Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimb

GURU DAN BUDAYA PENDIDIKAN BERBASIS BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Daris Tamin, S.Pd., M.Pd. 1

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok lalu ditindaklanjuti dan didalami secara eksplanatori melalui teknik wawancara mendalam dan observasi. Untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling, dilakukan penelusuran berdasarkan persepsi 404 siswa di empat sekolah di empat kota di Jawa Barat dengan basis ideologi dan kultur pendidikan yang berbeda melalui angket tertutup.Berdasarkan pilihan siswa ditemukan empat orang guru yang dinilai sudah menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Keempat guru tersebut mewakili empat sekolah masing- masing.Berdasarkan pendalaman secara naturalistik ditemukan bahwa keempat guru tersebut memiliki lima komponen perilaku dan sikap yang sama, yaitu; (1) filosofi hidup untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah); (2) kebahagiaan hidup adalah ketika bisa taat pada Tuhan dan bisa berbuat baik pada orang lain; (3) hakikat mendidik adalah mengenalkan Tuhan kepada anak didik dan membimbing mereka untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya; (4) pendekatan dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak mudah marah, menunjukkan keteladan, jujur, ramah, merenungi realitas, dan mengingatkan tentang kematian; (5) sikap terhadap isu pendidikan dan profesi: anti ketidakjujuran; ujian nasional adalah bagian kecil dari ujian hidup; lebih baik tidak lulus di hadapan manusia daripada tidak lulus dihadapan Tuhan; ikut sertifikasi seperti air mengalir saja; guru jangan takut miskin; dan budaya pendidikan harus dimulai dengan kepemimpinan dari diri sendiri.

Kata Kunci: Budaya Pendidikan, Bimbingan dan Konseling

1 Disampaikan dalam acara ͞JOIN SEMINAR͟ antara Prodi BK SPs UPI Bandung dengan Program Kaunseling USM,Bandung 25 Mei 2013.

TEACHER AND CULTURAL EDUCATION BASED GUIDANCE AND COUNSELING

by:

Daris Tamin, S.Pd., M.Pd. ABSTRACT

This study intended to find a teacher who displays cultural education based guidance and counseling in the learning process. This study uses survey research with questionnaires as the main data collection tool and then followed up and explored the explanatory through in-depth interviews and observation. To find a teacher who displays cultural education based guidance and counseling, search conducted on perceptions of 404 students in four schools in four cities in West Java with a base ideology and educational different cultures through questionnaires tertutup. Based on option from four students found teachers are considered as show cultural education based guidance and counseling in the learning process. The four teachers representing each school. Based on naturalistically deepening found that the four teachers had the same five behaviour and attitude components, namely: (1) philosophy of life to serve God (Allah), (2) happiness in life is when to obey God and can do good to others, (3) the nature of education is to introduce God to the students and guide them to benefit themselves, their families, and society; (4) approaches in the learning process is done with patience, not easily angered, modeling, honest, friendly, contemplating the reality, and reminded about death, (5) attitudes toward education and professional issues: antidishonesty; UN is a small part of the test of life; better not pass in front of mankind than it does pass before God; participate certifications such as running water only; teachers do not fear poverty; education and culture must begin with leadership from ourselves.

Keywords: Cultural Education, Guidance and Counseling

A. Pendahuluan

Masih terjadinya berbagai kasus yang terkait perilaku antagonis terhadap hakikat pendidikan, seperti kasus korupsi pejabat yang notabene berpendidikan tinggi, plagiasi karya ilmiah oleh akademisi, menyontek massal yang dilakukan siswa dengan arahan guru dan kepala sekolah, perjokian oleh mahasiswa senior, jual beli ijazah tanpa kuliah oleh oknum pengelola PTS, dan tindakan tidak terpuji lainnya memunculkan pertanyaan besar tentang budaya apa yang sebenarnya mendominasi pendidikan nasional selama ini?

Dikat akan budaya dan selama ini merujuk pada rentang waktu yang relatif tetapi mencakup kurun waktu yang dapat dikatakan panjang. Maksudnya, ketika seorang pejabat melakukan korupsi atau seorang akademisi melakukan plagiasi, maka hakikat tindakannya tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan, kebiasaan dan suasana pendidikan yang telah dialaminya, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Meminjam istilah Jerome Bruner (1996) suasana seperti ini disebut dengan folk psychology atau folk pedagogy , yaitu kondisi psikologis masyarakat yang berimplikasi terbentuknya kultur pendidikan dalam masyarakat tersebut.

Ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan diri dan tahan (sustain) atas segala bentuk godaan untuk melakukan korupsi, plagiasi, perjokian, jual-beli ijazah, dan perilaku-perilaku antagonis terhadap hakikat dan tujuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kultur pendidikan yang pernah dilaluinya. Sebagian kalangan ada yang berdalih bahwa kasus korupsi pejabat atau plagiasi akademisi merupakan kasus yang bersifat individual dan bukan produk kultur pendidikan. Sebagai manusia, siapapun bisa saja terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan. Alasan tersebut logis dan dapat diterima akal sehat, tetapi kasus nyontek massal dalam Ujian Nasional (UN) yang berulang kali terjadi dan secara massive melibatkan guru, kepala sekolah serta pejabat Dinas Pendidikan merupakan fakta bahwa kultur antagonisme terhadap hakikat pendidikan memang benar-benar telah dan sedang terjadi.

Program nasional sertifikasi guru dan dosen menjadi fenomena yang semakin menguatkan dugaan berlangsungnya budaya yang dalam istilah Sunaryo Kartadinata disebut kultur pendidikan yang sedang tidak sehat atau perilaku sakit yang tidak menguntungkan kehidupan b angsa. )stilah perilaku sakit sungguh tepat untuk menggambarkan perilaku oknum guru yang lebih memilih mengikuti berbagai seminar demi mendapatkan sertifikat ketimbang melaksanakan amanah mengajar di kelas. Bahkan, jika tidak sempat mengikuti seminarnya, sertifikat bisa didapatkan dengan cara membeli dari panitia seminar yang lazimnya melebihkan jumlah cetakan sertifikat untuk melayani permintaan dari partisipan- partisipan gaib tersebut.

Fenomena perilaku antagonisme pendidikan dalam program sertifikasi guru juga bisa dilihat dari ditemukannya sejumlah dokumen portofolio berupa ijazah, surat-surat keputusan dan sertifikat janggal adalah beberapa contohnya. Intinya, sertifikasi yang dirancang untuk merangsang peningkatan kinerja guru justru yang terjadi adalah sebaliknya. Pasca lulus sertifikasi, kinerja guru malah menurun.

Selanjutnya, kasus perjokian. Berita tentang tertangkapnya joki dalam ujian masuk perguruan tinggi terkemuka selalu muncul setiap tahunnya. Perjokian SNMPTN biasanya dilakukan oleh mahasiswa yang tentunya memiliki kemampuan unggul dan bukan mahasiswa biasa-biasa . Kadang-kadang perjokian dilakukan oleh nonmahasiswa, tetapi joki tersebut biasanya telah mengantongi jawaban soal yang dibocorkan oleh oknum panitia. Fenomena ini kian menguatkan terjadinya budaya pendidikan yang antagonis dengan hakikat pendidikan itu sendiri.

Gambaran mengenai perilaku tidak sehat dalam pendidikan tidak hanya muncul melalui indikator korupsi, plagiasi, perjokian, jual beli ijazah, dan menyontek massal saja. Tetapi, konsep CIBI (Ke-Cerdasan Istimewa dan Ke-Berbakatan Istimewa) dan RSBI yang tengah dikembangkan Kementerian Pendidikan dianggap akan menimbulkan ketidakseimbangan dan tidak memiliki dampak pembimbingan dan pengasuhan. Sunaryo Kartadinata (2012: 8) secara kritis menjelaskan bahwa program pendidikan akselerasi dalam kelas-kelas ekslusi telah semakin menjauhkan praktek pendidikan dari esensi ilmu dan hakikat pendidikan, tak terkecuali landasan-landasan normatif dalam UU No. 20/2003, dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri.

Kaitannya dengan CIBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 10) menjelaskan bahwa harus dihindari, terutama dalam usia muda, terjadinya gejala Cartesian Split yang menimbulkan ketidakseimbangan antara perkembangan fisik dengan intelektual. Sedangkan kaitannya dengan RSBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 12) menjelaskan bahwa secara filosofis mengingkari hakikat pendidikan dan manusia karena internasionalisasi pendidikan menjadi bersifat diskriminatif dan ekslusif.

Selain kasus-kasus di atas, sebenarnya ada beberapa fenomena lain yang layak dipertimbangankan sebagai perilaku antagonisme terhadap hakikat pendidikan. Fenomena pertama adalah acara istighotsah menjelang UN. Seluruh stakeholder sekolah dan siswa biasanya dilibatkan dalam acara ini. Memanjatkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan adalah perbuatan yang dibolehkan bahkan memang semestinya demikian. Tetapi, jika istilah dan acaranya menjadi istighotsah, maka antagonisme mulai dirasakan. Aromanya bisa tercium dari makna istighotsah itu sendiri. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi yang sangat luar biasa (extraordinary) akibat musibah sehingga seluruh anggota komunitas menjadi tidak berdaya sehingga perlu memohon pertolongan yang luar biasa kepada Yang Mahakuasa.

