Karakteristik Perekat Likuida dari Limbah Ampas Tebu dan Kulit Kacang Tanah

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim,
yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu
termasuk keluarga rumput-rumputan (famili Graminae). Akar tanaman tebu adalah
akar serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas monocotyledone (Supriyadi,
1992).
Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut (Slamet, 2004) :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Agiospermae
Kelas: Monocotyledonae
Famili : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum
Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang, dan
tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5
meter atau lebih. Pada batangnya terdapat lapisan lilin yang berwarna putih keabuabuan. Batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30 cm. Daun berpangkal
pada buku batang dengan kedudukan yang berseling (Penebar Swadaya, 1992).
Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian tempat 5 – 500 meter di atas
permukaan laut (mdpl), pada daerah beriklim panas dan lembab dengan
kelembaban > 70 %, hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu

udara berkisar antara 28 – 340 C (Slamet, 2004).

Universitas Sumatera Utara

17

Sifat morfologi tebu diantaranya bentuk batang konis (mengerucut),
susunan antar ruas berbuku, dengan penampang melintang agak pipih, warna
batang hijau kekuningan, batang memiliki lapisan lilin tipis, bentuk buku ruas
konis terbalik dengan 3-4 baris mata akar, warna daun hijau kekuningan, lebar
daun 4-6 cm, daun melengkung kurang dari setengah panjang daun. Ampas tebu
atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses ekstra ( pemerahan )
cairan tebu. Dari satu pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35-40 % dari berat tebu
yang digiling (Penebar Swadaya, 1992).
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu
sebagai bahan bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut
mengalami pengeringan. Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak
digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas, particleboard, fibreboard, dan
lain-lain (Indriyani dan Sumiarsih, 1992).
Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di

daerah yang memiliki iklim tropis. Luas areal tanaman tebu di Indonesia mencapai
344 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah di Jawa Timur (43,29%), Jawa
Tengah (10,07%), dan Lampung (25,71%). Pada lima tahun terakhir, areal tebu
Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu
hektar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Pada tabel berikut
dapat dilihat produksi tebu perkebunan rakyat berdasarkan propinsi di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

18

Tabel 1. Produksi Tebu Perkebunan Rakyat Berdasarkan Propinsi di Indonesia
Tahun 2006-2010

No Provinsi

Produksi(Ton)
2007
2008
Jawa Timur

1.137.690
1.125.731
1
Jawa Tengah
243.633
255.873
2
Lampung
37.400
72.738
3
Lampung
61.035
56.768
4
DI Yogyakarta
15.785
15.648
5
Sumatera Utara

2.764
5.901
6
Sulawesi Selatan
3.462
1.793
7
Sumatera Selatan
989
563
2.286
8
Sumber: Ditjen Perkebunan (2010) dalam Zaskia (2012)
2006
833.291
252.568
67.629
56.816
13.423
2.129


2009
1.125.731
246.365
80.291
56.645
26.756
5.944
2.154
2.625

2010
1.125.797
246.718
80.765
59.702
26.857
5.963
5.963
2.631


Ampas tebu yang disebut bagas mengandung lignoselulosa yang cukup
banyak. Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari
selulosa, pentosan, dan lignin. Hasil analisis serat bagas tercantum dalam Tabel 2
(Sudaryanto et al., 2002). Tabel 2. Komposisi Kimia Ampas Tebu
No
1
2
3
4
5
6

Kandungan
Abu
Lignin
Selulosa
Sari
Pentosan
SiO2


Kadar (%)
3
22
37
1
27
3

Tanaman Kacang Tanah
Tanaman kacang tanah dalam sitematika tumbuhan menurut Rukmana
(1998) sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae atau tumbuh-tumbuhan

