Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia Chapter III V

BAB III
PENGARUH UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) SEBAGAI KONVENSI
INTERNASIONAL DALAM MENANGANI MASALAH PERDAGANGAN
ORANG

A. Latar Belakang Lahirnya United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (UNTOC)
Kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini dipandang
sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Perkembangan
kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukan bahwa batas- batas teritorial
antara satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun
berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini, hampir dapat
dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat lagi hanya
dipandang sebagai yuridiksi kriminal suatu negara, akan tetapi sering diklaim
termasuk yuridiksi kriminal lebih dari satu atau dua negara, sehingga dalam
perkembangannya kemudian telah menimbulkan masalah konflik yuridiksi yang
sangat mengganggu hubungan internasional antarnegara yang berkepentingan di
dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas teritorial.
Sejumlah asumsi tentang kejahatan transnasional dapat ditemukan dibanyak
publikasi saat ini. Asumsi yang paling penting adalah kejahatan transnasional

pada dasarnya merupakan suatu fenomena baru yang muncul pada 1990-an,
untuk sebagian besar terhubung dengan skala besar organisasi kriminal yang

42
Universitas Sumatera Utara

43

sering memiliki latar belakang etnis tertentu, dan secara teratur bekerja
bersama-sama dengan organisasi kriminal di negara lain, kejahatan transnasional
terutama disebabkan oleh proses globalisasi selama tiga dekade terakhir dan
merembes ke dalam bisnis yang sah dan pemerintah. Berbagai asumsi di atas akan
digunakan untuk merefleksi fenomena kejahatan transnasional. Jika kita cermati,
berbagai asumsi ini tidak selalu tampak rasional, karena terbuka berbagai
perubahan yang terjadi sehubungan dengan perkembangan kejahatan transnasional
itu sendiri. Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
pengamatan Letzia Paoli, yang mengatakan bahwa persepsi (transnasional)
kejahatan terorganisir tercemar oleh kepanikan moral, dan "isu-isu yang dibentuk
oleh kepanikan moral tidak mungkin ditangani dengan cara rasional". Yang pasti,
asumsi tidak harus dilihat sebagai unsur dari perspektif standar tentang kejahatan

transnasional. Proses umum globalisasi dekade terakhir memberikan penjelasan
utama bagi munculnya kejahatan transnasional. Karena liberalisasi pasar dan
penurunan kepentingan perbatasan antar negara, kejahatan transnasional telah
meningkat secara dramatis. Asumsi ini sampai batas tertentu menyederhanakan
penyebab dan perkembangan kejahatan transnasional. Hal itu sudah menunjukkan
bahwa

kejahatan

transnasional

selalu

terjadi.

Bagaimanapun,

kejahatan

transnasional tidak hanya terjadi karena orang, barang dan jasa bisa menyeberang

perbatasan. Mereka hanya melintasi perbatasan ketika ada alasan untuk itu. Hal
yang memungkinkan terjadinya kejahatan transnasional adalah bahwa barangbarang tertentu yang tersedia di beberapa negara dan tidak pada negara lain
(meskipun ada permintaan untuk mereka), atau bahwa perbedaan harga membuat

Universitas Sumatera Utara

44

penyelundupan menguntungkan. Jika alasan seperti itu ada, dan peluang
transportasi meningkat maka lalu lintas dapat membuat arus perdagangan
kejahatan transnasional lebih mudah. Namun, beberapa aspek globalisasi
sebenarnya dapat mengurangi penyebab kejahatan transnasional.
Liberalisasi pasar, misalnya, menyebabkan deregulasi arus modal di banyak
negara. Hal ini menyebabkan penurunan otomatis dalam pelarian modal, karena
banyak kegiatan yang pernah dicap sebagai pelarian modal sekarang menjadi
transaksi keuangan legal melintasi perbatasan internasional. Di sisi lain, kejahatan
transnasional banyak disebabkan atau setidaknya dirangsang oleh negara-negara
yang mempertahankan undang-undang yang berbeda sehubungan dengan
komoditas tertentu. Skala penyelundupan rokok saat ini, misalnya, tidak bisa
dibayangkan ketika negara-negara yang sama tidak akan mempertahankan

perbedaan besar seperti di bidang perpajakan. Harmonisasi peraturan antar negara,
sebagai bagian dari proses globalisasi, bisa membatalkan setidaknya sebagian dari
eksternalitas negatif (seperti kejahatan transnasional) dari proses globalisasi.36
Mengacu pada beberapa literatur yang ada, dapat diketahui beberapa
alasan mengapa kejahatan internasional menjadi pembahasan dalam kompedium
ini, salah satu yang terpenting adalah alasan keamanan.

