Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-Heksana Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecacingan
Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia.Badan Kesehatan
Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing
parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Tenggara.

Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia
balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di
seluruh dunia (WHO., 2015). Di Indonesia, angka kecacingan mencapai 28%
(Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit
(Tjay dan Rahardja, 2002).Infeksi cacing umumnya terjadi di negara-negara

berkembang, dimana keadaan hidup dan pelayanan kesehatan masih kurang baik
dan higienitas masih belum memadai(Rahardja dan Tan, 2010).Kecacingan
mempengaruhi

pemasukan

(intake),


pencernaan

(digestive),

penyerapan

(absorption), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing dapat
menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah
yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan
tumbuh kembang (Samudar, dkk., 2013).

2.2 Penyebab Kecacingan
Cacing penyebab infeksi pada manusia dapat dibagi menjadi 2 filum
utama, yaitu platyhelmintes atau cacing pipih dan nematoda atau cacing
gelang.Platyhelmintes terbagi menjadi dua kelas yaitu trematoda dan cestoda
(Soedarto, 2008).

5
Universitas Sumatera Utara


Trematoda mempunyai bentuk tubuh yang tidak bersegmen, pipih mirip
daun. Cacing dewasa mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di
kepala, dan alat isap ventral yang terdapat di bagian perut. Trematoda pada
umumnya bersifat hermaprodit. Trematoda memiliki alat pencernaan yang belum
sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Ciri khas trematoda adalah adanya
sistem ekskresi (flame cell) yang berbentuk khas pada setiap spesies (Soedarto,
2008).
Cacing cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah dorsoventral,
dan mempunyai banyak ruas (segmen).Cestoda memiliki alat pencernaan yang
belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Kepala cacing cestoda
mempunyai alat isap untuk menempel yang dilengkapi kait untuk menempel pada
organ manusia atau hewan yang menjadi hospes tempatnya hidup (Soedarto,
2008).
Filum nematoda (roundworm) mempunyai bentuk tubuh bulat memanjang,
silindris, tidak bersegmen, dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki rongga
tubuh dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Alat pencernaannya sudah lengkap,
tetapi sistem syaraf dan ekskresinya belum sempurna. Nematoda adalah cacing
yang uniseksual dengan alat reproduksi jantan dan betina yang terpisah (Soedarto,
2008).

Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus
halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang penting bagi tubuh. Sering kali
gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual,
muntah, mulas, kejang-kejang, dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan.
Pada

sejumlah

cacing

yang

menghisap

darah,

penderita

dapat


6
Universitas Sumatera Utara

mengalamikekurangan darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita, dan
cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.1 Infeksi Nematoda
Menurut Anand dan Sharma (1997) infeksi nematoda (roundworm) yang
sering

terjadi

adalah

askariasis,

infeksi

cacing

tambang,


trikuriasis,

strongyloidiasis, dan filariasis.
2.2.1.1 Askariasis
Penyakit ini disebabkan Ascaris lumbricoides, yaitu cacing yang hidup di
lumen usus halus manusia dengan panjang 10-15 cm. Cacing betina mengeluarkan
telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang
dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Infeksi terjadi karena
konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur Ascaris. Gejala
penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan
lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan, dan demam
(Irianto, 2013).Rendahnya tingkat sanitasi dan kurangnya kebersihan personal
merupakan penyebab utama menyebarnya penyakit ini. Oleh karena itu, penyakit
ini umum terjadi pada orang yang tinggal di daerah kumuh yang padat penduduk
(Anand dan Sharma, 1997).
Askariasis tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi sekitar 1000-1300
juta orang dan menyebabkan 20.000 kematian setiap tahun. Selain menyebabkan
malnutrisi pada anak-anak, proses migrasi larva dari usus ke paru-paru juga
menyebabkan pneumonia atipikal dengan inflamasi sel paru-paru dan hati,

demam, dan eosinofilia. Cacing dewasa terkadang berpindah ke hati, usus buntu,

7
Universitas Sumatera Utara

esofagus, dan memblok saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kolik
(Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.2 Infeksi cacing tambang
Infeksi cacing tambang disebabkan oleh nematoda penghisap darah,
Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum, dan Necator americanus pada saluran
cerna manusia.Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena
terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung.
Infeksi ini umum terjadi pada petani yang bekerja dengan bertelanjang
kaki di lahan yang diberi pupuk kandang. Infeksi terjadi melalui larva infektif
yang berpenetrasi menembus kulit dan memasuki sirkulasi darah. Larva ini akan
tumbuh menjadi cacing dewasa dan memperoleh makanan dengan mengisap darah
inangnya melalui vili saluran pencernaan (Anand dan Sharma, 1997).
Gejala utama infeksi ini adalah anemia hipokromik yang disebabkan
kehilangan darah dalam jumlah besar.Hal ini menyebabkan perasaan lemas,
lunglai, anoreksia, dan menurunnya daya tahan tubuh. Infeksi cacing tambang

