FILSAFAT ESTETIKA HAKIKAT PRINSIP KONSEP

FILSAFAT ESTETIKA : HAKIKAT, PRINSIP, KONSEP DAN
PANDANGAN FILSUF TENTANG ESTETIKA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Daya Negri Wijaya, M.A.

Oleh
M. Dian Mutahar
Nurjiati
Saidah

140731603572/2014
140731603962/2014
120730435941/2012

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Oktober 2015


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ilmu merupakan apa yng kita pelajari selama berada di bangku sekolah.
Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang terhadap diri kita sendiri.
Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap
pengetahuan yang telah kita ketahui (Suriasumantri,2009:20). Tugas utama filsafat
adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Pokok permasalahan yang
dikaaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang
disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika
adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya. Menurut pendapat The Liang Gie, 1976
(dalam Wiramihardja,2009:173) Estetika merupakan bagian aksiologi yang
membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber)
mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pegalaman, perilaku dan
pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan

manusia. Sama halnya dengan cabang ilmu filsafat lainnya, estetika juga dipahami
dalam lingkup filsafati dan juga ilmiah. Pembahasan lebih lanjut mengenai
estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Dalam hal ini, akan dikaji lebih
mendalam mengenai estetika dalam hal filsafati.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan sebagai berikut.
1.2.1 Apa hakekat dari estetika?
1.2.2 Bagaiamana prinsip dan konsep dari estetika?
1.2.3 Bagaiaman pandangan para tokoh mengenai filsafat estetika?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat disusun tujuan sebagai
berikut.
1.3.1 Untuk menjelaskan mengenai hakekat dari estetika.
1.3.2 Untuk menjelaskan mengenai prinsip dan konsep dari estetika.
1.3.3 Untuk menganalisis pandangan para tokoh mengenai filsafat estetika.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Estetika
Berbicara tentang

keindahan

(estetika),

Semiawan

(2005:159)

menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari
tentang hakikat keindahan di dalam seni (Susanto, 2011:119). Estetika sendiri
berasal dari bahasa Yunani yang merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang
keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Sehingga pada
dasarnya estetika yang dicari adalah sebuah hakikat dari keindahan, bentuk bentuk
pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani,
keindahan seni dan keindahan alam), yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai

reaksi terhadap yang indah, agung, bagus, mengharukan dan sebagainya.
Pengertian mengenai estetika sangat beragam, seperti menurut Kattsoff
dalam buku ( Sachari, 2003:03) bahwa estetika merupakan segala sesuatu dan
kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni. Estetika merupakan
suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan,
mempelajari semua aspek yang disebut keindahan. Sedangkan menurut Anwar
( 1985:9) estetika dalam arti teknis ialah ilmu keindahan, ilmu mengenal
kecantikan secara umum.
Menurut Sumarna (2006:199) Esteika merupakan bagian dari tri tunggal,
yakni teori tentang kebenaran (epistomologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan
keindahan itu sendiri. Keindahan erat sekali hubungannya dengan lidah dan selera
perasaan. Menurut Thomas Aquinas (1224-1274) dan Jacques Miaritain,
keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan
perasaan enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya
menurut George Santyana (1863-1952 M), indah adalah perasaan nikmat atau
suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik
objek, artinya apa yang disebut indah sangat subjektif ( Katsoff, 1992: 386-388).
Dalam sejarah pemikiran Barat, estetika merupakan salah satu cabang
fisafat yang berkembang pesat. pernyataan ini bisa dai lihat dari beberapa tokoh
filsuf


besar yang melahirkan teori serta pemikiran tentang estetika seperti

Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa yang indah adalah yang tanpa konsep
dapat diterima sebagai sesuatu yang universal, memuaskan, menyenangkan, tanpa
pamrih dan tak berkepentingan (Muslih,2005:137). Sementara didunia TimurIslam, ekspresi seni sering tersandung persoalan tahayyul, bid’ah, churafat, maka
selama ini tradisi Islam lebih tampil dalam soal hukum.
Contoh dari keindahan sendiri adalah ada sebuah taman yang terlihat
rindang dan sejuk. Didalamnya tumbuh beberapa tanaman yang tampak indah,
subur dan hijau. Bunga berwarna-warni seakan menambah pesona taman tersebut.
Setiap orang yang melalui jalan di samping taman tersebut selalu terpesona
melihatnya. Sebagian mereka ada yang sekedar menikmatinya sambil lalu,
sebagian aa yang berhenti untuk sejenak refrshing. Keindahan taman tersebut
telah memikat hati setiap orang yang melihatnya. Tidak hanya kaum wanita, tetapi
kaum pria; tidak hanya remaja, tetapi orang tua dan kanak-kanak juga; tidak hanya
dari suku yang sama tetapi suku bangsa lain sekalipun. Begitulah kira-kira bisa
dicontohkan, sebuah pandangan yang menyatakan bahwa “nilai indah: itu bersifat
universal.
Keindahan menurut luasnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai
berikut:

1.

