Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797 Pid.B 2014 PN.Rap)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara hukum, dimana setiap warganya
memiliki hak-hak asasi manusia. Negara hukum mengindahkan hak-hak dari
setiap warga negaranya tanpa terkecuali, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh
anak. Ini dapat tercermin dari adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang anak karena negara hukum pasti selalu dengan tegas akan
mengatur tentang hak-hak dari setiap warga negaranya agar tercapai keadilan dan
dapat mengatur kehidupan berbangsa bernegara sesuai dengan Falsafah Bangsa
Pancasila.
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap
anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak harus meminta. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia

melalui

Keputusan


Presiden

Nomor

36

Tahun

1990

yang

mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan

anak,

yaitu

nondiskriminisasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang, dan menghargai partisipasi anak. 1

1

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015, hal.1

1
Universitas Sumatera Utara

2

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki
orang dewasa. Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar
sebagaimana hak-hak orang dewasa atau isu gender. Perlindungan hak anak tidak
banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit.
Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang
dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu
menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan
belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan
negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru

mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan
terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi
anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata. Anak adalah suatu potensi
tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri
khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami
dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya anak patut diberi perlindungan
secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perlindungan anak adalah
segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,
keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan,
pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 021 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan
kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. 2

2

(http://umam74.blogspot.co.id/2012/05/perlindungan-anak-di-indonesia.html), diakses pada
tanggal 17 Februari 2016, jam 21.29, mengutip Khairul Umam, “Hukum Perlindungan anak di
Indonesia”

Universitas Sumatera Utara


3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua,
yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No.1 tahun 1974 tentang pokok-pokok
Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anakanak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat
berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertangungjawab atas
terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal
9 UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).
Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus perhatikan dan
malakasanakan

kewajibannya,

yang

merupakan

hak-hak

anak


berupa:

kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik
semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari
lingkungan

hidup

yang

dapat

membahayakan

pertumbuhan

dan


perkembangannya. Hak anak adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk
kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak
dalam kandungan (Pasal 52 ayat (2) UU NO.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia). Bila ditelusuri dengan teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan
psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak, yang
sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua. 3
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama, 2014, hal.2

Universitas Sumatera Utara

4

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat
perlindungan terhadap dirinya yang dimana dapat menimbulkan kerugian mental,

fisik, dan sosial apabila anak tersebut tidak mendapat perlindungan. Perlindungan
anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection). 4
Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat
dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 119 negara, termasuk Indonesia
sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan
demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat
seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di
dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal.
Kemudian, tiga tahun sesudahnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini
dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara
generis mengatur hak-hak anak. Namun, dalam konsiderans hukumnya justru
tidak mencantumkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai referensi yuridis.
Sumber kesalahannya terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA yang
menggunakan instrumen hukum keputusan presiden yang secara hierarki lebih
rendah derajatnya daripada undang-undang. Meskipun demikian, substansi KHA

4


Ibid, hal.3

Universitas Sumatera Utara

5

dapat diadopsi sebagai materi undang-undang, seperti penggunaan asas dan tujuan
perlindungan anak yang ada dalam UUPA. 5
Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali
kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus
child abusememang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih
terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai
persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk dieskpos keluar
secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo bahwa rendahnya kasus
tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui oleh pubik salah satunya
disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara
kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang
dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal kalau
mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak

pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota
besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon
disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di
kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara
normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak. 6
Kasus child abuse yang dialami oleh anak semakin banyak terjadi yg dapat
berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan
atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Baik itu di kota

5
6

Rika Saraswati. Op.Cit, hal.15
Bagong Suyanto, ed.Rev, Masalah sosial anak (Jakarta: Kencana), hal.17