36

Diakses dari http.kompasiana.com/isharyanto/globalisasi-dan-kejahatan-

transnasional_552b6a4a6ea8342f418b4577 pada tanggal 15 juni 2016

Universitas Sumatera Utara

45

Potensi

ancaman


keamanan

yang

ditimbulkan

oleh

kejahatan

transnasional, antara lain:
1. merusak masyarakat sipil, sistem politik, dan kedaulatan suatu
negara, melalui pembudayaan kekerasan dan penyuapan, serta
mengenalkan suatu kanker korupsi ke dalam struktur politik;
2. membahayakan mekanisme pasar, termasuk aktivitas kebijakan
pemerintah

dan


merusak

keuntungan

sistem

ekonomi

dan

perdagangan yang adil, bebas dan aman yang akan diterima oleh
produsen maupun konsumen. Bahkan dalam kasus yang ekstrim,
semua sektor perdagangan yang legal akan terbawa pada aktivitas
ilegal, cenderung merongrong kedaulatan negara-bangsa dan
membiasakan individu-individu untuk berbuat sesuatu yang di luar
kerangka hukum;
3. gangguan terhadap sistem lingkungan melalui pengrusakan sistem
pengamanan dan peraturan lingkungan;
4. mendestabilisasi


secara

strategis

kepentingan

bangsa

dan

menjatuhkan progres dari ekonomi transisi dan ekonomi negara
berkembang dan dengan kata lain menginterupsi kebijakan luar
negeri dan sistem internasional;
5.

memberatkan masyarakat dengan beban sosial dan ekonomi yang

tinggi dari suatu akibat kejahatan transnasional tersebut. Merujuk pendapat Samuel
D. Porteous, di dalam The Threat From Transnational Crime : An Intelligence
Perspective, dalam CSIS Commentary, Winter (1996); kejahatan transnasional


Universitas Sumatera Utara

46

mengancam sistem politik dan ekonomi/finansial. Dengan pertimbangan ini pula,
Tim Kompendium BPHN, berusaha lebih fokus pada kejahatan transnasional yang
tingkat ancaman maupun bahayanya paling tinggi bagi keamanan nasional, yaitu
korupsi, pencucian uang (khususnya yang terkait dengan aktivitas terorisme dan
narkotika) dan humantrafficking. Jika kejahatan transnasional merupakan ancaman
terhadap keamanan nasional, maka penanganannya haruslah secara komprehensif,
sistematis sekaligus sinergis antara beberapa lembaga terkait.
Dari kacamata penulis, setidaknya ada beberapa lembaga yang berwenang
dan/atau dapat diberi kewenangan untuk mengatasi kejahatan transnasional yaitu :
1. POLRI
2. Interpol/POLRI
3. Angkatan Laut
4. Badan Koordinasi Kemanan Laut (BAKORKAMLA)
5. Kejaksaan Agung
6. KPK

7. PPATK
8. BPK
9. BNPT
10. Kemenkopolhukam
11. Kementerian Luar Negeri
12. Badan Intelijen Negara
13. Pemerintah Daerah

Universitas Sumatera Utara

47

Mengacu pada tulisan Ann Seidmann tentang Analysis in Legal Drafting, maka
memetakan fungsi maupun peran dari tiap lembaga tersebut menjadi penting.
Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi
lembagalembaga tersebut secara organisasional, antara lain:
1. kualitas kepemimpinan dan kultur organisasi;
2. perilaku korupsi, biasanya dipicu oleh gaji dan/atau honor yang kurang layak
bagi PNS;
3. kerangka hukum yang lemah/buruk.

4. tingkat kepercayaan dan koordinasi antar lembaga yang rendah;
5. ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang berkuasa;
6. sumber daya yang tidak memadai di tingkat Pemerintah Daerah, maupun di
Kepolisian.37
Perdagangan orang adalah kejahatan yang terorganisir dilakukan baik
dengan cara-cara konvensional dengan cara bujuk ragu para (perekrut tenaga kerja di
tingkat desa) sampai cara-cara modern, misalnya melalui iklan-iklan di media cetak
dan elektronik.Pelaku mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari
daerah/negara asal korban sampai ke daerah / negara tujuan; Jaringan pelaku
memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah negara asal korban dengan janjijanji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual38 Dalam
Protokol Palermo perdagangan orang didefinisikan sebagai: perekrutan, pengangkutan,
37

LAPORAN AKHIR KOMPENDIUM HUKUM TENTANG KERJASAMA
INTERNASIONAL DI BIDANG PENEGAKAN HUKUM, BADAN PEMBINAAN HUKUM
NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI,
http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd_-_2012_3.pdf diakses pada 13 Mei 2016 pukul 17.00
WIB
38
Rudi Santori, 2009 Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta,Sinar Grafika hal 18

Universitas Sumatera Utara

48

pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang melalui penggunaan
ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan,
kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberikan
atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi
mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari
ekspolitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang
mirip perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh.39

Berdasarkan beberapa poin yang dimuat dalam Piagam ASEAN maka untuk
meningkatkan keamanan antara Negara sudah seharusnya membangun kerjasama
untuk memberantas kejahatan lintas Negara. Beberapa faktor yang menunjang
kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah
globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik
global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. Majelis
Umum PBB telah memprakarsai penyelenggaraan Konperensi Internasional tentang
Kejahatan Transnasional Terorganisasi di Palermo, Italia. Melalui perundingan yang
cukup alot dan melelahkan, negara-negara peserta Konperensi berhasil menyepakati
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC). Sesuai
dengan Pasal 36 ayat 1, UNTOC terbuka bagi semua negara untuk penandatanganan
dari tanggal 12 – 15 Desember 2000 di Palermo, Italia dan selanjutnya di Markas
39

Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33150/4/Chapter%20I.pdf
pada tanngal 13 Mei 2016 Pukul 19.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