Pertanyaannya kemudian, apakah UN sudah menjadi kondisi darurat dan dianggap musibah yang harus disikapi dengan istighotsah? Sungguh sebuah ironi ketika UN yang bertujuan mulia untuk mendapatkan feedback dari proses pendidikan demi kondisi yang lebih baik dianggap sebagai musibah atau wabah yang membahayakan. Barangkali karena dipersepsi sebagai sesuatu yang membahayakan maka cara-cara curang dalam UN menjadi boleh dilakukan.

Fenomena kedua adalah program-program pendidikan yang disponsori oleh perusahaan rokok, seperti program beasiswa pendidikan, seminar, dan lain-lain. Jika dianalisa dari sudut pandang bantuannya semua akan sepakat atas kemanfaatannya. Tetapi jika direnungi secara mendalam, sebenarnya di dalamnya terdapat ironisme karena yang digunakan dari komoditi bisnis rokok sama sekali tidak memberi manfaat Fenomena kedua adalah program-program pendidikan yang disponsori oleh perusahaan rokok, seperti program beasiswa pendidikan, seminar, dan lain-lain. Jika dianalisa dari sudut pandang bantuannya semua akan sepakat atas kemanfaatannya. Tetapi jika direnungi secara mendalam, sebenarnya di dalamnya terdapat ironisme karena yang digunakan dari komoditi bisnis rokok sama sekali tidak memberi manfaat

Sumbangan rokok bagi pendapatan negara melalui cukainya diakui sangat yang tinggi. Setiap tahunnya, Kementerian Kesehatan mendapat dana bagi hasil cukai tembakau (DBH-CHT) sebesar 2% dari total penerimaan cukai tembakau. Faktanya, setiap tahun dana bagi hasil tersebut tidak sebanding dengan dampak negatif dari merokok. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mendapatkan bagi hasil sebesar 1,2 Triliyun Rupiah. Sebuah angka yang sangat besar. Tetapi, pada tahun yang sama, Kementerian Kesehatan harus mengeluarkan dana medis sebesar 18,5 Triliyun Rupiah untuk penyakit yang diakibatkan oleh rokok (www.indonesia.kontan.co.id, [Kamis, 28 Juli 2011]). Jadi, sebenarnya Pemerintah dan rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari rokok tersebut.

Selain kerugian dari bagi hasil cukai rokok tersebut, Pemerintah dan rakyat dihadapkan pada kerugiaan yang lebih besar lagi, baik secara fisik maupun psikologis. Kerugian yang dimaksud adalah bahwa melalui rokok ternyata menjadi gerbang masuk untuk datangnya bahaya-bahaya yang lebih besar dan dahsyat. Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok adalah langkah pertama untuk langkah-langkah penggunaan Napza berikutnya. Setelah rokok, biasanya diikuti dengan minum alkohol, lalu meningkat lagi dengan shabu, seks bebas dan pada akhirnya narkoba suntik (www.fkm.ui.ac.id, [12 November 2009]). Jika sudah bersentuhan dengan penyakit akibat penyalahgunaan narkotika dan HIV AIDS, maka biaya yang akan dikeluarkan Pemerintah akan sangat besar lagi, baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan.

Pemanfaatan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan rokok untuk program-program pendidikan seperti seminar, beasiswa pendidikan, dan olahraga dan kesenian sebenarnya hanya kamuplase belaka. Pemanfaatan dana dari perusahaan rokok dapat dianggap sebagai perilaku mengambil manfaat yang sedikit tetapi mengabaikan bahaya besar yang sedang mengancam di depan mata. Mengingat bahaya yang mengancam akibat konsumsi rokok, dunia pendidikan seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menjauhi rokok dan mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan untuk menekan produksi rokok pada tingkat yang serendah-rendahnya.

Kultur yang sedang sakit dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.

Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mind set dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik- administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mind set bahwa pembinaan Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mind set dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik- administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mind set bahwa pembinaan

Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertaqwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan.

Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan rongga resureksi atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian system manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK.

Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab.

Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya.

Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organo- biologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya. Maka layanan Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organo- biologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya. Maka layanan

Penelitian ini dirancang untuk mengembangkan budaya pendidikan melalui proses pembelajaran, di mana guru atau pendidik menggunakan pendekatan, model, strategi, dan teknik komunikasi interpersonal yang berbasis pada prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan peserta didik, guru berpotensi membangun kultur pendidikan yang sehat kemudian menularkannya kepada siswa, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja.

B. KERANGKA KONSEPTUAL

1. Pengertian Budaya Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses kebudayaan. Young Pai (1990:

37) menyatakan bahwa setiap kebudayaan selalu berusaha untuk mengabadikan dirinya sampai menyebarkan pemikiran (deliberate transmission) tentang apa saja yang dianggap bermanfaat, seperti pengetahuan (knowledge), keyakinan/ kepercayaan (belief), kecakapan/keterampilan (skills), perilaku (behaviors), dan sikap (attitudes).