juga menyebabkan gangguan dan rasa sakit pada saluran pencernaan. Anak-anak
dengan infeksi berat menunjukkan pertumbuhan mental dan fisik yang buruk
(Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.3 Trikuriasis
Penyakit ini disebabkan infeksi Trichuris trichiura, yang dikenal sebagai
cacing cambuk. Cacing ini hidup menempel di saluran pencernaan terutama pada
usus besar manusia. Infeksi disebabkan karena konsumsi air atau sayuran yang
terkontaminasi telur T. trichiura. Infeksi ringan umumnya asimtomatis, namun

8
Universitas Sumatera Utara

infeksi berat Trichuris dapat menyebabkan anemia, eosinofilia, sakit perut, diare,
kotoran berlendir, dan prolaps rektum (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.4 Strongiloidiasis
Cacing tambangStrongyloides stercoralis juga menginfeksi manusia
dengan menembus kulit dalam bentuk larva filariform. Cacing ini memiliki tubuh
yang tipis seperti benang, sehingga disebut cacing benang. Cacing ini hidup di
mukosa intestinal manusia (Anand dan Sharma, 1997).
Pergerakan cacing dewasa dan larvanya menyebabkan perubahan patologis

seperti inflamasi sel, reaksi alergi, dan eosinofilia. Gejala klinis penyakit ini
adalah diare, sakit perut, dan gangguan pencernaan. Infeksi berat dapat
menyebabkan malabsorpsi, flatulens, dan distensi abdominal (Anand dan Sharma,
1997).
2.2.1.5 Filariasis
Filariasis merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis.
Penyebab utama penyakit ini adalah cacing Wucherecia bancrofti, Brugia malayi,
Onchocerca volvulus, Loa loa, Dipetalonema perstans, D. streptocerca, dan
Mansonella ozzardi. Nyamuk dan lalat merupakan inang perantara dalam siklus
hidup cacing ini. Infeksi pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah
manusia. Setelah mencapai sirkulasi darah, larva infektif akan berkembang
menjadi cacing dewasa yang hidup di nodus limfe, pembuluh limfe, jaringan
penghubung dan organ tubuh lainnya (Anand dan Sharma, 1997).
Gejala-gejala yang ditunjukkan infeksi ini adalah demam tinggi,
kedinginan, membesarnya nodus limfe, rasa sakit dan bengkak pada testis. Pada
infeksi kronis, obstruksi sistem limfatik menyebabkan pembesaran pada kaki

9
Universitas Sumatera Utara


(elephanthiasis), lengan, skrotum, dan dada. Terkadang cacing dewasa dapat
bermigrasi ke bola mata dan menyebabkan kebutaan dan gangguan syaraf (Anand
dan Sharma, 1997).
2.2.2 Infeksi Trematoda
Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah schistosomiasis dan
fasciolopsiasis (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.2.1 Schistosomiasis
Schistosomiasis

adalah

penyakit

kecacingan

pada

manusia

yang


disebabkan oleh invasi 4 spesies trematoda darah, yaitu Schistosoma
haematobium, S. mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum. Cacing dewasa
memiliki alat reproduksi yang terpisah (Anand dan Sharma, 1997).
Cacing dewasa Schistosoma hematobium menyebabkan schistosomiasis
saluran kemih (bilharziasis).S. hematobium hidup di pembuluh darah pelvis dan
terkadang di pembuluh darah kolon dan rektum. Cacing ini mengeluarkan telur
bersama urin dari hospesnya, namun jarang melalui feses. Schistosoma lainnya
(S.mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum) mengakibatkan bilharziasis
internal dan hidup di peredaran darah, vena mesentrik, dan plexus hemoroid.
Ketiga trematoda darah ini umumnya mengeluarkan telur bersama feses
hospesnya, dan jarang melalui urin (Anand dan Sharma, 1997).
Telur Schistosoma yang keluar dari tubuh hospes bersama tinja atau urin
harus masuk ke dalam air agar dapat menetas menjadi larva mirasidium. Larva ini
berenang mencari hospes perantara yaitu siput. Di dalam tubuh siput, mirasidium
berkembang menjadi sporokista, dan akhirnya tumbuh menjadi serkaria yang
infektif. Infeksi penyakit ini umumnya terjadi pada orang yang bekerja di sawah,

