Peramalan Curah Hujan di Kota Medan dengan Menggunakan Metode SeasonalARIMA dan Metode Dekomposisi

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama
periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di

atas

permukaan horizontal. Curah hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap
dan tidak mengalir. Tinggi curah hujan diasumsikan sama di sekitar tempat
penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakar hujan bergantung pada
homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya. Ketepatan asumsi ini
tergantung dari kecepatan angin, keterbukaan lapangan, luas alat penampung serta
tinggi alat dari permukaan tanah.
Kumpulan data curah hujan di suatu tempat sangat bernilai. Curah hujan
perlu diukur untuk mendapatkan data hujan yang sangat berguna bagi
perencanaan hidrologis (perencanaan pembangunan bendung, dam, dan
sebagainya) dan pengaturan neraca air (Juaeni, 2006). Neraca air sendiri
merupakan neraca masukan dan keluaran air pada periode tertentu yang

digunakan untuk mengetahui jumlah air di suatu wilayah berada pada kondisi
surplus (berlebih) ataupun defisit (kekurangan). Kegunaan mengetahui jumlah air
pada kondisi surplus dan defisit dapat mengantisipasi bencana yang kemungkinan
terjadi dan untuk mendayagunakan air secara tepat.

2.2 Metode Deret Waktu (Time Series)
Deret waktu (time series) adalah rangkaian data yang berupa nilai pengamatan
yang diukur selama kurun waktu tertentu. Santoso (2009) memberikan definisi
dari data deret waktu (time series) adalah data yang ditampilkan berdasarkan
waktu, seperti data bulanan, data harian, data mingguan atau jenis waktu yang
lain. Ciri data deret waktu adalah adanya rentang waktu tertentu, bukannya data
pada satu waktu tertentu. Tujuan dari metode deret waktu adalah untuk
menggolongkan data, memahami sistem serta melakukan peramalan berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

sifatnya untuk masa depan. Persamaan dan kondisi awal dalam peramalan deret
waktu mungkin diketahui kedua-duanya atau mungkin saja hanya salah satunya
sehingga


dibutuhkan

suatu

aturan

yang

digunakan

untuk

menentukan

perkembangan dan keakuratan sistem. Penentuan aturan tersebut mungkin
mengacu dari pencocokkan data masa lalu.

2.3 Pola Data Deret Waktu
Untuk memilih suatu metode yang tepat yang digunakan dalam mengolah data
deret waktu adalah dengan mempertimbangkan jenis pola data, sehingga metode

yang paling tepat dengan pola tersebut dapat diuji (Makridakis, 1999). Pola data
dapat dibedakan menjadi:
1.

Pola Horizontal
Pola data yang terjadi bilamana nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata
yang konstan (data stasioner).

2.

Pola Musiman
Pola data yang terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor musiman
yang signifikan sehingga data naik dan turun dengan pola yang berulang dari
satu periode ke periode berikutnya (misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan,
atau hari-hari pada minggu tertentu).

3.

Pola Siklis
Pola data yang terjadi bilamana fluktuasi datanya berbentuk gelombang

sepanjang periode yang tidak menentu.

4.

Pola Trend
Pola data yang terjadi bilamana terdapat kenaikan atau penurunan pada suatu
deret waktu dalam selang periode waktu tertentu.

2.4 Stasioneritas
Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat perubahan yang drastis pada data.
Fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung
pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut (Makridakis, 1999).
Sekumpulan data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varians dari
data time series tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang

Universitas Sumatera Utara

waktu atau dengan kata lain rata-rata dan variansnya konstan. Kestasioneran data
ini berkaitan dengan metode estimasi yang digunakan. Tidak stasionernya data
akan mengakibatkan kurang baiknya model yang diestimasi. Selain itu apabila

data yang digunakan dalam model ada yang tidak stasioner, maka data tersebut
dipertimbangkan kembali validitas dan kestabilannya.
Salah satu penyebab tidak stasionernya sebuah data adalah adanya
autokorelasi. Bila data distasionerkan maka autokorelasi akan hilang dengan
sendirinya, karena itu transformasi data untuk membuat data yang tidak stasioner
menjadi stasioner sama dengan transformasi data untuk menghilangkan
autokorelasi.

