahwa
pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup,
melindungi sumber daya alam, ekosistem, cagar budaya dan

keanekaragaman hayati serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk. Jadi secara prinsipil
dapat dikatakan spirit pembangunan Papua berdasarkan UU No. 21
Tahun 2001 mengandung paradigma pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development) sesuai dengan semangat awal The World
Commision on Environment and Development (WCED) yang digagasi
oleh Gro Harlem Brundtland [Bdk. Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,
(Edit.) 1999; Mahinney, 2002; Willis, 2005; Rist, 2008]. Berkaitan
dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan, di bawah ini
dimuat penjelasan-penjelasan yang menurut hemat penulis relevan
bagi kita.
Mitchell (1997:31-35), menjelaskan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dipopulerkan oleh World
Commission on Environment and Development pada tahun 1987 yang
diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, Perdana Menteri Norwegia saat
itu. Oleh sebab itu komisi tersebut kemudian dinamakan komisi
Brundtland. Dalam laporannya tentang Masa Depan Bersama di Sidang
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Brundtland mengemukakan dua hal
penting, yaitu, pertama, perlunya strategi lingkungan jangka panjang
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan; kedua, mengidentifikasi

bagaimana hubungan antarmanusia, sumber daya, lingkungan dan
pembangunan yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dan
internasional.
Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma
pembangunan yang sarat makna, mengandung unsur-unsur
fundamental, berorientasi pada kepentingan baik manusia maupun
lingkungan hidup tempat di mana semua makhluk serta sumber daya
246

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

alam berada dan selalu tercukupkan saat ini dan di masa depan. Berikut
akan dikemukakan beberapa pemikiran atau pandangan para
pemerhati masalah pembangunan dan lingkungan serta sumber daya
alam. Misalnya, Tietenberg (2003:95-96) menyatakan bahwa dalam
konsep pembangunan, ada dua hal penting yang dapat digunakan
untuk menginterpretasikan kembali kriteria berkelanjutan terkait
dengan keberadaan sumber daya alam. Pertama, perihal pengalokasian
atau ketersediaan modal secara total tanpa pengurangan nilai dan
teruji. Kedua, perlunya menganalisis atau membandingkan hasil

produksi yang berkelanjutan sebagai investasi yang tidak berkurang.
Berdasarkan konsern yang demikian, Tietenberg (2003:553-560),
kemudian mencatat paham pembangunan berkelanjutan sebagaimana
yang telah dirumuskan oleh Komisi Brundtland sebagai berikut:
“Sustainable development is development that meets the

needs of the present withouth compromising the ability of
future generations to meet their own needs”.

Sehubungan dengan paham pembangunan berkelanjutan,
Tietenberg pun menawarkan beberapa skenario yang dapat dilakukan
sehubungan dengan bagaimana mencermati persoalan pembangunan
berkelanjutan dan pertumbuhan. Salah satu skenario yang disebut
antara lain yaitu, konsern bukan saja pada tingkat kesejahteraan saat
ini tetapi kesejahteraan yang bertumbuh secara berkelanjutan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang perlu
diperhatikan bila berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu:
pertama, aspek kesejahteraan berkelanjutan secara eksistensial; kedua,
aspek besarnya tingkat kesejahteraan berkelanjutan sekarang ini
berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan yang akan datang;

ketiga, tindakan-tindakan generasi sebelumnya mempunyai sensivitas
tertentu terhadap tingkat kesejahteraan generasi yang akan datang. Di
sisi lain Komisi Brundtland (Mitchell, 2003:31-35) mengungkapkan
juga bahwa, dalam kenyataan kegiatan-kegiatan pembangunan telah
mengakibatkan munculnya banyak kemiskinan dan kemerosotan serta
kerusakan lingkungan sehingga perlu diusahakan suatu jalan baru
pembangunan yang akan membawa kemajuan kemanusiaan bagi
seluruh dunia. Berdasarkan pemikiran tersebut komisi ini mencatat
247

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

dua konsep kunci pembangunan berkelanjutan yang perlu
diperhatikan, yaitu pertama, terkait soal kebutuhan, khususnya
kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang; kedua, adanya
keterbatasan teknologi dan organisasi sosial berhubungan dengan
kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
sekarang ini dan di masa depan.
Dengan menyadari hakekat dan implikasi pembangunan

berkelanjutan maka komisi tersebut kemudian merumuskan pokokpokok pikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan
kebijakan pembangunan dan lingkungan. Pokok-pokok pikiran
dimaksud adalah memikirkan kembali makna pembangunan,
mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan dasar akan
lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, kemudian menjamin
terciptanya keberlanjutan pada setiap tingkat pertumbuhan penduduk,
mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya, mengubah arah
teknologi dan mengelola resiko, memadukan pertimbangan lingkungan
dan ekonomi dalam pengambilan keputusan.
Selain pikiran-pikiran di atas kita juga perlu melihat perspektif
etis pembangunan dan lingkungan. Perspektif etis dimaksud diambil
antara lain dari pikiran-pikiran Denis Goulet dan Sony Keraf. Terkait
dengan pemikiran ke dua ahli etika tersebut, pertama akan dibicarakan
secara singkat pertimbangan-pertimbangan etis Denis Goulet terhadap
masalah-masalah
pembangunan
pada
umumnya.
Kemudian
pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan pemikiran Sony

Keraf yang menyoroti masalah pembangunan lingkungan di Indonesia.
Menurut Goulet (1995:11-19) kebijakan-kebijakan pembangunan yang
bersifat etis memperhatikan 3 (tiga) rasionalitas. Menurut Goulet, yang
dimaksud dengan rasionalitas dalam perspektif etika pembangunan
adalah suatu prosedur cara berpikir yang menyeluruh sebagai asumsiasumsi berpikir yang bersifat metodologis; suatu bangunan kriteria
yang tetap benar dan valid. Menurutnya rasionalitas ada tiga, yaitu
rasionalitas teknis, rasionalitas politis dan rasionalitas etis. Pertama,
rasionalitas teknis. Tujuan rasionalitas ini ialah menyelesaikan sesuatu
dengan tindakan-tindakan konkret dan menggunakan pengetahuan248

