Peramalan Curah Hujan di Kota Medan dengan Menggunakan Metode SeasonalARIMA dan Metode Dekomposisi Chapter III IV
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peramalan curah hujan di Kota Medan menggunakan data curah hujan dari tahun
2004 sampai tahun 2015 dengan total data berjumlah 144 data yang terdiri dari 12
periode per musim.
Tabel 3.1 Data Curah Hujan Kota Medan Tahun 2004 – Tahun 2015
Tahun
Jan
Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Agu Sep
Okt Nov Des
2004
103
108
288
170
179
228
317
441
547
460
192
221
2005
423
46
95
86
319
189
192
123
223
177
157
314
2006
10
132
122
223
300
252
110
148
387
272
147
347
2007
168
9
62
277
347
99
243
222
374
251
380
296
2008
163
135
188
215
224
119
154
283
263
420
225
169
2009
252
180
512
264
385
61
258
253
372
285
217
115
2010
171
84
269
80
302
164
196
329
166
194
442
152
2011
183
64
376
205
219
128
205
233
164
475
211
235
2012
181
102
202
172
470
88
317
185
288
432
275
222
2013
158
267
116
174
157
125
91
421
374
509
243
499
2014
20
33
129
140
326
62
161
206
266
322
184
299
2015
353
154
144
254
250
86
161
199
234
345
499
124
Dari Tabel (3.1), data 10 musim yaitu periode Januari 2004 sampai Desember
2013 digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode Dekomposisi. Data
dari 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 sampai Desember 2015
digunakan untuk proses evaluasi metode. Berikut ini histogram dan deskripsi data
10 musim pertama yang digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode
Dekomposisi.
Universitas Sumatera Utara
16
Series: CURAH_HUJAN
Sample 2004M01 2013M12
Observations 120
14
12
10
8
6
4
2
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
231.6917
216.0000
547.0000
9.000000
116.9603
0.639225
2.904014
Jarque-Bera
Probability
8.218236
0.016422
0
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
Gambar 3.1 Histogram Data Curah Hujan di Kota Medan
Selama periode Januari 2004 sampai Desember 2013 untuk jumlah curah hujan
tertinggi adalah 547 dan untuk jumlah curah hujan terendah adalah 9. Rata-rata
jumlah curah hujan selama periode yaitu 231,69 seperti terlihat pada Gambar
(4.1).
3.1 Pengolahan Data dengan Metode Seasonal ARIMA
Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemeriksaan
kestasioneran data, jika data telah stasioner dilanjutkan dengan proses identifikasi
model-model yang cocok untuk data input, dan dari model-model tersebut
ditentukan model terbaik untuk digunakan dalam peramalan. Pengolahan data
dilakukan dengan bantuan software Minitab 17.
3.1.1 Pemeriksaan Kestasioneran Data
Time Series Plot of Curah Hujan
600
500
Curah Hujan
400
300
200
100
0
1
12
24
36
48
60
72
84
96
108
120
Index
Gambar 3.2 Plot Data Curah Hujan di Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan kestasioneran data dapat dilakukan secara visual
dengan
menggunakan plot data. Berdasarkan Gambar (3.2) terlihat bahwa adanya
fluktuasi yang beraturan yang mengindikasikan kemungkinan adanya faktor
musiman di dalamnya. Terlihat juga plot data telah stasioner pada rata-rata dan
juga variansnya karena pola data bergerak secara fluktuatif di sekitar nilai ratarata. Untuk memastikan apakah data sudah stasioner secara statistik dilakukan uji
Augmented Dickey-Fuller.
Tabel 3.2 Tabel Uji Augmented Dickey-Fuller Data Curah Hujan
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
-9,592308
-3,486064
-2,885863
-2,579818
Prob.*
0,0000
Tabel (3.2) memperlihatkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5% diperoleh
nilai Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya
9,592308 > 2,885863 maka �� ditolak sehingga dapat diartikan bahwa data sudah
stasioner dan dapat dilanjutkan ke langkah selanjutnya.
3.1.2 Proses Identifikasi Model
Setelah memastikan bahwa data telah stasioner, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi model berdasarkan plot ACF dan PACF. Model yang tepat akan
memberikan peramalan yang lebih akurat. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick
(1994), model Seasonal ARIMA dapat dipilih dengan kriteria sebagai berikut:
a. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan
dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non
seasonal MA(� = 1 atau � = 2).
b. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak
signifikan dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh
model non seasonal MA(� = 1).
c. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman � , lag non musiman
terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, maka diperoleh model non seasonal
MA(� = 1atau � = 2; � = 1).
Universitas Sumatera Utara
d. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut
off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan, maka diperoleh model
non seasonal AR(� = 1 atau � = 2).
e. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut
off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak signifikan, maka diperoleh
model seasonal AR(� = 1).
f. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down), PACF terpotong (cut off)
setelah lag musiman �, dan non musiman terpotong (cut off) setelah lag 1 atau
2, maka diperoleh model non seasonal dan seasonal AR(� = 1 atau � = 2;
� = 1).
Jika ACF dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh
model campuran (ARMA).
Autocorrelation Function for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Lag
Gambar 3.3 Plot ACF Data Curah Hujan
Pada Gambar (3.3) plot ACF menunjukkan cut off (terpotong) pada lag musiman
(lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan secara kuat adanya proses
SMA (Seasonal Moving Average).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.4 Plot PACF Data Curah Hujan
Terlihat juga pada Gambar (3.4), plot PACF menunjukkan cut off pada lag
musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan adanya proses SAR
(Seasonal Autoregressive).
Dari Gambar (3.3) dan Gambar (3.4), dapat dilihat bahwa beberapa
kriteria di bawah ini terpenuhi, yaitu:
a.
Plot ACF dan PACF menunjukkan cut off pada lag musiman. Hal ini
mengindikasikan adanya proses SMA(1) dan SAR(1).
b.
Plot ACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2, sedangkan
plot PACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2. Hal ini
mengindikasikan adanya proses MA(2), AR(2), atau gabungan keduanya yaitu
ARMA(2,2).