2.4.1 Uji Augmented Dickey-Fuller
Uji akar unit merupakan pengujian yang dikenalkan oleh David Dickey dan
Whyne Fuller. Dalam uji ini dibentuk persamaan regresi dari data aktual pada
periode ke-� dan ke-(� − 1). Dalam uji akar unit digunakan model berikut:
�� = ���−1 + ��

(2.1)

Jika koefisien regresi dari ��−1 (�) = 1, maka terdapat masalah bahwa ��

tidak stasioner. Dengan demikian �� dapat disebut mempunyai akar unit atau


berarti data tidak stasioner. Bila persamaan (2.1) dikurangi ��−1 pada sisi kanan

dan kiri maka persamaannya menjadi:

�� − ��−1 = ���−1 − ��−1 + ��
∆�� = (� − 1)��−1 + ��

di mana:
��

��−1

∆��



��

∆�� = ���−1 + ��


(2.2)

= data aktual pada periode ke-�
= data aktual pada periode ke-(� − 1)

= �� − ��−1 (hasil differencing data pada periode ke-�)

= koefisien regresi

= error yang white noise
Pada tahap ini sudah dilakukan pembedaan sebagai metode untuk

menanggulangi masalah ketidakstasioneran data. Kemudian data akan diuji
kembali. Dari persamaan (2.2) dapat dibuat hipotesis:

Universitas Sumatera Utara

�0 ∶ � = 0

�1 ∶ � ≠ 0


Jika hipotesis � = 0 ditolak dengan derajat kepercayaan � maka � − 1

artinya terdapat akar unit, sehingga data deret waktu �� tidak stasioner. Dengan

membentuk persamaan regresi antara ∆�� dan ��−1 akan diperoleh koefisien

regresinya, yaitu �̂ .

Hipotesis yang digunakan menjelaskan bahwa apabila hasil uji

menyatakan nilai Augmented Dickey-Fuller test statistic lebih kecil dari pada nilai
kritis pada derajat kepercayaan tertentu atau nilai tingkat signifikansinya lebih
kecil dari derajat kepercayaan � = 5% , maka hipotesis nol yang menyatakan
bahwa data tersebut tidak stasioner ditolak dan demikian sebaliknya.

2.4.2 Transformasi Box-Cox
Seringkali data pada suatu penelitian tidak menunjukkan kestasioneran yang
disebabkan oleh data yang belum stasioner secara rata-rata, varians, atau
keduanya. Pada data yang belum stasioner secara varians, dapat dilakukan

transformasi Box-Cox dengan rumus � =

� � −1


dengan � ≠ 0. Selain itu, juga

dapat menggunakan transformasi pangkat dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 2.1 Transformasi Pangkat
Nilai �
-1,0
-0,5
0
0,5
1,0

Transformasi
1
��

1

���
����
���

Tanpa Transformasi

dengan � adalah parameter yang dapat ditaksir dari deret waktu dan � = 1,2, … , �.

Pada data yang belum stasioner secara rata-rata, maka dapat dilakukan proses

differencing, yakni dengan mengurangi data dengan data itu sendiri namun

Universitas Sumatera Utara

dengan lag yang berbeda sesuai dengan kebutuhan. Jika belum stasioner secara
rata-rata maupun varians, maka dilakukan transformasi data dan dilanjutkan
proses differencing.


2.5 Fungsi Autokorelasi/Autocorrelation Function (ACF)
Fungsi autokorelasi berarti hubungan (korelasi) terhadap diri sendiri, yaitu
korelasi antara suatu hasil observasi dengan hasil observasi itu sendiri namun
dengan lag waktu yang berbeda, misal �� dengan ��+� . Autokorelasi pada lag ke� untuk suatu observasi deret waktu dapat diduga dengan koefisisen autokorelasi
sampel.

di mana:
��

̅
̅
∑�−�
�=1 (�� − � )(��+� − �)
�� =
, � = 0,1,2, …
∑��=1(�� − �̅)2

(2.3)

= koefisien korelasi untuk lag periode ke-�

��

= nilai observasi pada lag periode ke-�



= rata-rata nilai observasi

��+� = nilai observasi pada periode ke-(� + �)
Karena �� merupakan fungsi terhadap lag ke- � , maka hubungan antara

autokorelasi dengan lagnya dapat disebut sebagai fungsi autokorelasi.

