Teror Media Elektronik di Tengah Bencana

Teror Media Elektronik Di Tengah Bencana
Filosa Gita Sukmono*

Masyarakat Indonesia dibeberapa daerah mengalami tekanan dan cobaan luar biasa
hebat dalam beberapa bulan terakhir ini. Salah satunya tragedi Gunung Merapi yang cukup
meresahkan penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini masih ditambah dengan teror
media massa khususnya media elektronik lewat berbagai informasinya yang membuat banyak
masyarakat sekitar bencana menjadi ketakutan.
Tepat tanggal 7 November 2010 salah satu televisi swasta dengan program
infotaiment-nya, meramu sebuah acara yang justru semakin membuat masyarakat Yogyakarta
menjadi resah. Hal ini dikarenakan dalam program acara tersebut dengan berbagai ramalan
dan prediksi yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah memperkirakan terjadi sebuah letusan
hebat oleh Gunung Merapi pada tanggal 7-8 November, dengan radius letusan sampai 65
Kilometer. Sontak saja masyarakat Yogyakarta maupun para pengungsi yang meyaksikan
acara tersebut menjadi gelisah. Bahkan beberapa sanak saudara dari warga Yogyakarta yang
menyaksikan acara tersebut langsung menghubungi saudara mereka yang tinggal di kota
gudeg tersebut, untuk sekedar bertanya kondisi terakhir ataupun menyarankan agar sejauh
mungkin pergi dari kota Yogyakarta.
Selain acara infotaiment di atas, penulis juga mempunyai pengalaman unik terkait
teror pemberitaan media elektronik yang meresahkan masyarakat. Waktu itu terjadi
pemadaman lampu yang terjadi pada hari Sabtu, 6 november 2010 di daerah Mlati, Sleman.

Tiba-tiba ada seorang ibu yang keluar dari rumahnya sambil berbicara dengan tetangganya.
“Ndak masalah lampunya mati biar gak liat berita terus, sebab jadi takut sendiri kalau liat
tayangan di televisi,” terang ibu tersebut dengan cukup kesal.
Media elektronik dengan berbagai program acaranya justru membuat sebuah teror
yang menakutkan untuk masyarakat di sekitar bencana. Bagaimana berbagai realitas yang ada
di lapangan dibuat menjadi sesuatu yang berlebihan ketika hal tersebut muncul dalam sebuah
pemberitaan atau berbagai program acara di televisi.
Hiper-Realitas Media
Contoh teror media elektronik di atas, membuktikan bahwa media saat ini sudah
mengabaikan kepentingan publik. Media seolah-olah hanya berorientasi pada kepentingan
eknomi dan kekuasaan tanpa memperhatikan imbas yang dirasakan masyarakat di sekitar
bencana letusan Gunung Merapi akibat program acara tersebut.

Yasraf (2010) juga mengatakan bahwa kepentingan-kepentingan ekonomi dan
kekuasaan politik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media
mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (psuedo-truth), menyampaikan
objektivitas atau subjektivitas, bersifat netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau
memelintir fakta, menggambarkan realitas atau menyimulasikan realitas.
Fenomena inilah yang membuat Jean Baudrillard dalam Yasraf (2010) menjelaskan
hiper-realitas media sebagai bentuk perekayasaan makna di dalam media. Hiper-realitas

media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga kesemuan dianggap lebih nyata
dari pada kenyataan, kepalsuan dianggap lebih benar dari pada kebenaran, isu lebih dipercaya
ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Sehingga kita tidak
dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.
Tayangan infotaiment tersebut telah membuat dan menciptakan satu kondisi
sedemikian rupa sehingga masyaarakat Yogyakarta dan sekitarnya panik. Tayangan tersebut
benar-benar provokatif serta hanya mengejar rating dan iklan. Karena semakin kontroversi
sebuah tayangan maka akan tinggilah pemasukkan iklan. Tetapi efek dari hiper-realitas media
para penonton tidak bisa membedakan mana yang sekedar isu dan realitas sebenarnya.
Akhirnya yang terjadi adalah teror dan ketakutan yang menimpa masyarakat.
Perlunya Langkah Tegas KPI
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku pengawas berbagai tayangan yang ada di
media elektronik harusnya bertindak tegas terhadap kejadian ini. Karena masyarakat di
sekitar wilayah bencana sudah cukup cemas dengan situasi disekitar mereka dan
membutuhkan perlindungan dari berbagai informasi dan tayangan yang menyesatkan.
Berbagai sanksi sudah sepantasnya diterima oleh berbagai tayangan yang telah
mengesampingkan kepentingan publik. Karena jika hal ini terus berjalan maka akan terjadi
berbagai masalah sosiokultural seperti disinformasi, depolitisasi, banalitas informasi, fatalitas
informasi, skizofrenia dan hiper-moralitas.
Semoga berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang

media literacy segera memberikan pencerahan kepada masyarakat Yogyakarta khususnya
para pengungsi letusan Gunung Merapi agar lebih selektif dalam menerima berbagai
tayangan yang ditampilkan oleh media elektronik. Sehingga tidak menimbulkan trauma yang
berkepanjangan dalam masyarakat yang tertimpa bencana.

* Peneliti Media and Cultural Studies dan Dosen Ilmu Komunikasi UMY