Berdasarkan dua kriteria yang terpenuhi di atas, maka diperoleh beberapa
model yang dinyatakan dalam notasi ARIMA(�, �, �)(�, �, �)� sebagai berikut:
1.
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
2.
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
3.
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
4.
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Universitas Sumatera Utara
3.1.3 Estimasi Parameter dan Pengujian Model
Setelah beberapa model sementara diperoleh, langkah selanjutnya adalah
mengestimasi parameter dari model-model sementara, lalu dilakukan pengujian
terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang terdiri dari uji asumsi keberartian
koefisien, uji asumsi white noise, dan diakhiri dengan memilih model yang
memiliki nilai MSE terkecil. Setelah model-model terpilih diestimasi nilai
parameternya, selanjutnya diuji apakah model tersebut sesuai dengan data.
3.1.3.1 Estimasi Parameter dan Uji Keberartian Koefisien
Pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang salah satunya adalah
uji asumsi keberartian koefisien dengan hipotesis sebagai berikut:
�� : koefisien tidak berarti
�1 : koefisien berarti
dengan � = 0,05 dan kriteria uji yaitu tolak �� jika p-value < � yang artinya
koefisien berarti.
Hasil estimasi parameter beserta nilai p-value untuk menguji keberartian koefisien
model adalah sebagai berikut:
1.
Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Tabel 3.3 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
SAR 12 (�� )
0,9890
0,0241
41,06
0,000
0,8652
0,0757
11,43
0,000
Constant ( �)
2,417
1,576
1,53
0,128
SMA 12 (�� )
Berdasarkan Tabel (3.3) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (0,0,0)(1,0,1)12 yaitu �1 = 0,989 ; �1 = 0,8652 ; dan � = 2,417 .
Dengan
menggunakan
operator
backshift,
model
umum
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 − 0,989�12 )�� = 2,417 + (1 − 0,8652�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.3) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
SMA(12)
lebih
kecil
dari � sehingga �0
ditolak.
Jadi,
model
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 memenuhi asumsi keberartian koefisien.
2.
Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
AR 1 (∅� )
-0,0112
0,0966
-0,12
0,908
AR 2 (∅� )
0,1257
0,0959
1,31
0,192
SAR 12 (�� )
0,9906
0,0234
42,32
0,000
SMA 12 (�� )
0,8796
0,0773
11,38
0,000
Constant ( �)
2,014
1,453
1,39
0,168
Berdasarkan Tabel (3.4) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (2,0,0)(1,0,1)12 yaitu ∅1 = −0,0112 ; ∅2 = 0,1257 ; �1 = 0,9906 ;
�1 = 0,8796 ; dan � = 2,014 . Dengan menggunakan operator backshift,
model umum ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − ∅1 � − ∅2 � 2 )(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 + 0,0112� − 0,1257� 2 )(1 − 0,9906�12 )�� = 2,014 + (1 − 0,8796�12 )��
Berdasarkan Tabel (3.4) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
AR(1) dan AR(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.
3.
Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Tabel 3.5 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
SAR 12 (�� )
0,9899
0,0238
41,59
0,000
0,0010
0,0966
0,01
0,992
MA 2 (�� )
-0,0875
0,0957
-0,91
0,363
0,8765
0,0778
11,26
0,000
Constant ( �)
2,397
1,596
1,50
0,136
MA 1 (�� )
SMA 12 (�� )
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.5) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (0,0,2)(1,0,1)12 yaitu �1 = 0,9899 ; �1 = 0,001 ; �2 = −0,0875 ;
�1 = 0,8765 dan
� = 2,397 . Dengan menggunakan operator backshift,
model umum ARIMA(0,0,2)(0,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 � − �2 � 2 )(1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 − 0,9899�12 )�� = 2,397 + (1 − 0,001� + 0,0875� 2 )(1 − 0,8765�12 )��
Berdasarkan Tabel (3.5) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
MA(1) dan MA(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.
4.
Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Tabel 3.6 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
AR 1 (∅� )
-1,2263
0,2551
-4,81
0,000
AR 2 (∅� )
-0,5816
0,2179
-2,67
0,009
SAR 12 (�� )
0,9850
0.0288
34,17
0,000
MA 1 (�� )
-1,3029
0,2080
-6,26
0,000
MA 2 (�� )
-0,7709
0,1674
-4,61
0,000
SMA 12 (�� )
0,8520
0,0869
9,80
0,000
Constant ( �)
9,908
4,991
1,98
0,050
Berdasarkan Tabel (3.6) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu ∅1 = −1,2263; ∅2 = −0,5816; �1 = 0,985;
�1 = −1,3029 ; �2 = −0,7709 ; �1 = 0,852 dan � = 9,908. Dengan
menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dapat
dinyatakan oleh:
(1 − ∅1 � − ∅2 � 2 )(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 � − �2 � 2 )(1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 + 1,2263� + 0,5816� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,3029� + 0,7709� 2 )(1 − 0,852�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.6) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
AR(1), AR(2), SAR(1), MA(1), MA(2), dan SMA(12) lebih kecil dari �
sehingga �0 ditolak. Jadi, model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 memenuhi asumsi
keberartian koefisien.
3.1.3.2 Uji Asumsi White Noise
Uji asumsi white noise terdiri dari 2 tahap yaitu uji keacakan residu dan uji
kenormalan residu. Di bawah ini adalah plot ACF residu dan nilai statistik LjungBox masing-masing model untuk menguji keacakan residu serta plot probabilitas
residu masing-masing model untuk menguji kenormalan residu.
1.
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.5 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.5) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada Tabel (3.7).
Tabel 3.7 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
13,3
17,9
28,6
41,2
DF
9
21
33
45
P-Value
0,150
0,654
0,685
0,632
Universitas Sumatera Utara
Dari Tabel (3.7) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.6 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Gambar (3.6) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
0.6
Autocorrelation
2.
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.7 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar (3.7) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.8 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
12,4
18,1
29,9
41,1
DF
7
19
31
43
P-Value
0,089
0,517
0,521
0,554
Dari Tabel (3.8) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.8 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Gambar (3.8) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
Universitas Sumatera Utara
3.
