Tinjauan Yuridis Atas Tindakan Debitur Yang Menolak Pengosongan Barang Jaminan Yang Dieksekusi Oleh Bank

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan
dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan
menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai bank note. Salah satu fungsi bank
adalah sumber pendanaan bagi suatu kegiatan usaha, yang pada akhirnya merupakan
stimulus bagi penggerak roda perekonomian. Peranan perbankan sangat penting
sebagai faktor pendorong kegiatan ekonomi. Pemberian kredit merupakan salah satu
kegiatan utama bank yang mengandung resiko yang dapat berpengaruh pada
kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat bank sebagai lembaga
intermediasi yang sebagian besar dananya berasal dari dana masyarakat maka
pemberian kredit perbankan merupakan suatu kewajiban dalam rangka penyaluran
dana bank dalam membantu perekonomian masyarakat.
Penyaluran kredit oleh bank kepada masyarakat dibatasi oleh

ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan dengan
mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya,

termasuk dalam pemberian kredit. Selain itu Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh
perbankan dimana beberapa regulasi tersebut antara lain adalah Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi bank umum,

1

2

Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK), Penilaian Kualitas Aktiva, Sistem
Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban
bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank
berdasarkan Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank, Bank Umum wajib
memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh Dewan
Komisaris Bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok
sebagai berikut :
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
2. Pengikatan Jaminan kredit
3. Organisasi dan manajemen perkreditan

4. Kebijakan persetujuan kredit
5. Dokumentasi dan administrasi kredit
6. Pengawasan kredit
7. Penyelesaian kredit bermasalah1
Bank sebagai penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman /
kredit memiliki ketentuan-ketentuan sebagai pedoman dalam penyaluran kreditnya.
Menurut Sigit Triandaru kredit adalah pemberian fasilitas pinjaman kepada nasabah,
baik berupa pinjaman tunai (cash loan) maupun pinjaman non tunai (non-cash loan)
yang memiliki ketentuan dan tata cara yang diatur di dalam Undang-Undang No. 7

1

Johan Munardi, Pokok-Pokok Perkreditan Perbankan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 20

3

Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Perbankan No. 10
Tahun 1998.2
Kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “credere” yang mengandung makna
kepercayaan. Oleh karena itu pemberian kredit kepada nasabah merupakan suatu

kepercayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya dalam menyalurkan dana
yang dibutuhkan oleh nasabah tersebut dengan kewajiban nasabah menyerahkan
agunan sebagai jaminan dari pemberian kredit tersebut.3
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok serta bersifat konsensuil (pacta
de contrahendo obligatoir) disertai dengan adanya permufakatan antara pemberi dan
penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antar keduanya yaitu bank selaku
kreditur (pemberi pinjaman dan nasabah peminjam selaku debitur). Perjanjian kredit
yang telah ditanda tangani oleh kedua belah pihak baru berlaku pada saat terjadinya
momentum penyerahan uang dari bank selaku kreditur kepada nasabah peminjam
selaku debitur. Pada umumnya perjanjian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian
standar (standard contract / standart verbintenis). Hal ini terlihat dalam praktek
pelaksanaan pemberian kredit oleh bank selalu tersedia blanko perjanjian kredit yang
isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak bank. Formulir ini diberikan setiap
pemohon kredit, isinya tidak dirundingkan atau dimusyawarahkan terlebih dahulu
oleh bank selaku kreditur dan nasabah peminjam selaku debitur. Nasabah peminjam

2

Siti Triandaru dan Totok Budisantoso, Prinsip-Prinsip Kredit Perbankan, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2007, hal. 36

3
Bambang Heryandi, Praktek Pelaksanaan Kredit Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hal. 65

4

selaku debitur hanya diminta pendapatnya untuk menerima atau menolak (take it or
leave it).
Dalam pelaksanaan

kredit,

kreditur

harus

memperhatikan

azas-azas


perkreditan yang benar. Menurut Hermansyah untuk mencegah terjadinya kredit
bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan
terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berperdoman kepada formula
5C. 5C tersebut adalah : (1) Cheracter (watak), (2) Capacity (kemampuan), (3)
Capital (modal), (4) Condition (kondisi ekonomi), (5) Colateral (Jaminan). 4
Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai resiko berupa kegagalan dan
kemacetan dalam pelaksanaannya. ”In good times both borrowers and renders are
overconfident about inverstment project and thier ability to repay and the recoup
thier loans and the corresponding feesand interest rates”5 yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi pada kondisi baik, baik peminjam maupun pemberi
pinjaman yang terlalu percaya tentang proyek-proyek investasi dan kemampuan
mereka untuk membayar dan atau untuk menutup pinjaman mereka dan biaya yang
sesuai dan tingkat suku bunga”, merupakan salah satu penyebab resiko kredit. Salah
satu cara yang digunakan untuk memperkecil resiko adalah dengan memberikan
jaminan dari debitur ke kreditur dengan jaminan yang diberikan, maka bank yakin
bahwa debitur akan memenuhi prestasinya di kemudian hari sesuai jangka waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit. Bagi debitur yang tidak memenuhi