Divisi

: Spermatophyta atau tumbuhan berbiji


Sub Divisi

: Angiospermae atau berbiji tertutup

Universitas Sumatera Utara

19

Kelas

: Dicotyledoneae atau biji berkeping dua

Ordo

: Leguminales

Famili

: Papilionacae


Genus

: Arachis

Spesies

: Arachis hypogeae L.
Masuknya kacang tanah ke Indonesia pada abad ke-17 diperkirakan karena

dibawa oleh pedagang-pedagang Spanyol, Cina, atau Portugis sewaktu melakukan
pelayarannya dari Meksiko ke Maluku setelah tahun 1597. Pada tahun 1863 Holle
memasukkan kacang tanah dari Inggris dan pada tahun 1864 Scheffer
memasukkan pula kacang tanah dari Mesir, Republik Rakyat Cina dan India kini
merupakan penghasil kacang tanah terbesar dunia (Wikipedia, 2013).
Menurut Murni et al. (2008) dalam Sani (2009), sekitar 20-30% dari buah
kacang tanah adalah berupa kulit. Limbah ini sering dijadikan sebagai litter (alas)
kandang ternak unggas tetapi untuk ruminansia dapat digunakan sebagai bahan
pakan. Komposisi kimia kulit kacang tanah adalah bahan kering 90,5%, protein
kasar 81,4%, lemak kasar 1,8%, serat kasar 63,5%, abu 3%, dan lignin 29,9%.
Pengolahan hasil kacang tanah akan memberikan nilai tambah secara

ekonomi. Kacang tanah dimanfaatkan untuk bahan pangan, industri, dan pakan.
Kacang tanah mengandung lemak 45% dan protein 27%. Hampir sebagian besar
produksi kacang tanah digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
pengolahan, seperti bumbu pecel/gado-gado, biskuit, kacang garing/asin, minyak
nabati, saus, selai, susu, dan pakan ternak. Selain itu, kacang tanah dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara

20

bungkil (ampas kacang tanah) yang di Jawa Barat digunakan untuk pembuatan
pangan (oncom) (Sudjadi dan Supriati, 2001).
Perekat likuida
Perekat (adhesive) menurut ASTM adalah suatu zat atau bahan yang
memiliki kemampuan untuk mengikat dua buah benda berdasarkan ikatan
permukaan (Blomquist et al. 1983; Forest Product Society, 1999).Salah satu
teknologi pembuatan perekat dengan memanfaatkan sumberdaya alam adalah
teknologi yang telah dikembangkan oleh Pu et al. (1991), yaitu dengan
mengkonversi serbuk kayu dengan proses kimia sederhana yang disebut proses
likuifikasi. Menurut Risnasari (2008), perekat alternatif


ini dapat mengatasi

kebutuhan perekat yang akan semakin meningkat saat ini, selain itu juga dapat
mengurangi biaya produksi, karena perekat sintesis saat ini relatif mahal.
Menurut Risnasari (2008), karakteristik perekat likuida dari beberapa
limbah non kayu antara lain:
1.

Kenampakan
Warna perekat dari beberapa limbah non kayu adalah merah-cokelat

kehitaman yang disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya.
Menurut Pu et al. (1991), perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan
kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat
menyebabkan perekat likuida berwarna hitam.

Universitas Sumatera Utara

21

2.

Derajat keasaman
Keasaman perekat likuiada berkisar 8,04-8,40 yang berarti bersifat basa

karena adanya penambahan NaOH 40% ke dalam perekat setelah pemasakan dan
pendinginan sesaat. Sifat demikian diperlukan untuk memperpanjang waktu
simpan perekat, karena pH tinggi akan memperlambat proses curing (pengerasan)
perekat tersebut. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida dengan kayu akan
lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat rusak (Ruhendi et al.
2007). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar 10-13.
3. Kekentalan (viskositas)
Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada
permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk
membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan kayu akan semakin sulit. Namun
jika kekentalan terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi yang berlebihan dan
menyebabkan miskinnya garis rekat yang terbentuk. Menurut SNI 06-4567-1998,
viskositas perekat berkisar 130-300 cps.
Kekentalan perekat likuida dari kenaf dan bambu masih memenuhi standar,
sedangkan perekat likuida dari sabut kelapa didapatkan berbentuk pasta. Bentuk
pasta dari perekat likuida ini akan menyulitkan aplikasi perekat pada saat
pencampuran perekat dengan sabut kelapa. Menurut Pu et al. (1991), tingginya
kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan
tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan yang terlalu tinggi dapat
dikurangi dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan.