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.9 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.9) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.9 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
12,3
17,7
29,2
41,0
DF
7
19
31
43
P-Value
0,092
0,539
0,561
0,556
Dari Tabel (3.9) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.
Universitas Sumatera Utara
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.10 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Gambar (3.10) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
0.6
Autocorrelation
4.
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.11 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.11) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
Universitas Sumatera Utara
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.10 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
7,0
12,0
23,0
33,7
DF
5
17
29
41
P-Value
0,224
0,803
0,776
0,784
Dari Tabel (3.10) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji
lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu
dari model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.12 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Gambar (3.12) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
3.1.4 Pemilihan Model Terbaik
Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai MSE dari setiap model untuk
menentukan model terbaik yang akan digunakan dalam peramalan. Berikut adalah
tabel dari setiap model yang teridentifikasi:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.11 Nilai MSE Model ARIMA
Nilai
Model
DF
SSE
MSE
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
117
1.251.989
10.701
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
115
1.227.498
10.674
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
115
1.233.590
10.727
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
113
1.186.131
10.497
Pada
nilai
Tabel
(3.11)
terlihat
MSE
terkecil
dimiliki
oleh
model
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu sebesar 10.497. Di bawah ini adalah rangkuman
diagnosis model Seasonal ARIMA yang telah diuji.
Tabel 3.12 Rangkuman Diagnosis Model Seasonal ARIMA
Keberartian
Normal
MSE
Ya
Ya
10.701
Tidak
Ya
Ya
10.674
Tidak
Ya
Ya
10.727
Ya
Ya
Ya
10.497
Model
Koefisien
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
Ya
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
White Noise
Acak
Berdasarkan Tabel (3.12), model yang memenuhi semua tahapan diagnosis yaitu
memenuhi asumsi keberartian koefisien, asumsi white noise, dan memiliki nilai
MSE terkecil di antara semua model yang teridentifikasi adalah model
ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 . Jadi, model ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 dipilih sebagai
model yang digunakan untuk peramalan.
3.1.5 Peramalan dengan Model Seasonal ARIMA Terpilih untuk Evaluasi
Setelah model terbaik dari beberapa model dugaan sementara dipilih, selanjutnya
dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari
2014 – Desember 2015. Model ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 yang diperoleh akan
digunakan untuk peramalan yaitu:
(1 + 1,226� + 0,582� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,303� + 0,778� 2 )(1 − 0,852�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Hasil peramalan ini (Lampiran 1) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari
metode Dekomposisi untuk evaluasi.
3.2 Pengolahan Data dengan Metode Dekomposisi
Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemisahan
(Dekomposisi) data dengan menghitung indeks musiman dan menentukan garis
trend yang tepat. Metode yang akan digunakan adalah metode Dekomposisi ratarata bergerak secara aditif dan
multiplikatif sehingga ada dua model yang
dihasilkan pada tahap ini. Model terbaik akan digunakan untuk peramalan.
3.2.1 Menghitung Indeks Musiman
Sebelum masuk ke dalam proses menghitung indeks musiman, terlebih dahulu
dihitung rata-rata bergerak sepanjang musiman data. Pada penelitian ini data
memiliki musiman sepanjang 12 periode. Jadi, rata-rata musiman dihitung merataratakan 12 data berurutan dan hasilnya diletakkan pada periode tengahnya. Hasil
perhitungan rata-rata bergerak dan rasio antara data aktual dengan rata-rata
bergerak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 3.13 Indeks Musiman
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata2 Medial
Faktor
Penyesuaian
Indeks
Musiman (%)
Januari
152,158
5,393
84,956
69,608
95,454
79,844
82,743
79,328
69,808
80,249
Februari
17,191
73,915
4,309
59,536
66,0147
40,191
28,839
42,947
128,675
46,948
Maret
39,405
67,528
28,837
81,093
189,513
124,923
175,769
86,509
51,064
89,470
April
40,171
114,751
129,489
96,593
94,539
40,370
95,906
70,539
74,253
83,850
Mei
Juni
167,454
148,331
163,551
94,648
143,657
158,461
92,340
195,629
65,213
138,349
100,755
125,114
42,749
53,184
22,818
78,344
58,738
35,833
52,503
60,301
1,026
1,026
1,026
1,026
1,026
1,026
82,346
48,175
91,809
86,042
141,965
61,877
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel (3.13)
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata2
Medial
Faktor
Penyesuaian
Indeks
Musiman
(%)
Juli
116,902
98,293
53,877
106,891
72,244
98,161
92,271
91,179
129,652
34,844
Agustus
148,069
76,437
68,098
97,833
128,296
98,796
154,158
103,709
76,262
-
September
186,902
132,672
186,881
157,529
117,236
149,949
78,394
71,982
112,353
-
Oktober
166,315
103,914
134,598
101,244
167,109
125,091
87,915
222,656
173,377
-
November
71,221
86,382
71,158
156,539
88,091
102,118
191,273
100,198
110,294
-
Desember
78,578
174,283
164,846
127,312
62,864
55,938
67,807
101,51
99,440
-
Total
91,227
104,200
133,574
138,807
102,121
100,336
1.169,4
1,026
1,026
1,026
1,026
137,065
142,435
104,789
102,959
1,026
93,612
1,026
106,924
1.200
Tabel (3.13) adalah tabel indeks musiman. Untuk rata-rata bergerak bulan
Juli 2004 dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Januari hingga Desember,
data awal dibagi 12. Untuk rata-rata bergerak bulan Agustus dihitung dari jumlah
total curah hujan bulan Februari 2004 hingga januari 2005 dibagi 12, dan
seterusnya.
Rasio ini kemudian disusun sesuai dengan periodenya masing-masing
yaitu pada bulan yang sama di tiap tahun dan dihitung rata-rata medialnya (ratarata dari data yang telah dikeluarkan nilai terbesar dan terkecil) untuk setiap
periode yang bersesuaian. Rata-rata medial ini kemudian dikali dengan faktor
penyesuaian agar jumlah rata-rata medial untuk semua periode menjadi �
(panjang musiman).
Seasonal factor atau seasonal index atau indeks musiman dihitung dari
mencari rata-rata median dari data rasio original indeks dengan rata-rata bergerak
pada bulan yang sama di tiap tahun selain nilai yang tertinggi dan yang terendah.