Untuk memeriksa apakah suatu �� berbeda secara nyata dari nol, dapat

menggunakan rumus kesalahan standar dari �� yakni:
��� � =

1

(2.4)

√�

Seluruh nilai korelasi dari barisan data yang random (tidak berautokorelasi
signifikan) akan terletak di dalam daerah nilai tengah nol ditambah atau dikurangi
nilai z-score pada taraf signifikansi 95% yakni 1,96 kali kesalahan standar.

2.6 Fungsi Autokorelasi Parsial/Partial Autocorrelation Function (PACF)
Fungsi autokorelasi parsial menyatakan hubungan antara suatu hasil observasi
dengan hasil observasi itu sendiri. Autokorelasi parsial pada lag ke-� dinyatakan
sebagai korelasi �� dan ��−� setelah dihilangkannya efek dari variabel-variabel

��−1 , ��−2 , … , ��−�+1 . Levinson (1940) dan Durbin (1960) memberikan metode

Universitas Sumatera Utara

yang efisien untuk mendapatkan penyelesaian dari persamaan Yule-Walker untuk
mendapatkan nilai autokorelasi parsial sebagai berikut:

di mana:

∅�� =

�� − ∑�−1
� =1 ∅�−1,� ��−�

(2.5)

1 − ∑�−1
� =1 ∅�−1,� ��

∅�� = koefisien autokorelasi parsial untuk lag periode ke-�
∅�� = ∅�−1,� − ∅�� ∅�−1,� −1 ; � = 1,2, … , � − 1
2.7 Metode Box-Jenkins
Metode Box-Jenkins atau sering disebut sebagai ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average) merupakan integrasi dari beberapa metode runtun
waktu terlebih dahulu ada. Model Autoregressive pertama kali diperkenalkan oleh
Yule (1926) dan dikembangkan oleh Walker (1931), sedangkan model Moving
Average pertama kali digunakan oleh Slutzky (1937). Kemudian dasar-dasar
teoritis untuk kombinasi dari kedua model ini (ARMA) dihasilkan oleh Wold
(1938). Keseluruhan model ini kemudian dipelajari secara mendalam oleh George
Box dan Gwylim Jenkins (1976) dan namanya sering disinonimkan dengan model
ARIMA itu sendiri.

2.7.1 Model Autoregressive (AR)
Autoregressive memiliki arti regresi pada diri sendiri. Model Autoregressive {�� }

orde p menyatakan persamaan:

�� = ∅1 ��−1 + ∅2 ��−2 + ⋯ + ∅� ��−� + ��

(2.6)

di mana diasumsikan bahwa �� stasioner dan �(�� ) = 0.

Jadi, nilai barisan �� adalah kombinasi linier dari sejumlah � nilai ��

terakhir di masa lampau ditambah sebuah �� yang menyatakan sesuatu tidak dapat

dijelaskan oleh nilai-nilai �� di masa lampau tersebut. Selain itu, �� merupakan
variabel acak yang independen dengan rata-rata nol.

Secara umum, rumus untuk mencari nilai autokorelasi untuk model AR(�)
dapat diperoleh sebagai berikut:
�� = ∅1 ��−1 + ∅2 ��−2 + ⋯ + ∅� ��−� ; � ≥ 1

(2.7)

Universitas Sumatera Utara

Dalam proses identifikasi model, jika suatu deret waktu memiliki grafik ACF
yang turun secara eksponensial dan PACF terputus pada lag ke-�, maka deret
waktu tersebut dapat dimasukkan ke dalam proses AR(�).
2.7.2 Model Moving Average (MA)
Bentuk umum model Moving Average ordo q ditulis dengan MA(q) dinyatakan
sebagai berikut:
�� = �� + �1 ��−1 − �2 ��−2 − ⋯ − �� ��−�

(2.8)

Nilai barisan �� adalah kombinasi linier dari sejumlah �� terakhir di masa lampau.