Pernyataan yang sama juga disampaikan sejak lama oleh Edward B. Tylor

9 9 dalam karyanya Primitive Culture bahwa kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process),

dan visi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan. Theodore Brameld (1957) menyatakan bahwa keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, yaitu pengembangan nilai. (Ki Supriyoko, 2003: 1).

Keterkaitan yang erat antara kultur dengan pendidikan sebenarnya dapat lebih tergambar jika analisa dilakukan pada proses pembelajaran di sekolah. Sebab, persekolahan pada hakikatnya adalah wahana bagi setiap individu untuk belajar dengan kekhasan kultur masing-masing, baik dalam merespon dan mengekspresikan perasaan kepada teman dan guru serta dalam membangkitkan semangat atau membesarkan hati ketika mendapatkan kondisi yang tidak menyenangkan (unhappy). Proses inilah yang disebut dengan enculturative dalam proses pendidikan (Young Pai, 1990: 39).

Namun, ketika proses enculturative itu terjadi, pada saat yang sama juga terjadi proses acculturative yang disebabkan karena proses interaksi di sekolah telah mendorong terjadinya kontak antar individu. Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa dalam proses acculturative di sekolah akan mendorong suatu kultur untuk memodifikasi kulturnya ketika kontak dengan kultur yang dominan. Sebagai contoh, ketika perilaku antagonisme menjadi sangat dominan dalam interaksi di sekolah maka kultur minoritas akan terkikis (deficits) sehingga Namun, ketika proses enculturative itu terjadi, pada saat yang sama juga terjadi proses acculturative yang disebabkan karena proses interaksi di sekolah telah mendorong terjadinya kontak antar individu. Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa dalam proses acculturative di sekolah akan mendorong suatu kultur untuk memodifikasi kulturnya ketika kontak dengan kultur yang dominan. Sebagai contoh, ketika perilaku antagonisme menjadi sangat dominan dalam interaksi di sekolah maka kultur minoritas akan terkikis (deficits) sehingga

Jerome Bruner, 1996 (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012]) menjelaskan bahwa kultur pendidikan berkembang bersama tema-tema yang berkaitan dengan psikologi budaya yang berimplikasi langsung pada pendidikan. Psikologi budaya berhubungan dengan: (1) bagaimana individu menggunakan perasaan dan kesadaran terhadap dunia (lingkungan) di sekitarnya; dan (2) bagaimana individu mengikatkan diri dengan peran makna-makna (meaning) dalam sistem yang sudah berlaku tetap (establishment), dengan keyakinan-keyakinan (beliefs), nilai-nilai (values), dan simbol-simbol (symbols) budaya pada umumnya.

Keterkaitan antara psikologi, kultur, dan pendidikan memang sangat erat karena subjek kajian ketiga terminologi tersebut sama, yaitu manusia. Menurut Matsumoto & Juang (2008: 3), esensi dari psikologi memiliki dua tujuan, yaitu membangun tubuh pengetahuan (body of knowledge) melalui pemahaman perilaku manusia dan membangun tubuh pengetahuan dan cara menerapkan pengetahuan tersebut serta tentang bagaimana cara mengintervensi manusia dalam kehidupannya. Sedangkan kultur, Matsumoto & Juang (2008: 13) menjelaskan bahwa kultur adalah makna-makna dan informasi yang muncul dalam hubungan manusia dengan jaringan sosialnya. Jadi, berdasarkan pandangan Matsumoto & Juang (2008) tersebut, ilmu psikologi tidak mungkin ada jika manusia tidak berbudaya.

Jerome Bruner, 1996 (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html

Adapun kaitannya

dengan

pendidikan,

Februari 2012]) memandang bahwa segala upaya guru dalam pembelajaran selalu direfleksikan kepada asumsi-asumsi umum tentang perilaku manusia berdasarkan teori-teori tentang belajar dan berpikir. Merujuk pada pendangan Bruner tersebut, bahwa proses pendidikan akan berlangsung melalui pemanfaatan teori-teori tentang manusia dan perilakunya.

Pandangan guru tentang anak didiknya akan berimplikasi pada proses pembelajaran dan tujuan yang akan dicapai dari proses tersebut. Bruner (1996 ((http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html

Februari 2012]) menjelaskan bahwa jika siswa dipandang sebagai pembelajar imitasi (peniru) maka kelulusan dan kecakapan akan difokuskan pada pemberian contoh dan cara demonstartif. Jika siswa dipandang sebagai pembelajar ekspose didaktis maka siswa akan dibelajarkan untuk memperesentasikan fakta-fakta, prinsip-prinsip, mengingat, dan menerapkan.