49

Besar PBB di New York hingga tanggal 12 Desember 2002.40 Adapun isi dari
UNTOC adalah membahas mengenai (i) United Nations Convention against
Transnational Organized Crime

yaitu Konvensi PBB menentang Kejahatan

Transnasional Terorganisir, (ii) Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking
in Persons, Especially Women and Children, supplementing the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime, yaitu Protokol untuk Mecgeah,
Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak,
Melengkapi Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Teroganisasi, (iii)
Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, supplementing the
United Nations Convention against Transnational Organized Crime, yaitu Protokol
Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara, Tambahan
Konvensi PBB Menentang Kejahatan.
Menurut G.O.W. Mueller, kejahatan transnasional adalah istilah yuridis
mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsabangsa
bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan
fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum
dari beberapa negara, atau memiliki dampak pada negara lain41Transnasional
Kejahatan Terorganisasi.42

40

KAJIAN Tentang KESENJANGAN diakses dari,
http://dapp.bappenas.go.id/upload/file_article/document/(untoc)Gap%20Analysis%20UNTOC_2.pdf pada tanggal 13 mei 2016 oukul 13.50
41
Hoegeng Sarijad, “Transnational Crime” diakses dari
http://centerofsespimpolri.blogspot.com/2013/09/transnational-crime.html pada tanggal 13 Mei
2016 pukul 14.00
42
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED
CRIME AND THE PROTOCOLS THERETO diakses dari
https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/organisedcrime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_C
RIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf pada tanggal 20 Juni 2016 pukul 19.45 WIB

Universitas Sumatera Utara

50

Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau Transnational
Crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara,
kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih
dari satu negara, sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan
melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah kejahatan transnasional
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya
nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait
kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau lebih negara
yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan
transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau tindak
pidana

dalam

pengertian

nasional

semata-mata.

Demikian

pula

sifat

internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi
individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang
meliputi hampir semua aspek nasional maupun internasional, baik privat maupun
publik, politik maupun bukan politik43
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang
paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban
diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi
seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja
paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak,
43

Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/55717/4/Chapter%20I.pdf
pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 14.22 WIB

Universitas Sumatera Utara

51

menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi
dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas korban44
Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai
ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons
Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention
Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut
yang dimaksudkan dengan perdagangan orang yaitu :
(a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons,
by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of
fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of
the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person
having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation
shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other
forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices
similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen,
transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan
ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan,
pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga
44

Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Universitas Sumatera Utara

52

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut
untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau
pengambilan organ-organ tubuh”).

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di
bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa:
The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the
purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this
does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).45

B. Perkembangan Kejahatan Transnasional di Dunia
Apa yang telah dibicarakan dalam Kongres PBB di Palermo Italia pada dasarnya
merupakan respon atas perkembangan kejahatan, baik dalam skala nasional
maupun transnasional, termasuk kejahatan perdagangan orang, khususnya wanita
dan anak sebagai salah satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan
perdagangan orang telah masuk dalam kelompok kegiatan organisasi-organisasi
kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) yang
meliputi the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms
trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations

Harkristuti Harkrisnowo, “Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia”, Sentra HAM,
UI, Jakarta, 2003. Diakses dari http://repository.ui.ac.id/ pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 16.00
WIB
45

Universitas Sumatera Utara

53

and terrorism, trafficking in women and children, trafficking in body parts, theft
and smuggling of vehicles, money laundering, dan jenis-jenis kegiatan
lainnya,sangat memprihatinkan masyarakat internasional.46
Para pengikut organisasi kejahatan dianggap sebagai kelompok orang
untuk tujuan melakukan kegiatan kejahatan. Mereka biasanya menggunakan
perusahaan untuk melakukan kejahatan, yakni menyediakan barang-barang gelap
dan jasa, atau barang-barang legal yang telah diperoleh dengan cara-cara yang
ilegal, yaitu seperti mencuri atau perbuatan-perbuatan curang lainnya. Kejahatan
terorganisasi (organized crime) menampakkan yang sebenarnya dalam setiap
perluasan ruang gerak pasar yang sah masuk menjadi bidang yang biasanya
dilarang. Aktivitas kelompok kejahatan terorganisasi memerlukan tingkat
kerjasama yang baik dan organisasi untuk menyediakan barang-barang dan jasa.
Seperti dalam melakukan bisnis, di mana bisnis kejahatan memerlukan
ketrampilan sebagai pengusaha, dan kemampuan untuk koordinasi. Di samping
melakukan kekerasan dan kecurangan adalah untuk memfasilitasi dalam
mengadakan

kegiatan-kegiatan

lainnya.

Penyebutan

kelompok

kejahatan

terorganisasi tersebut, dalam Annex I UN Convention against Transnational
Organized Crime.47

46

Dokumen PBB No. E/CONF.88/2 tanggal 18 Agustus 1994 dan telah dibicarakan dalam World
Ministerial Conference on Organizied Transnational Crime di Naples, 21-23 November 1994
dengan tema Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various
Regions of the World, Diadaptasi dari POLITIK HUKUM PIDANA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGANORANG, Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. diakses dari
http://library.unej.ac.id/client/en_US/default/search/asset/634?dt=list pada 13 Mei 2016 pukul
16.30 WIB
47
General Assembly, Report of the Ad Hoc Committee on the Elaboration of a
Convention against Transnational Organized Crime. Diakses dari
http://library.unej.ac.id/client/en_US/default/search/asset/634?dt=list pada tanggal 13 Mei 2016
pukul 17.15 WIB