10
Universitas Sumatera Utara


danau, kolam, kanal, dan aliran air yang terkontaminasi oleh larva. Larva akan
masuk ke dalam aliran darah dengan berpenetrasi menembus kulit (Anand dan
Sharma, 1997).
2.2.2.2 Fasciolopsiasis
Beberapa cacing trematoda menginfeksi saluran cerna manusia dan hewan,
sehingga disebut trematoda saluran pencernaan. Contohnya adalah Fasciolopsis
buski, Heterophyses heterophyses, dan Metagonimus yokogawi. Infeksi terjadi
melalui konsumsi buah atau tanaman air yang terkontaminasi larva cacing. Hospes
perantara cacing ini adalah siput. Manifestasi klinis penyakit ini adalah sakit
perut, diare, mual, muntah, dan anoreksia. Terkadang terjadi pembengkakan di
wajah pada anak-anak (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.3 Infeksi Cestoda
Menurut Tjahyanto dan Salim (2013), infeksi cestoda yang sering dijumpai
adalah:
2.2.3.1 Ekinokokkosis
Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh
Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid
yang besar di dalam hati, paru, dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen
cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya
telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis
didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi
dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

11
Universitas Sumatera Utara

2.2.3.2 Taeniasis
Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita
babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare.
Walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit
ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui
penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di
dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita
sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva
dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui
deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil
dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat.
Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian
scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2.2.3.3 Sistiserkosis
Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan
sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala, dan muntah) dan di mata.
Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis
didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.2.3.4 Difilobotriasis
Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan).
Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini

12
Universitas Sumatera Utara

ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis
didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim,
2013).

2.3 Pengobatan Kecacingan
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk
memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan
tubuh.Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau
sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat
cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif
untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak
memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif
dan Elysabeth, 2011).
Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6
golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu:
2.3.1 Golongan piperazin
Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja
piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran
sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat,
sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai
paralisis. Piperazin efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan Enterobiasis
vermicularis(cacing kremi) (Syarif dan Elysabeth, 2011).

13
Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Golongan benzimidazol
Benzimidazol

merupakan

antelmintik

berspektrum

luas

dengan

mekanisme kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi
secara selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol,
mebendazol, dan albendazol (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.1 Tiabendazol
Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif
untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia. Tiabendazol
mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya tinggi terhadap
strongiloidiasis, askariasis, dan larva migrans kulit; berguna untuk mengobati
trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya sama dengan derivat benzimidazol
lainnya, misalnya dengan menghambat enzim fumarat reduktase cacing (Syarif
dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.2 Mebendazol
Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi,
cacing tambang, dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi
campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan menyebabkan
kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing.
Obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi
pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.3 Albendazol
Albendazol efektif dalam dosis tunggal untuk infeksi cacing kremi, cacing
gelang, cacing trikuris, cacing S. stercoralis, dan cacing tambang. Juga merupakan
obat pilihan untuk penyakit hidatid dan sistiserkosis. Obat ini bekerja dengan cara

14
Universitas Sumatera Utara

berikatan

dengan

ß-tubulin

parasit

sehingga

menghambat

polimerisasi

mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing
dewasa, sehingga persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang
dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva N.americanus
dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang, dan trikuris (Syarif dan
Elysabeth, 2011).
2.3.3 Golongan agonis reseptor nikotinik
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan
morantel.
2.3.3.1 Pirantel pamoat
Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang,
cacing kremi, dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan
depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing
mati dalam keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.3.2 Morantel
Morantel adalah antelmintik tetrahidro pirimidin yang berguna untuk
mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.4 Golongan spiroindol
Paraherquamide A dan marcfortine A adalah anggota golongan oxindol
alkaloid yang diisolasi dari Penicillum paraherquei dan P.roqueforti. Cara kerja
antelmintik golongan ini adalah menimbulkan paralisis flasid pada cacing parasit
dan sebagai antagonis kompetitif reseptor kolin (Holden-Dye dan Walker, 2007).