Universitas Sumatera Utara

6

besar maupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di

lingkungan sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal
yang biasa, sehingga tindak kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak.
Child Abuse didefinisikan sebagai tindakan mencederai oleh seseorang
terhadap orang lain. Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan
orangtua atau orangyang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi
terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan
anak secara umum.Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and
Wolfarememberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental,
kekerasan seksualdan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang
dilakukan oleh orang yangseharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
Ada beberapa klasifikasi dari abuse yaitu : 7
1. Emotional Abuse
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak,
meneror,mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan
membuat anak merasadirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak
bernilai. Hal ini akanmenyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental
dan

emosional


pertumbuhan

anak.Indikator
fisik

fisik

kelainan

bicara,

gangguan

dan perkembangan. Indikator perilakukelainan

kebiasaan (menghisap, mengigit, atau memukul-mukul).
2. Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau
tindakanyang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga
7

“Aspek Anak dengan Child Abuse”, (http://id.scribd.com/doc/135313413/CHILD-abuse#scribd),
diakses tanggal 18 Februari, jam 00.19

Universitas Sumatera Utara

7

diartikan sebagaitindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga
mencederai anak. Biasanya berupaluka memar, luka bakar atau cedera di
kepala atau lengan.Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah
tulang, rambut yangtercabut, cakaran. Indikator perilakuwaspada saat
bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif atau
menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu,
berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi
anak,seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian,
pengobatan, ataumeninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang
tidak dapat merawatnya.Indikator fisik kelaparan, kebersihan diri yang
rendah, selalu mengantuk,kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang
tidak ditangani. Indikator kebiasaan meminta atau mencuri makanan,
sering tidur, kurangnya perhatian pada masalahkesehatan, masalah
kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai(pada
musim dingin), ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil
gambar pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada
anak.Indikator fisik kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau
darahdi baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau
perdarahan di area genital/rektal, berpenyakit kelamin. Indikator kebiasaan
pengetahuan tentang seksual atausentuhan seksual yang tidak sesuai,
kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegia
tan fisik, berperilaku permisif/ berperilaku yang menggairahkan, penurun
keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif (misal:
ngompol).

Universitas Sumatera Utara

8

5. Sindroma Munchausen
Sindroma ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit
yangdibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong
tuntutan.

6. Kelalaian
Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau
kesulitanekonomi.Bentuk kelainan ini antara lain yaitu:
a. Pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal
tumbuh(failure to thrive), anak merasa kehilangan kasih saying,
gangguan kejiwaan,keterlambatan perkembangan.
b. Pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami risiko
untuk terjadinyatrauma fisik dan jiwa.
Berdasarkan data yang yang diperoleh dari Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas
Gadjah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang terjadi dari tahun 19922002 di tujuh kota besar, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya,
Ujung Pandang, dan Kupang ditemukan bahwa ada 3.969 kasus dengan perincian
sexual abuse 65,8%; physical abuse 19,6%; emotional abuse 6,3%; dan
childneglect 8,3%. Secara lebih terperinci, kekerasan menurut usia adalah sebagai
berikut: 8
a. Kasus sexual abuse
Persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%), terendah usia 0-5 tahun
(7,7%).

8

Rika Saraswati, Op.Cit, hal.8

Universitas Sumatera Utara

9

b. Kasus physical abuse
Persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32,3%), terendah usia 13-15 tahun
(16,2%).
c. Kasus emotional abuse
Persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28,8%), terendah usia 16-18
tahun (0,9%)
d. Kasus child neglect
Persentase tertinggi usia 0-5 tahun (74,7%), terendah usia 16-18 tahun
(6,0%)
Dari data tersebut tampak bahwa penelantaran anak menjadi kasus yang paling
sering terjadi. Demikian pula dengan kekerasan dan perlakuan salah lainnya
sering terjadi meski tidak setinggi penelantaran. Namun, semua itu menunjukkan
bahwa kondisi anak Indonesia sangat rentan mengalami kekerasan dan perlakuan
salah.
Selanjutnya kekerasan dan perlakuan salah berdasarkan tempat terjadinya
kekerasan, masih menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center
for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, adalah sebagai
berikut: 9
a. Kasus sexual abuse
Rumah (48,7%); sekolah (4,6%); tempat umum (6,1%); tempat kerja
(3,0%); tempat lainnya, diantaranya, motel, hotel, dan lain-lain (37,67%)
b. Kasus physical abuse
Rumah (25,5%); sekolah (10%); tempat umum (22,0%); tempat kerja
(5,8%); tempat lainnya (36,5%).