Universitas Sumatera Utara

54

Kegiatan organisasi kejahatan tersebut di antaranya: Trafficking in women
and children, dan dalam United Nations Office on Drugs and Crime, 10
dinyatakan bahwa dari dusun-dusun Himalaya hingga kota-kota Eropah Timur,
orang-orang, khususnya wanita dan anak-anak, tergiur dengan prospek pekerjaan
dan bayaran yang tinggi, baik sebagai pembantu rumah tangga, pelayan, maupun
pekerja pabrik. Para pedagang tersebut mendapatkan wanita dan anak-anak itu
dengan cara menipu atau informasi bohong di antaranya melalui iklan-iklan.
Wanita dan anak-anak itu dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersil.48
Perdagangan manusia bisa dianggap perbudakan modern. Selama 30 tahun
yang lalu, 30 juta orang Asia menjadi korban perdagangan manusia (Cara
exploitasi seksual saja) tetapi selama abad 16-19, jumlah orang Afrika yang dijual
di dalam perusahaan perbudakan 12 juta. Diduga bahwa pada saat ini, seluruh
dunia 12,3 juta orang menderita sebagai akibat menjadi korban perdagangan
manusia, dan bahwa sedikit-dikitnya tiga juta orang Indonesia menjadi korban
perdagangan manusia.49
Upaya untuk mendefinisikan perdagangan manusia sudah dilakukan sejak
akhir abad 18. Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan lembaga
pemerintah maupun lembaga non pemerintah menggenai definisi Perdagangan
manusia (HumanTrafikking). Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan
Perempuan (Global Aliance Againts the Trafficking of Women/GAATW)
mendefinisikan perdagangan orang sebagai “ All acts involved in the recrutment
48

Dalam berbagai sumber telah dikemukakan bahwa, prostitusi memang sudah lama
dijadikan sebagai unsur utama dalam kegiatan organisasi kejahatan pada tingkat nasional, atau pun
juga pada dimensi internasional.
49
Nova Farid, 2009Jurnal Tentang “PERDAGANGAN MANUSIA DALAM HUKUM
HAM DAN PERSPEKTIF ISLAM”

Universitas Sumatera Utara

55

and/or transportation of a person within and across national borders for work or
services by means of violence or threat of violence, abuse of authority or
dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion”. Definisi
ini secara jelas memisahkan antara perekrutan dan tujuan akhir perdagangan
manusia dan bisa bersifat lintas negara ataupun dalam suatu negara. The
International Organization for Migration (IOM) mengidentifikasi empat elemen
yang harus ada dalam perdagangan orang yaitu : 1. an International border is
cossed 2. an facilitator-the trafficker-is involved 3. money or another form of
payment changes hands, and 4. entry and/orstay in the country of destination is
illegal definisi ini menegaskan bahwasannya perdagangan orang tersebut pada
kenyataannya bisa terjadi di suatu negara dan bisa juga dalam konteks lintas
negara.50
Kasus perbudakan modern memang masih jadi masalah besar di beberapa
negara Asia Tenggara. Thailand misalnya, tahun lalu oleh Departemen Luar
Negeri AS diletakkan di peringkat terburuk soal perdagangan manusia, bersama
dengan Iran, Kuba, Simbabwe dan Korea Utara. Annette Lyth, Regional Project
Manager di United Nations Action for Cooperation against Trafficking in Persons
(UN-ACT). Lembaga PBB ini berusaha mengakhiri praktek perdagangan
manusia. Organisasi Buruh Internasional, ILO, tahun 2012 memperkirakan ada
sekitar 20,9 juta orang di seluruh dunia yang berada dalam kondisi kerja paksa.
Sebuah penelitian ILO tahun 2014 menunjukkan, keuntungan yang bisa diraup di

50

Jurnal Ilmu Hukum 2014 tentang TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN
PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFIKKING) SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS
NEGARA

Universitas Sumatera Utara

56

sektor ini mencapai US$ 150 milyar. Ini berarti, perdagangan manusia adalah
salah satu industri kriminal terbesar dunia.
Di Kawasan Asia-Pasifik ada sekitar 11,7 juta orang yang jadi korban
perdagangan manusia, angka tertinggi untuk sebuah sub kawasan. Wilayahnya
meliputi Kamboja, Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.51

C. Pengaruh dan tujuan UNTOC dalam menangani masalah kejahatan
transnasional khususnya masalah perdagangan orang
Dari definisi perdagangan orang menurut Protokol Palermo di atas dapat
disusun dalam bentuk perbuatan, modus perbuatan dan tujuan dilakukannya
perdagangan orang dapat dikemukakan dalam tabel sebagai berikut: Protokol
PBB Tahun 2000 untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan
Orang, terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime) disebut Protokol
Perdagangan Orang (Protocol Trafficking In Persons) atau Protokol Palermo,
yaitu:52

Artikel tentang “Perdagangan Manusia dan Perbudakan Modern di Asia Tenggara”
diakses dari http://www.dw.com pada tanggal 18 Mei 2016
52
Janie Chuang, “Beyond A Snapshot: Preventing Human Trafficking in the Global
Economy”, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 13, 2006, hlm. 152
51