Keindahan dalam arti yang terluas
Keindahan merupakan pengertian yang berasal dari Yunani dahulu yang
didalamnya tercakup ide kebaikan. Menurut bangsa Yunani keindahan
merupakan arti estetis yang disebutnya symmetria untuk keindahan
berdasarkan

penglihatan,

harmonia

untuk

keindahan

berdasarkan

pendengaram. Sehingga, pengertian keindahan yang seluas-luasnya adalah
2.


meliputi keindahan seni, moral, dan intelektual.
Keindahan dalam arti estetis murni.
Menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan

3.

segala sesuatu yang dicerapnya.
Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Jadi disini lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang
dicerap dengan penglihatan berpa keindahan dari bentuk dan warna.
Semuanya belum jelas apa sesungguhnya keindahan itu. Hal ini memang

merupakan suatu persoalan filsafat yang jawabannya beraneka ragam. Salah satu
ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan kemudia

menyamakan ciri-ciri hakiki dengan keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya
adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Menurut
Surajiyo (2005:103) kualitas yang sering disebut adalah kesatuan (unity),
keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance),

perlawanan (contrast).
Teori Keindahan:
1.

Teori Subjektif dan Objektif
Dalam sejarah estetis menimbulkan 2 kelompok teori yang terkenal, yaitu

teori objektif dan subjektif tentang keindahan. Teori objektif dianut oleh Plato,
Hegel dan Bernard Bosanquet. Sedangkan teori subjektif didukung oleh Henry
Home, dan Edmund Burke.
Teori objektif berpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan
estetis ialah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang
bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamata seseorang
hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada
suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk merubahnya.
Sedangkan teori subjektif adalah menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menciptakan keindahan pada suatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada
hanyalah tanggapan perasaan dalm diri seseorang sendiri yang mengamati suatu
benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari se
pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu benda mempunya nilai estetis,

hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis
sebagai tanggapan terhadap benda itu.
2.

Teori perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut

sebagai Teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty) atau dapat
juga teori agung mengenai estetis eropa. Teori agung tentang keindahan
menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian-bagian, atau
lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta
hubungannya satu sama lain.
3. Teori bentuk estetis
Ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi enam asas, yaitu sebagai berikut:
a.
Asas Kesatuan Utuh

b.
c.
d.

e.
f.

Asas Tema
Asas Variasi Menurut Tema
Asas Keseimbangan
Asas Perkembangan
Asas Tatajenjang

2.2 Prinsip Dan Konsep Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah
ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakannya. Menurut pendapat The Liang Gie, 1976 (dalam
Wiramihardja,2009:173)

Estetika

merupakan

bagian


aksiologi

yang

membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber)
mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pegalaman, perilaku dan
pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan
manusia. Sama halnya dengan cabang ilmu filsafat lainnya, estetika juga dipahami
dalam lingkup filsafati dan juga ilmiah. Pembahasan lebih lanjut mengenai
estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Dalam hal ini, akan dikaji lebih
mendalam mengenai estetika dalam hal filsafati.
a. Estetika Filsafati
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih
dianggap sebagai bagian dari aksiologi lebih banyak dibicarakan dalam
metafisika. Metafisika adalah cabang filasafat yang mempelajari hakekat
realitas

dari

segala

sesuatu,

baik

fisik

maupun

non

(Hanurawan,2008:11).
Pada masa Yunani Kuno masalah estetika antara lain
dibahasa oleh Socrates dan Plato. Dalam abad pertengahan
dana awal abad modern, dengan mendasarkan diri pada
pendapat Leibniz, Alexander Gottlieb Baumgarten, mereka
dianggap sebagai tokoh pertama estetika modern yang
membedakan antara pengetahuan intelektual (intelectual
knowlegde) yang dosebutkan sebagai pengetahuan tegas dan
pengetahuan inderawi (sensuous knowledge) yang disebutkan
sebagai pengetahuan kabur. Tahun 1750 buku Baumgarten
berjudul “esthetica” terbit dalam dua jilid. Buku tersebut

fisik

menjelaskan bahwa estetika adalah pengetahuan sensuous.
Dalam bahasa Yunani, aiesthetika berarti hal-hal yang dapat
diserap dananca indera, sedangkan aesthesis berarti persepsi
inderawi. Baumgarten dikenal sebagai seorang filosof yang
berjasa mengangkat estetika sebagai cabang tersendiri dalam
filsafat (Wiramihardja,2009:174)