9

Ibid, hal.9

Universitas Sumatera Utara

10

c. Kasus emotional abuse
Rumah (30,1%); sekolah (13,0%); tempat umum (16,1%); tempat kerja
(2,1%); tempat lainnya (38,9%).
d. Kasus child neglect
Rumah (18,8%); sekolah (1,9%); tempat umum(33,8%); tempat kerja
(1,9%); tempat lainnya (43,5%).
Data ini menunjukkan bahwa kekerasan dan perlakuan salah tidak hanya terjadi di
tempat umum, tetapi juga di sekolah, bahkan di rumah. Lalu, pada tahun 2006
menurut data BPS, ada sebanyak 1.840 kasus penganiayaan yang dilakukan orang
dewasa terhadap anak di Indonesia. Hal ini menunjukkan masih banyak orang
yang belum memahami hak anak secara keseluruhan. Anak masih dianggap
sebagai objek dari kekerasan itu sendiri.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia telah mencantumkan hak anak, pelakasanaan kewajiban dan
tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk
memberikan perlindungan pada anak, masih diperlukan suatu undang-undang
mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelakasanaan
kewajiban dan tanggung jawab tersebut.. Hal ini ditegaskan kembali melalui
Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rightsof
the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun1990. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan
bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus
demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak,

Universitas Sumatera Utara

11

baik fisik, mentak, spritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan nantinya sebagai
penerus bangsa. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun,
agar kehidupan anak tersebut dapat terjamin dan dapat menjalani kehidupan sehari
tanpa ada rasa takut.
Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ANALISIS
YURIDIS

TERHADAP

PUTUSAN

PERKARA

TINDAK

PIDANA

PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK (STUDI
PUTUSAN NOMOR.797/Pid.B/2014/PN.Rap)”, yang selanjutnya akan dibahas
pada bab-bab selanjutnya pada skripsi ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di
atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penganiayaan
terhadap anak ?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana
penganiayaan

yang

dilakukan

terhadap

anak

dalam

putusan

Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disusun di atas, maka tujuan
dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

12

1. Tujuan Praktis
a. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak
pidana penganiayaan terhadap anak
b. Untuk mengetahui penerapan kebijakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap anak
berdasarkan

studi

putusan

pengadilan

tinggi

medan

No.797/Pid.B/2014/PN.Rap
2. Tujuan Teoritis
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang
diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum dalam teori
dan praktek lapangan hukum, khususnya bidang hukum pidana
yang sangat berarti bagi penulis.
c. Untuk memberikan gambaran dan membangun pemikiran bagi
ilmu hukum.
D. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai
dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga
skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan Skripsi yang berjudul
“Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara

13

Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak (Studi Putusan
Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri.
Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang
mengangkatnya ataupun membuatnya.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan
usaha penulis sendiridengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen
pembimbing penulis tanpa adanya unsur penipuan, penjiplakan, atau halhal lain yang dapat merugikan pihak tertentu. Dan untuk itu Penulis dapat
mempertanggungjawabkan atas semua isi yang terdapat di dalam skripsi
ini dan keaslian penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Anak
Defenisi anak secara umum belum dapat kita tentukan secara pasti karena
setiap peraturan ataupun undang-undang mengatur defenisi anak tersebut
secara berbeda-beda menurut batasan usianya. Secara nasional defenisi anak
menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang
yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.
Pengertian ataupun defenisi secara umum atau nasional di Indonesia
didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum yang ada di Indonesia
seperti: hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara
Internasional defenisi anak tertuang dala, Konvensi Perserikatan BangsaBangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of
The Child tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Baangsa-