Kemudian jika anak didik dipandang sebagai pembelajar pemikir, maka proses pembelajaran akan difokuskan pada pengembangan pertukaran pemahaman secara intersubjektif. Adapun jika anak didik dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan banyak maka penekanan proses pembelajarn akan diarahkan Kemudian jika anak didik dipandang sebagai pembelajar pemikir, maka proses pembelajaran akan difokuskan pada pengembangan pertukaran pemahaman secara intersubjektif. Adapun jika anak didik dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan banyak maka penekanan proses pembelajarn akan diarahkan

2. Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling

Selain memandu proses pembelajaran di kelas, guru juga berfungsi fungsi dan berperan sebagai pembimbing. Guru bukan hanya sebagai transformer ilmu dan pengetahuan saja tetapi lebih dari sekadar itu bahwa guru adalah transformer bagi segala tindak-tanduknya sendiri kepada siswa. Apa yang diyakininya akan diyakini juga oleh siswanya. Segala pernyataannya akan dikutip oleh siswa. Intinya, siswa akan menyerap apa saja yang ada dan ditampailkan oleh gurunya.

Dalam proses pembelajaran, guru akan bertemu dengan keunikan perilaku siswa dan segala kebutuhannya, baik fisik maupun psikologis. Siswa tidak hanya menuntut ilmu dan pengetahuan dari gurunya tetapi lebih dari sekadar itu bahwa siswa butuh perhatian dan perlakuan sebagai manusia. Pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling adalah proses pendidikan yang diselenggarakan atas dasar pemahaman tentang hakikat manusia yang memiliki keunikan dan membutuhkan perhatian dan perlakuan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan.

Cara pandang pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling akan berimplikasi pada penegasan guru sebagai elemen penting dalam proses pendidikan. Muro & Kottman (1995: 53) menegaskan bahwa guru merupakan elemen penting dalam implementasi program bimbingan secara komprehensif. Posisi guru di kelas sangat signifikan untuk: (1) mendorong siswa agar belajar dan mengembangkan diri secara positif; (2) membuka kebutuhan siswa terhadap pencapaian nilai individu yang lebih tinggi (3) melihat pentingnya self-image siswa secara positif, mengembangkan sikap respek, dan memahami perbedaan; (4) mengidentifikasi siswa berkebutuhan khusus; (5) menjadi penasihat kunci untuk membangkitkan harapan siswa; (6) memonitor prestasi akademik secara terbuka dengan orang tua; (7) melakukan referal kepada konselor jika masalah siswa berada di luar jangkauannya; dan (7) menemukan jalan bersama konselor untuk membantu siswa tanpa harus mengeluarkannya dari kelas.

Rochman Natawidjaja (Ahman, 1998: 24) mengidentifikasi peran guru sebagai pembimbing dalam interaksi pembelajaran di sekolah, antara lain: (1) perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri, (2) Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa, (3) Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan, (4) Pemahaman siswa secara empirik, (5) Penghargaan terhadap siswa sebagai individu, (6) Penampilan diri secara asli (genuine) di depan siswa, (7) Kekongkritan dalam menyatakan diri, (8) Penerimaan siswa secara apa adanya, (9) Perlakuan terhadap siswa secara terbuka, (10) Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan siswa untuk menyadari Rochman Natawidjaja (Ahman, 1998: 24) mengidentifikasi peran guru sebagai pembimbing dalam interaksi pembelajaran di sekolah, antara lain: (1) perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri, (2) Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa, (3) Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan, (4) Pemahaman siswa secara empirik, (5) Penghargaan terhadap siswa sebagai individu, (6) Penampilan diri secara asli (genuine) di depan siswa, (7) Kekongkritan dalam menyatakan diri, (8) Penerimaan siswa secara apa adanya, (9) Perlakuan terhadap siswa secara terbuka, (10) Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan siswa untuk menyadari

Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan siswa, baik guru mata pelajaran maupun guru kelas hendaknya memiliki kompetensi dalam mengimplementasikan model-model pembelajaran, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja. Joyce & Weil (1980: 9-20) mengelompokkan model-model tersebut ke dalam empat kategori, antara lain:

a. Model-model Pemrosesan Informasi (Information Processing Models) yang berkaitan

dengan upaya mengembangkan cara berpikir kognitif, mengembangkan konsep dan menajamkan memori.

b. Model-model Personal (Personal Models) yang bersentuhan dengan upaya membangun kesadaran, pemahaman, otonomi, konsep diri, kreativitas, pemecahan masalah, dan tanggung jawab.

c. Model-model Interaksi Sosial (Social Interaction Models) yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kemampuan partisipasi sosial, pemecahan masalah sosial, keterampilan interpersonal dan kelompok, menemukan nilai- nilai pribadi dalam nilai-nilai sosial, dan keterampilan membuat keputusan dalam interaksi sosial.

d. Model-model Perilaku (Behavioral Models) yang menyangkut upaya mengembangkan keterampilan: mengelola fakta dan konsep; kontrol diri; relaksasi personal; reduksi stress dalam situasi sosial; bersikap asertif, desentisasi, dan mempola perilaku.

e. Melalui penguasaan terhadap model-model pembelajaran tersebut, guru dan wali kelas diharapkan dapat mengembangkan suasana pembelajaran yang membantu, mengarahkan, dan memandu siswa sekolah dasar dalam mencapai optimalisasi tugas-tugas perkembangannya. Guru dan wali kelas jangan hanya menunggu siswa bermasalah untuk mendapatkan layanan bimbingan dan konseling. Tetapi, guru atau wali kelas harus secara proaktif mengidentifikasi kemampuan (achievement) siswanya dan memberikan pelayanan pembelajaran yang bernuansa bimbingan melalui model-model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangannya. Myrick (Muro & Kottman, 1995: 53) menegaskan bahwa tindakan demikian lebih menguntungkan bagi siswa.