4
5


Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Renada Media, 2005. hal 59.
Ibid¸hal.61

5

prestasinya, maka jaminan yang diserahkan akan dilelang oleh bank sesuai prosedur
hukum yang berlaku terhadap jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan.
Hasil lelang barang jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut akan
digunakan untuk melunasi hutang-hutang debitur dan apabila ada sisanya maka
dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan.6
Praktek pemberian kredit dilaksanakan dengan menggunakan prinsip 5C yaitu
(character, capital, capacity, condition of economic dan collateral) sebagai suatu
upaya bank dalam melakukan penseleksian terhadap para nasabah (debitur) yang
mengajukan permohonan kreditnya. Tujuan melaksanakan seleksi terhadap nasabah
(debitur) tersebut adalah untuk mengamankan penyaluran kredit yang dilaksanakan
oleh bank tersebut agar tidak terjadi kemacetan dalam pembayarannya. Meskipun
pihak bank telah melakukan penyaluran kredit dengan prinsip kehati-hatian namun
tetap saja dalam penyaluran kredit tersebut mengalami permasalahan tunggakan /
kredit macet yang dapat mengurangi aset dari bank tersebut. Banyak faktor yang

dapat mempengaruhi sehingga debitur tidak mempunyai kemampuan untuk
membayar kembali pinjaman yang telah diberikan oleh bank. Faktor utama penyebab
terjadinya kemacetan dalam pembayaran kredit oleh nasabah kepada bank adalah
kondisi ekonomi yang labil sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan ekonomi
pada nasabah yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan membayar kredit tersebut. 7

6

Ais Chatamarrasjid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia di Tinjau dari Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Tentang
Bank Indonesia, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 16
7
Ketut Rindjin, Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank¸Gramedia Pustaka, Jakarta,
2008, hal.31

6

Ketidak mampuan debitur untuk membayar kembali penyaluran kredit yang
diterimanya, akan berdampak kepada agunan yang diberikan oleh nasabah kepada

bank yang menjadi jaminan pembayaran kembali kredit yang diterimanya tersebut.
Dengan demikian pemberian agunan berupa tanah dan bangunan yang dapat diikat
dengan Hak Tanggungan merupakan suatu jaminan bagi bank untuk mengamankan
penyaluran kreditnya. Agunan berupa tanah dan bangunan yang dapat diikat dengan
Hak Tanggungan lebih disukai oleh bank karena nilainya cenderung stabil dalam
jangka panjang. Oleh karena itu dalam setiap transaksi pemberian kredit oleh bank
kepada nasabah debiturnya lebih didominasi oleh agunan berupa tanah dan bangunan
yang dapat diikat dengan Hak Tanggungan.8
Dalam rangka menciptakan adanya suatu lembaga jaminan yang kuat serta
dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap
pemberian

kredit

oleh

perbankan,

pemerintah


telah

mengundangkan

dan

memberlakukan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang merupakan jaminan terhadap barang tidak bergerak
berupa tanah maupun bangunan. Untuk jaminan bagi barang bergerak pemerintah
juga mengundangkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Benda jaminan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah benda jaminan tidak
bergerak berupa tanah dan bangunan yang diikat dengan jaminan Hak Tanggungan
sebagaimana terdapat dalam ketentuan UUHT No. 4 Tahun 1996.9

8

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 58
9
R. Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum

Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hal. 29

7

Dalam UUHT, Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(“SKMHT)” hanya diperkenankan dalam suatu keadaan tertentu (khusus), yaitu
apabila Pemberian Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan Pejabat
Pembuat Akta (PPAT) atau Notaris untuk membuat Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (APHT). Dalam keadaan yang demikian maka, pemberi Hak
Tanggungan wajib menunjuk pihak yang lain sebagai kuasanya dengan SKMHT yang
berbentuk akta otentik dan pembuatannya diserahkan kepada Notaris atau PPAT yang
keberadaanya menjangkau wilayah kecamatan. Subtansi dari SKMHT juga dibatasi
oleh UUHT, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan,
tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan, memuat
nama dan identitas kreditur, debitur, jumlah uang, serta obyek Hak Tanggungan. 10
Pembatasan mengenai subtansi ini ditujukan untuk mencegah berlarutlarutnya pemberian kuasa serta demi tercapainya kepastian hukum, SKMHT juga
dibatasi jangka waktu berlakunya. Terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar,
SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan dan terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus
dipenuhi dalam waktu 3 bulan. Yang dimaksud dengan tanah yang belum terdaftar

adalah tanah-tanah yang telah ada hak kepemilikannya menurut hukum adat, tetapi
proses administrasi konversinya belum selesai dilaksanakan. Termasuk dalam
kategori tanah belum terdaftar ini adalah tanah-tanah yang sudah bersertipikat, tetapi