Universitas Sumatera Utara

22

4. Berat jenis
Berat jenis semua perekat likuida dari limbah non kayu lebih rendah dari
berat jenis perekat fenol formaldehid menurut SNI 06-4567-1998, yaitu sebesar
1,165-1,200. Berat jenis perekat likuida sabut kelapa mengalami penurunan setelah
diencerkan dengan air distilat.
5. Kadar padatan
Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan
dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka
keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak
molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu pada perekatan. Kadar
padatan perekat likuida kenaf, bambu dan sabut kelapa lebih rendah dari SNI 064567-1998 yaitu 40-45%. Ketiga bahan tersebut memiliki kerapatan yang rendah,
sehingga menghasilkan likuida dengan kadar padatan yang rendah juga.
6. Waktu Gelatinasi
Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk
mengental/mengeras atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi
dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi perekat likuida
kenaf dan bambu adalah >60 menit, sedangkan waktu gelatinasi perekat likuida
sabut kelapa adalah >30 menit. Waktu gelatinasi dari ketiga perekat tersebut sesuai
dengan SNI 06-4567-1998 yaitu ≥30 menit. Dengan semakin lamanya waktu
gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur simpan perekat
akan semakin lama.

Universitas Sumatera Utara

23

Proses Likuifikasi
Menurut Yoshioka et al. (1992), likuifikasi lignoselulosa adalah suatu
prosedur untuk memproduksi minyak dari biomassa dalam kondisi konversi
tertentu. Likuifikasi lignoselulosa juga dapat dilakukan pada suhu 240~270 oC
tanpa katalis, 80~150 oC dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (kayu
termodifikasi kimia). Pada penelitian ini, serbuk ampas tebu dan kulit kacang
direaksikan dengan phenol dan H2SO4 pada suhu 90oC untuk menghasilkan
phenolated wood.
Likuifikasi kayu tanpa perlakuan pendahuluan dapat terjadi dengan cara:
a. Perlakuan pada suhu di atas suhu 250 oC selama 15~180 menit, dalam pelarut
phenol, bisphenol, alkohol, alkohol polihidrik, oksieter, glikol dietilen, glikol
trietilen, glikol polietilen, 1,4-dioxane, cyclohexanone, dietilketon, ethyl npropyl ketone (Shiraishi et al., 1986, Patent dalam Yoshioka et al. 1992)
b. Perlakuan pada suhu 150 oC, tekanan atmosfir, dengan katalis phenolsulfonic
acid dan sulfuric acid (Pu et al. 1991 dalam Yoshioka et al. 1992).
Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut phenol,
bisphenol dan polihydric alkohol, serta dikombinasikan dengan penggunaan crosslinking agent atau hardeners, menghasilkan resin dengan daya rekat yang baik
(Shiraishi, 1986; Shiraishi et al. 1986; 1987b dan 1988; Kishi et al. 1986 dalam
Yoshioka et al. 1992).
Likuifikasi kayu tanpa perlakuan akan menghasilkan resin resol-type
phenol. Penelitian yang telah dilakukan adalah:

Universitas Sumatera Utara

24

a. Kayu dilarutkan dalam phenol pada suhu 150 oC dengan katalis phenolsulfonic
acid (Pu et al. 1991 dalam Yoshioka et al. 1992).
b. Lima bagian chips kayu dilarutkan dalam dua bagian phenol pada suhu 250 oC
tanpa katalis (Pu et al. 1991 dalam Yoshioka et al. 1992).
Penelitian Terkait dengan Perekat Likuida
1. Penelitian tentang perekat likuida telah banyak dilakukan, terutama untuk
mencari bahan alternatif pengganti perekat sintetis. Medynda (2012) telah
melakukan penelitian tentang kualitas perekat likuida dari limbah kulit kakao
bagian dalam dan luar. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan bahwa perekat
likuida kulit buah kakao merupakan golongan perekat phenolik.
Proses pembuatan perekat likuida yaitu masing-masing serbuk kulit buah
kakao sebanyak 100 g berukuran 20~40 mesh dan kadar air sekitar 5%
dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan larutan H2SO4 98% sebanyak 25 ml
(5% dari berat phenol) dan diaduk sampai rata sekitar 30 menit. Gelas piala ditutup
rapat dan diamkan selama 24 jam. Phenol kristal teknis dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 6000C agar berubah menjadi larutan. Larutan phenol
sebanyak 500 ml (lima kali berat serbuk kulit buah kakao) dimasukkan ke dalam
gelas piala yang sudah berisi serbuk kulit buah kakao dan larutan H2SO4 98%.
Ketiga bahan tersebut diaduk dalam gelas piala sampai larutan menjadi homogen.
Selanjutnya tambahkan NaOH 50% sambil diaduk sampai mencapai pH 11.
Larutan formaldehida 37% (formalin) ditambahkan dengan perbandingan molar
phenol : formalin adalah 1 : 1,2. Larutan diaduk sampai homogen. Larutan disaring
menggunakan kertas saring kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu

Universitas Sumatera Utara

25

9000C selama 2 jam sambil diaduk sampai larutan menjadi homogen. Lalu, perekat
disimpan dalam botol kaca.
Karakteristik perekat likuida KBKL dan KBKD yang memenuhi karakteristik
perekat phenol formaldehida (PF) untuk kayu lapis (SNI 06-4567-1998) yaitu
karakteristik kenampakan, keasaman (pH), kadar padatan, waktu gelatinasi.
Karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi persyaratan SNI 06-4565-1998.
Dari kedua perekat yang diteliti, KBKD lebih baik dibanding dengan KBKL.
Karena dari nilai yang dimiliki KBKD sebagian memenuhi dan sebagian
karakteristik perekat lebih mendekati SNI 06-4567-1998.
2. Pada penelitian Silalahi (2012) mengenai perekat likuida menggunakan limbah
kulit pinang sebagai bahan penelitian. Proses pembuatan perekatnya yaitu serbuk
sabut pinang sebanyak 100 g berukuran 20~60 mesh dan kadar air sekitar 5%
dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan larutan H2SO4 98% sebanyak 25 ml
(5% dari berat phenol) dan diaduk sampai rata sekitar 30 menit. Gelas piala ditutup
rapat dan diamkan selama 24 jam. Phenol kristal teknis dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 600C agar berubah menjadi larutan. Larutan phenol
sebanyak 500 ml (lima kali berat serbuk sabut pinang) dimasukkan ke dalam gelas
piala yang sudah berisi serbuk sabut pinang dan larutan H2SO4 98%. Ketiga bahan
tersebut diaduk dalam gelas piala sampai larutan menjadi homogen. Selanjutnya
tambahkan NaOH 50% sambil diaduk sampai mencapai pH 11. Larutan
formaldehida 37% (formalin) ditambahkan dengan perbandingan molar phenol :
formalin adalah 1 : 1,2. Larutan diaduk sampai homogen. Larutan disaring