Kemudian dihitung dengan penyesuaian dari rata-rata medial sehingga jumlahnya
sama dengan 1.200.
3.2.2 Pencocokan Trend
Deseasonalized dari data aktual yaitu membagi data asli dengan indeks musiman.
Data ini lah yang akan menjadi data dasar untuk menentukan persamaan garis
Universitas Sumatera Utara
trend linier (Lampiran 4). Dari data yang telah dideseasonalized dilakukan
proyeksi dengan menggunakan regresi sederhana hingga mendapatkan hasil
persamaan garis trend. Terlebih dahulu menghitung nilai � dan � dalam
persamaan garis trend sebagai berikut:
�=
�=
� ∑ ��� − ∑ � ∑ �� 120(1.713.968,591) − 7.260(27.837,270)
=
= 0,207
� ∑ � 2 − (∑ �)2
120(583.220) − (7.260)2
∑ � 27.837,270
∑ ��
7.260
−�
=
− (0,207)
= 219,451
�
120
120
�
sehingga diperoleh persamaan garis trend:
�� = 219,451 + 0,207�
3.2.3 Peramalan dengan Metode Dekomposisi untuk Evaluasi
Selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode
Januari 2014 – Desember 2015. Pada periode � akan dilakukan proyeksi dengan
terlebih dahulu melakukan coding secara berurutan sesuai urutan proyeksi. Hasil
prediksi diperoleh dari mengalikan persamaan trend �� dengan indeks
musimannya. Hasil peramalan ini (Lampiran 2) akan dibandingkan dengan hasil
peramalan dari metode Seasonal ARIMA untuk evaluasi.
3.3 Evaluasi Hasil Peramalan Metode Seasonal ARIMA dan Metode
Dekomposisi
Kriteria keakuratan hasil peramalan dengan menggunakan kedua model tersebut
dalam penelitian ini adalah dengan menghitung nilai Mean Absolute Percentage
Error (MAPE). Digunakan MAPE karena MAPE mengenal secara pasti
signifikansi hubungan diantara data hasil ramalan dengan data aktual melalui
persentase dari data aktual dan indikator positif atau negatif pada error diabaikan.
Jika MAPE lebih kecil berarti metode tersebut lebih akurat. Model peramalan
dikatakan baik jika nilai MAPE kurang dari 20%.
Berdasarkan hasil peramalan curah hujan dengan data input periode
Januari
2014
sampai
Desember
2015
menggunakan
model
Seasonal
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dan metode Dekomposisi diperoleh nilai MAPE masing-
Universitas Sumatera Utara
masing metode yaitu 18,051% dan 26,559% (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Nilai
MAPE yang dihasilkan metode Seasonal ARIMA lebih kecil dibandingkan MAPE
metode Dekomposisi. Sehingga peramalan dengan menggunakan metode
Seasonal ARIMA lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jaringan saraf
tiruan metode Dekomposisi.
3.4 Peramalan Curah Hujan
Tahap terakhir pada penelitian ini adalah melakukan peramalan curah hujan
dengan metode yang terpilih yaitu model Seasonal ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 .
Berikut adalah peramalan curah hujan di Kota Medan periode Januari 2017 –
Desember 2018.
Tabel 3.14 Peramalan Curah Hujan Kota Medan Tahun 2017 – Tahun 2018
Periode
Ramalan
Pembulatan
(t)
Januari 2017
� �)
(�
186,902
187
Februari 2017
149,468
150
Maret 2017
220,146
220
April 2017
194,157
194
Mei 2017
276,630
277
Juni 2017
150,100
150
Juli 2017
203,555
204
Agustus 2017
276,591
277
September 2017
291,863
292
Oktober 2017
358,284
358
November 2017
253,290
253
Desember 2017
259,916
260
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel (3.14)
Periode
Ramalan
Pembulatan
(t)
Januari 2018
� �)
(�
187,678
188
Februari 2018
150,767
151
Maret 2018
220,337
220
April 2018
194,820
195
Mei 2018
275,985
276
Juni 2018
151,391
151
Juli 2018
204,037
204
Agustus 2018
275,965
276
September 2018
291,031
291
Oktober 2018
356,438
356
November 2018
253,027
253
Desember 2018
259,552
260
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Curah hujan berpola musiman sehingga metode Seasonal ARIMA dan metode
dekomposisi dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di Kota Medan
dengan jumlah periode per musimnya adalah 12 bulan.
2.
Dari pengolahan data dengan metode Seasonal ARIMA, diperoleh model
yang paling sesuai dengan data yaitu model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 :
(1 + 1,226� + 0,582� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,303� + 0,778� 2 )(1 − 0,852�12 )��
dengan nilai MSE sebesar 10.497.
3.
Dari pengolahan data dengan metode dekomposisi, diperoleh persamaan
garis trend:
4.
�� = 219,451 + 0,207�
Dari evaluasi hasil peramalan, diperoleh nilai MAPE sebesar 18,051% untuk
metode Seasonal ARIMA dan sebesar 26,559% untuk metode dekomposisi.
Nilai MAPE metode Seasonal ARIMA lebih kecil dari metode dekomposisi
dan berada di bawah 20%, sehingga dalam penelitian ini metode Seasonal
ARIMA jauh lebih baik dibandingkan metode dekomposisi dalam
meramalkan curah hujan di Kota Medan.
4.2 Saran
1.
Model ARIMA yang lain perlu diteliti untuk mendapatkan nilai error ramalan
yang lebih kecil.
2.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tingkat keakuratan ramalan
menggunakan metode ARIMA maupun Seasonal ARIMA, pembaca dapat
membandingkan dan juga mengombinasikan metode tersebut dengan metode
deret waktu lainnya dan juga metode jaringan syaraf tiruan.
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peramalan curah hujan di Kota Medan menggunakan data curah hujan dari tahun
2004 sampai tahun 2015 dengan total data berjumlah 144 data yang terdiri dari 12
periode per musim.