Universitas Sumatera Utara

57

1) The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of
persons, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or
of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments
or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall
include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or
other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or
practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.
(Terjemahan: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan
atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan
atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau
penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan
dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya eksploitasi dalam
pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan,
penghambaan, atau pengambilan organ-organ).53
2) The consent of the victim of trafficking to the intended exploitation set
forth in subparagraph (a) shall be irrelevant where any of the means
set forth in subparagraph (a) have been used.
53

R. Valentina Sagala Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Trafficking
dan Kebijakan, hlm. 89

Universitas Sumatera Utara

58

(Terjemahan: Persetujuan dari seorang korban perdagangan orang atas
eksploitasi sebagaimana yang diuraikan dalam huruf (a) pasal ini tidak
akan relevan jika salah satu cara yang dijelaskan dalam huruf (a) telah
digunakan).54
3) The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of
persons, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or
of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments
or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall
include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or
other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or
practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.
(Terjemahan: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan
atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan
atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau
penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan
dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya eksploitasi dalam
pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau

54

Ibid hlm 90

Universitas Sumatera Utara

59

pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan,
penghambaan, atau pengambilan organ-organ).55
4) The consent of the victim of trafficking to the intended exploitation set
forth in subparagraph (a) shall be irrelevant where any of the means
set forth in subparagraph (a) have been used.
(Terjemahan: Persetujuan dari seorang korban perdagangan orang atas
eksploitasi sebagaimana yang diuraikan dalam huruf (a) pasal ini tidak
akan relevan jika salah satu cara yang dijelaskan dalam huruf (a) telah
digunakan).56
Tujuan akhir dilakukannya perdagangan orang menurut Protokol
Palermo maupun UU PTPPO adalah eksploitasi yang bermakna tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan tenaga atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan,
baik materiil maupun imateriil.57

55

Ibid hal 95
R. Valentina Sagala, “Membaca UU PTPPO dalam Perspektif HAM, dalam Jurnal
Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Trafficking dan Kebijakan, hlm. 89.
57
Lihat Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
56

Universitas Sumatera Utara

60

UNTOC sebagai konvensi internasional sangat mempengaruhi Indonesia
dalam menangani permasalahan perdagangan orang yang terjadi sejak
konvensi

UNTOC

di

ratifikasi

di

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
Implementasi UNTOC Dalam Pencegahan dan Penindakan Perdagangan
Orang di Indonesia

A. Pengaruh UNTOC dalam penanganan perdagangan orang di dunia

Wayan Parthiana mengemukakan bahwa kejahatan transnasional memiliki
sifat tidak mengenal batas-batas wilayah negara baik mengenai tempat terjadinya,
akibat-akibat yang ditimbulkannya, maupun tujuan kejahatan itu sendiri.58 Unsur
transnasional yang hampir sama sebagaimana dikemukakan oleh Cherif
Bassiouni, yaitu:59
1. Conduct affecting more than one state (tindakan yang memiliki
dampak terhadap lebih dari satu negara)
2. Conduct including or affecting citizens of more than one state
(tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga
negara lebih dari satu negara)
3. Means and methods transcend national boumdaries (sarana dan
prasarana serta metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas
teritorial suatu negara).

58

Parthiana, I. Wayan (2003). Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Jakarta, Raja
Grafindo Persada Hal 41
59
Bassiouni, M. Cherif (1986). International Criminal Law, Vol 1: Crimes, Jakarta

61
Universitas Sumatera Utara

62

Dari berbagai laporan penelitian tentang trafficking yang terjadi di
berbagai belahan dunia, dapat dikemukakan disini beberapa permasalahan
berkenaan dengan trafficking (khususnya perempuan dan anak).
1. Faktor utama sebagai penyebab trafficking adalah kemiskinan dan
tidak tersedianya lapangan pekerjaan, terutama di pedesaan.60 Kondisi
ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan, dewasa maupun
anak-anak berimigrasi keluar negeri untuk mencari pekerjaan guna
meningkatkan taraf hidup mereka. Faktorberikut adalah rendahnya
tingkat pendidikan mereka, sehingga sering kali menyebabkan mereka
terpaksa menerima pekerjaan yang bersifat eksploitatif (karena tidak
bisa membaca kontrak kerja). Faktor ketiga penyebab trafficking yaitu:
keterbatasan akses pendidikan yang rendah, bahkan banyak diantara
mereka yang buta huruf), menyebabkan mereka rentan terjebak dalam
trafficking yang terutama menempatkan perempuan dan anak pada
perdagangan seksual komersil, atau pembantu rumah tangga tanpa jam
kerja yang lebih jelas.61
2. Berkaitan dengan upaya penegakan hukum juga terdapat beberapa
masalah yang menghambat proses tersebut. Hal ini antara lain adalah
belum adanya pemahaman yang sama tentang trafficing secara yuridis,
serta banyaknya orang yang terlibat dalam kegiatan trafficking
melainkan hanya sebagai pelaku tindak pidana ringan.