15
Universitas Sumatera Utara

2.3.5 Golongan lakton makrosiklik
Antelmintik yang termasuk golongan ini adalah avermektin dan
ivermektin.
2.3.5.1 Avermektin
Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces
avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan strongiloidiasis.
Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf
tepi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.5.2 Ivermektin
Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih
efektif dan aman dibanding senyawa induknya (Holden-Dye dan Walker, 2007).
2.3.6 Golongan emodepsid
Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan
paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada otot
cacing (Holden-Dye dan Walker, 2007).

2.4 Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik
Penggunaan tumbuhan untuk mengobati infeksi kecacingan telah banyak
digunakan dalam pengobatan tradisional. Obat-obat tradisional ini digunakan
sebagai kunci untuk mengembangkan obat-obatan modern. Senyawa metabolit
sekunder dari tumbuhan seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, kalkon, kumarin,
kuinolon, lignin, saponin, dan terpenoid memiliki potensi sebagai antelmintik.
Studi invitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili
Amaranthaceae,

Arecaceae,

Asteraceae,

Crassulaceae,

Dryopteridaceae,

16
Universitas Sumatera Utara

Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,
Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae, dan Schropulariaceaemampu membunuh
cacing parasit penyebab infeksi pada manusia (Padal, et al., 2014; Wink, 2012).
Salah satu tumbuhan yang berkhasiat antelmintik adalah pugun tanoh [Curanga
fel-terrae (Lour.) Merr.] yang merupakan famili Scrophulariaceae(Patilaya dan
Husori,2015). Studi invitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili
Schropulariaceae mampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi (Padal, et
al., 2014).

2.5 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan,
sinonim, nama asing, nama daerah, khasiat dan kandungan senyawa kimia.
2.5.1 Morfologi tumbuhan
Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 - 60 cm. Batangnya dengan
cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku, dan
berbulu halus padat.Daun berhadapan, bulat telur, pangkal daun membulat, ujung
daun agak melancip, tepi daun bergerigi, berbulu halus. Pembungaan berupa
tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, daun gagang kecil,daun
kelopak bunga berbentuk hati, mahkota bunga berbibir rangkap,bagian atas
berwarna coklat kemerah-merahan, bagian bawah berwarna putih, gundul bagian
luar, bagian dalam ada kelenjar bulu. Buah berupa kapsul, berbentuk bulat telur,
padat, panjangnya sekitar 3-4 mm, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji
membulat, diameter sekitar0,6 mm (Prohati, 2015).

17
Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan puguh tanoh menurut Tjitrosoepomo (2001), adalah
sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Scrophulariales

Suku

: Scrophulariaceae

Marga

: Curanga

Spesies

: Curanga fel-terrae

2.5.3 Sinonim
Sinonim dari pugun tanoh adalah Curanga amara Vahl., Curanga amara
Juss.,CuraniaamaraR&S., Gratiola amara Roxb.,Picria fel-terrae Lour., dan
Torenia cardiosepala Benth.
2.5.4 Nama asing
Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu
tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta
tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos), dan thanh
(Vietnam) (Globinmed, 2015).
2.5.5 Nama daerah
Pugun tanoh dikenal dengan nama daerah pugun taneh (Karo), kukurang,
mempedu tanah (Maluku), tamah raheut (Sunda), kerut, kerut mea, parang

18
Universitas Sumatera Utara

raindang, parang rintek (Minahasa), ai laun ujin (Ambon), dan papaita (Ternate)
(Heyne, 1987).
2.5.6 Kandungan kimia tumbuhan
Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin,
steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014),
apigenin (Huang et al., 2011), dan curangin (Heyne,1987).
2.5.7 Khasiat tumbuhan
Di Maluku dan Filipina, tanaman ini dianggap sebagai obat cacing untuk
anak-anak, untuk mengobati kolik (mulas mendadak) dan malaria. Di Indonesia,
tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusa
dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan
rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol dianggap sebagai tonik (untuk
menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan)(Prohati, 2015). Pugun tanoh
juga memiliki efek diuretik (Dalimunthe, 2015), antikanker (Satria, 2015),
antidiabetes (Sitorus, 2014), menyembuhkan luka bakar (Ramadhani, 2014), dan
antiasma (Harahap, 2013).

2.6 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tumbuhan utuh, bagian tumbuhan, atau eksudat tumbuhan (Ditjen, POM., 2000).