Tabel 3.1 Data Curah Hujan Kota Medan Tahun 2004 – Tahun 2015
Tahun
Jan
Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Agu Sep
Okt Nov Des
2004
103
108
288
170
179
228
317
441
547
460
192
221
2005
423
46
95
86
319
189
192
123
223
177
157
314
2006
10
132
122
223
300
252
110
148
387
272
147
347
2007
168
9
62
277
347
99
243
222
374
251
380
296
2008
163
135
188
215
224
119
154
283
263
420
225
169
2009
252
180
512
264
385
61
258
253
372
285
217
115
2010
171
84
269
80
302
164
196
329
166
194
442
152
2011
183
64
376
205
219
128
205
233
164
475
211
235
2012
181
102
202
172
470
88
317
185
288
432
275
222
2013
158
267
116
174
157
125
91
421
374
509
243
499
2014
20
33
129
140
326
62
161
206
266
322
184
299
2015
353
154
144
254
250
86
161
199
234
345
499
124
Dari Tabel (3.1), data 10 musim yaitu periode Januari 2004 sampai Desember
2013 digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode Dekomposisi. Data
dari 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 sampai Desember 2015
digunakan untuk proses evaluasi metode. Berikut ini histogram dan deskripsi data
10 musim pertama yang digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode
Dekomposisi.
Universitas Sumatera Utara
16
Series: CURAH_HUJAN
Sample 2004M01 2013M12
Observations 120
14
12
10
8
6
4
2
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
231.6917
216.0000
547.0000
9.000000
116.9603
0.639225
2.904014
Jarque-Bera
Probability
8.218236
0.016422
0
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
Gambar 3.1 Histogram Data Curah Hujan di Kota Medan
Selama periode Januari 2004 sampai Desember 2013 untuk jumlah curah hujan
tertinggi adalah 547 dan untuk jumlah curah hujan terendah adalah 9. Rata-rata
jumlah curah hujan selama periode yaitu 231,69 seperti terlihat pada Gambar
(4.1).
3.1 Pengolahan Data dengan Metode Seasonal ARIMA
Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemeriksaan
kestasioneran data, jika data telah stasioner dilanjutkan dengan proses identifikasi
model-model yang cocok untuk data input, dan dari model-model tersebut
ditentukan model terbaik untuk digunakan dalam peramalan. Pengolahan data
dilakukan dengan bantuan software Minitab 17.
3.1.1 Pemeriksaan Kestasioneran Data
Time Series Plot of Curah Hujan
600
500
Curah Hujan
400
300
200
100
0
1
12
24
36
48
60
72
84
96
108
120
Index
Gambar 3.2 Plot Data Curah Hujan di Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan kestasioneran data dapat dilakukan secara visual
dengan
menggunakan plot data. Berdasarkan Gambar (3.2) terlihat bahwa adanya
fluktuasi yang beraturan yang mengindikasikan kemungkinan adanya faktor
musiman di dalamnya. Terlihat juga plot data telah stasioner pada rata-rata dan
juga variansnya karena pola data bergerak secara fluktuatif di sekitar nilai ratarata. Untuk memastikan apakah data sudah stasioner secara statistik dilakukan uji
Augmented Dickey-Fuller.
Tabel 3.2 Tabel Uji Augmented Dickey-Fuller Data Curah Hujan
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
-9,592308
-3,486064
-2,885863
-2,579818
Prob.*
0,0000
Tabel (3.2) memperlihatkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5% diperoleh
nilai Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya
9,592308 > 2,885863 maka �� ditolak sehingga dapat diartikan bahwa data sudah
stasioner dan dapat dilanjutkan ke langkah selanjutnya.
3.1.2 Proses Identifikasi Model
Setelah memastikan bahwa data telah stasioner, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi model berdasarkan plot ACF dan PACF. Model yang tepat akan
memberikan peramalan yang lebih akurat. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick
(1994), model Seasonal ARIMA dapat dipilih dengan kriteria sebagai berikut:
a. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan
dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non
seasonal MA(� = 1 atau � = 2).
b. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak
signifikan dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh
model non seasonal MA(� = 1).
c. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman � , lag non musiman
terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, maka diperoleh model non seasonal
MA(� = 1atau � = 2; � = 1).
Universitas Sumatera Utara
d. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut
off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan, maka diperoleh model
non seasonal AR(� = 1 atau � = 2).
e. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut
off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak signifikan, maka diperoleh
model seasonal AR(� = 1).
f. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down), PACF terpotong (cut off)
setelah lag musiman �, dan non musiman terpotong (cut off) setelah lag 1 atau
2, maka diperoleh model non seasonal dan seasonal AR(� = 1 atau � = 2;
� = 1).
Jika ACF dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh
model campuran (ARMA).
Autocorrelation Function for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Lag
Gambar 3.3 Plot ACF Data Curah Hujan
Pada Gambar (3.3) plot ACF menunjukkan cut off (terpotong) pada lag musiman
(lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan secara kuat adanya proses
SMA (Seasonal Moving Average).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.4 Plot PACF Data Curah Hujan
Terlihat juga pada Gambar (3.4), plot PACF menunjukkan cut off pada lag
musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan adanya proses SAR
(Seasonal Autoregressive).
Dari Gambar (3.3) dan Gambar (3.4), dapat dilihat bahwa beberapa
kriteria di bawah ini terpenuhi, yaitu:
a.
Plot ACF dan PACF menunjukkan cut off pada lag musiman. Hal ini
mengindikasikan adanya proses SMA(1) dan SAR(1).
b.
Plot ACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2, sedangkan
plot PACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2. Hal ini
mengindikasikan adanya proses MA(2), AR(2), atau gabungan keduanya yaitu
ARMA(2,2).
Berdasarkan dua kriteria yang terpenuhi di atas, maka diperoleh beberapa
model yang dinyatakan dalam notasi ARIMA(�, �, �)(�, �, �)� sebagai berikut:
1.
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
2.
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
3.
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
4.
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Universitas Sumatera Utara
3.1.3 Estimasi Parameter dan Pengujian Model
Setelah beberapa model sementara diperoleh, langkah selanjutnya adalah
mengestimasi parameter dari model-model sementara, lalu dilakukan pengujian
terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang terdiri dari uji asumsi keberartian
koefisien, uji asumsi white noise, dan diakhiri dengan memilih model yang
memiliki nilai MSE terkecil. Setelah model-model terpilih diestimasi nilai
parameternya, selanjutnya diuji apakah model tersebut sesuai dengan data.