C. ISU-ISU BUDAYA PENDIDIKAN

Kultur yang sedang sakit dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka

waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.

Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mind set dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik-administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mind set bahwa pembinaan kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transaksi guru dalam keragaman peserta didik.

Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertaqwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan.

Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19 disebut dengan rongga resureksi atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian system manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK.

Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab.

Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya.

Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia

D. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berusaha menemukan sosok guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan tersebut, penelitian dilakukan secara induktif dengan menggunakan pendekatan kualitatif namun menyisipkan sedikit pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, penelitian ini secara sengaja membentuk tahapan-tahapan yang membentuk piramida terbalik, mulai dari: (1) memilih situasi sosial, (2) melaksanakan observasi partisipan, (3) mencatat hasil observasi dan wawancara, (4) melakukan observasi deskriptif, (5) melalukan analisis domain, (6) melakukan analisis terfokus, (7) melaksanakan analisis taksonomi, (8) melakukan observasi terseleksi, (9) melakukan analisis komponensial, (10) melalukan analisis tema (11) temuan budaya, dan (12) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.

Penyisipan pendekatan kuantitatif dilakukan pada tahap memilih situasi sosial dan observasi partisipan. Tujuannya selain untuk menemukan situasi sosial yang tepat, penyisipan ini juga bertujuan untuk yang dapat menggambarkan perbandingan budaya pendidikan yang terjadi dalam situasi sosial tersebut. Cara ini dilandasi oleh pertanyan penelitian, apakah terdapat perbedaan budaya pendidikan antara sekolah yang menjadi target pencarian guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling?

2. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek penelitian didapatkan dari situasi sosial yang dipilih. Subjek penelitian adalah sosok guru mata pelajaran yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Sosok guru yang dimaksud adalah guru yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembangnya budaya pendidikan berdasarkan hasil pilihan siswa. Subjek penelitian ditemukan berdasarkan apresiasi dan pilihan siswa pada empat Sekolah Menengah Atas di empat kota di Jawa Barat, yaitu satu SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat, satu SMA Swasta di Kabupaten Garut, satu SMA Swasta di Kota Bandung, dan satu Madrasah Aliyah Swasta di Kabupeten Sukabumi.

Sebenarnya, dalam rencana awal, penelitian ini juga memasukkan beberapa sekolah yang berbasis kultur lokal tetapi memiliki keeratan kuat dengan budaya

nonlokal . Sekolah-sekolah yang ditargetkan tersebut, antara sekolah yang didirikan oleh etnis China dan India. Tetapi karena keterbatasan dalam beberapa

hal, akhirnya sekolah-sekolah tersebut tidak dapat diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain: (1) mengumpulkan data tentang apreasi siswa terhadap indikator-indikator perilaku guru yang berbasis bimbingan dan konseling melalui angket yang terdiri dari 20 butir pernyataan yang mewakili indikator berdasarkan teori Muro & Kottman dan Rochman Natawidjaja; (2) mengumpulkan data tentang gradasi cita-cita siswa sejak SD, SMP, dan SMA; (3) mengumpulkan data tentang makna hidup dan kabahagian hidup; (4) mengumpulkan data tentang orang yang paling berpengaruh dalam pencapai cita-cita dan pemakanaan hidup dan kebahagian; (5) mengumpulkan data tentang guru yang dianggap mendekati ciri-ciri yang sebagaimana tergambar dalam setiap pernyataan dalam angket; dan (6) mengumpulkan data kepada guru yang dipilih siswa berdasarkan tradisi penelitian kualitatif, baik wawancara, observasi, telaah dokumen, dan triangulasi.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data untuk kuantitatif dilakukan secara deskriptif dengan menganalisa pemusatan data, penyebaran data, serta kecenderungan gugus data. Lebih lanjut, untuk menganalisa adanya interaksi bersama dari semua indikator yang mencerminkan kecenderungan budaya pendidikan dalam perilaku guru dilakukan penghitungan melalui analisis faktorial melalui bantuan SPSS 16.