10

Agus Yudha Hernoko, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang Kegiatan
Perkreditan Perbankan Nasional, Munair, Surabaya, 2006, hal. 19

8

belum didaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah
yang baru, yaitu tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya atau
penggabungannya. Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi,
maka SKMHT menjadi batal demi hukum. Ketentuan tentang batas waktu untuk
melaksanakan kewajiban yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa
SKMHT bukan merupakan syarat dalam proses pembebanan Hak Tanggungan karena
syarat mutlak pembebanan Hak Tanggungan adalah pembebanan Hak Tanggungan
dan Pendaftarannya. 11
Salah satu ciri Hak Tanggungan dikatakan kuat adalah mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitur cidera janji (wanprestasi) kemudahan dan
kepastian pelaksanaan eksekusi tersebut dapat dilihat dengan disediakannya cara-cara
eksekusi tersebut dapat dilihat dengan disediakannya cara-cara eksekusi yang lebih
mudah daripada melalui acara gugatan seperti perkara perdata biasa.
Parate eksekusi juga dimungkinkan ada pembedaan antara parate dari Hak
Tanggungan dan parate eksekusi. Pemegang hak tanggungan hanya mempunyai hak
untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang
demikian itu dalam akta pemberian Hak Tanggungan. Sedangkan dalam Hak
Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate
eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT, dengan kata lain

11

Mochammad Dja’is, Peran Sifat Accesoir Hak Tanggungan Dalam Mengatasi Kredit
Macet, Citra Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 23

9

diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hal itu demi hukum dipunyai oleh pemegang
Hak Tanggungan.12
Sehubungan dengan parate eksekusi tersebut, pada sertipikat Hak
Tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adalah Hak Tanggungan,
dibubuhkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
sah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut disebutkan secara tegas di dalam
ketentuan Pasal 14 ayat 2 UUHT yang berbunyi : Sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat
dilakukan tanpa harus melalui proses litigasi apabila debitur cidera janji
(wanprestasi). Sedangkan diketahui apabila piutang macet karena debitur
wanprestasi dimana piutang negara termasuk tagihan bank-bank pemerintah, maka
penagihannya dilakukan

oleh PUPN/BUPLN. Sedangkan apabila piutang macet

tersebut merupakan tagihan dari Bank swasta atau perorangan termasuk badan hukum
swasta, maka penagihannya dilakukan melalui Pengadilan Negeri.13
Dalam suatu perjanjian kredit perbankan dengan menggunakan lembaga Hak
Tanggungan sebagai jaminan atas kredit tersebut, bank sebagai kreditur hanya

12

M. Bahsan. Hukum Jaminan Hak Tanggungan dalam Kredit Perbankan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009, hal. 43
13
Benny Waluyo, Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Sebagai Objek
Jaminan Hak Tanggungan, ANDI, Yogyakarta, 2005, hal. 79

10

memegang sertipikat Hak Tanggungan yang telah terdaftar dan dikeluarkan oleh
kantor pertanahan tempat dimana objek Hak Tanggungan tersebut berada. Sedangkan
penerima kredit selaku debitur tetap memegang atau menduduki objek Hak
Tanggungan tersebut. Di dalam sertipikat kepemilikan dari objek Hak Tanggungan
tersebut oleh kantor pertanahan telah ditulis kata-kata bahwa hak kepemilikan
tersebut telah dipasang Hak Tanggungan sebagai jaminan hutang dari pemilik objek
Hak Tanggungan tersebut kepada bank yang memberikan kredit.
Kredit oleh bank pada umumnya menggunakan objek jaminan Hak
Tanggungan. Objek jaminan Hak Tanggungan lebih disukai karena benda yang
dijaminkan tersebut merupakan benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan
yang bersertipikat, yang memiliki resiko untuk hilang, rusak, yang nilai jualnya
semakin meningkat. Apabila debitur ingkar janji dan proses perdamaian tidak berhasil
tempuh, maka bank akan dapat memperoleh uangnya kembali dengan membawa
Sertipikat Hak Tanggungan yang memakai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, langsung dapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana tanah tersebut terletak. 14
Namun dalam praktek di lapangan terdapat kesulitan untuk melakukan
eksekusi sebagaimana kasus 1 (satu) unit bangunan rumah tinggal permanen di
komplek Perumahan Sakura Garden Batam Persil Nomor 97 sesuai dengan HGB
Nomor 77 seluas 90 m2. Dalam penelitian ini debitur yang berinisial Sr adalah
pemilik sebidang tanah berikut 1 (satu) unit bangunan rumah tinggal permanen di
14

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Alfabeta, Bandung, 2003, hal. 265