60
61

Ibid hal 15
Ibid hal 21

Universitas Sumatera Utara

63

3. Berkenan dengn sifat transnasional pada trafficking juga menimbulkan
masalah lain, yaitu perlunya kerjasama dengan negara lain dalam
upaya penaggulangan, baik preventif maupun represif
Perdagangan manusia dapat dilihat sebagai sebuah proses daripada hanya
sebuah pelanggaran saja. Tahap pertama melibatkan penculikan atau perekrutan
seseorang yang diikuti dengan tahap kedua dalam bentuk transportasi dan
masuknya individu ke dalam negara lain (dalam kasus perdagangan lintas batas).
Tahap ketiga adalah tahap eksploitasi di mana korban dipaksa menjadi budak
seksual atau tenaga kerja tanpa mendapatkan hak sebagai tenaga kerja tetapi
dibawah ketentuan yang telah ditetapkan dan bersifat wajar. Tambahan fase bisa
saja terjadi, salah satunya adalah kegiatan yang melibatkan pelaku individu
sampai dengan organisasi kriminal berskala besar. Dalam mempelajari
perdagangan dari perspektif penegakan hukum, mungkin ada tautan lebih lanjut
terhadap tindak pidana lain, seperti penyelundupan senjata atau obat-obatan.
Seiring dengan proses perdagangan manusia, sejumlah kejahatan lain yang
merupakan kejahatan ikutan dapat terjadi atau dilakukan. Menurut Europol
(Organisasi Penegakan UU Eropa), beberapa kejahatan ikutan tersebut adalah
kegiatan kriminal instrumental yang dilakukan sebagai kelanjutan langsung dari
kegiatan perdagangan manusia. Contoh dari kejahatan ini adalah korupsi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah, prostitusi paksa, dan kekerasan yang
berhubungan dengan memelihara pengendalian atas korban. Kejahatan lain yang
dilakukan terhadap korban individu selama proses perdagangan manusia termasuk

Universitas Sumatera Utara

64

didalamnya adalah ancaman, pemerasan, pencurian dokumen atau properti,
diperburuk dengan pelecehan seksual, mucikari, pemerkosaan, dan bahkan
kematian. Pelanggaran terhadap Negara termasuk didalamnya penyalahgunaan
hukum imigrasi, pemalsuan dokumen, korupsi pejabat pemerintah, pencucian
uang, dan pengemplangan pajak.62
Menurut Kevin Bales (2005) ada beberapa tahap dari Human Trafficking yaitu
sebagai berikut:

1. Konteks Kerentanan

Mereka yang memiliki akses terhadap kekuatan ekonomi, sosial, dan politik
memiliki kemungkinan yang kecil akan terperangkap sebagai korban perdagangan
manusia. Hampir semua orang yang diperdagangkan memiliki karakteristik atau
keadaan yang telah membuat mereka menjadi rentan terhadap perdagangan
manusia. Kondisi kemiskinan dan kekurangan merupakan faktor penentu yang
penting. Keinginan untuk kehidupan yang lebih baik, kebutuhan untuk melarikan
diri dari konflik dan penindasan, serta harapan untuk memulai sesuatu yang baru,
membawa semua orang dalam keadaan tersebut berhubungan dan melakukan
kontak dengan paratraffickers atau pedagang manusia. Bagi beberapa orang,
ketidakberdayaan secara relatif membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan
penculikan. Para traffickers (pedagang manusia) sangat memahami bahwa
kerjasama dengan korban merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan
kemudahan para korban untuk dapat diperdagangkan.
Jurnal tentang “Instrumen Analisis Kasus Trafiking” diakses
darihttp://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm pada tanggal 29 Juni 2016 PUKUL 1
62

Universitas Sumatera Utara

65

Dalam beberapa kasus, korban perdagangan manusia tidak datang dari
kalangan orang yang paling miskin atau paling tidak berdaya. Orang yang
memiliki penyakit, orang yang sudah tua serta orang yang mengalami kekurangan
gizi dan lemah secara fisik tidak dicari oleh para pedagang manusia. Mereka
adalah komoditas manusia yang memiliki nilai yang rendah untuk menghasilkan
keuntungan yang tinggi. Biasanya kebanyakan korban perdagangan manusia
adalah orang-orang yang sehat dari kalangan miskin, tetapi bukan dari golongan
masyarakat termiskin, orang yang tertindas dan mendapatkan diskriminasi secara
sosial serta para wanita.

2. Tahap Rekrutmen

Proses rekrutmen terhadap korban perdangan manusia juga bervariasi dari
kasus satu ke kasus yang lainnya, tetapi ada tiga kesamaan dari berbagai macam
kasus perdagangan manusia yang ada. Pertama, proses rekrutmen dilakukan oleh
keluarga atau anggota sebuah komunitas masyarakat. Di Afrika, Thailand dan
Amerika Tengah wanita paruh baya diketahui telah merekrut wanita-wanita muda
dari kelompok etnis dan bahasa yang sama. Mereka membawa bahan makanan
pokok dan pakaian yang bagus untuk menggoda wanita-wanita muda tersebut.
Terhadap orang tua calon korban para perekrut tersebut menjanjikan uang yang
akan diperoleh dan bisa dikirimkan oleh anaknya. Para perekrut menawarkan
impian-impian kekayaan, kenyamanan dan gengsi yang akan diperoleh jika
mengijinkan anaknya untuk bekerja dan pada kenyataanya akan dijadikan
korbantrafficking. Biasanya mimpi-mimpi tersebut hanya semu belaka.