Adapun teknik analisis data kualitatif disesuaikan dengan tradisi penelitian kualitatif berdasarkan teori Miles dan Huberman (1984), antara lain: data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Dalam praktiknya, analisis data dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan melalui pendekatan Miles dan Huberman, namun dikombinasikan dengan pendekatan atau model Spradley selain memilih situasi sosial dan observasi partisipan, yaitu (1) mencatat hasil observasi dan wawancara, (2) melakukan observasi deskriptif, (3) melalukan analisis domain, (4) melakukan analisis terfokus, (5) melaksanakan analisis taksonomi, (6) melakukan observasi terseleksi, (7) melakukan analisis komponensial, (8) melakukan analisis tema (9) temuan budaya, dan (10) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data utama, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.

E. HASIL ANALISIS DATA

1. Analisis Data Kualitatif dalam Tahap Memilih Situasi Sosial dan Observasi Responden

Memilih situasi sosial dalam penelitian kualitatif ibarat mencari sampel dalam penelitian kuantitatif. Fenomena mengumpulkan ikan dalam satu kolam untuk dipilih ikan-ikan yang sesuai dengan yang dicari adalah analogi dari proses memilih situasi sosial tersebut. Dalam penelitian ini, pemilihan situasi sosial dilakukan berdasarkan hasil analisis profil sekolah melalui observasi, telaah dokumen (hardcopy maupun electronic document di internet), timbangan pakar, dan intuisi peneliti. Berdasarkan penelusuran dengan analisa-analisa tersebut, diperoleh situasi sosial di empat sekolah, antara lain: di SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat; di SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut; di SMA Plus Muthahhari Kota Bandung; dan di Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupeten Sukabumi.

Dipilihnya SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah untuk mewakili sekolah milik pemerintah yang berada di pusat kota Kecamatan Lembang yang dapat diakses, baik oleh siswa dari Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung Barat. Status kota kecamatan tersebut adalah sebagai kota kecamatan berbasis pertanian, peternakan, wisata dan pusat pelatihan sipil dan militer. Dengan status tersebut memungkinkan Kecamatan ini dihuni oleh penduduk dari beragam macam latar belakang, baik ekonomi maupun sosial. Selain itu, sebagai sekolah milik pemerintah, tentunya sekolah ini pasti diampu oleh guru-guru yang mayoritas berstatus PNS yang sudah mapan. Kondisi ini memungkinkan terjadi budaya pendidikan yang khas.

Kemudian, dipilihnya SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut adalah untuk mewakili sekolah swasta yang dikembangkan sejak puluhan tahun oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam Muhammadiyah yang dikenal memiliki idealisme dalam pendidikan dan dakwah Islam sejak zaman penjajahan. Sebagai salah satu ormas Islam tertua dengan jumlah anggota sudah mencapai angka jutaan di Indonesia, tentunya ormas tersebut telah mengembangkan pendekatan-pendekatan kultural dalam program-program pendidikannya sehingga berpotensi untuk memiliki budaya pendidikan yang khas. Di Kabupaten Garut sendiri, komunitas ormas Muhammadiyah telah dianggap sebagai basis yang paling kuat dibandingkan kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat.

Selanjutnya, dipilihnya SMA Plus Muthahhari Kota Bandung adalah untuk mewakili sekolah swasta yang berbasis agama dan memiliki afiliasi budaya antara Timur dan Barat. Maksudnya, walaupun sekolah ini berbasis lokal tetapi memiliki hubungan dengan kultur Timur yang diwakili oleh Iran dan kultur Barat yang diwakili Jerman. Selain diarahkan ke PT lokal, para lulusan SMA ini juga diarahkan untuk melanjutkan ke beberapa PT di Iran dan Jerman. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa Inggris plus bahasa Jerman dan bahasa Persi diberikan secara ekstra di sekolah ini. Orientasi ini tentu memunculkan kekhasan budaya pendidikan apalagi para siswa yang sekolah di SMA ini berasal dari daerah yang berbeda dan hampir dapat dikatakan mewakili seluruh suku yang ada di Nusantara ini.

Adapun, pemilihan salah satu Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupaten Sukabumi adalah untuk mewakili sekolah swasta lokal berbasis pesantren yang memiliki afiliasi budaya dengan Timur Tengah, yaitu Arab Saudi dan Kuwait. Hal ini dapat dianalisa dari penampilan fisik mayoritas guru dan karyawan laki-laki yang berjanggut serta berjubah dan mayoritas guru perempuan yang mengenakan jilbab lebar, panjang, dan bercadar. Afiliasi kultural ke Timur Tengah tersebut dapat diidentifikasi dari penguatan bahasa keseharian, yaitu bahasa Arab yang digunakan secara aktif. Lebih dari itu, beberapa bukti peresmian beberapa bangunan/gedung yang menyebut nama dari lembaga/yayasan yang memberikan bantuan dana atas pembangunan bangunan/gedung tersebut. Afiliasi budaya tersebut, tentunya akan memunculnya warna yang khas dalam kultur pendidikan yang dikembangkan di Madrasah Aliyah ini.

