Pengaruh Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Penghambatan Proliferasi Sel Fibroblas Keloid Manusia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keloid
Keloid telah ada sejak berabad abad yang lalu, terbukti dengan
ditemukannya deskripsi mengenai keloid pada kertas papyrus di Mesir
sejak 1700 sebelum Masehi. Kemudian istilah keloid yang diambil dari
bahasa Yunani chele

yang berarti crab’s claw (capit kepiting)

dikemukakan oleh Jean Louis Alibert pada tahun 1806, (Kelly, 1991).
Prevalensi keloid dan parut hipertrofi sebesar 4,5-16% dari populasi.
Insidens pada orang kulit hitam 2-20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
orang kulit putih. Rasio pada pria adalah sama dengan wanita (Alster,
1997).
Keloid saat ini tidak hanya merupakan masalah bagi penderitanya,
tetapi juga merupakan masalah bagi para dokter karena hingga saat ini
belum ada kesepakatan mengenai pemilihan terapi yang tepat dan optimal
dalam penanggulangannya, serta terdapat kecenderungan kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan (Kelly, 1991; Burton & Lovell, 1998;
Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Harting, et al., 2008).

Saat

ini

terdapat

banyak

pilihan

modalitas

terapi

dalam

penanggulangan keloid ataupun parut hipertrofi dan masih terus
berkembang (Kelly, 1991; Raney, 1993; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000;
Kokoska, 2001; Harting, et al., 2008).


10
Universitas Sumatera Utara

11

1. Definisi
Keloid merupakan variasi proses normal penyembuhan luka, yaitu
terjadinya reaksi jaringan penyambung dermis yang berlebihan akibat
trauma, misalnya pada setelah luka operasi. Keloid adalah suatu tumor
jinak jaringan fibrosa dengan batas jelas dan tumbuh lebih luas daripada
daerah trauma semula. Parut hipertrofi hampir sama dengan keloid, tetapi
hanya tumbuh terbatas pada daerah trauma semula (Kelly, 1991;
Wheeland, 1996; Burton & Lovell, 1998; Harting, et al., 2008).
2. Etiologi
Etiologi terjadinya keloid hingga saat ini masih belum diketahui
pasti. Keloid hanya terjadi pada manusia. Terdapat beberapa hal yang
dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya keloid (Kelly, 1991; Burton &
Lovell, 1998; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Harting, et al., 2008), antara
lain trauma, tegangan kulit, adanya benda asing, faktor hormonal, dan
faktor genetik.

Trauma sering dianggap merupakan faktor utama yang dapat
menyebabkan keloid karena keloid sering terjadi pada tempat setelah
trauma kulit, misalnya luka bakar, insisi, eksisi, luka setelah operasi seksio
sesaria, abrasi, terkena cairan kimia, dan tato, walaupun juga diketahui
bahwa tidak semua trauma selalu menimbulkan keloid atau parut hipertrofi
(Kelly, 1991; Dawber, et al., 1992; Raney, 1993; Wheeland, 1996; Burton
& Lovell, 1998; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Harting, et al., 2008).
Tegangan kulit (skin tension) setelah trauma juga dianggap sebagai
salah satu penyebab. Hal ini terjadi terutama setelah operasi pada daerah

Universitas Sumatera Utara

12

yang banyak bergerak, misalnya bahu atau tungkai bawah, sehingga
terjadi penyembuhan luka yang kurang baik (Kelly, 1991; Raney, 1993;
Kokoska, 2001; Harting, et al., 2008).
Benda asing (foreign material), baik eksogen (benang operasi,
susuk) ataupun endogen (rambut yang tumbuh ke dalam), juga dapat
merangsang timbulnya keloid. Keloid juga sering terjadi setelah infeksi

kulit antara lain akne, vaksinia, variola, varisela, dan herpes zoster (Kelly,
1991; Raney, 1993; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska, 2001;
Harting, et al., 2008).
Faktor hormonal juga dihubungkan dengan terjadinya keloid,
misalnya insidens keloid yang tinggi pada penderita akromegali,

dan

jarangnya timbul keloid sebelum masa pubertas atau pada orang tua dan
kemudian menjadi lebih aktif pada masa kehamilan. Juga diduga terdapat
peran kelenjar hipofisis dalam merangsang terjadinya keloid (Kelly, 1991;
Raney, 1993; Wheeland, 1996; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska,
2001; Harting, et al., 2008).
Faktor genetik pada pasien keloid masih belum dapat dibuktikan,
misalnya kecenderungan dominan dan resesif autosomal serta lebih
sering terjadi pada pasien dengan HLA-B14, HLA-BW16, HLA-BW35, dan
HLA-BW21. Keloid lebih sering terjadi pada ras kulit hitam (Kelly, 1991;
Raney, 1993; Kokoska 2001).
3. Histopatologi
Secara histopatologi gambaran keloid dan parut hipertrofi berbeda

dengan penyembuhan luka normal. Pada keloid dan parut hipertrofi

Universitas Sumatera Utara

13

terdapat gambaran susunan kolagen yang menyerupai gumpalan atau
nodus yang tebal dan padat akibat tahap inflamasi yang berlangsung lebih
lama. Antara keloid dan parut hipertrofi tidak terdapat perbedaan
gambaran

histopatologi,

tetapi

ada

beberapa

kepustakaan


yang

membedakan keduanya, yaitu pada keloid terdapat gambaran kolagen
dengan hialinisasi tebal dan tidak teratur dengan matriks mukoid yang
dominan, sedangkan pada parut hipertrofi terdapat gambaran matriks
mukoid yang lebih sedikit. Perbedaan ini akan terlihat jelas bila
menggunakan mikroskop elektron (Shapiro, 1997; From & Assad, 1999).
4. Patogenesis
Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab dalam memproduksi
matriks ekstraselular yang merupakan salah satu faktor utama terjadinya
keloid. Fibroblas keloid menghasilkan kolagen dan fibronoektin yang
meningkat

sehingga

dapat

menimbulkan


gangguan

respon

pada

metabolik modulator (growth factor, sitokin dan sel mast) ( Armour, 2007;
Willem, 2008).
Ketidakseimbangan
ekstraselular

yang

antara

diakibatkan

endapan
oleh


dan

degradasi

penurunan

matriks

apoptosis

dari

myofibroblas menyebabkan terjadinya keloid. Apoptosis adalah kematian
sel alamiah yang secara morfologi dan biokimia berbeda dari bentukbentuk lain kematian sel. Apoptosis berperan dalam transisi antara
granulasi jaringan dan pembentukan jaringan parut setelah luka.
Apoptosis selama penyembuhan luka merupakan faktor yang penting

Universitas Sumatera Utara

14


dalam proses terjadinya keloid dan parut hipertropi (Armour, 2007; Willem,
2008).
Banyak gen yang terkait dengan apoptosis di antaranya adalah
p53, yaitu suatu faktor transkripsi yang mengatur siklus sel. Gangguan
pengaturan p53 akan mengakibatkan gangguan apoptosis. Akan tetapi,
ekspresi dari p53 ditemukan lebih tinggi pada keloid dibandingkan dengan
bekas luka yang normal. Gen p53 terhubung ke jalur apoptosis melalui
efeknya pada gen ekspresi Bcl-2. Gangguan regulasi dari gabungan p53
dengan peningkatan Bcl-2 dapat menghasilkan kombinasi peningkatan
proliferasi sel fibroblas dan penurunan kematian sel (lebih tahan terhadap
apoptosis), serta peningkatan kepadatan sel pada daerah keloid. Pada
fibroblas keloid tidak terdapat kematian sel fisiologis karena terus menurus
berproliferasi dan menghasilkan kolagen (Willem, 2008). Tingkat apoptosis
parut hipertrofi dan keloid fibroblas

mungkin berhubungan dengan

lingkungan jaringan dan juga keseimbangan antara proliferasi sel fibroblas
dan apoptosis (Armour, 2007; Willem, 2008).

Transforming Growth Factor-β merupakan sitokin multifungsi yang
terlibat dalam komunikasi intraseluler dan interseluler. TGF-β disekresikan
oleh kebanyakan sel pada bentuk latennya (kompleks laten yang besar),
yang tidak terikat pada pembentukan propeptida dimer N. Propeptida
dimer N ini sering juga disebut protein yang berhubungan dalam waktu
yang panjang (Latency-associated protein [LAP]), dan terikat kuat pada
protein pengikat TGF-β dalam waktu yang panjang (The Latent TGF-β

Universitas Sumatera Utara

15

Binding Protein [LTBP]) (Annes, et al., 2003). Bentuk laten TGF-β dapat
mendukung proses perbaikan parut (Werner & Grose, 2003).
Enzim transglutaminase mengaktifkan TGF-β melalui ikatan silang
dengan LTBP. Transforming Growth Factor-β 1 dan TGF-β 2 memunyai
banyak pengaruh pada proses proliferasi dan differensiasi sel. Keduanya
merupakan

mitogenik untuk fibroblas, tetapi menghambat proses


proliferasi sel-sel lain termasuk sel keratinosit. Faktor pertumbuhan ini
juga dikenal berfungsi merangsang proses angiogenesis, differensiasi
miofibroblas, dan deposit matriks (Soo, et al., 2000).
Transforming growth factor-β1 dan TGF-β2 memunyai efek
perangsangan potensial pada reseptor integrin dan pada protein
extracelluer matrix (ECM). Reseptor integrin dibutuhkan untuk migrasi
keratinosit ketika TGF-βl dan TGF-β2 dilepaskan oleh platelet setelah
terjadi luka, TGF-β1 dan TGF-β2 berperan menarik neutrofil, makrofag,
dan fibroblas. Transforming Growth Factor-β 3 lebih kuat dirangsang pada
proses penyembuhan luka tingkat akhir, sehingga dapat mengurangi
penumpukan jaringan ikat. (Bock, et al., 2005).
Transforming growth factor- β1 dihubungkan dengan pembentukan
keloid dalam beberapa cara. Adanya TGF-β dan peranannya, serta
reseptornya dapat dilihat pada fibroblas parut kulit luka bakar (Lee, et al.,
1999). Begitu juga, peranan yang berlebihan dari TGF-βl dan TGF-β2
telah ditemukan pada keloid yang dibentuk dari fibroblas, dengan kadar
TGF-β3 mRNA yang rendah (Lee, et al., 1999. Xia, et al., 2004). Pada
serum pasien dengan luka bakar terdapat jumlah TGF-β dua kali lipat dari

Universitas Sumatera Utara

16

pada kontrolnya (Tredget, et al., 1998). Transisi ontogenetik dari proses
penyembuhan luka pada fetus yang tidak memunyai parut sampai parut
pada orang dewasa dipercaya bergantung pada TGF-β (Armour, et al.,
2007).
Antibodi anti-TGF-β telah menunjukkan efek antifibrosis pada
contoh jaringan skleroderma graft dan host (McCormick, et al., 1999),
bleomycin yang menghasilkan fibrosis kulit, dan glomerulo nefritis pada
tikus (Yamamoto & Nishioka, 2005). Tantangan penting dari tujuan TGF-β
dalam pengobatan keloid adalah sitokin lainnya yang memunyai fungsi
penting lainnya, khususnya pada proses penyembuhan luka dan sistem
imun tubuh yang harus tidak dihambat (Armour, et al., 2007).
Penghambat alami TGF-β mengandung LTBP-1, LAP, decorin,
biglycan, dan fibromodulin. Gambaran menarik dari LAP, dalam
perbandingan dengan efek antibodi penetralisir TGF-β, adalah bahwa
protein ini tidak menghambat efek perangsangan TGF-β pada sel-sel
imun. Cara kerja LAP dihubungkan dengan teriadinya penurunan fibrosis
pada percobaan terjadinya skleroderma pada tikus. Keuntungan lainnya
dari LAP sebagai agen pengobatan adalah bahwa LAP yang merupakan
peptide pendek dengan ikatan silang homolog yang panjang secara
eksogen akan kurang dalam menghasilkan respon imun. (Zhang, et al.,
2003). Pengobatan percobaan ini belum diperiksa hubungannya terhadap
parut hipertrofi (Armour, et al., 2007).
Penelitian sekarang ini menunjukkan banyak hal penting dalam
mengenali efek pro-fibrosis dari TGF-β. Tiga reseptor berbeda dikenal

Universitas Sumatera Utara

17

berperan dalam pengenalan TGF-β. Reseptor transmembran I dan II
muncul untuk mengenali reseptor-reseptor, sementara reseptor III
menunjukkan ikatan terhadap reseptor I dan II untuk fosforilasi. Fosforilasi
ini mengaktifkan reseptor kinase TGF-β dan membantu interaksi terhadap
molekul efektor intraseluler, seperti protein Smad (Massague, 1996).
Protein Smad bertanggung jawab terhadap transduksi sinyal reseptor
pada gen target di nucleus. Hal ini telah dinyatakan bahwa supresi pada
mekanisme pengaturan protein Smad dapat memberikan kontribusi
terhadap respon TGF-β tambahan di samping menjelaskan patologi
fibrosis (Phan, et al., 2004). Akhir-akhir ini, isoform dari CD 109, protein
kuat pengikat TGF-β 1, dan 150 kDa GPI dikenali sebagai komponen
sistem reseptor TGF-β dan modulator negatif reseptor TGF-β pada sel
keratinosit (Finnson, et al., 2006).
Penghambatan pada jalur sinyal TGF-β Smad secara teori, dapat
menekan proliferasi berlebihan dari sel fibroblas dan produksi kolagen
yang menyebabkan terbentuknya keloid. Quercetin, yaitu flavonoid yang
berasal dari makanan dalam penelitian untuk efek anti-fibrotiknya, telah
ditunjukkan dapat menghambat ekspresi reseptor I dan II TGF-β, seperti
penghambatan pada Smad 2, 3, dan 4 di antara fibroblas keloid secara
in vitro (Phan, et al., 2004). Quercetin juga ditemukan pada krim
penghilang parut yang terkenal (Mederma®, Farmasi Kimia Merz,
Greensboro, NC), namun pada penelitiannya gagal menunjukkan efek
klinis dari bentuk krim topikal ini (Chen & Davidson, 2005).

Universitas Sumatera Utara

18

5. Gambaran klinis
Gambaran klinis keloid adalah

berupa peninggian kulit dengan

bentuk tidak teratur dan berbatas tegas, berwarna merah muda sampai
keunguan, kadang-kadang hiperpigmentasi, atau hampir sama dengan
warna kulit, tampak licin dan tidak berambut, serta teraba keras. Lesi
keloid tumbuh secara lambat dan jarang terjadi ulserasi serta keganasan,
kecuali pada setelah luka bakar yang lama. Bila lesi timbul di daerah
kepala, leher dan telinga cenderung bertangkai (Kelly, 1991; Raney, 1993;
Burton & Lovell, 1998; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska, 2001;
Harting, et al., 2008). Gambaran klinis keloid tidak mengalami regresi dan
cenderung kambuh setelah terapi (Raney, 1993; Burton & Lovell, 1998;
Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska, 2001; Harting, et al., 2008).
Biasanya lesi bersifat asimtomatik, tetapi dapat juga terasa gatal dan nyeri
terutama pada saat tumbuh, misalnya pada gerakan yang arahnya
berlawanan dengan arah penyembuhan luka (Burton & Lovell, 1998).
Keloid dapat timbul di bagian tubuh mana saja, tetapi lebih sering di
daerah tertentu, misalnya dada, punggung bagian atas, bahu, cuping
telinga, dagu, leher, dan tungkai bawah. Pada kulit kepala, kelopak mata,
bibir, genitalia, telapak tangan dan kaki, serta membran mukosa jarang
terjadi keloid (Kelly, 1991; Raney, 1993;

Burton & Lovell, 1998;

Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska, 2001; Harting, et al., 2008).
6. Terapi
Terdapat banyak pilihan dan variasi untuk terapi keloid, mulai dari
yang kurang agresif hingga tindakan yang agresif dan terapi tunggal

Universitas Sumatera Utara

19

ataupun kombinasi. Namun, hingga saat ini tidak satu pun dari pilihan
tersebut dapat menghasilkan penyembuhan total seperti yang diharapkan.
Hal ini disebabkan rekurensinya masih sangat tinggi, yaitu > 50%. Selain
itu, etiologi ataupun patogenesis keloid masih belum diketahui pasti (Kelly,
1991; Raney, 1993; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Kokoska, 2001;
Harting, et al., 2008).
Dasar terapi yang digunakan untuk mengatasi keloid adalah
dengan

memperbaiki

pembentukan

dan

degradasi

kolagen

yang

abnormal, memanipulasi proses penyembuhan luka, serta menghambat
respons inflamasi. Adapun pilihan terapi yang ada berupa: eksisi, bedah
beku (cryosurgery), kortikosteroid (topikal, suntikan intralesi), radioterapi,
tekanan mekanik,gel silikon, interferon, 5-fluorourasil, LASER, kombinasi
terapi, dan terapi lain (Kelly, 1991; Dawber et al., 1992; Wheeland, 1996;
Alster, 1997; Alster, 1999; Ross & Anderson, 1999; Airan, et al., 2000;
Alster, 2000; Dover et al., 2000; Harting, et al., 2008; Manuskiatti &
Fitzpatrick, 2000; Guix, et al., 2001; Dyakov, et al., 2002).
Untuk mendapat hasil terapi yang baik terdapat banyak hal yang
harus diperhatikan, misalnya meminimalkan tegangan (tension) luka
pascaoperasi, lokasi luka, cara menutup dan merawat luka, adanya benda
asing, dan infeksi. Selain itu juga harus mengetahui motivasi serta tujuan
jelas terapi yang dikehendaki oleh pasien, apakah untuk alasan kosmetik
atau masalah fungsi yang mengganggu, misalnya rasa kaku, gatal atau
nyeri. Sebaiknya sebelum dilakukan terapi diberikan konseling mengenai
tujuan terapi, cara kerja, lama pengobatan, efek samping, dan hasil yang

Universitas Sumatera Utara

20

diharapkan (Kelly, 1991; Raney, 1993; Kokoska, 2001; Harting, et al.,
2008).
7. Pencegahan
Terapi keloid yang paling baik adalah mencegah terjadinya keloid
secara dini dengan menghindari faktor risiko pencetus ataupun dengan
salah satu modalitas pilihan terapi yang ada (Dufresne, 1998).
Banyak modalitas terapi, tetapi tidak semua dapat digunakan
sebagai terapi pencegahan bagi keloid. Pilihan terapi yang dapat
digunakan sebagai pencegahan adalah radiasi, penyuntikan kortikosteroid
intralesi, tekanan mekanik, gel silikon, interferon, dan 5-fluorourasil.
Biasanya terapi pencegahan merupakan terapi kombinasi dengan tujuan
mencegah timbulnya keloid baru atau yang kambuh (Alster, 1997; Alster,
1999; Ross & Anderson, 1999; Alster, 2000; Airan, et al., 2000; Guix, et
al., 2001; Dover, et al., 2000; Dyakov, et al., 2002). Hingga saat ini belum
ada kesepakatan mengenai terapi ideal. Namun hal ini justru merupakan
tantangan bagi para dokter untuk mencari jawabannya tanpa melupakan
pertimbangan risk and benefit bagi pasien.
B. Potensi Tanaman Obat Indonesia
Tumbuhan merupakan keanekaragaman hayati yang selalu ada di
sekitar kita, baik itu yang tumbuh secara liar ataupun yang sengaja
dibudidayakan.

Bangsa

menggunakan tanaman

Indonesia

telah

lama

mengenal

dan

obat sebagai salah satu upaya dalam

menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman obat
adalah berdasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang secara
turun-temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Universitas Sumatera Utara

21

Pemanfaatan dan pengembangan obat tradisional berdasarkan
pangalaman/empirik selanjutnya berkembang melalui pembuktian ilmiah,
yaitu melalui uji pra-klinik dan uji klinik. Obat tradisional yang didasarkan
pada pendekatan “warisan turun temurun “ dan pendekatan empirik
disebut jamu (empirical based herbal medicine). Pada umumnya, jenis ini
dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur. Bentuk jamu
tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup
dengan bukti empiris turun temurun, sedangkan obat tradisional yang
disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa
tanaman obat, hewan, ataupun mineral yang berdasarkan pendekatan
ilmiah melalui uji pra-klinik disebut obat herbal terstandar (scientific based
herbal medicine). Untuk melaksanakan proses ini dibutuhkan peralatan
yang lebih kompleks dan mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang
memiliki pengetahuan ataupun keterampilan dalam pembuatan ekstrak.
Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini telah ditunjang
dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik dengan
mengikuti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan
ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis
dan uji toksisitas dan telah melalui uji klinik yang disebut fitofarmaka
(Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2004,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Indonesia merupakan mega-senter keragaman hayati dunia dan
menduduki urutan terkaya kedua setelah Brazillia. Jika biota laut ikut
diperhitungkan, Indonesia menduduki urutan terkaya pertama di dunia. Di

Universitas Sumatera Utara

22

bumi kita ini diperkirakan hidup sekitar

40.000 spesies tumbuhan, di

antaranya 30.000 spesies hidup di kepulauan indonesia. Di antara 30.000
spesies tumbuhan yang hidup di kepulauan Indonesia diketahui sekurangkurangnya 9.600 spesies adalah tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan
kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional
oleh industri obat tradisional.
Indonesia adalah negara yang memiliki beragam etnis, yaitu
mencapai 400 etnis. Mereka memiliki kekayaan pengetahuan tradisional
tentang pemanfaatan tumbuhan untuk pemeliharaan kesehatan dan
pengobatan berbagai macam penyakit. Indonesia yang merupakan negara
agraris memunyai banyak

area pertanian dan perkebunan yang luas,

serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat. Indonesia masih
banyak memiliki area terlantar yang belum dimanfaatkan. Hutan indonesia
yang demikian luas menyimpan kekayaan yang demikian besar, di
antaranya berpeluang sebagai obat bahan alam.
Banyaknya lembaga penelitian termasuk perguruan tinggi dan
peneliti yang melakukan penelitian terhadap obat-obatan bahan alam
merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan

obat tradisional (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Universitas Sumatera Utara

23

C. Tanaman Rosela
1. Taksonomi
Taksonomi tumbuhan rosela (Departement of Botany Swedish
Museum Natural History, 2002., Maryani, 2008; Widyanto, 2008)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi
Sub – divisi
Kelas
Bangsa
Famili
Genus
Spesies
Nama umum / dagang

: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledoneae
: Malvales
: Malvaceae
: Hibiscus
: Hibiscus sabdariffa L
: Rosela

Saat ini terdapat lebih dari 100 varietas rosela yang tersebar di
seluruh dunia. Dua varietas yang paling terkenal adalah sabdariffa dan
altissima Webster. Varietas sabdariffa memunyai kelopak bunga yang
dapat dimakan, berwarna merah atau kuning pucat, dan kurang banyak
mengandung serat. Sementara itu, varietas altissima Webster sengaja
ditanam untuk mendapatkan seratnya, karena kandungan seratnya
memang tinggi. Namun, kelopak bunga varietas ini tidak dapat
dimanfaatkan sebagai makanan (Maryani & Kristiana, 2008; Widyanto &
Nelistya, 2008).
2. Morfologi
Rosela merupakan herbal tahunan yang bisa mencapai ketinggian
0,5-3m. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Daunnya
tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi
bergerigi, dan pangkal berlekuk. Panjang daun 6-15cm dan lebarnya

Universitas Sumatera Utara

24

5-8cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau dengan panjang 4-7cm
(Maryani & Kristiana, 2008; Widyanto & Nelistya, 2008).

A

Gambar1. Tanaman Rosela

Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga
tunggal. Artinya, pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga
ini memunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1cm,
pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna merah. Kelopak bunga ini

Universitas Sumatera Utara

25

sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang
sering dimanfaatkan sebagai makanan, minuman dan obat-obatan
(Maryani & Kristiana 2008; Widyanto & Nelistya, 2008). Mahkota bunga
berbentuk corong, terdiri dari 5 helai, dan panjangnya 3-5cm. Tangkai sari
yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran
pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5mm, dan lebar sekitar 5mm.
Putiknya berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah (Maryani

&

Kristiana, 2008; Widyanto & Nelistya 2008). Buahnya berbentuk kotak
kerucut, berambut, berwarna merah, dan terbagi menjadi 5 ruang. Bentuk
biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5mm dan lebar 4mm. Saat
masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu
(Maryani & Kristiana, 2008; Widyanto & Nelistya, 2008).
3. Kandungan kimia dan nilai gizi
Kelopak bunga rosela terbukti mengandung 24% antioksidan dan
51% anthocyanin. Selain mengandung vitamin C, kelopak bunga rosela
juga mengandung vitamin A, D, B1, B2, dan 18 jenis asam amino yang
diperlukan tubuh, yaitu arigine, cystine, histidine, isoleucine, leucine,
lysine, methionine, phenylalanine, tryptophan, tyrosine, valine, aspartic
acid, glutamic, acid alanine, glycine, proline, dan serine. Kelopak bunga
rosela

juga

mengandung

flavonoid,

gossypetine,

hibiscetine,

dan

sabdaretine, kalsium, megnesium, β-karoten, fosfor, zat besi, asam orgnik,
polisakarida, dan omega-3 (Maryani & Kristiana, 2008; Widyanto &
Nelistya, 2008). Zat aktif yang berperan dalam kelopak bunga rosela
meliputi gossypetin, anthocyanin, dan glucoside hibiscin. Anthocyanin

Universitas Sumatera Utara

26

yang berpengaruh adalah delphinidin 3-sambubioside (Lila, 2004, Prior &
Wu, 2006).
4. Interaksi dengan kolagen, fosfolipid dan proteoglikan
Secara

in

vitro

ektrak

anthocyanin

buah-buahan

dapat

menghambat enzim proteolitik, seperti elastese, yang terlibat dalam
degradasi kolagen dan komponen lain dari matriks extravascular dalam
kondisi patologis tertentu, seperti aterosklerosis, emphysema, rematik
athritis. Ekstrak anthocyanin dapat berinteraksi dengan metabolisme
kolagen oleh silang serat kolagen dan membuatnya lebih tahan terhadap
proses

collagenase.

Penurunan

polimer

biosintesis

kolagen

dan

glikoprotein struktural bertanggung jawab terhadap penebalan kapiler
pada penderita diabetes. Hystochemical dan studi biokimia menunjukkan
bahwa anthocyanin yang berinteraksi dengan phospholipid plasma
membran dari otak tikus berpotensi mengubah sifat kimia fisik dan
berpotensi meningkatkan ketahanan terhadap rangsangan. Pengaruh
ekstrak bilberry pada viskositas membrane trombosit mengkonfirmasikan
bahwa anthocyanin dapat memodifikasi membran cair karena afinitas
tinggi untuk membrane fosfolipid (Chang, 2005)
5. Ekstrak Hibiscus (Anthocyanin) sebagai induksi apoptosis.
Sel apoptosis mengungkapkan beberapa karakteristik seperti
penyusutan sel, kondensasi kromatin, DNA fragmentasi, pembentukan
apoptosis,

dan

aktivasi

caspases.

Mekanisme

apoptosis

yang

berhubungan dengan aktivasi sistein-dependent protease aspartatdirected disebut caspases. Apoptosis melibatkan dua jalur kematian
utama, yaitu reseptor dan mitokondria. Apoptosis jalur reseptor kematian

Universitas Sumatera Utara

27

disebabkan oleh reseptor kematian seperti FAS (CD95). FAS ligan (FasL)
mengikat ke reseptor yang mengarah pada pembentukan kematianmerangsang kompleks dengan cara mengambil molekul adaptor FAS
yang terkait dengan kematian domain (FADD) dan pro-caspase-8. Aktivasi
pro-caspase-8 diperlukan untuk kematian sel. Kematian jalur mitokondria
dikontrol oleh Bcl-2, termasuk antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL protein dan
proptotic Bax protein. Sinyal kematian merangsang pelepasan sitokrom c,
Apaf-1, dan faktor-faktor lain yang mungkin berasal dari mitokondria
(Chang, 2005).
Secara epidemiologi bukti kuat menunjukkan bahwa makanan yang
kaya sayuran dan buah-buahan khususnya dapat mengurangi risiko
beragam kanker pada manusia. Kelopak bunga rosela, biasanya
dikonsumsi sebagai minuman dingin dan panas. Ekstrak bunga telah
dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah tikus dan manusia. Selain
itu, komponen hibiscus sabdariffa L, merupakan ekstrak antitumor,
kekebalan-modulasi, dan efek antileukemik. Telah dilaporkan bahwa
antochyanin menunjukkan efek inhibisi terhadap pertumbuhan beberapa
sel kanker, efek antioxidative, dan efek anticarcinogenic dalam 1,2dimethylhydrazine-dimulai F344/DuCrj tikus (Chang, 2005).
D. Prinsip Pemeriksaan Human TGF-β1
Prinsip pemeriksaan ini adalah ELISA, untuk mengukur secara
kuantitatif aktiifitas

konsentrasi TGF-β1 dalam supernatan kultur sel.

Prinsip pemeriksaan ELISA umumnya berdasarkan pada interaksi antigen
(Ag) dan antibodi (Ab). Interaksi Ag dan Ab pada tingkat primer
merupakan awal reaksi ikatan molekuler antara Ag dan Ab. Reaksi ini

Universitas Sumatera Utara

28

tidak dapat terlihat dengan mata biasa. Karenanya, perlu indikator, yaitu
dengan memakai enzim yang dilekatkan ke Ag atau Ab. Nama metode
pemeriksaan untuk menentukan interaksi antara Ag dan Ab disesuaikan
dengan nama indikator, yaitu enzim. Dengan demikian indikator ini disebut
Enzim Immuno Assay.

Pada tingkat sekunder terjadi presipitasi dan

aglutinasi. Pada tingkat tertier, interaksi antara Ag dan Ab terjadi dalam
tubuh manusia / in vivo. Prinsip pemeriksaan ELISA adalah mendeteksi
Ag dan Ab kompleks (Ag + Ab). Ab yang terdapat didalam serum
dimasukkan ke dalam Ag yang sudah difiksasi pada penyangga padat
(plat mikrotiter), kemudian diinkubasi selama waktu tertentu dan dicuci
untuk menghilangkan antibodi yang berlebihan. Selanjutnya ditambahkan
antibodi anti-spesies yang dikonjugasi dengan enzim. Aktivitas enzim
ditentukan setelah ditambahkan substrat kromogenik spesifik. Substrat
kromogenik ini yang tadinya tidak berwarna berubah menjadi berwarna
bila dihidrolisis oleh enzim. Intensitas reaksi warna yang terjadi sesuai
dengan jumlah substrat yang didegradasi akan sebanding dengan jumlah
antibodi. Perubahan intensitas warna ini diukur dengan spektrofotometer
untuk menilai kadar antigen. Hidrolisis oleh enzim berlangsung dalam
waktu tertentu. Reaksi ini berhenti bila ditambahkan asam atau basa kuat.
Reaksi ini harus berlangsung dalam keadaan optimal, yaitu kadar reaktan,
temperatur dan masa inkubasi telah ditentukan secara eksperimental
pada setiap reagen dari buatan (pabrik) yang berbeda dan prosedur yang
berbeda. Ada tiga bentuk metode dasar dari ELISA, yaitu direct ELISA,
indirect ELISA, dan sandwich ELISA. Ketiga bentuk dasar ini disebut
teknik kompetitif atau inhibisi ELISA (Crowther, 2002)

Universitas Sumatera Utara

29

E. Prinsip Pemeriksaan dengan Spektrofotometer
Spektrofotometer merupakan salah satu metode dalam kimia
analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara
materi dan cahaya. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel,
UV, dan cahaya inframerah, sedangkan materi dapat berupa atom dan
molekul, tetapi yang lebih berperan adalah elektron valensi.
Spektrofotometer ini (visibel, UV, UV-visibel, Infra red) memiliki
prinsip kerja yang sama, yaitu adanya interaksi antara materi dan cahaya
yang memiliki panjang gelombang tertentu. Perbedaannya terletak pada
panjang gelombang yang digunakan. Secara sederhana instrumen
spektrofotometer terdiri dari sumber cahaya yang berfungsi sebagai
sumber sinar polikromatis dengan berbagai macam rentang panjang
gelombang, monokromator yang berfungsi sebagai penyeleksi panjang
gelombang, yaitu mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar
polikromatis menjadi cahaya monokromatis, sel sampel yang berfungsi
sebagai tempat meletakkan sampel, detektor yang berfungsi menangkap
cahaya yang diteruskan dari sampel dan kemudian mengubahnya menjadi
arus listrik dan pembaca (read out) yang merupakan suatu sistem baca
untuk menangkap besarnya isyarat listrik yang berasal dari detektor.
Proses absorbsi cahaya pada spektrofotometer adalah ketika
cahaya dengan berbagai panjang gelombang (cahaya polokromatis)
mengenai suatu zat. Karena itu, cahaya dengan panjang gelombang
tertentu saja yang akan diserap. Spektrofotometer ini dirancang untuk
mengukur

konsentrasi yang ada

dalam suatu sampel. Zat yang ada

Universitas Sumatera Utara

30

dalam sel sampel ini disinari dengan cahaya yang memiliki panjang
gelombang tertentu. Cahaya yang mengenai sampel sebagian akan
diserap, sebagian akan dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan.
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (optical density)
sedangkan cahaya yang dihamburkan diukur sebagai transmitansi (Albani,
2007)
F. Kerangka Teori

tegangan kulit
(pasca operasi /
trauma)

Degradasi
 aktifitas
kolagenase
 produksi
kolagenase
 decorin
 apoptosis

setelah infeksi kulit
(vaksinasi, akne, varisella, variola, herpes zoster)
trauma
(luka bakar, insisi, luka operasi, abrasi, tato, bahan
kimia)

benda asing
(eksogen,
endogen)

Sintesis
Proses penyembuhan
luka

 kepadatan fibroblas
 produksi
fibronoektin
 produksi kolagen
tipe I/III
 TGF-β
 Versican
 Beglycan

(hormonal, genetik)

Keloid
Ekstrak
kelopak bunga rosela
{flavonoid (anthocyanin), tanin,
steroid/triterpenoid, glikosida}

Gambar 2. Kerangka Teori.

Universitas Sumatera Utara

31

G. Hipotesis
1. Hipotesis mayor
Ekstrak kelopak bunga rosela dapat menghambat proliferasi
fibroblas keloid manusia.
2. Hipotesis minor
a) Ekstrak kelopak bunga rosela mampu meningkatkan apoptosis
pada kultur sel fibroblas keloid kulit manusia.
b) Ekstrak kelopak bunga rosela mampu menurunkan kadar TGF-β1
pada kultur sel fibroblas keloid kulit manusia.
c) Ekstrak kelopak bunga rosela tidak menimbulkan efek sitotoksik
pada kultur sel fibroblas kulit normal manusia.
H. Kerangka Konsep

Uji fitokimia

Uji penghambat
proliferasi sel
fibroblas keloid:
- Tunel assay
- Kadar TGB-β1

Ekstrak
kelopak bunga rosela
{flavonoid (anthocyanin), tanin,
steroid/triterpenoid, glikosida}

Sel fibroblas
keloid manusia

Sel fibroblas
kulit normal
manusia

Uji
Sitotoksisitas

Sintesis
Degradasi

 TGF – β

apoptosis

Gambar 3. Kerangka Konsep.

Universitas Sumatera Utara