Tentunya kita perlu membedakan estetika sebagai bagian dari
filsafat dan estetika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga
filsafat estetika tidak seharusnya begitu saja disebut sebagai teori
estetika. Secara singkat wacana yang menyangkut hukum-hukum
kesenian, adalah ilmu pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, atau
estetika. Sedangkan wacana tentang hakikat akar dari ilmu kesenian,
berupa hasil perenungan, bukan eksperimen dan pengelaman-pengalaman
lahiriyah, yaitu filsafat estetika.
Bernard Bosanquet, 1961 (dalam Wiramihardja,2009:174) dalam
bukunya A History of Aesthetic menyatakan bahwa teori aestetika
merupakan cabang filsafat, dan lahir untuk keperluan pengetahuan,
bukan sebagai bimbingan praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu
yang bernilai estetis. Dalam menelaah masalah estetika, kita perlu
berbicara mengenai kedudukan dan peranannya dalam pemikiran sejarah
masa lalu, khususnya Yunani Kuno. Estetika merupakan suatu teori yang
meliputi; 1. Penyeledikan mengenai yang indah, dan (2) penyelidikan
mengenai

prinsip-prinsip

yang

mendasari

seni.

Tetapi

tidak

mempersoalkan senimannya. Maka kiranya dalam hal ini disimak satu
segi teori estetika yang lain, yaitu (3) pengalaman yang bertalian dengan
seni – masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan
atas seni (Kattsoff,2004:366).
b. Prinsip Estetika
Prinsisp estetik yang menjadi bahan pertimbangan ditemukan pada
antikuitas Hellenistik secara umum. Pada prinsip ini diperikan sebagai
prinsip bahwa keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous
menganai kesatuan dalam kemajemukan. Apakah hakekat keindahan
meruppakan karakteristik presentasi yang dialami?

Pikiran Hellenistik menjawabnya secara formal. Alasannya,
menurut kaum Hellenistik bahwa seni pertama kali muncul sebagai
reproduksi dari realitas. Hal tersebut merupakan alasan yang ditentang
analisis estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai
keindalahan dalam diri manusia dan alam.
c. Konsep Estetika
Konsep estetika merupaakan konsep-konsep yang berasosiasi
dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu
pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang
melibatkan objek, satu kejadian artistik dan estetik (Wiramihardja,
2009:176). Filosof Edmund Burke dan David Hume berusaha untuk
menerangkan konsep estetik. Misalnya keindahan secara empiris, dengan
cara menghubungkannya dengan respons-respons fisik dan psikologis
serta mengelompokannya kedalam tipe-tipe penghayatan individual atas
objek-objek dan kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi mereka melihat
suatu dasar untuk objektivitas reaksi-reaksi pribadi, Kant menyatakan
bahwa konsep estetik secara esensial berakar pada pribadi mengenai rasa
senang dan sakit. Juga menyatakan bahwa konsep-konsep itu memiliki
objektivitas tertentu dengan dasar pada taraf estetik murni, perasaan
sakit,dan senang merupakan respon yang universal.

2.3 Macam-Macam Keindahan
Menurut Kattsoff

(dalam Soemargono (ed),2004:367) Macam – Macam

Keindahan yakni:
1. Keindahan Sebagai Rasa Nikmat Yang Diobjektivasikan
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek,
melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Sesungguhnya
yang dinamakan warna sebuah objek ialah cara kita memberikan reaksi terhadap
suatu rangsangan. Kiranya pasti mudah dimengerti bahwa rasa nikmat atau rasa
sakit bersifat subjektif, karena kedua macam rasa tersebut tidak akan dimengerti
secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang terdapat pada objek yang lain.