Untuk mengukur kuatnya atau tidaknya budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling yang dalam situasi sosial yang telah ditentukan, peneliti meminta siswa untuk menuliskan gradasi cita-cita sejak SD, SMP, dan SMA serta menuliskan siapa yang berpengaruh dalam mewujudkan cita-citanya pada saat sekarang ini. Cara ini dilakukan untuk menakar sejauhmana para siswa mengapresiasi pengaruh guru dalam pencapaian cita-citanya.

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil berdasarkan prosentasi 75% dari jenis cita-cita yang paling banyak disebutkan dan 75% dari orang yang berpengaruh sehingga disebut sebagai mayoritas. Analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel. 1 Analisa Cita-cita dan Orang yang Berpengaruh

ORANG SEKOLAH

GRADASI CITA-CITA

BERPENGARUH SMAN 1 Lembang

1. Orang Tua Kab. Bandung

Mayoritas

Teman (bisa Barat

2. Mayoritas

Sebagian

berubah ke

arah pekerjaan teman siswa bercita- SMA

berubah,

sesuai jurusan dekat/pacar) cita untuk Muhammadiyah

sebagian tidak

Guru Kab. Garut

yang diambil 3. menjadi orang

berubah.

namun dalam seperti yang

Perubahan

makna bekerja dikenal dalam SMA Plus

bukan pada

mendapatkan aktivitas orang Muthahhari Kota

makna cita-cita

tetapi berubah

uang dan

yang Bandung

kedudukan di menghasilkan

jenis.

masyarakat

1. dan terkenal,

Guru seperti: pilot,

banyak uang

Cita-cita

Mayoritas

2. Orang Tua MA Al-Matuq

setengah dari

siswa

menegaskan Kab. Sukabumi

presiden,

mayoritas

cita-cita untuk dokter, dll

berubah ke arah

yang berbau

jadi guru atau

transendental

dai

Berdasarkan Tabel.1 di atas, dapat dipahami bahwa cita-cita siswa dalam perkembangannya mengalami gradasi, terutama dari SMP ke SMA. Berdasarkan analisis cita-cita saat ini di bangku SMA, terlihat tidak ada perbedaan mencolok antara siswa di tiga sekolah, yaitu SMAN 1 Lembang KBB, SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut, dan SMA Plus Muthahhari Kota Bandung, baik dalam gradasi cita- cita maupun orang yang berpengaruh dalam cita-cita, yaitu menempatkan orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh, selanjutnya teman (bisa berarti teman biasa atau bisa juga teman special alias pacar), dan pada peringkat ketiga adalah guru. Fenomena ini berbeda secara kontras dengan di MA Al-Matuq Kabupaten Sukabumi. Para siswa di sekolah ini, mayoritas ingin menjadi guru atau dai, dan menempatkan guru sebagai orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita.

Selain menganalisis gradasi cita-cita dengan orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita, dalam tahap penguatan pemilihan situasi sosial dan observasi partisipan, peneliti juga menganalisa pandangan/persepsi siswa tentang makna hidup dan kebahagiaan dengan orang yang berpengaruh dalam makna hidup dan kebahagiaan. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel. 2 Analisis Makna Hidup dan Kebahagiaan dan Orang yang Berpengaruh

MAKNA KEBAHAGIAAN ORANG YANG SEKOLAH BERPENGARUH

MAKNA HIDUP

1. Hidup anugerah

1. Bahagia bisa membuat

1. Orang tua

2. Hidup perjuangan

orang lain bahagia,

2. Teman

3. Hidup pilihan

terutama orang tua

3. Guru

4. Publik Figur SMAN 1 Lembang

4. Hidup sandiwara

2. Keinginan tercapai

(Artis, Ketua Kab. Bandung

5. Hidup mengejar

dengan sukses

Geng, Atlet) Barat

keinginan

3. Ketika bersama orang

6. Hidup Ibadah

yang disayangi

(pengabidan pada

4. Ketika bebas

Tuhan)

5. Dapat menjalankan perintah Tuhan

1. Hidup anugerah

1. Bahagia bisa membuat

1. Orang tua

2. Hidup perjuangan

orang lain bahagia,

2. Teman

3. Guru SMA

3. Hidup pilihan

terutama orang tua

4. Publik Figur Muhammadiyah

4. Hidup sandiwara

2. Ketika bersama orang

(Artis) Kab. Garut

5. Hidup mengejar

yang disayangi

keinginan

3. Dapat menjalankan

6. Hidup Ibadah

perintah Tuhan

(pengabidan pada Tuhan)

1. Hidup anugerah

1. Bahagia bisa membuat

1. Orang tua

2. Hidup perjuangan

orang lain bahagia,

2. Teman

3. Hidup pilihan

terutama orang tua

3. Guru

4. Hidup sandiwara

Dapat menjalankan