11

Komplek Perumahan Sakura Garden Batam Persil No. 97 sesuai dengan HGB No. 77
seluas 90m2. Bahwa tanah tersebut oleh debitur telah dipasang Hak Tanggungan
peringkat pertama dengan No. 170/2005 dihadapan PPAT Soehendro Gautama
sebagai jaminan atas pemberian fasilitas kredit sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dari PT. Bank UOB Indonesia, Tbk Cabang Batam. Oleh karena batas
waktu jatuh tempo hutang debitur terhadap kreditur telah terlampaui, dan Bank UOB
Indonesia telah mengirimkan somasi (peringatan) kepada debitur untuk membayar
hutang-hutangnya kepada bank selaku kredtur, namun tidak diindahkan oleh debitur
dan debitur tidak memiliki itikad baik dalam melakukan pelunasan terhadap hutanghutangnya.
PT. Bank UOB Indonesia, Tbk Cabang Batam sebelum mengirimkan somasi
juga telah melakukan upaya lain yaitu upaya penagihan secara persuasif dengan
mendatangi rumah debitur berkali-kali dan

melakukan pendekatan secara

kekeluargaan agar debitur dapat melakukan pembayaran atas hutang-hutangnya
dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh kreditur. Namun upaya-upaya
yang dilakukan oleh kreditur tersebut tidak membuahkan hasil dan debitur tetap tidak
mampu melakukan pembayaran terhadap hutangnya yang telah jatuh tempo tersebut.
Setelah berbagai upaya dilakukan oleh kreditur tidak membuahkan hasil,
maka kreditur yang dalam hal ini adalah PT. Bank UOB Indonesia, Tbk Cabang
Batam

melakukan upaya hukum terakhir (ultimum remedium) yaitu melakukan

eksekusi terhadap objek barang jaminan yang telah dipasang Hak Tanggungan
peringkat pertama tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

12

berlaku. Namun debitur menolak untuk mengosongkan rumah tersebut dengan tetap
bertahan tidak mau keluar dari rumah yang telah menjadi objek Hak Tanggungan
tersebut. Perbuatan debitur yang tetap menguasai objek Hak Tanggungan dan tidak
mau mengosongkan rumah tersebut, jelas telah merugikan PT. Bank UOB Indonesia,
Tbk Cabang Batam karena objek Hak Tanggungan berupa rumah yang telah diduduki
oleh debitur tersebut secara hukum seharusnya dieksekusi oleh kreditur sebagai
jaminan pelunasan hutang-hutang dari debitur tersebut.
Eksekusi objek Hak Tanggungan yang telah dilakukan PT. Bank UOB
Indonesia, Tbk Cabang Batam

tersebut adalah upaya hukum untuk mengambil

piutangnya setelah objek Hak Tanggungan yang telah dieksekusi tersebut di lelang
oleh lembaga lelang secara terbuka. Hasil pelelangan dari rumah tersebut akan
diambil sebagai pelunasan piutang dari kreditur dan sisanya akan dikembalikan
kepada kreditur. Namun karena debitur tetap bertahan menduduki rumah tersebut
maka proses hukum eksekusi menjadi terhalang dan kreditur dalam hal ini adalah
pihak PT. Bank UOB Indonesia, Tbk Cabang Batam tidak dapat mengambil
pelunasan atas piutangnya. Dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan
kreditur memiliki hak preferen yaitu hak yang didahulukan dari kreditur-kreditur
lainnya sehingga pihak kreditur seharusnya dapat melaksanakan eksekusi terhadap
barang jaminan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang eksekusi barang jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan.15

15

Herowati Poesoko, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi Konflik Norma
dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2008, hal. 12

13

Atas dasar uraian tersebut di atas maka penelitian ini penting dan menarik
untuk dilakukan pembahasan secara lebih mendalam pada bagian selanjutnya dari
penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur eksekusi barang jaminan yang diikat dengan Hak
Tanggungan berkaitan dengan perlindungan hukum bagi bank sebagai
kreditur?
2. Apa yang menjadi hak debitur bila terjadi eksekusi yang dilakukan oleh
kreditur terhadap barang jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan?
3. Bagaimana tindakan kreditur apabila debitur menolak pengosongan barang
jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis prosedur eksekusi barang jaminan yang diikat dengan
Hak Tanggungan berkaitan dengan perlindungan hukum bagi bank sebagai
kreditur
2. Untuk menganalisis hak debitur bila terjadi ekesekusi yang dilakukan oleh
kreditur terhadap barang jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan

14

3. Untuk menganalisis tindakan kreditur apabila debitur menolak pengosongan
barang jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis dibidang hukum perjanjian kredit dan Hak Tanggungan yaitu :
1.

Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi

perkembangan hukum hukum perjanjian kredit pada bank dan Hak Tanggungan
dalam kaitannya dengan perjanjian kredit pada bank dengan jaminan Hak
Tanggungan serta perlindungan hukum terhadap bank selaku kreditur, berkaitan
dengan macetnya pembayaran hutang yang dilakukan oleh debitur. Macetnya
pembayaran hutang kepada debitur menimbulkan hak dan kewenangan bagi bank
kreditur untuk melaksanakan eksekusi terhadap barang jaminan yang telah diikat
dengan Hak Tanggungan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam Hak Tanggungan.
2.

Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat

praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai upaya perlindungan hukum
terhadap bank selaku kreditur apabila debitur wanprestasi dan tidak bersedia
dieksekusi barang jaminannya sesuai dengan ketentuan yang belaku dalam hukum
Hak Tanggungan. Prosedur eksekusi barang jaminan yang diikat dengan Hak

15

Tanggungan di awali dengan terjadinya kredit macet oleh debitur, sehingga pihak
bank selaku kreditur dirugikan dalam hal ini sehingga dengan kekuatan hukum
pengikatan Hak Tanggungan terhadap jaminan yang diberikan oleh debitur maka
bank memiliki kewenangan melakukan eksekusi terhadap barang jaminan tersebut
tanpa harus melalui proses litigasi dipengadilan namun hanya dengan memohon
penetapan eksekusi ke pengadilan negeri tempat dimana barang jaminan berupa tanah
dan bangunan tersebut berada.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul penelitian yang
berhubungan dengan topik dalam penelitian ini antara lain:
1.

Saraswati Jaya, NIM. 087011111/MKn, dengan judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Bank Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan
Eksekusi Jaminan Berkaitan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004”.
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana prosedur hukum penangguhan eksekusi jaminan Hak Tanggungan
berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan?
b. Bagaimana akibat hukum terjadinya penangguhan eksekusi jaminan Hak
Tanggungan terhadap debitur yang dinyatakan pailit?

16

c. Bagaimana perlindungan hukum bank kreditur pemegang Hak Tanggungan
dengan terjadinya penangguhan eksekusi berdasarkan Undang-Undang No. 37
Tahun 2004?
2.

Elman Simangunsong, NIM. 097005048/MKn, dengan judul “Pelaksanaan
Eksekusi Terhadap Barang Jaminan Yang Dibeli Berdasarkan Lelang Pada
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Medan”
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana prosedur hukum eksekusi terhadap barang jaminan yang dibeli
berdasarkan lelang pada kantor Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan
Lelang (KPKNL) Medan?
b. Bagaimana akibat hukum terjadinya eksekusi terhadap barang jaminan yang
dibeli berdasarkan lelang tersebut?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemilik barang jaminan terhadap
pelaksanaan eksekusi tersebut?

3.

Ferina Nismi Pulungan, NIM. 027011019/MKn, dengan judul “Pemberian Kredit
Oleh Bank Swasta Dengan Jaminan Hak Tanggungan Dan Penyelesaiannya
Dalam Hal Debitur Wanprestasi (Studi di Jakarta)”.
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana prosedur pengikatan jaminan Hak Tanggungan dalam kredit
perbankan di bank swasta?
b. Bagaimana prosedur hukum pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan
bila debitur telah dinyatakan wanprestasi dalam kredit perbankan?

17

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur pemegang
sertipikat Hak Tanggungan apabila terjadi perlawanan dari pihak debitur
dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan tersebut?
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,16 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.17
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan
hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalah suatu perbuatan hal
melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.18 Di negara
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila maka negara wajib
memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga masyarakat sesuai dengan
16
JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I),
Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203
17
M Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hal. 80
18
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
2006, hal. 84

18

Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti
pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan serta
Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam wadah kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
dalam mencapai kesejahteraan bersama.19
Dalam suatu perjanjian kredit yang melibatkan debitur dan kreditur bank yang
merupakan warga negara dan juga badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
negara Republik Indonesia maka perlindungan hukum wajib diberikan bagi bank
selaku kreditur dan juga nasabah peminjam selaku debitur, yaitu suatu perlindungan
hukum yang diberikan oleh perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang diberikan
terhadap subjek hukum yaitu nasabah peminjam (debitur) maupun bank selaku
kreditur dengan tujuan memberikan suatu ketertiban dan kepastian hukum kepada
para pihak yang melakukan pengikatan perjanjian kredit perbankan dengan jaminan
Hak Tanggungan.20
Perlindungan hukum oleh perangkat hukum diberikan kepada bank selaku
kreditur yang memberikan fasilitas kredit kepada debitur dengan menggunakan
jaminan Hak Tanggungan. Demikian pula halnya perlindungan hukum wajib pula
diberikan kepada nasabah peminjam selaku debitur yang telah mengikatkan diri

19
20

Donni Gusmawan, Perlindungan Hukum di Negara Pancasila, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 38
Oltje Salman, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelahan), Renada Media, Jakarta 2007. hal. 19