Universitas Sumatera Utara

14

Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation
StandardMinimum Rules for The Administrationof Juvenile Justice (“The
Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal
Declaration of Human Rights Tahun 1948. 10
Menurut

The

Minimum

Age

Convention

Nomor

138

tahun

1973,pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke
bawah. Sebaliknya , dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989
yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39
Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke
bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang
berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka
yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang
Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Maka, secara keseluruhan dapat
dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun.
Penjelasan

mengenai

batas

usia

21

tahun

ditetapkan

berdasarkan

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi
dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang
melampaui usia 21 tahun. 11

10

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama), hal 33
(http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-anak-menurut-definisi-ahli.html), diakses
pada tanggal 22 Februari 2016, jam 00.32 mengutip “Pengertian Anak Menurut Definisi Ahli
danUndang Undang Kesejahteraan Anak”
11

Universitas Sumatera Utara

15

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa batasan usia
dewasa yaitu : 12


Menurut Pasal 45 KUHP dinyatakan 16 tahun



Dalam KUHPerdata dibedakan dalam Pasal 421 dan Pasal 426 yang
membedakan antara syarat pendewasaan penuh, minimal berusia 20
tahun, dan syarat pendewasaan terbatas, minimal berusia 18 tahun.
Untuk usia dewasa sendiri ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata
yaitu 21 tahun.



Menurut UU No 1 Tahun 1974 batas yang tidak perlu ijin adalah 21
tahun.



Menurut UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun



Menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
batasan usia dewasa adalah 18 Tahun



Beberapa UU lain juga mengatur dengan lebih rumit, misalnya UU
Kependudukan,

UU

Pemilu,

UU

Lalu

Lintas,

dan

UU

Kewarganegaraan dengan model yang berbeda-beda
Jadi terdapat beberapa batasan usia dewasa dalam peraturan perundangundangan ini. Namun sayangnya MA tidak menjawab pertanyaan ini dengan
cukup baik selain hanya umur dibawah dewasa. Tak ada petunjuk bagaimana
Mahkamah Agung menafsirkan belum dewasa dalam perbuatan yang diatur
dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP.
12

( http://anggara.org/2013/08/21/anak-di-bawah-umur-dan-dewasa/), diakses pada tanggal 22
Februari 2016, jam 01.18, mengutip “Anak di bawah umur dan dewasa”

Universitas Sumatera Utara

16

Pada saat KUHP dibuat tentu rujukan untuk melihat anak, dibawah umur,
dan

dewasa

adalah

merujuk

pada

KUHPerdata,

namun

dengan

diundangkannya peraturan-peraturan terakhir khususnya UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak apakah rujukan kepada KUHPerdata masih
cukup tepat mengingat ada prinsip peraturan yang baru mengalahkan
peraturan yang lama.Premis yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum
bahwa 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak merujuk pada soal hukum
pidana anak dan hukum acara pidana anak justru relevan untuk dipertanyakan
ulang karena mengingat pertanggungjawaban pidana yang akan dikenakan
terhadap seseorang dan sejauh mana seseorang dapat dianggap memiliki
pengetahuan yang cukup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang
matang.Untuk masalah ini juga wajib dilihat apakah Indonesia masih
menganut pola pemisahan berdasarkan anak, belum dewasa (di bawah umur),
dan dewasa. 13
Menurut Undang-Undang Nomor.23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, defenisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan
masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor.3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah
mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
menikah. Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda
dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum
Islam dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih ank-anak

13

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

17

atau sudah dewasa bukan dari usia anak, karena masing-masing anak berbeda
usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi
anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah
dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak
tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oeleh orang dewasa
sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh adat
mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar untuk menentukan apakah
seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi
seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah
orangtua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri. 14
2. Pengertian Tindak Pidana
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan tindak
pidana atau straffbaar feitdi dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena
itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu,
yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak
pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya
menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau
tidak. 15
Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan
tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.
Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
14
15

Marlina, Op.Cit, hal.34
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar hukum pidana ed.2, (Medan: USU Press), 2013, hal.74