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

pengetahuan teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan.
Dengan demikian segala sesuatu yang menghalangi tujuan
pembangunan dari sisi kepentingan rasionalitas teknis akan
disingkirkan. Kedua, tujuan rasionalitas politis adalah agar institusi
politik tertentu tetap eksis dan berperan serta dalam mempertahankan
posisi. Pendekatannya ialah melakukan kompromi-kompromi,
negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik.
Ketiga, rasionalitas etis ingin mengedepankan nilai-nilai yang berpihak

pada manusia. Pendekatannya adalah memberi pertimbangan tentang
sesuatu itu baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, benar atau salah.
Logikanya bisa bersifat keras, bisa pula lunak. Jadi menurut Goulet
apabila pembangunan dilakukan hanya dengan mengutamakan salah
satu rasionalitas, maka akan terjadi proses pereduksian makna antarrasionalitas dan akan mengakibatkan terciptanya ketimpangan dalam
pembangunan yang dapat berakibat merugikan manusia. Untuk itu
dibutuhkan suatu interaksi yang mutualistis antar-ketiga rasionalitas
tersebut. Artinya, ketiga rasionalitis hendaknya berperan dan berfungsi
setara, masing-masing rasionalitas mempunyai kontribusi dalam
melihat persoalan pembangunan pada umumnya. Berikut ini akan
diberikan contoh lain tentang perspektif etis dalam pembangunan
berkaitan dengan lingkungan merujuk pada pemikiran Keraf (2006).
Selanjutnya, menurut Keraf (2006:168-173), ada 3 (tiga) hal
yang perlu diperhatikan ketika berbicara mengenai
pembangunan yaitu, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek
lingkungan hidup. Perhatian pada ketiga aspek tersebut
mengisyaratkan adanya suatu cara pandang yang menyeluruh dan
terintegrasi berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang
saling memengaruhi dan saling menentukan satu terhadap yang lain.
Dikatakan oleh Keraf bahwa pandangan ini ingin menyadarkan kita

bahwa, apabila salah satu aspek saja yang diperhatikan dan diberi posisi
yang dominan sementara aspek lain diabaikan maka, kecenderungan
tersebut akan melahirkan gangguan-gangguan yang berakibat pada
munculnya realitas ketimpangan serta kerusakan baik lingkungan
maupun hidup manusia. Agar tidak terjadi kerusakan dan gangguan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia maka paradigma
249
penting

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

pembangunan yang integratif dan holistik, mau tak mau harus
ditempatkan dalam semangat dan prinsip pembangunan yang disebut
pembangunan berkelanjutan. Dikatakan juga oleh Keraf (2006:175188), suatu paradigma dan praktek pembangunan yang bersifat
berkelanjutan harus ditandai oleh prinsip-prinsip berikut ini. Pertama,
prinsip demokrasi. Prinsip ini menginginkan agar aspirasi masyarakat
menjadi dasar implementasi pembangunan dan bukan kehendak
penguasa atau partai politik tertentu demi terwujudnya kepentingan
bersama dan bukan kepentingan individu atau kelompok. Untuk itu

diperlukan adanya komitmen serta mekanisme politik yang
memungkinkan prinsip pembangunan berkelanjutan diwujudkan atau
direalisasikan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya partisipasi
masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar
kepentingannya diakomodir, agenda pembangunan yang transparan
dan bersifat akuntabilitas. Sejalan dengan Keraf, Soedjatmoko (1985)
menyatakan pembangunan yang demokratis merupakan pembangunan
yang mendukung, kebebasan dan martabat manusia. Kedua, prinsip
keadilan. Prinsip ini mau menempatkan semua orang dan kelompok
dalam peluang yang sama dalam proses pembangunan termasuk
menikmati hasil-hasilnya. Itu berarti dalam menerapkan prinsip
keadilan tidak ada orang dan kelompok yang diperlakukan secara
istimewa oleh negara. Dengan kata lain semua orang atau kelompok
harus mempunyai peluang dan akses yang sama terhadap sumbersumber ekonomi yang diatur negara. Pikiran Keraf tentang prinsip
keadilan yang memberi peluang dan akses bagi seseorang atau
sekelompok orang sesuai dengan pikiran Sen (1999). Menurut Sen,
pembangunan sebagai kebebasan memberi akses kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan,
kesehatan, kehidupan ekonomi dan sosial yang aman dan ada
kesetaraan secara politik. Dalam konteks ini juga berlaku prinsip

bahwa orang atau kelompok yang mendapat manfaat ekonomi paling
besar, harus menanggung kerugian yang besar atau membayar secara
proporsional kerusakan yang diakibatkan oleh apa yang dilakukannya
terhadap lingkungan yang tercemar atau rusak. Ketiga, prinsip
keberlanjutan. Prinsip ini mengandung paham bahwa pembangunan
250

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek sumber daya
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan
demikian empat prinsip berikut mengharuskan kita memilih alternatif
pembangunan, yaitu yang hemat terhadap sumber daya, hemat dalam
penggunaan energi, meminimalkan adanya limbah dalam setiap
kegiatan pembangunan dan produksi ekonomi serta adanya prinsip
keadilan bagi generasi-generasi berikutnya secara berkelanjutan.
Sehingga kita terhindarkan dari kerugian-kerugian material, spiritual,
sosial-budaya dan terwujud kehidupan yang bermutu.
Dengan begitu dapat dikatakan Mitchell membicarakan
persoalan pembangunan berkelanjutan dari sisi manajemen sedangkan
Goulet dan Keraf menyorotinya secara etis. Menurut hemat penulis,
pandangan-pandangan tersebut penting untuk dirujuk sebagai dasardasar pertimbangan baik dalam manajemen perencanaan maupun
dalam implementasi pembangunan, serta prinsip-prinsip etis yang
digunakan, karena akan membantu mengarahkan kita baik dalam
gagasan maupun dalam praktek pembangunan sesuai dengan semangat
dan paradigma pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks
pembangunan berkelalanjutan inilah gagasan pembangunan Papua
Baru dan pembangunan di Kampung Workwana mau dilihat.