Secara umum rumus untuk mencari nilai autokorelasi dari model MA(q) adalah:
−�� + �1 ��+1 + ⋯ + ��−� ��
,
�� =
1 + �12 + ⋯ + ��2
0,

� = 1,2, … , �
�>�

� (2.9)

Dalam proses identifikasi model, jika suatu deret waktu memiliki grafik ACF
yang terputus pada lag ke-� PACF turun secara eksponensial, maka deret waktu
tersebut dapat dimasukkan ke dalam model MA(q).

2.7.3 Model Campuran Autoregressive dan Moving Average (ARMA)
Jika diasumsikan suatu deret waktu memiliki model yang sebagian Autoregressive
dan sebagian lain merupakan Moving Average maka bentuk model tersebut secara
umum adalah:
�� = ∅1 ��−1 + ⋯ + ∅� ��−� + �� − �1 ��−1 − ⋯ − �� ��−�

(2.10)

{�� } merupakan proses campuran Autoregressive dan Moving Average dengan

orde � dan � atau biasa ditulis dengan ARMA (�, �).
2.7.4 Operator Backshift

Operator backshift dinyatakan dengan � adalah sebuah operator dengan

penggunaan sebagai berikut:

��� = ��−1

(2.11)

Notasi � yang dipasang pada �� mempunyai pengaruh menggeser data satu
periode ke belakang. Dua penerapan � untuk shift �� akan menggeser data
tersebut dua periode ke belakang, sebagai berikut:
�(��� ) = � 2 �� = ��−2

(2.12)

Universitas Sumatera Utara

Operator backshift digunakan untuk menggambarkan proses pembedaan
(differencing) untuk membuat data yang rata-ratanya tidak stasioner menjadi lebih
dekat ke bentuk stasioner. Berikut gambaran pembedaan menggunakan operator
backshift. Misalkan ��′ merupakan pembedaan pertama dari �� .
��′ = �� − ��−1

��′ = �� − ��� = (1 − �)��

(2.13)

Perhatikan bahwa pembedaan pertama dinyatakan dengan (1 − �).
Untuk pembedaan orde kedua:


��′′ = ��′ − ��−1

��′′ = (�� − ��−1 ) − (��−1 − ��−2 )

��′′ = �� − 2��−1 + ��−2
��′′ = �� − 2��� + � 2 ��

��′′ = (1 − 2� − � 2 ) ��
��′′ = (1 − �)2 ��

(2.14)

Perhatikan bahwa pembedaan orde kedua dinyatakan dengan (1 − �)2 , hal ini

penting untuk memperlihatkan bahwa pembedaan orde kedua tidak sama dengan
pembedaan kedua.

2.7.5 Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Suatu deret berkala {�� } dikatakan mengikuti model Autoregressive Integrated

Moving Average (ARIMA) jika pembedaan orde ke-� dari �� merupakan proses

ARMA yang stasioner yakni �� = (1 − �)� �� . Karena �� adalah proses

ARMA (�, �) , maka �� dapat disebut sebagai proses ARIMA (�, �, �) . Dalam

bentuk operator backshift, model ARIMA dapat ditulis sebagai berikut:

di mana:

∅(�)(1 − �)� �� = �(�)��

(2.15)

∅(�) = 1 − ∅1 � − ∅2 � 2 − ⋯ − ∅� � � adalah operator backshift model AR

�(�) = 1 − �1 � − �2 � 2 − ⋯ − �� � � adalah operator backshift model MA

(1 − �)� adalah operator differencing ordo ke-�

Universitas Sumatera Utara

2.7.6

Konstanta pada Model ARIMA

Asumsi dasar yang selalu dipakai oleh semua model, dari model AR sampai model
ARIMA, adalah model-model tersebut stasioner dan memiliki rata-rata nol. Pada
bagian ini akan dibahas bagaimana jika model-model tersebut memiliki nilai ratarata konstan bukan nol. Model stasioner ARMA {�� } yang memiliki rata-rata

konstan � bukan nol dapat dibentuk sebagai berikut:

�� − � = ∅1 (��−1 − �) + ∅2 (��−2 − �) + ⋯ + ∅� ���−� − �� + �� + �1 ��−1

atau

− �2 ��−2 − ⋯ − �� ��−�

(2.16)