Universitas Sumatera Utara

26

menggunakan kertas saring kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu
900C selama 2 jam sambil diaduk sampai larutan menjadi homogen.
Perekat likuida sabut pinang merupakan golongan perekat phenolik dengan
karakteristik bentuk cair, berwarna merah kehitaman, bebas kotoran, pH 11,
kekentalan 6,817 cps, berat jenis 1,136, kadar padatan 33,3%, waktu gelatinasi 436
menit, kadar abu 33,22%, dan formaldehida bebas 1,95%. Sebagian karakteristik
perekat likuida memenuhi karakteristik perekat phenol formaldehida (PF) untuk
kayu lapis (SNI 06-4567-1998) yaitu karakteristik kenampakan, keasaman (pH),
waktu gelatinasi. Karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi persyaratan
SNI 06-4565-1998.
3. Siregar (2009) juga melakukan penelitian mengenai perekat dengan
menggunakan kulit kayu Avicenia marina, Bruguiera gymnorrhiza dan
Rhizophora mucronata sebagai bahan penelitian. Pembuatan perekat tanin
dilakukan dengan cara mencampur 50 gr ekstrak tanin dengan etanol 95% hingga
larutan menjadi 100 ml. Tambahkan formaldehid sebanyak 1% dari berat perekat
sambil diaduk. Tambahkan larutan NAOH 50% sebagai katalis sebanyak 1% dari
berat perekat.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa limbah kulit kayu mangrove
dapat dijadikan sebagai perekat tanin dimana sebagian besar kriteria yang diujikan,
metode perendaman dalam aseton-air memberikan hasil yang lebih baik daripada
sistem perendaman dalam air suhu 700C, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan pedoman standarisasi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi

Universitas Sumatera Utara

27

Nasional, perekat tanin formaldehid yang dihasilkan dari penelitian ini, hanya
berat jenis dan masa gelatinasi yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.
4. Penelitan mengenai perekat juga dilakukan oleh Manurung (2009) dengan
menggunakan lindi hitam pulp dari kayu pinus, ekaliptus dan akasia. Komposisi
aplikatif perekat lignin resorsinol formaldehida adalah pada resin yang bernisbah
mol lignin (L) : resorsinol (R) : formaldehida (F) = 1 : 0,5 : 2 ; 1 : 0,3 : 2 ; dengan
kadar aditif 1,5% dari resin padatnya. Penggunaan variasi resorsinol pada
pembuatan ini, pada dasarnya ingin melihat keefektifan mana yang paling baik.
Resorsinol ini juga digunakan untuk membantu formaldehida dalam bereaksi
dengan lignin. Hasil pengujian kualitas perekat berupa bentuk, kenampakan telah
sesuai dengan standar begitu juga dengan masa gelatinasi dan pH, akan tetapi
untuk pengujian yang lain belum memenuhi standar Fenol Formaldehida.
5. Meda (2006) juga melakukan penelitian terkait dengan dengan perekat yang
menggunakan limbah sabut kelapa sebagai bahan penelitian. Proses pembuatan
perekat yaitu dengan mereaksikan sabut kelapa berukuran 1 cm dengan phenol
sebanyak lima kali berat sebuk, kemudian ditambahkan H2SO4 98% sebanyak 5%
dari larutan phenol, campuran ini dipanaskan pada suhu 1000 C selama 30 menit.
Selanjutnya ditambahkan NaOH 40% sampai pH 8. Setelah tercapai pH 8
ditambahkan formalin dengan perbandingan molaran antara formalin dan phenol
sebesar 0,5.
Perekat likuida setelah diencerkan berwarna coklat kehitaman, terdapat
butiran, kadar padatan yang dihasilkan berkisar antara 25,63%-28,54% tidak
memenuhi SNI 06-4567-1998, kekentalan yang didapatkan sebesar 250

Universitas Sumatera Utara

28

centipouse, memenuhi standar SNI 06-4567-1998. pH yang didapat sebesar 8,17,
tidak memenuhi standar SNI 06-4567-1998, tetpai dapat tersimpan lebih baik
daripada perekat fenol formaldehid untuk perekat kayu lapis,waktu gelatinasi
perekat likuida lebih dari 30 menit, memenuhi standar SNI 06-4567-1998 dan
berat jenis perekat likuida sebesar 1,085 belum memenuhi SNI 06-4567-1998.

Universitas Sumatera Utara