19
Universitas Sumatera Utara

2.7 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari
simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk atau massa yang tersisa
diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen,
POM., 2000).
2.7.1 Metode ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara yaitu:
2.7.1.1 Metode dingin
Ekstraksi dengan metode dingin terdiri dari 2 metode yaitu maserasi dan
perkolasi (Ditjen, POM., 2000).
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengeekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti pengadukan yang
kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
seterusnya (Ditjen, POM., 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus

20
Universitas Sumatera Utara

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen, POM.,
2000).
2.7.1.2 Metode panas
Ekstraksi dengan metode panas terdiri dari 5 metode yaitu refluks, soxhlet,
digesti, infundasi, dan dekoktasi (Ditjen, POM., 2000).
a. Refluks
Refluks

adalah

proses

penyarian

simplisia

pada

temperatur

titik

didihnyamenggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana
pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.
c. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40-50°C.
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit.

21
Universitas Sumatera Utara

2.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak
2.8.1 Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk pengenalan awal simplisia dan
ekstrak yang sesederhana dan seobyektif mungkin. Prinsipnya adalah penggunaan
panca indra untuk pengenalan bentuk, warna, bau, dan rasa (Ditjen, POM., 2000).
2.8.2 Mikroskopik
Uji mikroskopik mencakup pengamatan terhadap bagian simplisia dan
fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia
secara umum dilakukan di bawah mikrokop (Depkes, RI., 1979).
2.8.3 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat akhir (berat simplisia atau ekstrak
yang dihasilkan) dengan berat awal (berat daun atau berat simplisia yang
digunakan) dikalikan 100% (Sani, dkk., 2014).
2.8.4 Kadar air
Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Dapat dilakukan dengan
cara titrasi, destilasi, atau gravimetri (Ditjen, POM., 2000).
2.8.5 Kadar abu
Tujuan penetapan kadar abu adalah untuk memberikan gambaran
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
terbentuknya ekstrak. Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada
temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap,
sehingga yang tertinggal adalah unsur mineral dan organik (Ditjen, POM., 2000).

22
Universitas Sumatera Utara

2.8.6 Kadar sari
Penetapan kadar sari bertujuan untuk menentukan jumlah senyawa aktif
yang terekstraksi dengan pelarut yang digunakan. Digunakan untuk simplisia yang
belum diketahui pelarut apa yang paling sesuai untuk ekstraksinya (WHO., 1998).

2.9 Metode Uji Aktivitas Antelmintik
2.9.1 Metode uji invitro
Penelitian secara invitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk
menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi
laboratorium. Penelitiandaya antelmintik secara invitro yang dilakukan adalah
dengan metode perendaman yaitu cacing direndam didalam larutan obat dan efek
yang timbul diamati. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan
antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan,
sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan
kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).
Parameter dari uji antelmintik secara invitro adalah waktu paralisis dan
waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak
kecuali apabila diguncang dengan kuat. Waktu kematian dinyatakan apabila
cacing tetap tidak bergerak meskipun jika dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu
40-50°C dan cacing kehilangan warna tubuhnya (Bora et al., 2014).
2.9.2 Metode uji invivo
Ujiinvivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup
(Dorland, 2012). Uji antelmintik secara invivo dilakukan dengan menginfeksi
hewan seperti tikus, domba, kambing, atau hewan lainnya dengan cacing parasit,

23
Universitas Sumatera Utara

laludiberi perlakuan dengan ekstrak atau obat yang diuji yang kemudian
dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Pengaruh pemberian
ekstrak atau obat yang diuji dievaluasi dengan membandingkanjumlah telur
cacing dalam tiap gram sampel tinja, dan jumlah cacing pada saat dinekropsi
antarakelompok

perlakuan

dengan

kontrol

tidak

diobati.Sampel

tinja

dikumpulkanuntuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja.Kemampuan sediaan
uji sebagai antelmintik diukur dengan menghitung persentasepenurunan produksi
telur cacing (fecal egg count reduction/FECR) dan prosentase pernurunan
jumlahcacing (worm count reduction/WCR) setelah pemberian ekstrak atau obat
yang diuji (Ridwan, 2010).

24
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

UJI EFEKTIVITAS BENZALKONIUM KLORIDA KONSENTRASI 0,001% DENGAN pH 5 (Terhadap Aktivitas Bakteri Staphylococcus aureus)

10 193 21

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Diskriminasi Daun Gandarusa (Justicia gendarrusa Burm.f.) Asal Surabaya, Jember dan Mojokerto Menggunakan Metode Elektroforesis

0 61 6

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Formulasi dan Karakterisasi Mikropartikel Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Metode Semprot Kering (Spray Drying)

2 44 87

Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

13 76 98

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58

Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun 2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro

0 7 5

Pengaruh Perbedaan Lama Kontak Sabun Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans Secara In Vitro

0 0 5