19

dalam suatu perjanjian kredit perbankan dengan memberikan objek jaminan Hak
Tanggungan. Pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur dan pihak nasabah peminjam selaku
debitur diikat dalam suatu perjanjian tertulis secara notariil, yang memuat hak dan
kewajiban para pihak yang terkait dalam perjanjian kredit tersebut secara
proporsional dan seimbang.
Menurut Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Semua persetujuan
yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berdasarkan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan
demikian perjanjian kredit antara kreditur dan debitur tersebut harus dipatuhi dan
ditaati sebagai undang-undang baik oleh PT. Bank UOB Indonesia, Tbk Cabang
Batam selaku kreditur maupun oleh debitur pemilik objek jaminan Hak Tanggungan
tersebut. Semua ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kredit tersebut harus
dilaksanakan dengan itikad baik oleh kedua belah pihak yaitu kreditur dan debitur.
Perbuatan debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang
kepada kreditur dan tetap bertahan menduduki rumah sebagai objek jaminan yang
telah diikat dengan Hak Tanggungan meskipun pihak kreditur akan mengeksekusinya

20

merupakan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaads), yang dapat
dijatuhi sanksi berupa upaya paksa pengosongan rumah yang diduduki oleh debitur
tersebut.21
Dasar hukum perjanjian kredit adalah Kitab Undang-Undang Perdata (KUH
Perdata), Bab 13 mengenai perjanjian pinjam-meminjam uang, Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang meliputi :
1.

Pasal 1 angka 11 tentang pengertian kredit yaitu penyedian uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan atau persetujuan kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.

2.

Perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian pembiayaan dalam bentuk pembelian
atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.

3.

Perjanjian kartu kredit, yaitu perjanjian dagang dengan menggunakan kartu
kredit yang kemudian diperhitungkan untuk melakukan pembayaran melalui
penerbit kartu kredit.

21

Sofyan Setiadi, Prosedur Hukum Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Teori
dan Praktek, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007, hal. 60

21

4.

Perjanjian sewa guna usaha, yaitu perjanjian sewa menyewa barang yang
berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian itu kepada atau melakukan
jual beli

5. Perjanjian sewa beli, yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara
angsuran dan hak atas milik barang itu beralih kepada pembeli setelah
angsurannya dibayar lunas.22
Berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan tersebut mengenai perjanjian kredit maka dapat disimpulkan
bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam uang, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula”.
Perjanjian pinjam meminjam uang ini mengganti makna yang luas, bahwa
objeknya adalah benda yang habis dipakai dan jika dipergunakan istilah
verbruiklening maka termasuklah didalamnya uang. Perjanjian kredit yang dibuat
oleh para pihak dalam penelitian ini adalah perjanjian kredit notaril (autentik) yaitu
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh
atau dihadapan notaris. Isi dari akta autentik adalah :

22

Sudaryano Rahmin, Asas-asas Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Mandar Maju,
Bandung, 2006, hal. 88

22

a. Semua perbuatan yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta
autentik
b. Semua perjanjian dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang
berkepentingan
Akta autentik memberikan kepastian mengenai penanggalan daripada aktanya
yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta yang bersangkutan tahun,
bulan dan tanggal pada waktu akta tersebut dibuat. Mengenai akta perjanjian kredit
yang dibuat dengan akta notaril atau otentik, terdapat beberapa hal yang perlu
diketahui : 23
a. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang
tertulis di dalam akta
b. Membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang disebutkan dalam akta
sungguh-sungguh terjadi
c. Membuktikan tidak hanya para pihak tetapi pihak ketiga juga telah
menghadap dimuka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut.
Pada dasarnya suatu perjanjian kredit atau pengakuan hutang harus berisikan :
a. Pasal yang mengatur tentang jumlah kredit
b. Pasal yang mengatur jangka waktu kredit

23

Budi Untung, Perjanjian Kredit Dalam Bentuk Akta Notaris, Pradnya Paramita, Bandung,
2010, hal. 33

23

c. Pasal yang mengatur bunga kredit, denda dan biaya-biaya lainnya yang timbul
dari pemberian kredit
d. Pasal yang mengatur tentang syarat-syarat penarikan atau pencairan kredit.
e. Pasal yang mengatur tentang penggunaan, pengembalian dan jaminan kredit.
f. Pasal yang mengatur tentang kelalaian (wanprestasi) debitur
g. Pasal yang mengatur tentang pernyataan dari jaminan dan asuransi barang
jaminan.
h. Pasal yang mengatur keadaan memaksa dan adendum (perubahan).
Kredit macet merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah peminjam
atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan
demikian dalam hukum perdata dinamakan wanprestasi (ingkar janji). Suatu keadaan
dapat digolongkan wanprestasi apabila memiliki kriteria sebagai berikut : 24
1. Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan
2. Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah dijanjikan
3. Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan
4. Debitur menyerahkan sesuatu yang tidak diperjanjikan
5. Debitur melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian yang telah
dibuatnya atau menyalahgunakan isi perjanjian
Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada 3 macam yang tergolong
dalam wanprestasi yaitu :
1. Debitur sama sekali tidak membayar angsuran kredit
24