Universitas Sumatera Utara

18

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik
penghubung dan dasar untuki pemberian pidana. Perbuatan (gedraging),
meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak
menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus
dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu
tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas. 16
Pendapat para ahli hukum seperti yang dikemukakan oleh Simons, yang
merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan
dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Jonkers dan
Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap yang
meliputi : 17
a. Diancam dengan pidana oleh hukum,
b. Bertentangan dengan Hukum,
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit)adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

16

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bag.1, (Jakarta: Raja Grafindo), 2002, hal.64
Jur.Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya (Jakarta:
Sofmedia), 2012, hal.120
17

Universitas Sumatera Utara

19

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan : 18


Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana.



Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.



Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,
oleh karena antarakejadian dan orang yang menimbulkan kejadian
itu ada hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika
yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidakdapat diancam
pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan
(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van
den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).
Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan monoistis yang tidak membedakan keduanya.
Tindak Pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau
18

(http://www.academia.edu/7933833/PENGERTIAN_TINDAK_PIDANA), diakses pada tanggal 22
februari 2016, jam 10.07, mengutip Putra Keadilan “Pengertian Tindak Pidana”

Universitas Sumatera Utara

20

kriminologis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat
perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah
perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadbegrip), yang
terwujud secara in abstractodalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan
perbuatan

jahat

sebagai

gejala

mayarakat

yang

dipandang

secara

concreetsebagaimana terwujud dalam masyarakat (sociaal verschijnsel,
erecheinung,

phenomena),adalah

perbuatan

manusiayang

memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam arti konkrit.
Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminolgis (criminologisch
misdaadsbegrip).
Ada beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana
(strafbaar feit), dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama
adalah mereka yang bisa dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan
golongan kedua mereka yang disebut sebagai golongan “dualistis”.
Yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya pemisahan antara criminal
act dan criminal responsibility) adalah: 19
a) Van Hamel mengemukakan definisi strafbaar feit adalah “een wettelijk
omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en
aan schuld te witjen”. Jadi unsur-unsurnya ialah:
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;
19

( http://prasko17.blogspot.co.id/2011/05/pengertian-tindak-pidana-menurut-para.html) yang
diakses pada tanggal 22 februari 2016, jam 10.43. mengutip kutipan Prasko “Pengertian
TindakPidana menurut Para Ahli”

Universitas Sumatera Utara

21

2) Melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan;
4) Patut dipidana.
b) E.Mezger

mengemukakan

Die

straftat

ist

der

inbegriff

dervoraussetzungender strafe (tindak pidana adalah keseluruhan syarat
untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan “die straftat ist
demnachtatbestandlich-rechtwidrige,

pers

onlich-zurechenbare

strafbedrohte handlung”.
Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana ialah:
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia;
2) Sifat melawan hukum;
3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
c) J.Baumann mengemukakan Verbrechen im weiteren, allgemeinen sinne
adalah “die tatbestandmaszige rechwidrige und schuld-hafte handlung”
(perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum
dan dilakukan dengan kesalahan).
d) Karni

mengemukakan

delik

itu

mengandung

perbuatan

yang

mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh
orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggungjawabkan.

Universitas Sumatera Utara

22

e) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi pendek tentang tindak
pidana, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan pidana
Yang termasuk dalam golongan aliran dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan
adalah: 20
a) H.B. Vos mengemukakan een strafbaat feit ist een menselijke
gedraging waarop door de wet (genomen in de ruime zin van
“wettelijke bepaling”) straf ist gesteld, een gedraging dus, die in het
elgemeen (tenzij er een uitsluitingsgrond bestaat) op straffe
verbodenist. Jadi menurut H.B. Vos tindak pidana adalah hanya
berunsurkan kelakuan manusia dan diancam pidana dalam Undangundang.
b) W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak
pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam
pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht
ist het strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen
wettelijkestrafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori,
tindak pidana (strafbaat feit) adalah perbuatan yang bersifat melawan
hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam
hukum

positif,

demikian

Pompe,

sifat

melawan

hukum

(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak
untuk adanya tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana
20