�� = ∅1 ��−1 + ∅2 ��−2 + ⋯ + ∅� ��−� + � + �� + �1 ��−1 − �2 ��−2 − ⋯
− �� ��−�

(2.17)

di mana � = � − (∅1 � + ∅2 � + ⋯ + ∅� �).
2.7.7 Model Seasonal ARIMA
Model Seasonal ARIMA merupakan bentuk khusus dari model ARIMA jika
terdapat unsur musiman yang jelas pada hasil observasi {�� }. Hal ini berarti data

memiliki pola berulang dalam selang waktu yang tetap. Selain melalui grafik data,
unsur musiman juga dapat dilihat melalui grafik ACF dan PACF. Untuk

menanggulangi ketidakstasioneran data akibat unsur musiman maka dapat
dilakukan proses differencing sebesar periode musimannya. Differencing
musiman dari �� dapat ditulis sebagai ∇�� ,

∇�� = (1 − � � ) ��

(2.18)

di mana � adalah panjang periode per musim.

Model Seasonal ARIMA mengacu pada data sebelumnya dengan jarak

(lag) sepanjang musiman yang terjadi. Berdasarkan acuan tersebut, maka model
MA(�) yang bersifat seasonal dengan musiman sepanjang � dinyatakan oleh:
�� = �� + �1 ��−� − �2 ��−2� − ⋯ − �� ��−��

(2.19)

Dalam bentuk operator backshift,

�� = �1 − �1 � � − �2 � 2� − ⋯ − �� � �� ���
= �� (�)��

(2.20)

Untuk model seasonal AR(�) dengan musiman sepanjang � dinyatakan oleh:

Universitas Sumatera Utara

�� = �1 ��−� + �2 ��−2� + ⋯ + �� ��−�� + ��

(2.21)

Dalam bentuk operator backshift,

�� − �1 ��−� + �2 ��−2� + ⋯ + �� ��−�� = ��
(1 − �1 � � + �2 � 2� + ⋯ + �� ��� )�� = ��
�� (�)�� = ��

(2.22)

Jika suatu hasil observasi {�� } mengikuti proses yang dibentuk oleh gabungan
antara model ARIMA (�, �, �) dan model Seasonal ARIMA (�, �, �) maka

modelnya dapat dimanipulasi menggunakan operator backshift sebagai berikut:

di mana:

∅(�)�� (�)∇� ∇�� �� = �(�)�� (�)��

(2.23)

∇� = operator differencing non musiman orde ke-�

∇�� = operator differencing musiman orde ke-�

�� (�)= operator backshift model AR musiman

�� (�) = operator backshift model MA musiman
2.8 Asumsi White Noise
Suatu model yang baik akan memiliki sifat white noise, yaitu memenuhi asumsi
residual yang bersifat acak dan berdistribusi normal.

2.8.1 Residu Bersifat Acak
Barisan residu yang acak dapat diperiksa dengan memperhatikan ACF dari barisan
residu tersebut. Barisan residu dikatakan acak apabila tidak terdapat autokorelasi
yang signifikan untuk setiap lag yang ditentukan. Keacakan residu dari suatu
model dapat diuji dengan menggunakan uji statistik Q Box-Pierce dengan
hipotesis sebagai berikut:
�� : �1 = �2 = ⋯ = �� = 0
�1 : ∃ �� ≠ �� = 0

(residu bersifat acak)
(residu tidak bersifat acak)

dengan � = 0,05 dan statistik uji:

�� 2
� = �(� + 2) �
�=1 � − �


(2.24)

Universitas Sumatera Utara

Kriteria uji:
Terima �� jika nilai � > �(�,�� ) atau p-value > � . Artinya secara keseluruhan

dari barisan residu yang diuji tidak berbeda dari nol, atau dengan kata lain residu
bersifat acak.

2.8.2 Residu Berdistribusi Normal
Untuk memeriksa apakah residu berdistribusi normal dapat dilakukan uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan hipotesis sebagai berikut:
�� : residu berdistribusi normal

�1 : residu tidak berdistribusi normal
dengan � = 0,05 dan statistik uji:

� = ��������|�0 (�) − �� (�)|

Kriteria uji:

(2.25)

Terima �� jika �ℎ�� < ������ atau p-value > � , artinya residu berdistribusi

normal.