Gatot Suparmono, Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit, Media Ilmu, Jakarta, 2006, hal. 131

24

2. Debitur membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya), akan tetapi
yang digolongkan dalam kredit macet dalam hal ini adalah jika debitur kurang
membayar satu kali angsuran
3. Debitur membayar lunas kredit setelah jangka waktu perjanjian lewat waktu
Wanprestasi diatur di dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menjelaskan
pengertian wanprestasi (cidera janji) yaitu :
1. Lalai memenuhi perjanjian
2. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan
3. Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan
Pengertian wanprestasi lebih diperjelas dalam Pasal 1763 KUH Perdata yang
menyebutkan wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan
jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.25
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie yaitu
kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi hutangnya kepada kreditur, yang
dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai
tanggungan atas pinjaman atau hutang yang diterima debitur dari krediturnya
tersebut.26
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan dalam Pasal 21
angka 23 bahwa Agunan yang merupakan bagian dari istilah jaminan adalah :

25
26

M. Yahya Harahap, Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 201
Rahmadi Usman, Hukum Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 66

25

“agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan yang berdasarkan prinsip
syariah”. Mariam Darul Badrulzaman merumuskan pengertian jaminan sebagai suatu
tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan/atau pihak ketiga kepada
kreditur untuk menamin kewajibannya dalam suatu perikatan. 27
Agunan dalam hal ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan
diberikannya agunan adalah untuk menambah kepercayaan bagi bank selaku kreditur
untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank tersebut dalam jumlah tertentu dengan
mempertimbangkan nilai ekonomi dari agunan tersebut.
Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah adalah : “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya”. Hak Tanggungan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :28

27

Buku Krestiantoro, Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Bermasalah dengan Jaminan Hak
Tanggungan, Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 43
28
Salim HS, Hukum Hak Tanggungan dan Pelaksanaanya, Armico, Bandung, 2010, hal. 53

26

1. Memberikan

kedudukan

yang diutamakan

atau didahulukan kepada

pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada
atau disebut droit de suite. Keistimewaan ini ditegasan dalam Pasal 7 UndangUndang No. 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek Hak Tanggungan sudah
dipindahtangankan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak
Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum
apabila debitur cidera janji;
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan
kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa telah disediakan lembaga
jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak-hak atas tanah, yaitu Hak
Tanggungan sebagai pengganti lembaga dan creditverband. Selama 30 tahun lebih
sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di
atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undangundang yang mengaturnya secara lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut.
Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal
57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Buku II KUH Perdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190,

27

sepanjang mengenai hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam

Undang-

Undang Pokok Agraria.29
Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, yaitu :30
a.

Pendaftaran dilakukan di kantor pertanahan

b.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
ditandatangani pemberian Hak Tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) yang warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta
berkas yang diperlukan. Berkas itu meliputi :
1. Surat Pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dibuat dalam rangkap
2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan
2. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak
Tanggungan
3. Fotocopy surat identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan
4. Sertipikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
menjadi objek Hak Tanggungan
5. Lembar kedua akta pemberian Hak Tanggungan
6. Salinan akta pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan untuk disahkan kepala kantor
pertanahan
7. Bukti pelunasan biaya pendaftaran Hak Tanggungan
29

Yudha Pandu, Undang-Undang Pokok Agraria dan Sebagai Peraturan Dasar Dalam
Pelaksanaan Hukum Jaminan Hak Atas Tanah, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 65
30
Purwahid Patrik, Hukum Jaminan Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4
Tahun 1996, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 41.

28

c.

Jika telah lengkap kantor pertanahan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan
dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan

d.

Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran, apabila
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
tanggal hari kerja berikutnya

e.

Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan dibuatkan
(Pasal 13 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996)

f.

Kantor Pertanahan menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan.31
Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan dalam 3 (tiga) cara, yaitu :
1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996. Hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan
dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan
atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari
pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang
diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan, bahwa apabila debitur cidera janji,

31

Riswanto Riswandi, Praktek Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan, Media Ilmu
Jakarta, 2009, hal. 37

29

pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil
penjualan itu lebih dahulu dari kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan (Pasal 6 Undangundang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan)
2) Eksekusi atau title eksekutorial yang terdapat pada sertipikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-irah
yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk
menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan,
sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya
suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, melalui tata cara lembaga
parate executie sesuai dengan acara perdata.
3) Eksekusi di bawah tangan, yaitu penjualan objek Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang
tertinggi. 32
Salah satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang
kuat sekaligus pula memberikan perlindungan hukum kepada kreditur adalah
pelaksanaannya mudah dan pasti. Eksekusi objek Hak Tanggungan berada di tangan

32

Hari Sutedi, Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan, Rajawali Press, Jakarta,
2010, hal. 28

30

kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi. Disamping itu Undang-Undang Hak
Tanggungan No. 4 Tahun 1996 juga memberikan kedudukan yang diutamakan atau
didahulukan (droit de prefrence). Hak-hak kreditur yang didahulukan ini juga
merupakan wujud perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Hak
Tanggungan bagi pihak kreditur apabila terjadi wanprestasi dari debitur khususnya
dalam pengambilan pelunasan piutangnya.33
Dengan demikian dapat dikatakan apabila debitur wanprestasi (cidera janji)
dalam hal pembayaran / pelunasan hutangnya pada kreditur maka Undang-Undang
Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 memberikan kedudukan yang diutamakan pada
kreditur untuk melakukan penagihan/pelunasan atas piutangnya, meskipun ada
kreditur-kreditur lainnya yang melakukan penagihan terhadap hutang debitur tersebut.
Disamping itu dalam hal eksekusi objek Hak Tanggungan apabila debitur
wanprestasi (cidera janji) tidak mau dieksekusi barang jaminannya yang berupa tanah
dan bangunan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan, maka debitur dapat
melakukan prosedur hukum meminta penetapan pengadilan dalam hal pelaksanaan
eksekusi untuk dapat melakukan eksekusi terhadap barang jaminan milik debitur
tersebut, meskipun debitur menolak barang jaminannya tersebut dieksekusi.34
Prosedur hukum pelaksanaan ekekusi barang jaminan berupa tanah dan bangunan
yang diikat dengan Hak Tanggungan ini apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan
33
Kartono, Hak-hak Jaminan Kredit yang Diikat Dengan Hak Tanggungan, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2004, hal. 29
34
Muljono Eugenia Liliawati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitan Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Harvarindo,
Jakarta, 2006, hal. 56

31

hutang-hutangnya maupun menolak barang jaminannya untuk disekusi akan
diuraikan lebih lanjut pada bab selanjutnya dalam penelitian ini.
2.

Konsepsi
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi

suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.35 Pentingnya
definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau
penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep
dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan, yaitu :
1. Kreditur adalah pihak (perorangan, perusahaan berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum) yang memiliki piutang kepada pihak lain atas suatu benda
tertentu yang dapat dinilai secara ekonomi, biasanya dalam bentuk perjanjian
dimana pihak kreditur tersebut memiliki hak untuk menagih piutang
tersebut.36
2. Debitur adalah pihak yang berhutang kepada pihak lain, biasanya menerima
sesuatu dari kreditur yang dapat dinilai secara ekonomi dan debitur tersebut
memiliki kewajiban untuk melaksanakan pembayaran / pelunasan dari hutanghutangnya tersebut.37
3. Bank adalah suatu lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan
dengan kewenangan untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
35
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10
36
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 77
37
Ibid, hal. 78.

32

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentu-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.38
4. Kredit adalah penyediaan barang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian tugas.39
5. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan yang
berdasarkan prinsip kehati-hatian.40
6. Eksekusi Hak Tanggungan adalah suatu proses hukum pengambilalihan hak
kepemilikan atas barang jaminan dari debitur kepada kreditur guna pelunasan
piutangnya dengan melakukan prosedur lelang atas barang jaminan tersebut.41
7. Objek Hak Tanggungan adalah hak-hak kepemilikan atas tanah dan bangunan
yang dapat dijadikan jaminan Hak Tanggungan yaitu hak milik, Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), hak pakai atas tanah negara, hak
pakai atas tanah milik, rumah susun di atas tanah hak milik, HGB, HGU dan
hak pakai di atas tanah negara dan hak atas satuan rumah susun di atas hak

38

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo
Persada, 2007, 50
39
Rahman Hasanudin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan diIndonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 31
40
Munir Fuady, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 25
41
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hal. 45

33

milik, HGB, HGU dan hak pakai atas tanah negara serta benda-benda yang
melekat atau satu kesatuan dengan tanah.42
8. Pengosongan objek jaminan Hak Tanggungan adalah suatu tindakan kreditur
berdasarkan ketentuan hukum jaminan Hak Tanggungan untuk mengeksekusi/
mengosongkan rumah tempat tinggal debitur sebagai objek jaminan Hak
Tanggungan untuk dilakukan pelelangan oleh kreditur PT. Bank UOB
Indonesia, Tbk Cabang Batam

dan hasil pelelangan dimaksudkan untuk

pengambilan pelunasan piutang kreditur terhadap debitur dan sisa hasil
pelelangan dikembalikan kepada debitur.
G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan
terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang berlaku mengenai hukum perbankan dan hukum perkreditan sebagaimana
dimuat di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta hukum Hak
Tanggu