3.1.3.1 Estimasi Parameter dan Uji Keberartian Koefisien
Pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang salah satunya adalah
uji asumsi keberartian koefisien dengan hipotesis sebagai berikut:
�� : koefisien tidak berarti
�1 : koefisien berarti
dengan � = 0,05 dan kriteria uji yaitu tolak �� jika p-value < � yang artinya
koefisien berarti.
Hasil estimasi parameter beserta nilai p-value untuk menguji keberartian koefisien
model adalah sebagai berikut:
1.
Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Tabel 3.3 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
SAR 12 (�� )
0,9890
0,0241
41,06
0,000
0,8652
0,0757
11,43
0,000
Constant ( �)
2,417
1,576
1,53
0,128
SMA 12 (�� )
Berdasarkan Tabel (3.3) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (0,0,0)(1,0,1)12 yaitu �1 = 0,989 ; �1 = 0,8652 ; dan � = 2,417 .
Dengan
menggunakan
operator
backshift,
model
umum
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 − 0,989�12 )�� = 2,417 + (1 − 0,8652�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.3) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
SMA(12)
lebih
kecil
dari � sehingga �0
ditolak.
Jadi,
model
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 memenuhi asumsi keberartian koefisien.
2.
Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
AR 1 (∅� )
-0,0112
0,0966
-0,12
0,908
AR 2 (∅� )
0,1257
0,0959
1,31
0,192
SAR 12 (�� )
0,9906
0,0234
42,32
0,000
SMA 12 (�� )
0,8796
0,0773
11,38
0,000
Constant ( �)
2,014
1,453
1,39
0,168
Berdasarkan Tabel (3.4) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (2,0,0)(1,0,1)12 yaitu ∅1 = −0,0112 ; ∅2 = 0,1257 ; �1 = 0,9906 ;
�1 = 0,8796 ; dan � = 2,014 . Dengan menggunakan operator backshift,
model umum ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − ∅1 � − ∅2 � 2 )(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 + 0,0112� − 0,1257� 2 )(1 − 0,9906�12 )�� = 2,014 + (1 − 0,8796�12 )��
Berdasarkan Tabel (3.4) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
AR(1) dan AR(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.
3.
Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Tabel 3.5 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
SAR 12 (�� )
0,9899
0,0238
41,59
0,000
0,0010
0,0966
0,01
0,992
MA 2 (�� )
-0,0875
0,0957
-0,91
0,363
0,8765
0,0778
11,26
0,000
Constant ( �)
2,397
1,596
1,50
0,136
MA 1 (�� )
SMA 12 (�� )
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.5) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA (0,0,2)(1,0,1)12 yaitu �1 = 0,9899 ; �1 = 0,001 ; �2 = −0,0875 ;
�1 = 0,8765 dan
� = 2,397 . Dengan menggunakan operator backshift,
model umum ARIMA(0,0,2)(0,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:
(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 � − �2 � 2 )(1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 − 0,9899�12 )�� = 2,397 + (1 − 0,001� + 0,0875� 2 )(1 − 0,8765�12 )��
Berdasarkan Tabel (3.5) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
MA(1) dan MA(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.
4.
Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Tabel 3.6 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Type
Coef
SE Coef
T
P
AR 1 (∅� )
-1,2263
0,2551
-4,81
0,000
AR 2 (∅� )
-0,5816
0,2179
-2,67
0,009
SAR 12 (�� )
0,9850
0.0288
34,17
0,000
MA 1 (�� )
-1,3029
0,2080
-6,26
0,000
MA 2 (�� )
-0,7709
0,1674
-4,61
0,000
SMA 12 (�� )
0,8520
0,0869
9,80
0,000
Constant ( �)
9,908
4,991
1,98
0,050
Berdasarkan Tabel (3.6) diperoleh hasil penaksiran parameter model
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu ∅1 = −1,2263; ∅2 = −0,5816; �1 = 0,985;
�1 = −1,3029 ; �2 = −0,7709 ; �1 = 0,852 dan � = 9,908. Dengan
menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dapat
dinyatakan oleh:
(1 − ∅1 � − ∅2 � 2 )(1 − �1 �12 )�� = � + (1 − �1 � − �2 � 2 )(1 − �1 �12 )��
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,
(1 + 1,2263� + 0,5816� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,3029� + 0,7709� 2 )(1 − 0,852�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel (3.6) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter
AR(1), AR(2), SAR(1), MA(1), MA(2), dan SMA(12) lebih kecil dari �
sehingga �0 ditolak. Jadi, model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 memenuhi asumsi
keberartian koefisien.
3.1.3.2 Uji Asumsi White Noise
Uji asumsi white noise terdiri dari 2 tahap yaitu uji keacakan residu dan uji
kenormalan residu. Di bawah ini adalah plot ACF residu dan nilai statistik LjungBox masing-masing model untuk menguji keacakan residu serta plot probabilitas
residu masing-masing model untuk menguji kenormalan residu.
1.
ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.5 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.5) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada Tabel (3.7).
Tabel 3.7 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
13,3
17,9
28,6
41,2
DF
9
21
33
45
P-Value
0,150
0,654
0,685
0,632
Universitas Sumatera Utara
Dari Tabel (3.7) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.6 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12
Gambar (3.6) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
0.6
Autocorrelation
2.
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.7 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar (3.7) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.8 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
12,4
18,1
29,9
41,1
DF
7
19
31
43
P-Value
0,089
0,517
0,521
0,554
Dari Tabel (3.8) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.8 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12
Gambar (3.8) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
Universitas Sumatera Utara
3.
ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
Autocorrelation
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.9 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.9) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.9 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
12,3
17,7
29,2
41,0
DF
7
19
31
43
P-Value
0,092
0,539
0,561
0,556
Dari Tabel (3.9) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih
besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari
model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.
Universitas Sumatera Utara
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.10 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12
Gambar (3.10) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
ACF of Residuals for Curah Hujan
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
0.6
Autocorrelation
4.