Universitas Sumatera Utara

66

3. Modes Operandi Pelaku Perdagangan Orang
a. Merayu dan menjanjikan kesenangan
b. Menjebak, mengancam dan menyalahgunakan wewenang
c. Menjerat dengan hutang
d. Menculik dan menyekap
e. Mengajukan untuk menjadi duta budaya dan seni keluar daerah atau keluar
negeri secara ilegal
f. Berkedok penyaluran tenaga kerja untuk industri hiburan di dalam negeri
dan luar negeri dengan iming-iming bayaran besar

Di Eropa Timur dan banyak negara lain di dunia, banyak orang muda
dengan pendidikan yang baik harus menghadapi keadaan dimana tingkat
pengangguran

sangat

tinggi.

Mereka

kemudian

dapat

menjadi

korban

perdagangan manusia yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mereka
kenal di komunitas mereka, atau mereka akan berinteraksi dengan agen penyedia
informasi kerja yang tampaknya resmi atau jika di Indonesia disebut Perusahaan
PJTKI (Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia), tetapi pada kenyataanya agen
tersebut merupakan agen penyedia tenaga kerja nakal. Agen-agen tersebut
biasanya membuat iklan yang isinya menawarkan pekerjaan diluar negeri dan bisa
membantu mendapatkan visa kerja. Agen-agen tersebut biasanya telah
mempersiapkan jawaban yang masuk akal untukpertanyaan-pertanyaan yang

Universitas Sumatera Utara

67

mungkin saja diajukan oleh korban terhadap jasa yang mereka sediakan. Untuk
biaya, agen tenaga kerja seolah-olah akan memfasilitasi proses migrasi kerja
mereka. Beberapa korban tahu bahwa mereka akan bekerja di prostitusi tetapi
ditipu mengenai kondisi kerja dan hidup, pengaturan keuangan, serta tingkat
kebebasan pribadi yang mereka harapkan. Stigma yang melekat pada mereka yang
terperangkap dalam trafficking, dipandang sebagai orang yang memiliki peran
atau setuju untuk eksploitasi terhadap diri mereka sendiri. Kemudian timbul
proses menyalahkan korban, yang hanya akan memperburuk situasi mereka
terutama ketika itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau penegakan hukum.63
Menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriam, pemindahan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan.
Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi64. Pengertian eksploitasi
adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
Anne Kielland and Ibrahim Sanogo, 2002tentang “Child Labor Migration from Rural
Areas. The Magnitude and the Determinants” diakses dari http://hukum.online.no/
~annekie/Africa_docs/BF English.pdf). pada tanggal 29 Juni 2016 pukul 13.00 WIB
64
Pasal 1 angka 1Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
63

Universitas Sumatera Utara

68

serupa perbudakan, penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan65. Atau mentransplantasi
organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan
Anak memberikan definisi trafiking perempuan dan anak sebagai segala tindakan
perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindah tanganan,
pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan,
perempuan dan anak. Dengan ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik,
penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya
ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat,
jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau
keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal,
adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga,
mengemis, pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh,
serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Daerah pengirim/asal adalah daerah asal korban, dimana daerah pengirim
cenderung merupakan daerah yang minim dan biasanya pedesaan dan relatif
65

Diakses dari http://berkecukupan.blogspot.com/2013/04/perdagangan-manusia-selaludiimingi.html, diunduh, 28 Agustus 2013 pukul 20.15 WIB

Universitas Sumatera Utara

69

miskin. Daerah-daerah pengirim ini biasanya berlokasi di Jawa, meskipun
Lombok, Sulawesi Utara, dan Lampung juga dikenal sebagai daerah pengirim.66
Daerah penerima adalah daerah-daerah kemana para korban dikirim.
Tujuan tertentu mempunyai ciri trafiking tertentu. Misalnya: Prostitusi secara
Paksa: Batam, Jakarta, Bali, Surabaya, Papua dan daerah lainnya dimana industri
seks dan pariwisata ditemukan di Indonesia. Jepang, Malaysia, Singapura dan
Korea Selatan dikenal sebagai daerah tujuan internasional. Pembantu Rumah
Tangga (PRT): Semua daerah kota besar baik di Indonesia maupun Hong Kong,
Malaysia, Timur Tengah, Singapura ataupun Taiwan. Untuk pengantin pesanan:
Taiwan. Penari budaya: Jepang. Indonesia sebagai Negara Penerima: Ada
beberapa bukti bahwa para perempuan juga ditrafik ke Indonesia dari Asia dan
Eropa untuk beker Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan
mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

B. Implementasi UNTOC Pencegahan dan Penindakan Perdagangan
Orang di Indonesia

Kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini dipandang
sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup
multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC)
MA Hertanto, “Human Traficking: Akar Permasalahan dan Solusinya” Jakarta: Sinar
Grafika, 2005
66

Universitas Sumatera Utara

70

yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati
tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir
(United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC).
Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks
sehingga sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama
internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman
kejahatan lintas negara tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kerja sama internasionbal pada upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (UNTOC) melalui resolusi Pperserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 55/25 sebagai instrumen hukum dalam nenanggulangi
tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Indonesia, sebagai anggota PBB,
turut menandatangani UNTOC pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia,
sebagai perwujudan komitmen memberantas tindak pidana transnasional yang
terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional , ataupun
internasional.67
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United
Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang telah
diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi) diakses dari
http://pustakahpi.kemlu.go.id/dir_file/file.detailbook.php?email=useradmin@localhost.com&bo
ok=135&kat=002 pada tanggal 29 Juli 2016
67

Universitas Sumatera Utara

71

Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi) menyebutkan sejumlah kejahatan yang
termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian
uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi,
kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia,
penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api.
Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara
terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat
berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam
Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan
bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait
narkoba11sebelum disepakatinya UNTOC.
Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukan bahwa
batas- batas teritorial antara satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu
kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini,
hampir dapat dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat lagi
hanya dipandang sebagai yuridiksi kriminal suatu negara, akan tetapi sering
diklaim termasuk yuridiksi kriminal lebih dari satu atau dua negara, sehingga
dalam perkembangannya kemudian telah menimbulkan masalah konflik yuridiksi
yang

sangat

mengganggu

hubungan

internasional

antarnegara

yang

berkepentingan di dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas
teritorial.

