Prospek Penegakan HAM di Papua berkaca p

Prospek Penegakan HAM di Papua berkaca pada UU No 21 tahun 2001
Panjangnya proses Papua menjadi provinsi yang mempunyai otonomi khusus
merupakan suatu perjuangan rakyat Papua yang harus kita apresiasi. Proses yang panjang
dan berliku itu telah meminta pengorbanan dari seluruh rakyat Papua. Berbagai hal telah
terjadi sepanjang periode 1969 (setelah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) sampai
dengan era otonomi khusus, berbagai peristiwa yang menyakitkan rakyat Papua silih
berganti terjadi sepanjang masa tersebut. Terutama sekali berkaitan dengan masalah
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dann masalah ketidakadilan (mestinya kekayaan
alam di Papua membawa limpahan berkah bagi 2,4 juta penduduknya, akan tetapi yang
terjadi malah sebaliknya). Sehingga masalah inilah yang membuat Papua bergejolak dan
mendorong sebagian rakyat Papua untuk merdeka, walaupun sebagian lain menginginkan
tidak merdeka tapi menginginkan otonomi yang khusus buat Papua.
Masalah prospek pelaksanaan Hak Asasi Manusia menurut UU No 21 tahun 2001
inilah yang menjadi permasalahan yang menarik untuk dibahas, karena dalam pasal 45
ayat (1) disebutkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan penduduk Provinsi Papua
wajib menegakkan, memajukan, melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua, walaupun tanpa penegasan dari UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, Negara (pemerintah dan rakyat) wajib menegakkan
melindungi dan menghormati Hak Azasi Manusia di Provinsi Papua, karena hal tersebut
telah diatur dalam UUD 1945. pasal 45 ayat (1) diatas merupakan bentuk penegasan,
sehingga kita harus mencermati ayat (2) yang menyatakan “Untuk melaksanakan hal

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam ayat (2) tersebut terdapat beberapa hal khusus yang sangat berbeda dengan
perundang-undangan otonomi di Provinsi lain, dengan adanya perwakilan Komnas HAM,
Pengadilan HAM, dan KKR di Papua sangat terlihat jelas bentuk penyelesaian
permasalahan HAM di Papua. Karena dengan adanya Komnas HAM maka Pengadilan
HAM maka penyelesaian yang diselesaikan melalui jalur hukum sedangkan dengan
mekanisme KKR maka bentuk penyelesaian yang diinginkan adalah rekonsiliasi, yang
berujung pada perdamaian. Kedua penyelesaian tersebut menurut penulis sudah tepat
karena dua-duanya merupakan bentuk yang ideal dalam menyelesaikan permasalahan
Hak Asasi Manusia. Berbagai permasalahan yang sampai saat ini menjadi PR bagi
Komnas HAM Papua dan KKR Papua adalah pembunuhan Theis H Eluay, Wamena
(2000), Abepura (2000), Tragedi Wasior (13 Juni 2001), dan berbagai peristiwa HAM
yang terjadi sepanjang 1969-2005, diharapkan 2 alternatif yang ada menurut UU dapat
digunakan (Komnas HAM dan KKR). Untuk kasus pembunuhan Ketua PDP yang telah
diselidiki Komisi Penyelidik Nasional agar dikaji ulang oleh perwakilan Komnas HAM
di Papua karena banyaknya tuntutan masyarakat yang menginginkan kasus ini dikaji
kembali.
Masalah-masalah HAM tersebut diatas apabila tidak diusut tuntas akan menjadi

duri dalam daging dalam pembangunan di wilyah paling Timur Indonesia ini. Janganlah
sekali lagi kesalahan Pemerintah dalam melaksanakan Inpres No 1 tahun 2003 yang
didasarkan pada UU No 45 tahun 1999 (dengan mempertimbangkan kepentingan politik
sesaat) padahal UU tersebut ditolak oleh sebagian besar masyarakat Papua, dan juga

masyarakat Papua sedang mempersiapkan pelaksanaan UU No 21 tahun 2001. Akibat
dari kesalahan ini muncullah pergolakan dalam masyarakat dan mengakibatkan kekerasan
fisik antar masyarakat.
Oleh sebab itu mekanisme yang telah diatur oleh UU No 21 tahun 2001 mengenai
pemecahan permasalahan HAM harus dilaksanakan, juga dibuat bagaimana konsep kerja
KKR di Papua dan hubungannya dengan KKR di Indonesia yang sebentar lagi akan
dipilih oleh DPR. Sangat diharapkan jika dua jalur penyelesaian menurut UU diatas dapat
dijalankan dengan baik maka prospek untuk menyelesaikan masalah Papua akan berjalan
dengan baik.
Bambang Widjojanto, advisor pada Partnership For Government Reform
Rahmat Bagja, bekerja pada Widjojanto, Sonhadji & Associates