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lag
Gambar 3.11 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Dari Gambar (3.11) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas
menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu
Universitas Sumatera Utara
bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.10 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag
12
24
36
48
Chi-Square
7,0
12,0
23,0
33,7
DF
5
17
29
41
P-Value
0,224
0,803
0,776
0,784
Dari Tabel (3.10) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji
lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu
dari model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.
Normal Probability Plot
(response is Curah Hujan)
99.9
99
95
Percent
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
0.1
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Residual
Gambar 3.12 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12
Gambar (3.12) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti
residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi
normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.
3.1.4 Pemilihan Model Terbaik
Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai MSE dari setiap model untuk
menentukan model terbaik yang akan digunakan dalam peramalan. Berikut adalah
tabel dari setiap model yang teridentifikasi:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.11 Nilai MSE Model ARIMA
Nilai
Model
DF
SSE
MSE
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
117
1.251.989
10.701
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
115
1.227.498
10.674
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
115
1.233.590
10.727
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
113
1.186.131
10.497
Pada
nilai
Tabel
(3.11)
terlihat
MSE
terkecil
dimiliki
oleh
model
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu sebesar 10.497. Di bawah ini adalah rangkuman
diagnosis model Seasonal ARIMA yang telah diuji.
Tabel 3.12 Rangkuman Diagnosis Model Seasonal ARIMA
Keberartian
Normal
MSE
Ya
Ya
10.701
Tidak
Ya
Ya
10.674
Tidak
Ya
Ya
10.727
Ya
Ya
Ya
10.497
Model
Koefisien
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
Ya
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
ARIMA(�, �, �)(�, �, �)��
White Noise
Acak
Berdasarkan Tabel (3.12), model yang memenuhi semua tahapan diagnosis yaitu
memenuhi asumsi keberartian koefisien, asumsi white noise, dan memiliki nilai
MSE terkecil di antara semua model yang teridentifikasi adalah model
ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 . Jadi, model ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 dipilih sebagai
model yang digunakan untuk peramalan.
3.1.5 Peramalan dengan Model Seasonal ARIMA Terpilih untuk Evaluasi
Setelah model terbaik dari beberapa model dugaan sementara dipilih, selanjutnya
dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari
2014 – Desember 2015. Model ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 yang diperoleh akan
digunakan untuk peramalan yaitu:
(1 + 1,226� + 0,582� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,303� + 0,778� 2 )(1 − 0,852�12 )��
Universitas Sumatera Utara
Hasil peramalan ini (Lampiran 1) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari
metode Dekomposisi untuk evaluasi.
3.2 Pengolahan Data dengan Metode Dekomposisi
Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemisahan
(Dekomposisi) data dengan menghitung indeks musiman dan menentukan garis
trend yang tepat. Metode yang akan digunakan adalah metode Dekomposisi ratarata bergerak secara aditif dan
multiplikatif sehingga ada dua model yang
dihasilkan pada tahap ini. Model terbaik akan digunakan untuk peramalan.
3.2.1 Menghitung Indeks Musiman
Sebelum masuk ke dalam proses menghitung indeks musiman, terlebih dahulu
dihitung rata-rata bergerak sepanjang musiman data. Pada penelitian ini data
memiliki musiman sepanjang 12 periode. Jadi, rata-rata musiman dihitung merataratakan 12 data berurutan dan hasilnya diletakkan pada periode tengahnya. Hasil
perhitungan rata-rata bergerak dan rasio antara data aktual dengan rata-rata
bergerak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 3.13 Indeks Musiman
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata2 Medial
Faktor
Penyesuaian
Indeks
Musiman (%)
Januari
152,158
5,393
84,956
69,608
95,454
79,844
82,743
79,328
69,808
80,249
Februari
17,191
73,915
4,309
59,536
66,0147
40,191
28,839
42,947
128,675
46,948
Maret
39,405
67,528
28,837
81,093
189,513
124,923
175,769
86,509
51,064
89,470
April
40,171
114,751
129,489
96,593
94,539
40,370
95,906
70,539
74,253
83,850
Mei
Juni
167,454
148,331
163,551
94,648
143,657
158,461
92,340
195,629
65,213
138,349
100,755
125,114
42,749
53,184
22,818
78,344
58,738
35,833
52,503
60,301
1,026
1,026
1,026
1,026
1,026
1,026
82,346
48,175
91,809
86,042
141,965
61,877
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel (3.13)
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata2
Medial
Faktor
Penyesuaian
Indeks
Musiman
(%)
Juli
116,902
98,293
53,877
106,891
72,244
98,161
92,271
91,179
129,652
34,844
Agustus
148,069
76,437
68,098
97,833
128,296
98,796
154,158
103,709
76,262
-
September
186,902
132,672
186,881
157,529
117,236
149,949
78,394
71,982
112,353
-
Oktober
166,315
103,914
134,598
101,244
167,109
125,091
87,915
222,656
173,377
-
November
71,221
86,382
71,158
156,539
88,091
102,118
191,273
100,198
110,294
-
Desember
78,578
174,283
164,846
127,312
62,864
55,938
67,807
101,51
99,440
-
Total
91,227
104,200
133,574
138,807
102,121
100,336
1.169,4
1,026
1,026
1,026
1,026
137,065
142,435
104,789
102,959
1,026
93,612
1,026
106,924
1.200
Tabel (3.13) adalah tabel indeks musiman. Untuk rata-rata bergerak bulan
Juli 2004 dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Januari hingga Desember,
data awal dibagi 12. Untuk rata-rata bergerak bulan Agustus dihitung dari jumlah
total curah hujan bulan Februari 2004 hingga januari 2005 dibagi 12, dan
seterusnya.
Rasio ini kemudian disusun sesuai dengan periodenya masing-masing
yaitu pada bulan yang sama di tiap tahun dan dihitung rata-rata medialnya (ratarata dari data yang telah dikeluarkan nilai terbesar dan terkecil) untuk setiap
periode yang bersesuaian. Rata-rata medial ini kemudian dikali dengan faktor
penyesuaian agar jumlah rata-rata medial untuk semua periode menjadi �
(panjang musiman).