Tetapi orang dapat membayangkan keindahan yang terdapat pada objek yang lain.
Artinya

orang

dapat

memproyeksikan

perasaannya,karena

keindahan

bersangkutan dengan rasa nikmat.
Sesungguhnya terdapat banyak rasa nikmat yang bukan merupakan
bagian dari citra kita mengenai sesuatu objek, dan untuk membedakan antara rasa
nikmat yang merupakan bagian dari citra mengenai suatu objek dan rasa nikmat
yang bukan bagian dari citra maka digunakan kata’keindahan’. Menurut
Santayana, “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas
barang sesuatu.” Akibatnya, tidak mungkin ada keindahan yang terpisahkan dari
pemahaman kita mengenai objek yang merupakan keindahan, yaitu rasa nikmat
tidak akan bermakna jika tidak dialami. Selanjutnya jika suatu objek tidak
menimbulkan rasa nikmat pada siapapun, maka tidak mungkin objek tersebut
dikatakan indah.
2. Keindahan Sebagai Objek Tangkapan Akali
Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and
scholasticism berpendapat bahwa keindahan bukanlah objek perasaan melainkan
objek tangkapan akali.
a. Keindahan Menimbulkan Kesenangan Pada Akal
Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh alat-alat
inderawi, karena akal menangkap sesuatu sekedar dengan jalan melakukan
abstraksi dan analisa. Akibatnya, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui
alat-alat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang diperlukan untuk
menangkap keindahan. Maritain mengatakan bilamana suatu objek dapat
menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana langsung yang
dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu
yang indah. Keindahan ialah sesuatu didalam objek yang dapat
menimbulkan senangan pada akal, yang semata-mata karena keadaannya
sebagai objek tangkapan akali.
b. Akal Tercermin Dalam Keindahan

Mengapa suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan pada
akal? Maritain menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan
tertentu yang juga dipunyai oleh akal. “akal merasa senang pada sesuatu
yang indah, karena didalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali
dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya
sendiri. “ciri-ciri khas yang harus dipunyai suatu objek agar dapat dikatakan
indah dapat ditemukan dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan
oleh akal.
Akal senantiasa gelisah apabila menyadari bahwa dirinya kurang
sempurna. Berdasarkan anggapan tersebut, maka salah satu syarat
keindahan ialah harus ada keutuhan atau kesempurnaan, karena yang dapat
disebut indah ialah sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan
kesenangan pada akal. Tetapi juga jelas, bahwa akal tidak hanya
mengutamakan kesempurnaan, melainkan juga ketertiban. Bukankah
ketertiban sesungguhnya merupakan tanda adanya kegiatan akal.
Pengetauan senantiasa menyangkut ketertiban barang sesuatu yang
diselidiki. Karena itu syarat keindahan , yang kedua ketertiben dan
ketunggalan yang terungkap melalui keseimbangan yang cocok. Akhirnya,
akal mengutamakan keadaan yang dapat dipahami secra akal sebagai alat
penerang, seperti jik akita mengatakan “ dapat sekedar menjadi alat
penerang bagi suatu masalah tertentu”. Karena itu, syarat terakhir bagi
adanya keindahan adalah kejelasan.
c. Keindahan Ialah Bentuk
Yang dinamakan bentuk sesungguhnya ialah halnya sendiri yang
diketahui, pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh
melalui akal budi yang dapat menjangkau bentuk barang sesuatu. Bentuk
juga merupakan prinsip yang mendasari keadaan yang dapat dipahami
secara akali. Dalam babak terakhir, keindahan ialah bentuk yang
menimbulkan kesenangan pada akal. Untuk mudahnya dapat dikatakan
bahwa didalam bentuk yang terpancar pada materi, yang bersifat seimbang,
tertib, dan sempurna itulah akal menemukan diri sendiri.

2.4 Pandangan Para Tokoh Mengenai Estetika
Keindahan adalah hal yang dapat dikatakan utama dalam kehidupan
manusia, karena tanpa adanya keindahan di dalam kehidupan kita akan merasa
kehilangan yang namanya kebahagiaan. Setiap manusia pasti akan menginginkan
keindahan atau estetika, dari keinginan tersebut manusia bisa menimbulkan
adanya masalah karena pada dasarnya manusia menginginkan keindahan yang
abadi (tidak ada habis-habisnya). Manusia rela berkorban untuk mendapatkan
keindahan tersebut, contohnya saja seorang laki-laki memiliki hasrat untuk
mendapatkan wanita cantik, ia rela melakukan semua hal yang terkadang
mengarah pada tindakan diluar kewajaran bahkan mengarah kepada kriminalitas.
Banyak manusia yang memiliki iri hati serta cemburu karena tidak berhasil
mendapatkan keindahan yang ingin didapatkannya. Kata estetika sebenarnya
berasal dari bahasa Yunani. Menurut Sachari (1990:2)… istilah aesthetika (hal-hal
yang dapat dicerap dengan panca indera) dan aesthesis (pencerapan inderawi).
Estetika

merupakan

cabang

dari

filsafat

yang

membahas

serta

mempersoalkan seni serta keindahan. Penyebutan filsafat estetika dari zaman
Yunani kuno sampai sebelum abad XVIII sering mengalami perubahan, filsfat
estetika pernah disebut sebagai filsafat estetika, filsafat kritisisme dan filsafat seni.
Akan tetapi, sejak abad XVIII istilah estetika mulai digunakan. Istilah estetika
tersebut pertama kali diungkapkan oleh filsuf yang bernama Alexander Gottlieb
Baumgarten (1714-1762), ia berasal dari Jerman. Ia mengulas estetika di dalam
beberapa karyanya, (Rapar, Hendrik Jan:1996) lewat karyanya, Meditationes
philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan
kedalam bahasa Ingggris dengan judul Relections on poetry (1954). Baumgarten
mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan
tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul Aesthetica acromatica (17501758).
John Hosper (dalam Sachari, Agus, 1990:2)

mendefinisikan estetika

sebagai bagian atau cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan
karya estetis…artinya estetis tidak hanya sekedar filsafat yang berkaitan dengan
obyek seni, tetapi juga melingkup semua hal yang disadari sebagi suatu ‘karya’

yang indah. Dari pernyataan tersebut dapat dinilai bahwa estetis merupakan
sesuatu yang dinamis. Estetis sangat erat kaitannnya dengan perasaan emosional
yang ada pada diri manusia.
Rapar Hendrik Jan (1996) dalam buku pengantar filsafat mengemukakan bahwa:
Plato berpendapat bahwa seni (art) itu adalah keterampilan untuk
mereproduksi sesuatu. Bagi plato, apa yang disebut hasil seni tidak
lain dari tiruan tiruan (imitation). Sebagai contoh, pelukis yang
melukis suatu panorama alam yang indah sesungguhnya hanya
meniru panorama alam yang pernah dilihatnya. Karya-karya seni
hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing dan sebagainya,
sedangkan meja, burung, dan kucing yang ada di dalam dunia ide.
Dengan demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan yang
kedua dan oleh karena itu tidak sesempurna aslinya.

Keindahan dapat digapai oleh manusia melalui rasa cinta yang ada pada
hasrat manusia. Estetika atau keindahan selalu diidentikkan oleh cinta, asal-usul
keindahan ialah karena adanya keindahan pertama, keindahan pertama yang
tersebut yang yang membuat suatu benda menjadi indah. Keindahan yang ingin
digapai oleh manusia yang berada di bumi yang jauh dari kata suci “kotor”,
hamper tidak ada manusia di dunia ini yang dianggap mampu meraih keindahan
yang sebenarnya atau murni. (Sachari Agus, 1990:7) filsafat seni bagi Plato adalah
gagasan tentang idealisme itu sendiri; keindahan tidak pernah didudukkan sama
tinggi dengan kehidupan dunia yang kasar.
Dari pendapat Plato diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa
merupakan hal yang tinggi dan jauh dari jangkauan kehidupan manusia yang
berada di muka bumi. Keindahan dipandang sebagai sesuatu yang maha tinggi dan
sangat berjarak dengan kehidupan manusia. Akan tetapi manusia diberikan
anugerah dengan ide-ide yang mereka miliki. Keindahan yang ada di alam
semesta merupakan suatu bentuk tiruan (imitasi), yang tak sempurna. Manusia
yang berkeinginan untuk menggapai keindahan adalah manusia “pemimpi”.
Keindahan yang sebenarnya (mutlak) merupakan subyek yang berada di atas alam
semesta.
Aristoteles sependapat dengan Plato mengenai seni sebagai tiruan dari
berbagai hal yanga ada. Contoh yang diberikan oleh arirtoteles ialah puisi.

Aristoteles mengatakan bahwa puisi adalah tiruan dari tindakan dan perbuatan
manusia yang dinyatakan lewat kata-kata (Rapar, Hendrik Jan:1996). Apabila
Plato berpendapat bahwa seni itu merupakan hal yang tidak begitu penting, akan
tetapi karya-karya tulisnya merupakan karya seni sastra yang tak tertandingi
sampai sekarang ini, Aristoteles justru menganggap bahwa seni itu penting karena
memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi
lebih filsafati daripada sejarah.
Pada abad pertengahan estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para
filsuf. Hal itu disebabkan gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena
dianggap duniawi dan dianggap produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Akan
tetapi, Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar pada seni. Agustinus
berusaha mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen dengan mengajarkan
bentuk-bentuk Platonis (Platonic forms). Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk
Platonis juga berada dalam pemikiran Allah. Meskipun Augustinus mengikuti
ajaran Plato tentang keindahan, ia tidak sependapat dengan Plato yang
mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan. Augustinus mengatakan bahwa hewan
pun meniru, tetapi tidak dapat menghasilkan karya seni.
Snijders Adelbert

(2009)

dalam

buku

Selus

Segala

Kenyataan

mengungkapkan bahwa:
Menurut Lotz, keindahan itu juga bersifat transcendental. Dalam
keindahan, kebenaran dan kebaikan dihayati dalam suatu kesatuan.
Penghayatan keindahan terjadi dalam hati yang didalamnya budi
(kebenaran) dan kehendak (kebaikan) berada dalam suatu kesatuan.
Pengahyatan Estetis ialah the delight in the truth of being. Karena
manusia adalah roh yang menjelma, maka yang inderawi dan rohaniah
merupakan suatu kesatuan yang tak mungkin terpisah. Roh dan indera
saling memasuki. Dalam intuisi atau visi, kata Lotz, intellectuabilitas
sensibilizatur et sensibilitas intellectualizatur sehingga menjadi suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Inila kekhasan dalam penghayatan
estetis. Yang tak kelihatan menjadi kelihatan dalam suatu
kecemerlangan (splendor).

Estetika dipandang sebagai sesuatu yang kontekstual, karena dipengaruhi
oleh keadaan, kebudayaan, serta peradaban yang berlaku. Penjelasan Sokrates
secara tidak langsung tercermin dari dialognya yaitu Hippias. Ia pernah
mengemukakan bahwa kera cantik dibandingkan dengan wanita terjelek, maka

wanita terjelek tersebut yang dianggap lebih cantik. Dibalik suatu keindahan yang
ada pada objek, ada keindahan yang sebenarnya berdiri sendiri. (Sachari, Agus,
1990: 11)… Burke dengan bukunya Essay in The Sublime and beautifull (1750),
mengemukakan bahwa selera ternyata bisa dipergunakan sebagai hakim
keindahan….keindahan merupakan rasa senang positif yang menimbulkan cinta.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Didalam filsafat terdapat cabang ilmu yang mempelajari mengenai
estetika atau keindahan. Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani yang
merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika
adalah pengalaman akan keindahan. Sehingga pada dasarnya estetika yang dicari
adalah sebuah hakikat dari keindahan, bentuk bentuk pengalaman keindahan
(seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan
alam), yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah,
agung, bagus, mengharukan dan sebagainya.
Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan
(Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai keindahan,
menyangkut ruang lingkup, nilai, pegalaman, perilaku dan pemikiran seniman,
seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia. Sama halnya
dengan cabang ilmu filsafat lainnya, estetika juga dipahami dalam lingkup filsafati
dan juga ilmiah. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan
filosofi seni.
Penyebutan filsafat estetika dari zaman Yunani kuno sampai sebelum abad
XVIII sering mengalami perubahan, filsfat estetika pernah disebut sebagai filsafat
estetika, filsafat kritisisme dan filsafat seni. Akan tetapi, sejak abad XVIII istilah
estetika mulai digunakan. Istilah estetika tersebut pertama kali diungkapkan oleh
filsuf yang bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762). Beberapa filsuf
yang mengungkapkan pandangannya mengenai estetika adalah Plato dan
Aristoteles.

DAFTAR RUJUKAN
Anwar, W. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Katsoff. Louis dan Soejono Soemargono (ed). 1992. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
______________, Soejono Soemargono (ed). 2004. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muslih, M. 2005. Filsafat Umum dalam Pemahaman Praktis. Yogya: Belukar.
Rapar, hendrik jan. 1996 . Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Sachari, Agus. 1990. Estetika Terapan: Spirit Spirit Yang Menikam Desain.
Bandung: Nova
____________. 2002. Estetika, Makna, dan Simbol Daya. Bandung: ITB Press.
Snijders, Adelbert. 2009. Seluas Segala Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Suriasumantri,Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebyah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara.
Wiramihardja,Sutardjo A.2009.Pengantar Filsafat:Sistematika dan Sejarah
Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Metafisika dan Filsafat
Manusia, Aksiologi.Bandung:Refika Aditama.