Ibid

Universitas Sumatera Utara

23

tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu
harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak
ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Pompe memisahkan tindak
pidana dari orangnya yang dapat dipidana, atau berpegang pada
pendirian yang positief rechtelijke.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan unsur
tindak pidana yaitu :
a. Unsur tingkah laku
b. Unsur melawan hukum
c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif
e. Unsur keadaaan yang menyertai
f. Untuk syarat tamabahan untuk dapat dituntut pidana
g. Untuk syarat tambahan untuk mempeberat pidana
h. Untuk syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
Tindak Pidana terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar larangan
yang diancam dengan hukuman. Larangan dan ancaman tersebut terdapat
hubungan yangt erat, oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang
menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana
satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatukan hubungan yang
erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjukkan kepada dua keadaan konkrit yaitu :

Universitas Sumatera Utara

24

1. Adanya kejadian yang tertentu serta
2. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Dalam

bahasa

toerekenbaarheid,

asing
criminal

pertanggungjawaban
responbility,

pidana

criminal

disebut

sebagai

liability.

Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau
dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu
bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan
tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan
atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang
dilakukan tersebut. 21
Roeslan Saleh1 menyatakan bahwa: 22
“Dalam

membicarakan

tentang

pertanggungjawaban

pidana,

tidaklah

dapatdilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandanganpandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan
tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas.
Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan
sebagai soal filsafat”.

21

(http://www.zamrolawfirm.com/publikasi/esai/18-perbuatan-pidana-danpertanggungjawaban-pidana) diakses pada tanggal 22 februari 2016, jam 11.48, mengutip
“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”
22
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia), 1982, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

25

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah
sipembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 23
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian
pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu
bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela
atas perbuatanya.
Dalam Hukum Pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.
Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea) 24

23

Ibid, hal. 75
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol.6 No.11 tahun
1999, hal.27.

24

Universitas Sumatera Utara

26

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang

dikatakan

mempunyai

kesalahan

menyangkut

masalah

pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. 25
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum
memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai

kesalahan

dipertanggungjawabkan

25

atau
atas

bersalah.

perbuatannya

Orang
atau

jika

tersebut
dilihat

dari

harus
sudut

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika), 2012, hal.156

Universitas Sumatera Utara

27

perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut. 26
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang dialakukan penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah metode penelitian Hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan
hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang
menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan
dalam perkara tersebut. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan
terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul
skrpsi penulis ini yaitu “Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana
Penganiayaan

Yang

Dilakukan

Terhadap

Anak

(Studi

Putusan

Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)”
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian
penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif
3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel
Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah
Pengadilan Negeri Rantau Prapat.
4. Alat Pengumpulan Data

26

Sudarto. Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah, FH UNDIP, Semarang, 1988,
hal.85.

Universitas Sumatera Utara

28

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka
metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu
menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang
berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap anak
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan
penulis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library
research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur
yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah,
artikel dan berita yang diperoleh penukis dari internet serta hasil
wawancara dengan majelis hakim yang bertujuan untuk mencari atau
memperoleh teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak
pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap anak.
6. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini
dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari
pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab
permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan,
penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

29

Bab I

: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.

Bab II

: Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang
penganiayaan yang dilakukian terhadap anak. Bagian-bagian yang
diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai pengertian dari
penganiayaan

terhadap

anak,

dan

membahas

tetntang

pertanggungjawaban pelaku tindak pidan penganiayaan yang
dilakukan terhadap anak
Bab III :

Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas
perlindungan hukum terhadap anak dalam ketentuan hukum pidana
di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku penganiayaan
terhadap anak serta analisis kasus Putusan Pengadilan Negeri
Rantau Prapat No.797/Pid.B/2014/PN.Rap

Bab IV :

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebgai bab penutup berisikan
kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi
perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara