Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797 Pid.B 2014 PN.Rap)

BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN
PERTANGGUNGJAWABANNYA DALAM HUKUM PIDANA
A. Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
“penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh
manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari
perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh
yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian
rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam
bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa
undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan
“penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan
“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan),
rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian
penganiayaan

ialah


“sengaja

merusak

kesehatan

orang”.

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang

30
Universitas Sumatera Utara

31

dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak
kesehatan”: 27
1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga
basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan
sebagainya.
3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka
jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai
berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya
pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau
“batiniah”.
Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun
kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, doktrin,
dan penjelasan menteri kehakiman.Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja,
pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain”. Akan tetapi perbuatan yang
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan
badan.

27


R.Soesilo, KUHP serta komentar komentarnya lengkap pasal pasal demi pasal, hal. 120

Universitas Sumatera Utara

32

Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai
berikut : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan
rasa sakit atau luka pada orang lain.”Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap
perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh
merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal
dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak
semestinya diancam dengan pidana. 28
Sedangkan

menurut

penjelasan


menteri

kehakiman

pada

waktu

pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : 29
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan
penderitaan badan kepada orang lain.
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan
pada orang lain.
Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada
hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan
resmi pasal 451 (20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :“perumusan
penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan
perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia
kedokteran dan sosiologi”.
28


(http://tidakpidanapenganiayaan.blogspot.co.id/), diakses pada tanggal 11 Maret 2016, jam
21.46 mengutip Kiswanto Dicaprio “Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penganiayaan”
29
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, (Jakarta: Sinar Grafika) 2000,
hal.50

Universitas Sumatera Utara

33

Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang
pengertian

penganiayaan,

menyangkutkan

pada


perkembangan

dunia

kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak
mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu
kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia,bukan dikaitkan dengan
penganiayaan.
Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas maka rumusan penganiayaan
memuat unsur-unsur sebagai berikut : 30
a. Unsur kesengajaan.
b. Unsur perbuatan.
c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu :
· Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;
· Luka Tubuh
d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.
Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai
diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut.
a. Unsur Kesengajaan.
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan

secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai
kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.
30

(http://digilib.uinsby.ac.id/8122/4/bab.%203.pdf) yang diakses pada tanggal 11 Februari 2016,
jam 22.54, mengutip Makalah “Penganiayaan Yang Mengakibatkan Luka Berat”

Universitas Sumatera Utara

34

Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana
penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa
olmergk), maka

seseorang

baru

dikatakan


melakukan

tindak

pidana

penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat
berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu
haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada
tubuh.Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan
harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal
tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai
kesengajaan sebagai kemungkinan.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan
dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada
adanya

kesengajaan


sebagai

kemungkinan

terhadap

akibat. Artinya

dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan
sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan
sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara
terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku.
b. Unsur Perbuatan.
Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam
arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau
kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya
sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.

Universitas Sumatera Utara


35

Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan
juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk
perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.
c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh.
Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai
terjadinya

atau timbulnya rasa sakit, rasa perih,

atau

tidak

enak

penderiataan.Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan
dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi
berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa

itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada
anggota tubuh dan sebagainya.Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka
dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat
dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat
langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan
dengan adanya tindak pidana penganiayaan.
d. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.
Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana
penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah
merupakan

tujuan

satu-satunya

dari

pelaku.Artinya

memang

pelaku

menghendaki timbulya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang
dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa
sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.Apabila akibat yang

Universitas Sumatera Utara

36

berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak
terjadi penganiayaan.
Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum
berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur
berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh
manusia.
Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu sebagai berikut : 31
a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP
b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP
c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 353 KUHP
d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam pasal 354 KUHP
e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP
f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur
dalam pasal 356 KUHP
Bukan hanya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja
pengaturan tentang penganiayaan ataupun kekerasan dapat kita lihat. Didalam

31

Leden Marpaung, Op.Cit, hal.52

Universitas Sumatera Utara

37

Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Didalam UU Penghapusan KDRT kekerasan adalah : 32
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga”
Memang kekerasan itu lebih terfokus kepada tindak kekerasan yang dilakukan
terhadap istri tetapi bukan hanya istri saja yang dapat dikatakan sebagai korban
kekerasan. Semua orang yang berada didalam rumah tangga dapat juga dikatakan
sebagai korban termasuk anak.
Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU PKDRT adalah:
suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas
karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan),
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.

32

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

Universitas Sumatera Utara

38

Kekerasan didalam rumah tangga ini dapat dikatakan juga sebagai
penganiayaan karena kekerasan ini juga menimbulkan tekanan mental maupun
gangguan fisik dari seorang korban yang mengalami kekerasan, yang dimana
bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa : 33
a. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.
b. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.

33

Pasal 5-8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

Universitas Sumatera Utara

39

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan
Di dalam Hukum Pidana terdapat beberapa pembagian atau jenis dari Tindak
Penganiayaaan yaitu :
a. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok
atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua
penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.
Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa,
yakni: 34
1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun
kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)
3)Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3)
4) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)
Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:

34

(http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-penganiayaan.html)
yang diakses pada tanggal 13 Maret 2016, jam 21.38. mengutip Lisa “Tindak Pidana
Penganiayaan”

Universitas Sumatera Utara

40

1) Adanya kesengajaan
2) Adanya perbuatan
3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka
pada tubuh.
4) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya
A. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan
Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan
ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau
denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356,
dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang
melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau
yang ada dibawah perintah.Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP
yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang
untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. 35
Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:
1)Bukan berupa penganiayaan biasa
2) Bukan penganiayaan yang dilakukan
a.Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya
b. Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan
tugasanya yang sah
35

Leden Marpaung Op.Cit, Hal.54

Universitas Sumatera Utara

41

c. Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk
dimakan atau diminum
3) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan dan pencaharian
B.Tindak Pidana Penganiayaan Berencana
Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja,mengutarakan arti direncanakan lebih
dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk
mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.Untuk perencanaan ini,
tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu
melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun
ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan
ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan
konkrit dari setiap peristiwa 36.
Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:
1) Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan
hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

36

Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami
HukumPidana (Jilid 2), Jakarta, 2011, Hal.6

Universitas Sumatera Utara

42

3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan
hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun. 37
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu
sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi
penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam
suasana batin yang tenang.
2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai
dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat
digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:
1. Resiko apa yang akan ditanggung.
2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk
melaksanakannya.
3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.
3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan
suasana hati yang tenang.
C.Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat
disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan

37

R.Soesilo, KUHP, pasal 353

Universitas Sumatera Utara

43

sengaja oleh orang yang menganiayanya.Unsur-unsur penganiayaan berat, antara
lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya
(tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat).
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus
sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan
pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.
Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut:
1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna
atau yang menimbulkan bahaya maut.
2) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau
pencaharian.
3) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra.
4) Kekudung-kudungan
5) Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu.
6) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan.
Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:
1) Penganiayaan berat biasa (ayat 1)
2) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)

Universitas Sumatera Utara

44

e.Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana
Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan
gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan
berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara
serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat
maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat
berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan
pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika
kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. 38
B. Pertanggungjawaban

Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan

Terhadap Anak
1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Suatu tindak penganiayaan apabila ditinjau dari aspek hukum pidana positif
Indonesia, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak
pidana, karena hukum pidana positif Indonesia selain mengatur mengenai
kepentingan antar individu juga dengan negara selaku institusi yang memiliki
fungsi untuk melindungi setiap warga negaranya, dalam hal ini seseorang yang
telah menjadi korban dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya untuk menentukan
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak, maka harus memenuhi
unsur-unsur tindak pidana,

agar kita dapat mengetahui apakah perbuatan si

38

Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Op.Cit, hal.6-8

Universitas Sumatera Utara

45

pelaku tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan dan agar si pelaku
dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya,
maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan
manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang
terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke
dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. 39
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 40
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

39

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti),
1997, hal.193
40
Ibid, hal. 193

Universitas Sumatera Utara

46

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat
didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: 41
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut: 42
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

41

Ibid, hal.194
Andi Hamzah, KUHP &KUHAP, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya), 2004, hal.88

42

Universitas Sumatera Utara

47

Van Hamel mengemukakan unsur-unsurnya tindak pidana adalah : 43
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;
b. Melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan;
d. Patut dipidana.
Emezger mengemukakan:” Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya
pidana”. Unsur-unsur tindak pidana adalah : 44
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia ( aktif atau membiarkan );
b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat obyektif maupun yang subyektif );
c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;
d. Diancam dengan pidana.
Moeljatno mengemukakan “ perbuatan pidana “ sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1. Perbuatan
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3. Bersifat melawan hukum
4. kelakuan manusia dan
5. diancam pidana dalam undang-undang