Universitas Sumatera Utara

72

Sejumlah asumsi tentang kejahatan transnasional dapat ditemukan
dibanyak publikasi saat ini. Asumsi yang paling penting adalah: (1) kejahatan
transnasional pada dasarnya merupakan suatu fenomena baru yang muncul pada
1990-an, (2) untuk sebagian besar terhubung dengan skala besar organisasi
kriminal yang sering memiliki latar belakang etnis tertentu, (3) dan secara teratur
bekerja bersama-sama dengan organisasi kriminal di negara lain, (4) kejahatan
transnasional terutama disebabkan oleh proses globalisasi selama tiga dekade
terakhir dan (5) merembes ke dalam bisnis yang sah dan pemerintah.
Berbagai asumsi di atas akan digunakan untuk merefleksi fenomena
kejahatan transnasional. Jika kita cermati, berbagai asumsi ini tidak selalu tampak
rasional, karena terbuka berbagai perubahan yang terjadi sehubungan dengan
perkembangan kejahatan transnasional itu sendiri. Berbagai asumsi tersebut dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi pengamatan Letzia Paoli, yang mengatakan
bahwa persepsi (transnasional) kejahatan terorganisir tercemar oleh kepanikan
moral, dan “isu-isu yang dibentuk oleh kepanikan moral tidak mungkin ditangani
dengan cara rasional”. Yang pasti, asumsi tidak harus dilihat sebagai unsur dari
perspektif standar tentang kejahatan transnasional.
Proses umum globalisasi dekade terakhir memberikan penjelasan utama
bagi munculnya kejahatan transnasional. Karena liberalisasi pasar dan penurunan
kepentingan perbatasan antar negara, kejahatan transnasional telah meningkat
secara dramatis. Asumsi ini sampai batas tertentu menyederhanakan penyebab dan
perkembangan kejahatan transnasional. Hal itu sudah menunjukkan bahwa
kejahatan transnasional selalu terjadi. Bagaimanapun, kejahatan transnasional

Universitas Sumatera Utara

73

tidak hanya terjadi karena orang, barang dan jasa bisa menyeberang perbatasan.
Mereka hanya melintasi perbatasan ketika ada alasan untuk itu. Hal yang
memungkinkan terjadinya kejahatan transnasional adalah bahwa barangbarang tertentu yang tersedia di beberapa negara dan tidak pada negara lain
(meskipun ada permintaan untuk mereka), atau bahwa perbedaan harga membuat
penyelundupan menguntungkan. Jika alasan seperti itu ada, dan peluang
transportasi meningkat maka lalu lintas dapat membuat arus perdagangan
kejahatan transnasional lebih mudah.
Namun, beberapa aspek globalisasi sebenarnya dapat mengurangi
penyebab kejahatan transnasional. Liberalisasi pasar, misalnya, menyebabkan
deregulasi arus modal di banyak negara. Hal ini menyebabkan penurunan
otomatis dalam pelarian modal, karena banyak kegiatan yang pernah dicap
sebagai pelarian modal sekarang menjadi transaksi keuangan legal melintasi
perbatasan internasional. Di sisi lain, kejahatan transnasional banyak disebabkan
atau setidaknya dirangsang oleh negara-negara yang mempertahankan undangundang

yang

berbeda

sehubungan

dengan

komoditas

tertentu.

Skala

penyelundupan rokok saat ini, misalnya, tidak bisa dibayangkan ketika negaranegara yang sama tidak akan mempertahankan perbedaan besar seperti di bidang
perpajakan. Harmonisasi peraturan antar negara, sebagai bagian dari proses
globalisasi, bisa membatalkan setidaknya sebagian dari eksternalitas negatif
(seperti kejahatan transnasional) dari proses globalisasi.
Untuk Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan
Orang juga sudah diatur dalam pasal 56 sampai dengan pasal 63, Undang-undang

Universitas Sumatera Utara

74

No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sesuai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pasal 1 angka 1
telah didefenisikan pencucian uang itu adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer,
menghibahkan,menyumbangkan,menitipkan,membawa

memba

Dokumen yang terkait

Pengaruh United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOG) Terhadap Kejahatan Carding Di Indonesia

2 19 40

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

2 26 65

Conference of the Parties to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto

0 0 32

Conference of the Parties to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto

0 0 32

Conference of the Parties to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols Thereto

0 0 32

Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia

0 0 11

Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia

0 0 1

Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia

0 1 19

Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia

0 1 22

Implementasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam Pencegahan Dan Penindakan Perdagangan Orang Di Indonesia

0 0 8