2.9 Metode Dekomposisi
Suatu pendekatan pada analisis deret waktu meliputi usaha untuk mengidentifikasi
komponen-komponen yang mempengaruhi tiap-tiap nilai pada sebuah data deret
waktu. Prosedur pengidentifikasian ini disebut Dekomposisi. Tiap-tiap komponen
diidentifikasi secara terpisah. Proyeksi tiap-tiap komponen ini kemudian digabung
untuk menghasilkan ramalan nilai-nilai masa mendatang dari data deret waktu
tersebut.
Metode Dekomposisi biasanya mencoba memisahkan tiga komponen dari
pola dasar yang cenderung mencirikan pola data deret waktu. Komponenkomponen

tersebut

adalah trend,

siklus,

dan

musiman.

Faktor

trend

(kecenderungan) menggambarkan perilaku data dalam jangka panjang yang dapat
meningkat, menurun, atau tidak berubah. Faktor siklus menggambarkan naik
turunnya data dalam kurun waktu tertentu. Faktor musiman berkaitan dengan
fluktuasi periodik dengan panjang konstan. Perbedaan antara faktor musiman dan
siklus adalah bahwa faktor musiman itu berulang dengan sendirinya pada interval
yang tetap seperti tahun, bulan, atau minggu, sedangkan faktor siklus mempunyai

Universitas Sumatera Utara

jangka waktu yang lebih lama dan lamanya berbeda dari siklus satu ke siklus yang
lain.
Metode Dekomposisi mempunyai asumsi bahwa data tersusun sebagai
berikut (Makridakis, 1999):
���� = ���� + ������ℎ�� = �(�����, ������, �������) + ������ℎ�� (2.26)

Jadi, di samping komponen pola, terdapat pula unsur kesalahan atau kerandoman.
Kesalahan ini dianggap merupakan perbedaan antara pengaruh gabungan dari tiga
sub-pola deret tersebut dengan data sebenarnya.
Metode Dekomposisi termasuk metode pendekatan peramalan tertua.
Metode ini digunakan oleh para ahli ekonomi untuk mengenali dan
mengendalikan siklus bisnis. Terdapat beberapa pendekatan alternatif. Untuk
mendekomposisi suatu deret waktu, yang semuanya berfungsi untuk memisahkan
data deret waktu seteliti mungkin. Konsep dasar dalam pemisahan tersebut
bersifat empiris dan tetap, mulai dari memisahkan komponen musiman, trend, dan
akhirnya siklus. Residu yang ada dianggap unsur random yang walaupun tidak
dapat ditaksir, tetapi dapat diidentifikasi.
Penulisan matematis umum dari metode Dekomposisi adalah:

di mana:
��

��

��

��

��

�� = �(�� , �� , �� , �� )

(2.27)

= nilai deret waktu (data aktual) pada periode ke-�
= komponen (indeks) musiman pada periode ke-�
= komponen trend pada periode ke-�
= komponen siklus pada periode ke-�
= komponen kesalahan (random) pada periode ke-�
Bentuk fungsional yang pasti dari persamaan (2.26) bergantung pada

metode Dekomposisi yang digunakan di antaranya yaitu metode Dekomposisi
rata-rata sederhana yang berasumsi pada model aditif:
�� = (�� + �� + �� ) + ��

(2.28)

�� = (�� ∗ �� ∗ �� ) ∗ ��

(2.29)

Metode Dekomposisi rasio pada trend yang berasumsi pada model multiplikatif
dalam bentuk:

Universitas Sumatera Utara

Metode Dekomposisi rata-rata sederhana dan rasio trend pada masa lalu
telah digunakan terutama karena perhitungannya yang mudah tetapi metode
tersebut kehilangan daya tarik seiring dikenalnya komputer secara luas, di mana
mengakibatkan aplikasi pendekatan dengan variasi metode Dekomposisi rasio
rata-rata bergerak lebih disukai. Metode ini berasumsi pada model multiplikatif
dalam bentuk:
�� = �� × �� × �� × ��

(2.30)

Metode Dekomposisi rasio rata-rata bergerak mula-mula memisahkan
unsur trend dan siklus dari data dengan menghitung rata-rata bergerak yang
jumlah unsurnya sama dengan panjang musiman. Rata-rata bergerak dengan
panjang seperti ini tidak mengandung unsur musiman dan tanpa atau sedikit sekali
unsur random. Rata-rata bergerak yang dihasilkan adalah:
�� = �� × ��

(2.31)

Persamaan (2.30) hanya mengandung faktor trend dan siklus, karena faktor
musiman dan kerandoman telah dieliminasi dengan perata-rataan. Persamaan
(2.29) dapat dibagi dengan (2.30) untuk memperoleh persamaan:
��
�� × �� × �� × ��
=
= �� × ��
��
�� × ��

(2.32)

Persamaan (2.31) merupakan rasio dari data yang sebenarnya dengan ratarata bergerak dan mengisolasi dua komponen deret waktu lainnya. Nilai rasio
menunjukkan pengaruh musiman pada nilai rata-rata data yang telah dihilangkan
faktor musimannya (deseasonalized). Langkah selanjutnya dalam metode
Dekomposisi adalah menghilangkan kerandoman dari nilai-nilai yang diperoleh
persamaan (2.31) dengan menggunakan suatu bentuk rata-rata pada bulan yang
sama atau disebut dengan metode rata-rata medial pada saat ini. Rata-rata medial
disusun menurut bulan untuk setiap tahunnya. Rata-rata medial adalah nilai ratarata untuk setiap bulan setelah dikeluarkan nilai terbesar dan terkecil. Indeks
musiman dapat diperoleh dengan mengalikan setiap rata-rata medial dengan
faktor penyesuaian dari rata-rata. Maka dari perhitungan ini akan diperoleh indeks
musiman atau seasonal index atau dalam literatur lain disebut seasonal factor.
Indeks musiman ini memperlihatkan pola musiman dari data yang terjadi dalam

Universitas Sumatera Utara

setiap periodenya sehingga dapat dianalisis adanya pola yang berbeda di setiap
bulannya berdasarkan indeks musiman ini.
Untuk melakukan proyeksi di masa depan maka dapat menggunakan
regresi linier dengan data yang telah di deseasonalized atau seasonally adjusted
series. Data ini diperoleh dari rasio atau pembagian antara data asli atau data
aktual dengan indeks musimannya. Data inilah yang akan dilakukan regresi linier
yang akan menghasilkan persamaan:
�� = � + ��

(2.33)

Nilai � dan � yang diperoleh dengan meminimumkan MSE dapat diperoleh
dengan menggunakan persamaan berikut:
�=
di mana:
��





�=

� ∑ ��� − ∑ � ∑ ��
� ∑ � 2 − (∑ �)2

(2.34)

∑�
∑ ��
−�



(2.35)

= data yang telah di deseasonalized
= periode waktu
= banyak data
Pada periode � akan dilakukan proyeksi dengan terlebih dahulu melakukan

coding secara berurutan sesuai urutan proyeksi. Hasil �� yang diperoleh dikalikan

dengan indeks musimannya untuk memperoleh hasil prediksi yang lebih akurat.

Dari metode ini dapat dihitung proyeksi bulanan yang dapat dijadikan pedoman
untuk menganalisis hasil yang akan diperoleh di bulan tertentu di masa
mendatang.

2.10 Evaluasi Model
Model yang baik memiliki tingkat keakuratan yang baik. Untuk mengukur tingkat
keakuratan, ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil peramalan model terhadap data observasi. Beberapa alat ukur tersebut yaitu:
1.

Mean Square Error (MSE)
Model yang baik dinilai dengan melihat nilai MSE yang terkecil.
��� =


1
� (�� − ��� )2

�=1

(2.36)

Universitas Sumatera Utara

di mana:
�� = nilai observasi pada periode ke-�

��� = nilai peramalan pada periode ke-�
� = banyaknya data observasi

2.

Mean Absolute Percentage Error (MAPE)
MAPE memberikan petunjuk tentang besarnya kesalahan peramalan
dibandingkan dengan nilai sebenarnya. MAPE dihitung dengan menggunakan
persamaan:
��� =

di mana:

�� − ���
× 100%
��


���� = �
�=1

|��� |


��

= nilai observasi pada periode ke-�



= banyaknya data observasi

���

= nilai peramalan pada periode ke-�

|��� |

= nilai absolut ���

(2.37)

Universitas Sumatera Utara