43

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto FH Undip), 1990, hal.41
Ibid, hal.41-42

44

Universitas Sumatera Utara

48

Namun tidak selalu setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat
dipidana, tergantung apakah orang atau terdakwa tersebut dalam melakukan
tindak pidananya mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk menjatuhkan
pidana terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak cukup hanya
dengan dilakukanya suatu tindak pidana, tetapi juga harus ada unsur kesalahan di
dalamnya. Mengenai pengertian kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
terlepas dari perbuatan pidana, karena dalam hal perbuatan pidana yang menjadi
objeknya adalah perbuatannya sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana
yang menjadi objeknya adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut.
Dasar dari perbuatan pidana adalah asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)) Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), isi pasal tersebut menyatakan bahwa “tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya”, sedangkan dasar daripada dipidananya pelaku adalah asas
tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder shculd).
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan
bahwa: 45“Pertanggungjawaban pidana adalah di teruskannya celaan yang objektif
ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada
pembuatyang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana
karena perbuatanya”.
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu
melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. Dengan demikan,

45

Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, ( Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta, 1987 ,hlm.75

Universitas Sumatera Utara

49

menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1)
harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain,
harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap
pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan,
sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya jadi ada unsur subjektif. 46
Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan
mengenai hakikat kejahatan, yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan
sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.
Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan
pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. 47
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini
mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari
sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang
tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran
manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di
masyarakat.

46

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia ( Jakarta: Pradnya
Paramita), 1997, hlm.31
47
Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah
Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan), 1987, hlm.41-42

Universitas Sumatera Utara

50

Untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang dalam hal ini pelaku tindak
penganiayaan anak dalam keluarga, Moeljatno berpendapat bahwa: 48
Terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan
pidana yang bersifat melawan hukum baik formil maupun materiil baru
kemudian perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tersebut dapat
dihubungkan dengan unsur-unsur kesalahan, sehingga untuk adanya
kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah:
1.

Melakukan perbuatan pidana;

2.

Mampu bertanggung jawab;

3.

Dengan kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa);

4.

Tidak danya alasan pemaaf.

Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku tindak pidana,
pertama-tama harus ditentukan apakah terdakwa mempunyai kemampuan untuk
bertanggung jawab atau tidak atas tindak pidana yang dilakukannya. Kemampuan
bertanggung jawab terdakwa berkenaan dengan keadaan jiwa/batin terdakwa yang
sehat ketika melakukan tindak pidana, pelaku dianggap mampu bertanggung
jawab atas perbuatannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 49
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

48

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta), 2002, hlm. 166.
Ibid, hal 167

49

Universitas Sumatera Utara

51

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedabedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah
faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang
tidak.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 50
1. Barangsiapa

melakukan

perbuatan

yang

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab sebagai hal yang dapat
menghapuskan pidana dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu: 51

50
51

R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 44
Moeljatno. Op.Cit, hal.147

Universitas Sumatera Utara

52

1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.Menurut
sistem ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan bahwa terdakwa
adalah gila (insane) atau tak sehat pikirannya (unsound mind), maka
hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem
ini dinamakan dengan sistem deskriptif (menyatakan).
2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan.Di
sini yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna
perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang
tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali
sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normatif
(mempernilai). Di sini hakimlah yang menentukan.
3. Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menentukan sebab-sebab penyakit, dan
jika penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap
tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya (deskriptif normatif).
Untuk menentukan mampu bertanggung jawab atau tidaknya pelaku dalam
melakukan perbuatan pidana diperlukan adanya kerjasama antara dokter/psikiater
dan hakim, karena sudah menjadi tugas dan wewenang dokter/psikiater dalam
menentukan ada atau tidaknya sebab-sebab ketidakmampuan bertanggung jawab,
sedangkan hakim yang menilai apakah karena sebab-sebab tersebut terdakwa
mampu bertanggung jawab atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

53

2.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan
terhadap anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tindak penganiayaan atau mishandeling diatur dalam Bab XX, buku II
KUHP, yang terdapat dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang
berbunyi : 52
a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun;
c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun;
d. Dengan penganiayaan di samakan sengaja merusak kesehatan;
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Dalam rumusan Pasal 351 KUHP tersebut, bahwa undang-undang hanya berbicara
mengenai “penganiayaan” tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana
penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa “kesengajaan
merugikan kesehatan” (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang
dimaksud dengan penganiayaan itu adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebutkan seseorang itu
telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus
52

R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 351

Universitas Sumatera Utara

54

mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk,menimbulkan rasa sakit pada
orang lain, menimbulkan luka pada tubuhorang lain atau merugikan kesehatan
orang lain, dengan kata lain orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang
ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau
untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang
lain tersebut.
Untuk dapat disebut sebagai suatu penganiayaan itu tidak perlu kesengajaan
dari pelaku secara langsung dengan ditujukan pada perbuatan untuk membuat
orang lain tersebut merasa sakit atau menjadi terganggu kesehatannya, akan tetapi
rasa sakit atau terganggunya kesehatan orang lain tersebut dapat saja terjadi
sebagai akibat dari kesengajaan pelaku yang ditunjukkan pada perbuatan yang
lain. Hal ini secara tegas telah dinyatakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya
tanggal 15 Januari 1934, N.J. 1934 halaman 402, W. 12754, yang menyatakan,
“kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindakan yang besar
kemungkinannya dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu
merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi masalah bahwa kasus ini
kesengajaan pelaku tidak menunjukkan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit
seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari
penangkapan oleh polisi”. 53
Dalam hal pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan anak
dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan

53

P.A.F.Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru), 1983, hlm. 145.

Universitas Sumatera Utara

55

hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 54
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok;
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Dalam hal kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga, maka pidana
tambahan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pencabutan hak asuh atas
seorang anak. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan
oleh hakim dalam pemidanaan terhadap orang tua (ayah atau ibu) sebagai pelaku
tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan
bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap
anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang
dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku (orang tua) dalam kasus tindak
54

Ibid, Pasal 10

Universitas Sumatera Utara

56

pidana penganiayaan anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 55
(1) Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu
pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut
dalam hal pemidanaan:
1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan
bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah
kekuasaannya;
2. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di
bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII,
XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
3.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan
terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak
pidana yang dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa
perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau
penyiksaan terhadap anak.
Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana
tersebut di bawah ini

55

Ibid, Pasal 37

Universitas Sumatera Utara

57

Pasal 80
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak juga mengatur secara khusus mengenai tidak pidana penganiayaan terhadap
anak dalam keluarga disertai sanksi pidana yaitu:
Pidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah
orang tuanya.
Selanjutnya dalam Pasal 30 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga mengatur mengenai pencabutan hak asuh bagi orang tua
yang melakukan tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

58

2. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau
kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
3. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak asuh anak
terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiyaan anak dalam
keluarga, maka hakim juga harus menentukan batas waktu atau lamanya
pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak
untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan.
Mengenai pengembalian hak asuh anak kepada orang tua pelaku tindak
pidana penganiayaan anak dalam keluarga melalui penetapan pengadilan, menurut
penulis terlebih dahulu perlu diberikan bimbingan atau konseling kepada orang
tua baik oleh tenaga ahli, psikolog atau psikiater dengan tujuan memastikan agar
orang tua dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai orang tua
sebagaimana mestinya dan tidak mengulangi perbuatannya (penganiayaan)
terhadap anaknya. Dengan demikian, hasil bimbingan atau konseling yang
diberikan kepada orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan anak
dalam keluarga dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan apakah
akan mengembalikan hak asuh anak atau tidak terhadap orang tua tersebut.

Universitas Sumatera Utara

59

4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan
terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Namun

seperti

yang

telah

dijelaskan

sebelumnya

bahwa

tindak

penganiayaan anak dalam keluarga merupakan bagian dari tindak kekerasan yang
dilakukan dalam rumah tangga dan telah disebutkan juga bahwa salah satu bagian
dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis berpendapat
bahwa lebih relevan jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak
penganiayaan anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana yang terdapat dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) dijelaskan mengenai
ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

Universitas Sumatera Utara

60

(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai
ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)”.
Untuk tetap mewaspadai akan terjadinya tindak penganiayaan anak dalam
keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota
keluarga itu sendiri, bahkan peran serta dari korban yang bersangkutan, guna
terungkapanya kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga.Hal tersebut diatur
dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tantang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa:
“Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Universitas Sumatera Utara