Seasonal factor atau seasonal index atau indeks musiman dihitung dari
mencari rata-rata median dari data rasio original indeks dengan rata-rata bergerak
pada bulan yang sama di tiap tahun selain nilai yang tertinggi dan yang terendah.
Kemudian dihitung dengan penyesuaian dari rata-rata medial sehingga jumlahnya
sama dengan 1.200.
3.2.2 Pencocokan Trend
Deseasonalized dari data aktual yaitu membagi data asli dengan indeks musiman.
Data ini lah yang akan menjadi data dasar untuk menentukan persamaan garis
Universitas Sumatera Utara
trend linier (Lampiran 4). Dari data yang telah dideseasonalized dilakukan
proyeksi dengan menggunakan regresi sederhana hingga mendapatkan hasil
persamaan garis trend. Terlebih dahulu menghitung nilai � dan � dalam
persamaan garis trend sebagai berikut:
�=
�=
� ∑ ��� − ∑ � ∑ �� 120(1.713.968,591) − 7.260(27.837,270)
=
= 0,207
� ∑ � 2 − (∑ �)2
120(583.220) − (7.260)2
∑ � 27.837,270
∑ ��
7.260
−�
=
− (0,207)
= 219,451
�
120
120
�
sehingga diperoleh persamaan garis trend:
�� = 219,451 + 0,207�
3.2.3 Peramalan dengan Metode Dekomposisi untuk Evaluasi
Selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode
Januari 2014 – Desember 2015. Pada periode � akan dilakukan proyeksi dengan
terlebih dahulu melakukan coding secara berurutan sesuai urutan proyeksi. Hasil
prediksi diperoleh dari mengalikan persamaan trend �� dengan indeks
musimannya. Hasil peramalan ini (Lampiran 2) akan dibandingkan dengan hasil
peramalan dari metode Seasonal ARIMA untuk evaluasi.
3.3 Evaluasi Hasil Peramalan Metode Seasonal ARIMA dan Metode
Dekomposisi
Kriteria keakuratan hasil peramalan dengan menggunakan kedua model tersebut
dalam penelitian ini adalah dengan menghitung nilai Mean Absolute Percentage
Error (MAPE). Digunakan MAPE karena MAPE mengenal secara pasti
signifikansi hubungan diantara data hasil ramalan dengan data aktual melalui
persentase dari data aktual dan indikator positif atau negatif pada error diabaikan.
Jika MAPE lebih kecil berarti metode tersebut lebih akurat. Model peramalan
dikatakan baik jika nilai MAPE kurang dari 20%.
Berdasarkan hasil peramalan curah hujan dengan data input periode
Januari
2014
sampai
Desember
2015
menggunakan
model
Seasonal
ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dan metode Dekomposisi diperoleh nilai MAPE masing-
Universitas Sumatera Utara
masing metode yaitu 18,051% dan 26,559% (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Nilai
MAPE yang dihasilkan metode Seasonal ARIMA lebih kecil dibandingkan MAPE
metode Dekomposisi. Sehingga peramalan dengan menggunakan metode
Seasonal ARIMA lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jaringan saraf
tiruan metode Dekomposisi.
3.4 Peramalan Curah Hujan
Tahap terakhir pada penelitian ini adalah melakukan peramalan curah hujan
dengan metode yang terpilih yaitu model Seasonal ARIMA (2,0,2)(1,0,1)12 .
Berikut adalah peramalan curah hujan di Kota Medan periode Januari 2017 –
Desember 2018.
Tabel 3.14 Peramalan Curah Hujan Kota Medan Tahun 2017 – Tahun 2018
Periode
Ramalan
Pembulatan
(t)
Januari 2017
� �)
(�
186,902
187
Februari 2017
149,468
150
Maret 2017
220,146
220
April 2017
194,157
194
Mei 2017
276,630
277
Juni 2017
150,100
150
Juli 2017
203,555
204
Agustus 2017
276,591
277
September 2017
291,863
292
Oktober 2017
358,284
358
November 2017
253,290
253
Desember 2017
259,916
260
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel (3.14)
Periode
Ramalan
Pembulatan
(t)
Januari 2018
� �)
(�
187,678
188
Februari 2018
150,767
151
Maret 2018
220,337
220
April 2018
194,820
195
Mei 2018
275,985
276
Juni 2018
151,391
151
Juli 2018
204,037
204
Agustus 2018
275,965
276
September 2018
291,031
291
Oktober 2018
356,438
356
November 2018
253,027
253
Desember 2018
259,552
260
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Curah hujan berpola musiman sehingga metode Seasonal ARIMA dan metode
dekomposisi dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di Kota Medan
dengan jumlah periode per musimnya adalah 12 bulan.
2.
Dari pengolahan data dengan metode Seasonal ARIMA, diperoleh model
yang paling sesuai dengan data yaitu model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 :
(1 + 1,226� + 0,582� 2 )(1 − 0,985�12 )��
= 9,908 + (1 + 1,303� + 0,778� 2 )(1 − 0,852�12 )��
dengan nilai MSE sebesar 10.497.
3.
Dari pengolahan data dengan metode dekomposisi, diperoleh persamaan
garis trend:
4.
�� = 219,451 + 0,207�
Dari evaluasi hasil peramalan, diperoleh nilai MAPE sebesar 18,051% untuk
metode Seasonal ARIMA dan sebesar 26,559% untuk metode dekomposisi.
Nilai MAPE metode Seasonal ARIMA lebih kecil dari metode dekomposisi
dan berada di bawah 20%, sehingga dalam penelitian ini metode Seasonal
ARIMA jauh lebih baik dibandingkan metode dekomposisi dalam
meramalkan curah hujan di Kota Medan.
4.2 Saran
1.
Model ARIMA yang lain perlu diteliti untuk mendapatkan nilai error ramalan
yang lebih kecil.
2.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tingkat keakuratan ramalan
menggunakan metode ARIMA maupun Seasonal ARIMA, pembaca dapat
membandingkan dan juga mengombinasikan metode tersebut dengan metode
deret waktu lainnya dan juga metode jaringan syaraf tiruan.
Universitas Sumatera Utara