Visi Pembangunan Papua
Realitas kesenjangan hidup yang dialami orang Papua di
kampung-kampung ditandai oleh keadaan tertinggal, miskin, tanpa
akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan yang luar biasa.
Kondisi yang demikian sesungguhnya berbading terbalik dengan
potensi obyektif alam dan daerah yang amat kaya, sehingga dilukiskan
oleh Suebu (2007) dengan istilah “Paradoks Papua”. Paradoks Papua
dilukiskan sebagai berikut. Di satu sisi realitas Papua yang tertinggal,
miskin, tanpa akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan
yang luar biasa memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu status otonomi
khusus, penduduk sedikit, uang pembangunan tersedia, keadaan alam
yang kaya di sisi lain. Sedangkan Enembe (2015) menyebutnya sebagai
251

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

persoalan “7K”, di Papua. Fenomena 7K, ialah kemiskinan,
ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan
kematian.
Mengacu pada fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K
Papua yang disebut di atas muncul beberapa pertanyaan yang dapat
ditelaah lebih jauh. Misalnya, sejauh mana keunggulan-keunggulan
Papua sudah dimanfaatkan secara maksimal dalam pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Papua secara
berkelanjutan? Mengapa sampai saat ini persoslan 7K masih merupakan
masalah aktual pembangunan Papua? Apa saja hambatan dalam
pembangunan berkelanjutan di Papua? Paradigma pembangunan apa
yang dominan dikembangkan di Papua dan mengapa demikian?
Strategi pembangunan apa yang dibutuhkan untuk terwujudnya Papua
bangkit, mandiri dan sejahtera dalam perspektif pembangunan
berkelanjutan?
Sesungguhnya masih terdapat banyak pertanyaan penting dan
mendasar yang bisa diangkat terkait dengan permasalahan
pembangunan di Papua. Beberapa pertanyaan yang sudah dimunculkan
di atas ini dapat dianalogikan sebagai puncuk gunung es di atas lautan
persoalan pembangunan yang ada di Papua. Menurut hemat penulis,
berdasarkan fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K di atas
secara eksistensial, maka Suebu dan Enembe mencoba menggagasi
orientasi baru pembangunan Papua yang dimulai dari kampung.
Menurut UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Bab I,
Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf J, menyebutkan istilah kampung
digunakan untuk menggantikan istilah desa. Orientasi dan strategi baru
pembangunan Papua yang lebih adil, bangkit, mandiri dan sejahtera
dilatarbelakangi dua alasan (Muridan, dkk, 2009; Dale & Djonga, 2011,
Suebu, 2011; Tebay, 2012; Enembe, 2016]. Pertama, selama ini kurang
ada perhatian terhadap masyarakat di kampung-kampung yang
menyebabkan masyarakat tetap miskin dan terbelakang. Kedua,
sebagian besar orang asli Papua berdiam di kampung-kampung
terpencil dalam keadaan miskin dan terbelakang.

252

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Maka gagasan Papua Baru (Suebu, 2007) dirumuskan kembali
oleh Enembe (2016) sebagai visi pembangunan yang disebut Papua
Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Visi pembangunan tersebut ingin
diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan strategis yakni melalui
Pengelolaan Dana dan Penataan Otonomi Khusus, Gerbangmas Hasrat
Papua dan Menuju PON XX 2020. Sedangkan salah satu strategi
pembangunan kampung disebut sebagai Program Strategis
Pembangunan Ekonomi Kampung (PROSPEK).

Harapan ke Depan
Suebu (2007), melalui buku, Kami Menanam, Kami Menyiram,
Tuhanlah Yang Menumbuhkan, berusaha mengemas pokok-pokok
pikirannya mengenai persoalan pembangunan Papua yang diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu acuan bersama membangun Papua
baru yang lebih adil dan sejahtera. Suebu pun menyatakan harapannya
dalam tulisan tersebut agar para bupati/walikota, pimpinan instansi
pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat
mengetahui dan menggunakannya sebagai salah satu sumber untuk
mengembangkan program pelayanan masyarakat yang semakin baik
khususnya masyarakat yang hidup di kampung-kampung di seluruh
tanah Papua. Kemudian Suebu menggagasi konsep pembangunan
Papua melalui beberapa kebijakan dasar yaitu, pembangunan yang
bertumpu pada pertumbuhan (Growth Centered Development),
bertumpu pada kepentingan rakyat (People Centered Development)
stability)
serta
dan
memelihara
stabilitas
(Development
kesinambungan pembangunan (Development Continuity). Kebijakan
dasar tersebut dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip yaitu
kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan
akuntabilitas. Berdasarkan strategi dan prinsip tersebut dicetuskanlah 4
(empat) agenda utama pembangunan Papua yakni, menata kembali
pemerintah daerah (good governance), membangun Tanah Papua yang
damai dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua; dengan titik
berat perhatian pada daerah pedesaan, terpencil dan rakyat miskin di
daerah perkotaan; membangun Tanah Papua yang aman dan damai,
253

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

disiplin, taat hukum dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia;
meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dasar
(infrastruktur) di seluruh tanah Papua (darat, laut, udara), tersedianya
air bersih, energi dan sistem telekomunikasi yang memadai bagi
seluruh rakyat. Oleh karena itu dengan Paradoks Papua ia mau
mengungkapkan dua realitas yaitu, penduduk yang miskin (80%) di
atas kekayaan alam yang luar biasa. Padahal menurut Suebu, Papua
mempunyai empat keunggulan (status otonomi khusus, jumlah
penduduk yang sedikit, dana pembangunan tersedia, kekayaan alam)
yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Maka salah satu program utama pembangunan di masa
kepemimpinannya ialah pembangunan kampung, yang disebut
Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). RESPEK
difokuskan pada perbaikan makanan dan gizi, pelayanan kesehatan,
pendidikan dasar, perekonomian rakyat, perumahan dan infrastruktur
kampung. Selain RESPEK, perhatiannya juga tertuju pada
pembangunan sumber daya manusia Papua, infrastruktur dan investasi,
tetap menjadi bagian penting komitmen pembangunannya selama masa
kepemimpinan tahun 2006-2011.
Setelah masa kepemimpinan Suebu dan Hesegem, gagasan
pembangunan mewujudkan wajah baru Papua yang lebih baik ke
depan diteruskan oleh Gubernur Lukas Enembe bersama Wakil
Gubernur Klemen Tinal (20013-2018). Keduanya menggagasi visi
pembangunan, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.Visi tersebut
diuraikan secara luas oleh Lukas Enembe, dalam buku Papua, Antara
Uang dan Kewenangan (2016). Menurut Enembe, ada tiga pilar utama
pembangunan Papua, yaitu lembaga pemerintahan sebagai eksekutif
(Gubernur), legislatif (DPR) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai
representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Menurut Enembe,
komunikasi yang lebih intensif diharapkan berlangsung di antara
ketiga lembaga ini karena ketiganya mempunyai peran signifikan
dalam membangun Papua. Ketiga lembaga tersebut diajak Enembe
untuk bersama-sama menggumuli perasaan dan nuansa batin rakyat
Papua yang tinggal di kampung-kampung, rawa-rawa, lembah dan
gunung, pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil serta daerah
254

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

perbatasan. Dikatakan oleh Enembe, mereka semua menaruh harapan
besar kepada tiga lembaga ini dan ia merasa berdosa ketika
meninggalkan atau menghancurkan harapan-harapan mereka. Ada
dua agenda besar pembangunan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.
Pertama, bagaimana orang Papua bangkit dan tampil berperan dalam
berbagai sektor kehidupan, berani menghadapi tantangan dan
bertanggung jawab; Kedua, membangun kemandirian yang
bertitiktolak dari membangun kemajuan ekonomi rakyat Papua.
Karena kemandirian mengandaikan saling membutuhkan dan
keterbukaan antara pusat dan daerah. Maka kemandirian di sini berarti
memberi kesempatan kepada rakyat Papua merencanakan,
melaksanakan dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara
mandiri dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat Papua.
Berdasarkan visi dan agenda pembangunan yang demikian, salah satu
fokus perhatian program pembangunan yang dikembangkan Enembe
ialah mengurangi persoalan yang disebut “7K”, yaitu kemiskinan,
ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan
kematian. Menurut Enembe, persoalan 7K tersebar secara merata di
seluruh Papua. Fenomena 7K tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.1 di
bawah ini yang ditandai dengan 7 tanda panah, meliputi seluruh
wilayah Provinsi Papua.

7K
PAPUA

Gambar 7.1. Permasalahan 7 K Papua

255

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Maka menurut Enembe, “Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera
Harapan Seluruh Rakyat Papua (Gerbangmas Hasrat Papua), berfokus
pada: (1) Generasi Emas Papua (Gemas Papua): prioritas menuntaskan
buta aksara dan tuntutan wajib belajar 9 tahun, jaminan 1000 hari
pertama kehidupan pada kualitas anak dalam pelayanan kesehatan dan
asupan gizi sejak janin dalam kandungan sampai berusia dua tahun,
peningkatan prestasi olahraga, seni dan budaya serta pengembangan
daya saing SDM Papua; (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
(Berdaya Emas): prioritas pada program strategis pembangunan
ekonomi dan kelembagaan kampung (PROSPEK); (3) Percepatan
Pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Dasar; (4) Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan. Berdasarkan visi, agenda
besar dan strategi pembangunan tersebut di atas dibuatlah kebijakan
skema penggunaan dana OTSUS 80:20, yakni 80% dana dikelola
kabupaten dan 20% dikelola provinsi. Anggaran tersebut digunakan
dengan sasaran, pengembangan dan pelayanan bidang pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pemenuhan
infrasrtuktur dasar. Dengan demikian diharapkan dampak
pembangunan akan lebih dirasakan oleh masyarakat Papua yang
berada di daerah, khususnya mereka yang hidup di pelosok-pelosok
kampung bukan yang ada di provinsi. Menurut Enembe, filosofi
PROSPEK bukan sekedar pengalokasian dana ke kampung-kampung
tetapi yang utama ialah menempatkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan yang diimplementasikan dengan Pendekatan Kampung
Terpadu (PKT). PKT dilakukan melalui pemetaan komoditas unggulan
daerah, perubahan pola pikir yang terintegrasi tanam, petik, olah dan
jual, melibatkan seluruh SKPD, Kementerian dan Lembaga serta mitra
pembangunan BUMN dan BUMD.
Visi pembangunan Papua Baru, Bangkit Mandiri dan Sejahtera
yang berorientasi pada kampung-kampung dengan strategi Gerakan
Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan (Gerbangmas Hasrat Papua)
melalui pendekatan PROSPEK dapat dikatakan memberi sejumlah
harapan. Namun menurut penulis harus dikatakan pula sejatinya
terdapat beberapa ganjalan yang bersifat politis dan paradigmatis
tentang pembangunan Papua yang holistik dan berkelanjutan.
256

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Pertama, belum tersedianya payung hukum sebagai peraturan
pelaksanaan berbentuk Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) maupun
Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) serta aturan turunannya secara
menyeluruh dan terintegrasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota
yang meliputi aspek pembangunan manusia, ekonomi atau
kesejahteraan dan lingkungan hidup sebagai panduan pembangunan
daerah. Kedua, adanya tarik menarik kepentingan politik
pembangunan antara pusat dan daerah serta antara paradigma
pembangunan berkelanjutan dan paradigma pertumbuhan yang
melibatkan intervensi korporasi besar nasional dan transnasional yang
berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar masyarakat (Frangky &
Morgan, 2015). Ketiga, terbatasnya pemahaman masyarakat, birokrat,
politisi dan mitra pembangunan lain tentang paradigma pembangunan
berkelanjutan sehingga rasionalitas politis dan teknis lebih menonjol
daripada rasionalitas etis. Keempat, belum diselesaikannya secara
hukum masalah-masalah pelanggaran HAM di Papua dan persoalan
politik Papua melalui dialog Papua Jakarta sehingga menimbulkan
sikap apriori masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, Pendekatan
strategi affirmative action yang lebih terbuka dan mandiri melalui
revisi Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
(Enembe, 2016) yang berlarut-larut menimbulkan kecurigaan
masyarakat terhadap pemerintah pusat, yakni pemerintah tidak serius
membangun Papua dan hal ini berdampak pada partisipasi masyarakat
dalam pembangunan.
Berdasarkan latar belakang keadaan, tujuan dan strategi
pembangunan Papua serta kendala-kendala yang ada sebagaimana
digambarkan di atas, studi kasus tentang pengembangan kelapa sawit di
Kampung Workwana mau dianalisis dan direfleksikan dari perspektif
Sustainable Livelihood (Kristian Ansaka dkk., 2009, 329-330; Muridan
S. Widjoyo, dkk., 2009; Dale & Djonga, 2011; Tebay, 2012; Majalah
Honai, 2013).
Sesudah melihat pokok-pokok gagasan pembangunan Papua Baru
menurut Suebu dan Enembe, berikut ini dibuat suatu skema visi
pembangunan Papua Baru dimaksud yang telah dijelaskan di atas.
257

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

RESPEK (Suebu)
dan
PROSPEK
(Enembe)

Paradoks Papua
(Suebu, 2007) &
Papua:
AntaraUang&
Kewenangan
(Enembe, 2016)

Papua Baru:
adil, damai,
sejahtera,
bangkit&mandiri

OTSUS
Gambar 7.2
Latarbelakang dan Tujuan Pembangunan Papua

Workwana dan Realitas Pembangunan
Kampung Workwana sebagai bagian dari Kabupaten Keerom
dan Provinsi Papua diharapkan berkembang juga menuju Papua Baru
yang adil, sejahtera, bangkit dan mandiri. Cita-cita menuju Papua Baru,
didekati dengan pembangunan di bidang ekonomi melalui perkebunan
kelapa sawit, diharapkan berdampak pada aspek kehidupan lain
penduduk setempat. Setelah 32 tahun kelapa sawit dikembangkan di
daerah Keerom, Distrik Arso mengalami perubahan dan perkembangan
sebagai sebuah proses transformasi yang amat berarti dalam berbagai
aspek kehidupan penduduk di daerah tersebut. Akan tetapi
transformasi tersebut sekaligus juga telah menciptakan konflik sosial,
krisis serius yang multidimensi. Krisis tersebut kemudian menjadi
ongkos sosial dan ekonomi yang begitu mahal sebagai beban luar biasa
penduduk setempat. Akibat pendekatan pembangunan yang demikian,
muncullah sikap resistensi penduduk sebagai bentuk sebuah gerakan
sosial masyarakat adat sebagai colletive action. Berikut dibuat suatu
analisa dan refleksi mengenai permasalahan yang disebutkan.
Refleksi atas Resistensi dan Konflik dengan PTPN II
Kesuksesan Indonesia sebagai salah satu negara produsen
minyak kelapa sawit dunia tidak diikuti oleh kisah keberhasilan dan
kesejahteraan masyarakat lokal sebagai petani kelapa sawit atau buruh
258

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

tani pemilik hak ulayat. Justru yang dialami penduduk lokal sebagai
akibat pengembangan industri kelapa sawit ialah terjadinya proses
pemiskinan penduduk asli setempat, pelanggaran hak sosial, ekonomi
dan budaya, hak azasi manusia, kerusakan lingkungan dan konflikkonflik terkait lahan. Tahun 2010 Sawit Watch mencatat lebih dari 663
warga masyarakat berkonflik dengan lebih dari 172 perusahaan dan
106 orang ditangkap akibat konflik-konflik tersebut.
Konflik sumber daya alam (SDA) karena adanya eksploitasi
yang terjadi baik di Papua maupun di berbagai daerah lain di
Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kompas (16 Februari 2013) bahwa
konflik karena SDA berkaitan dengan usaha pertambangan, kehutanan
dan perkebunan terjadi meluas di 22 provinsi di seluruh Indonesia.
Data berikut menggambarkan konflik SDA dimaksud.
Tabel 7.1
Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia
No
Bidang Usaha
Jumlah Kasus
1.
Perkebunan
119
2.
Kehutanan
72
3.
Tambang
17
Sumber: Kompas, 16 Februari 2013

Luas lahan
415.000 ha
1.3 juta ha
30.000 ha

Keterangan

Konflik-konflik terkait SDA sebagaimana digambarkan di atas
ternyata merupakan masalah yang serius karena berkaitan langsung
dengan nasib hidup rakyat, hak atas tanah, dan hutan serta sumber
daya penghidupan yang ada. Aditjondro (2003), juga melihat bahwa
penanganan konflik-konflik SDA cenderung mengidikasikan
terjadinya kekerasan dan bahkan adanya pelanggaran hak asazi
manusia HAM. Konflik berlatarbelakang kepentingan hak-hak
masyarakat setempat pun terjadi di Papua. Konflik-konflik antara
masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan berkaitan dengan
penggunaan sumber daya hutan masyarakat dan penggunaan lahanlahan untuk pengembangan industri perkebunan, seperti digambarkan
di atas, jauh sebelumnya telah terjadi di daerah Keerom dan
Manokwari. Kedua tempat ini memang banyak mengisahkan persoalan
konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pengembangan
kelapa sawit di Tanah Papua berawal dari kedua daerah ini.
259

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Latarbelakang konflik atas tanah sebagaimana digambarkan di
atas dapat dilihat dari penjelasan berikut.Fauzi dan Bachriadi [dalam
Fauzi & Nurjaya (Penyunting), 2000], mengutip Aditjondro (1995),
melihat ada beberapa jenis persoalan konflik tanah di Indoensia. Jenisjenis konflik tersebut ialah, (1) konflik mayoritas-minoritas, yang
umum terjadi di Indonesia, (2) konflik antara warga negara dengan
negara, (3) konflik politis-ekologis, (4) konflik antara sistem ekonomi
yang berbeda, (5) konflik antara ekosistem-ekosistem, (6) konflik
antara sistem hukum yang berbeda. Berkaitan dengan konflik lahan
perkebunan masyarakat adat di Workwana dan beberapa kampung di
sekitarnya dengan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit, sekurangkurangnya mengandung empat jenis konflik, sebagaimana dilihat oleh
Aditjondro. Jenis-jenis konflik tanah di wilayah ini dapat dikatakan
berbentuk, a. konflik antara warga negara dengan negara, b. konflik
politis-ekologis, c. konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda
dan d. konflik antara sistem hukum yang berbeda. Selanjutnya akan
direfleksikan konflik-konflik dimaksud dalam perspektif konflik tanah
ulayat penduduk dengan PTPN II dalam pengalaman penduduk di
Workwana.
Pertama, Konflik antara warga negara dan negara. Sebagaimana
diketahui bahwa PTPN II yang beroperasi di wilayah Distrik Arso di
bidang perkebunan sawit, merupakan sebuah badan usaha milik
negara. Sebagai BUMN di daerah PPTPN II, bekerja berdasarkan
regulasi-regulasi, seperti terkait dengan kontrak lahan yang cenderung
tidak berpihak pada rakyat atau masyarakat adat. Sejak awal
berdirinya, dikisahkan oleh penduduk bahwa dari pengalaman terlihat
jelas BUMN ini menggunakan aparat keamanan negara untuk menekan
penduduk memenuhi keinginan perusahaan dan memanfaatkan kuasa
pemerintah memanipulasi luas lahan masyatakat yang digunakan
untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah Distrik Arso.
Fenomena ini terang benderang memperlihatkan wujud perlawanan
negara terhadap warga negara yang bersifat represif dan melanggar
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya penduduk setempat (Dale &
Djonga, 2011). Pendekatan-pendekatan tersebut ternyata meninggalkan trauma dan luka batin yang mendalam di masyarakat terhadap
260

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

aparat keamaman, rasa benci yang luar biasa terhadap perusahaan dan
pemerintah dan rasa curiga berkepanjagan terhadap kegiatan dan
aktivitas baru dari luar. Gejolak psikologis dan sosial ini berdampak
pada relasi-relasi sosial masyarakat yang menyebakan penduduk
bersikap tertutup terhadap orang lain. Kecuali jika orang yang berelasi
dengan penduduk tersebut dilihat sebagai orang yang jujur, memahami
dan berpihak, orang yang dipercayai dan diyakini pro penduduk
setempat. Kedua, Konflik politik ekologis. Menurut penduduk
setempat pengalihfungsian hutan sebagai lahan sawit merupakan
sebuah kegiatan politik pemerintah di wilayah perbatasan melalui
pendekatan ekonomi. Dikatakan demikian oleh penduduk setempat
karena secara politik daerah ini ada di wilayah perbatasan yang harus
aman dari berbagai gangguan yang dilakukan oleh kelompok separatis
OPM. Karena itu alasan penanaman kelapa sawit merupakan
pendekatan keamaman politik ekologis yang tepat. Dengan kata lain
perkebunan kelapa sawit di daerah ini mempunyai dua fungsi yaitu,
fungsi manifest sebagai kegiatan ekonomi, tetapi juga mengandung
fungsi laten sebagai kegiatan politik bagi keamanan daerah perbatasan.
Dampaknya ialah partisipasi penduduk di bidang pembangunan
ekonomi melalui perkebunan sawit menyisahkan sikap resistensi
penduduk. Karena pendekatan politik ekologis daerah perbatasan ini
telah menimbulkan berbagai krisis dalam kehidupan penduduk
setempat, yaitu krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kelembagaan
masyarakat, dan krisis sosial budaya dengan ongkos ekonomi dan sosial
yang luar biasa mahal (Sen, 2000; Aditjondro, 2003). c. konflik antara
sistem-sistem ekonomi yang berbeda. Krisis-krisis tersebut di atas, yang
ditimbulkan oleh beroperasinya perkebunan sawit di daerah ini
dilatarbelakangi oleh paradigma dan sistem pendekatan ekonomi
pertumbuhan atau production thingking, yang melihat hutan, tanah
dan manusia sebagai alat dan sumber produksi. Oleh sebab itu kelapa
sawit dilihat sebagai salah satu komoditi unggulan.yang dapat
memenuhi syarat produktivas dan pertumbuhan dimaksud. Dari
cirinya sistem pendekatan ekonomi pertumbuhan cenderung
mengabaikan paradigma pembangunan berkelanjutan karena sifatnya
yang ekstraktif dan mengabaikan sistem ekonomi lain, khusunya
261

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

sistem pendekatan ekonomi subsisten (Barnard dan Spencer, 1996, 288291)22, penduduk setempat yang memperhatikan aspek keberlanjutan
lingkungan hidup bagi manusia. [Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,
(Ed.), 1999; Acemoglu & Robinson, 2014]. d. Konflik antara sistem
hukum yang berbeda. Secara kelembagaan pertikaian atau konflik ini
memperlihatkan adanya pertarungan yang diungguli dan didominasi
oleh hukum positif negara atas tradisi penduduk setempat. Orang
Workwana, Arsokota dan orang Keerom pada umumnya sebenarnya
mempunyai aturan atau tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang
secara turun-temurun untuk mengatur kehidupan bersama sebagai
suatu masyarakat atau yang dikenal dengan sistem tenurial penduduk
(Patay, 2005; Colchester, at. al., 2007; Marti, dkk., 2008 ). Namun
tradisi tersebut berbenturan dengan hukum positif yang dipakai negara
atau BUMN seperti PTPN II atas nama kepentingan umum atau negara
mengalahkan tradisi atau kebiasaan penduduk setempat. Masalahnya
ialah banyak penduduk tidak memahami aturan hukum yang ada
sehingga masyarakat biasanya menjadi korban atas produk hukum
negara tersebut. Implikasi lain ialah, ketika penduduk menolak hukum
negara, mereka dengan mudah distigma sebagai anti negara, separatis
dan lain-lain. Penggunaan hukum yang berbeda dapat digunakan
penguasa sebagai alat teror dan manipulasi terhadap masyarakat.
Padahal negara seharusnya melindungi atau mengayomi warganya dari
segala bentuk intimidasi dan stigmatisai dan berbagai pendekatan yang
bersifat eksploitatif terhadap penduduk setempat (Bdk. Yunus Ukru,
dkk., 1993; Malak, 2006).

Menurut Barnard dan Spencer tipe “hunter and gatherer society” memperlihatkan dua
hal. Pertama, kelompok ini merupakan suatu kategori sosial, tipe organisasi sosial dan
kehidupan ekonomi masyarakat yang subsisten yaitu kehidupan yang bergantung
pada tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang liar yang ada di hutan dan menanam
berpindah-pindah. Selain itu tipe organisasi sosial masyarakat seperti ini merupakan
bentuk masyarakat egalitarian yang sederhana. Kedua, bentuk masyarakat seperti ini
dilihat sebagai suatu simbol solidaritas dari gerakan budaya suatu masyarakat.
Pandangan ini dapat dikatakan sejalan dengan studi Boelaars (1986), yang melihat
budaya masyarakat Papua terbagi ke dalam beberapa tipe budaya yang
melatarbelakangi kehidupan sehari-hari. Boelaars membedakan tipe masyarakat yang
disebut peramu dan masyarakat petani.

22

262

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa masalah hak ulayat dan tuntutan ganti rugi tanah bukan
merupakan urusan yang mudah seperti membalik telapak tangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Wenehen (2005) dan Malak (2006). Dari
catatan-catatan di atas jelas terlihat terjadi beberapa kali pelepasan
tanah adat atau tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat adat di
Arso, baik yang dilepas oleh pemilik yang sah maupun bukan pemilik
hak ulayat yang sah, dengan total luas mencapai 92.410 hektare. Semua
lahan tersebut dilepas dalam kurun waktu sebelas tahun, dari tahun
1981 sampai 1992 sebagaimana dicatat oleh Rosariyanto dan Ansaka,
dkk., serta berdasarkan penjelasan masyarakat. Dari surat-surat
pelepasan yang ada tidak satupun surat yang terbebas dari klaim.
Rosariyanto dkk., dan Ansaka dkk., menyebut alasan masyarakat
mengklaim surat-surat tentang pelepasan tanah ulayat sebagaimana
disampaikan oleh beberapa tokoh adat yang ditemui penulis, karena
hal-hal berikut: tanah ulayat yang dilepaskan diubah tempatnya baik
untuk areal perkebunan maupun lokasi transmigrasi PIR tanpa
koordinasi, pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah, rekognisi
diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang karena bukan pemilik
hak ulayat yang sesungguhnya.
Potret penduduk setempat di Workwana memperlihatkan
wajahnya yang sedang mengalami transformasi atau sedang berproses
dalam perubahan. Perubahan itu ditandai oleh situasi di mana mereka
sedang beranjak dari keadaan subsisten, bergantung pada alam, hutan
dengan segala sumber daya penghidupan yang ada di dalamnya, ke
bentuk kehidupan baru yang lebih produktif, sebagai petani kelapa
sawit, peternak, pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan
lain-lain diterjang berbagai krisis serius. Situasi demikian itulah yang
dimaksud dengan proses transformasi sosial di Workwana dan
sekitarnya yang berwajah destabilisasi, disparitas pendapatan dan sosial
serta deteritorialisasi kehidupan penduduk asli setempat sebagai
dampak pembangunan. Proses transformasi sosial yang sejatinya
mengembangkan, memajukan dan meningkatkan mutu hidup
penduduk setempat ternyata berdampak menimbulkan krisis serius di
beberapa aspek kehidupan orang Kampung Workwana.
263

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Konflik tersebut tidak berakhir di sini tetapi berlanjut pada
munculnya sikap resistensi penduduk. Seperti telah diuraikan pada Bab
6, resistensi penduduk terhadap PTPN II tidak dilakukan orang
Workwana sebagai penduduk kampung di mana terdapat perkebunan
kelapa sawit tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan warga
kampung-kampung tetangga sebagai komunitas masyarakat adat. Oleh
karena itu sikap resistensi penduduk dilihat sebagai colletive action.
Resistensi penduduk dilatarbelakangi oleh berbagai hal berikut.
Adanya kecurigaan penduduk terhadap pemerintah dan perusahaan
yang memanipulasi luas lahan perkebunan sawit dari 5.000 hektare
menjadi 50.000 hektare; kemudian setelah lebih dari 25 tahun masa
tanam ternyata kelapa sawit tidak memberi kesejahteraan kepada
penduduk sebagaimana dijanjikan pada awal pelepasan tanah-tanah
penduduk untuk perkebunan sawit; urusan sawit menimbulkan bebanbeban biaya saat panen, saat memasukkan TBS di pabrik, pemeliharaan
kebun, termasuk penyelesaian beban kredit perusahaan untuk
pengembangan perkebunan sawit, terjadi fluktuasi harga bahkan
sampai mencapai harga terendah yang merugikan penduduk setempat
sebagai petani sawit, hilangnya hutan dan lahan penduduk untuk
mencari nafkah secara subsisten. Keadaan ini kemudian memunculkan
sikap resistensi sebagai collective action penduduk.
Dari perspektif resistensi yang dikembangkan oleh Vinhagen
Stellan (2007) dapat dijelaskan bahwa, resistensi dilihat sebagai sikap
atau tindakan tandingan atas kekuatan-kekuatan dominan dalam
relasi-relasi, proses atau institusi-institusi untuk memperjuangkan
kesetaraan dalam kehidupan bersama. Singkatnya, Vinhagen
menyatakan ada empat hal penting dalam definisi resistensi: (1) ada
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;
(2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3) menghadapi tantangan
kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan mengurangi penguasaan. Ia pun
membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan kekerasan yang
pada umumnya digunakan melalui, revolusi, demonstrasi, pemogokan
dan boikot. Sendangkan bentuk-bentuk resistensi tanpa kekerasan
seperti, resistensi diskursif (bentuk simbolik komunikasi dengan
membangun argumen yang baik, atau menyampaikn laporan hasil
264

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

penelitian tandingan, image tandingan, perilaku tandingan); kompetisi,
tidak bekerja sama, bekerja sama selektif, menarik diri, menghentikan
suatu proses, lelucon yang merusakkan.
Bila penduduk di Workwana, Arsokota dan sekitarnya
menunjukkan resistensi mereka dalam berbagai bentuk. Ada protes
melalui surat-menyurat, secara demontrasif berhenti panen (menjual
dan mengontrakan lalan), melakukan pemalangan pabrik dan kebun
Inti perusahaan, mempertahankan wilayah segitiga emas, dan
melakukan upacara adat tanda penghentian kegiatan di perkebunan
sawit. Bila bentuk-bentuk resistensi masyarakat adat ini dibandingkan
dengan bentuk-bentuk resistensi yang disebut Vinhagen, terlihat ada
beberapa perbedaan penting yang dapat disebutkan sebagai berikut.
Resistensi orang Arso berbentuk: tindakan tanpa kekerasan seperti,
menempuh jalur hukum, menjual dan mengontrakan lahan; sedangkan
resistensi dengan kekerasan ialah memalang pabrik dan kebun inti
perusahaan. Bentuk resistensi ketiga ialah upacara adat. Upacara adat
mengandung peringatan, teguran dan sekaligus ancaman. Jadi
reisistensi ketiga mengandung tidak bersifat kekerasan tapi juga
megandung unsur-unsur kekerasan karena terdapat ancaman. Dengan
demikian resistensi dalam kasus ini dapat dikatakan merupakan
colletive action tidak saja dilakukan oleh masyarakat adat Arso tetapi
juga mengikat dan mengandung sanski bagi perusahaan atau pihak lain
yang melanggar apa yang sudah dibuat dalam upacara adat. Selanjutnya
akan direfleksikan dampak kelapa sawit terkait dengan Livelihood
penduduk.

Kelapa Sawit: Tinjauan Livelihood Orang Workwana
Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Workwana
memperlihatkan bahwa pembangunan dengan pendekatan production
thingking yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, berdampak
memunculkan polarisasi masyarakat. Polarisasi tersebut menjadikan di
satu pihak ada pemerintah, perusahaan dan pemodal sebagai penguasa,
dan di pihak lain ada masyarakat atau penduduk setempat, sebagai
265

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

entitas yang dikuasai. Artinya secara sosial terkonstruksi sistem dan
struktur sosial ekonomi dan politik yang didominasi penguasa, dan
korporasi bermodal sebagai penentu kebijakan, berhadapan dengan
masyarakat petani dan buruh tani, nelayan, buruh pabrik, orang desa
dan tenaga upahan lainnya sebagai pelaksana kebijakan. Dampak
polarisasi tersebut memunculkan relasi-relasi sosial ekonomi dan
politik yang disosiatif, mengandung relasi dalam kesenjangan atau
ketimpangan yang luar biasa. Relasi yang disosiatif dan timpang
tersebut bermuara pada resistensi masyarakat seperti yang terjadi
dalam pengalaman kasus perkebunan sawit di Distrik Arso. Selanjutnya
akan dijelaskan berbagai bentuk konflik yang bermuara pada sikap
resistensi masyarakat di wilayah Workwana dan sekitarnya.
Di satu sisi harus diakui bahwa berbagai perubahan dan
perkembangan yang bersifat makro telah terjadi dalam kehidupan
masyarakat di tempat ini secara khusus melalui pengembangan
perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pembangunan lainnya. Dari
penuturan penduduk, masa-masa emas hasil kelapa sawit bagi mereka
hanya berlangsung beberapa saat, setelah itu warga kembali mengalami
keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama sejak
produksi kelapa sawit terus menurun dan warga berhenti mengurus
kelapa sawit sejak tahun 2000.
Di sisi lain harus dikatakan pula bahwa pendekatan
pembangunan seperti yang telah dilakukan selama ini telah
menimbulkan persoalan-persoalan pembangunan yang signifikan
terhadap Livelihood penduduk asli setempat di Kampung Workwana,
termasuk penduduk kampung-kampung tetangga.

Krisis-krisis Akibat Pengembangan Kelapa Sawit
Kehadiran kelapa sawit sebagai komoditas unggulan yang selalu
dibanggakan dan telah menyebar di seluruh Indonesia ternyata
memunculkan masalah serius dalam kehidupan penduduk asli setempat
karena kelapa sawit menyebakan terjadinya sejumlah krisis yang
berdampak luas dan signifikan bagi kehidupan mereka. Studi tentang
266

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

kelapa sawit di Workwana memperlihatkan munculnya berbagai
krisis,yakni krisis ekologi (lingkungan), ekonomi, kelembagaan dan
sosial budaya.
Krisis yang paling konkrit atau nyata diarasakan dan dialami
ialah krisis ekologi, kemudian krisis ekonomi, sesudah itu krisis
kelembagaan dan krisis sosial-budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai
hidup penduduk setempat. Berikut ini dibuat penjelasan mengenai
krisis-krisis dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
Dalam urutan krisis-krisis yang terjadi, krisis lingkungan atau ekologi
di tempatkan paling awal, dan terletak di bawah kemudian disusul
krisis-krisis yang lain.
Sosial-Budaya

Kelembagaan

Ekonomi

Ekologi
Gambar 7.3 Jenis-jenis Krisis

Krisis Ekologi (Lingkungan)
Krisis ekologi lebih bersifat krisis material yang langsung
dialami, dan mendasar karena langsung berkaitan dengan unsur
kehidupan yang langsung berkaitan dengan kepentingan hidup
manusia dan berdampak terhadap Livelihood penduduk setempat.
Krisis ekologi atau krisis lingkungan, berkaitan dengan
rusaknya lingkungan dan ekosistem yang berdampak signifikan
merugikan manusia. Untuk menganalisis krisis ekologi, pemikiran267

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT
Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

pemikiran yang berhubungan dengan persoalan ekologi digunakan
untuk melihat persoalan dimaksud.
Jain (2001) menjelaskan bahwa, lingkungan hidup terdiri dari
tiga komponen dasar yang saling berhubungan dan memengaruhi yaitu
(1) unsur fisik (pohon, tanah, batu, air dan lain-lain); (2) udara, cuaca
dan angin, dan lain-lain; (3) makhluk hidup (manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan). Ketiga komponen ini membentuk satu jaringan
yang terpadu dan serasi. Masing-masing komponen berada pada
tempatnya dan berperan membentuk suatu ekosistem kehidupan yang
terpadu. Namun masalah ekologi muncul ketika salah satu komponen
dirusakkan. Artinya adanya perubahan pada salah satu bagian dari
ekosistem yang ada akan memengaruhi pula kesimbangan seluruh
ekosistem.
Merujuk pada pemikiran Jain di atas dapat dikatakan bahwa
ekosistem yang terganggu di wilayah perkebunan kelapa sawit di
daerah Workwana dan sekitarnya karena hutan-hutan ditebang dan
tanah masyarakat dialihfungsikan, berdampak menimbulkan krisis
lingkungan hidup [Aditjondro, 2003, 59-103 & 403-425; Frangky &
Morgan (Penyunting), 2015]. Dampak kerusakan ekologi atau
lingkungan ternyata telah menimbulkan krisis berkepanjangan
berkaitan dengan tersingkirnya Livelihood subsisten (Boelaars, 1989)
penduduk asli di sekitar perkebunan kelapa sawit sebagai suatu
persoalan serius pembangunan di daerah, Ansaka dkk. (2009) mencatat
Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) II Tanjung Morawa
Medan telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 51.310
hektare di daerah Kabupaten Keerom. Dengan demikian hasil studi
kasus di Workwana ini memperlihatkan krisis tersebut ditandai oleh
fenomena-fenomena berikut. Pertama, hutan sebagai tempat dan
sumber Livelihood penduduk asli yang di dalamnya terdapat jenis-jenis
flora dan fauna serta berbagai potensi kekayaan alam, hilang. Selain itu
hutan dengan tutupan humus organik dan sebagai daerah serapan air,
sebagai habitat hewan liar dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat
bagi penduduk sebagai suatu ekosistem yang terpadu pun berubah
fungsi, tidak dapat dimanfaatkan dan sulit ditemukan oleh penduduk
268

Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collec

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

2 3 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

0 0 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB V

0 1 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB III

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB II

0 1 63

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Diri & Persepsi Diri Orang Papua Gunung & Orang Papua Pantai dalam Membentuk Pola Komunikasi

0 0 14