PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL S (1)

ISSN 0215 - 8250

1

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL
SISWA`SMA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
“PROBLEM BASED LEARNING” DAN “CYCLE LEARNING”
DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
oleh
I Wayan Sadia
Jurusan Pendidikan Fisika
Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha
ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap profil kemampuan
berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta mengkaji dua
model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan mampu
menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model
pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran berbasis masalah
(Problem Based Learning) dan model siklus belajar (Learning Cycle
Model). Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan
rancangan ”Nonrandomized Pretest-Posttest Kontrol Group Design” yang

dilakukan di SMAN 1 Singaraja yang merupakan sekolah nasional
berstandar internasional (SNBI) dan SMAN 1 Seririt yang merupakan
sekolah standar nasional (SSN). Pada tiap-tiap sekolah dilibatkan satu kelas
sebagai kelas eksperimen I dengan perlakuan problem based learning
(PBL), satu kelas sebagai kelas eksperimen II dengan perlakuan learning
cycle model (LCM), dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang diajar
dengan model pembelajaran konvensional (MPK). Data tentang profil
kemampuan berpikir formal dianalisis dengan statistik deskriptif,
sedangkan keunggulan komparatif model PBL dan LCM terhadap MPK
dianalisis dengan teknik analisis varian. Hasil analisis data menunjukkan,
bhawa (1) Secara umum dengan tidak memandang perlakuan (treatment)
dan level sekolah, ternyata sebagian besar (83,82%) siswa SMA kelas I di
Kabupaten Buleleng kemampuan berpikir formalnya berada pada
kualifikasi sedang, dan hanya 13,44% berkualifikasi tinggi dan bahkan
masih terdapat 2,74% siswa yang kemampuan berpikir formalnya
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

2


berkualifikasi rendah; (2) Model PBL/LCM ternyata efektif dalam
mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa; dan (3) Model PBL
lebih baik daripada LCM dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada
MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini maka disarankan kepada para
guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk menggunakan model PBL
atau model LCM dalam proses pembelajaran guna meningkatkan
kemampuan berpikir formal siswa.
Kata kunci : berpikir formal, PBL, LCM
ABSTRACT
This research aimed at revealing the profile of formal thinking
ability of senior high school student’s at Buleleng regency and at analyzing
two inovative teaching and learning models which are predicted to develop
students’ formal thinking ability. This quasi experimental research using
nonrandomized pretest-posttest Kontrol group design was conducted at
SMAN1 Singaraja, an international standardized school, and SMAN 1
Seririt a national standardized school. In each school one class was
involved as the first experimental group using problem based learning
(PBL), another class as the second experimental group using learning cycle

model (LCM), and one class as the Kontrol group using conventional
model. The data of formal thinking ability was analyzed using descriptive
statistic, while the comparative advantage of PBL and LCM to conventional
model was analyzed using variance analysis technique. The results of the
data analysis showed that: 1) In general with out considering the treatment
and school level, most (83,82%) of first class senior high school students at
Buleleng regency in term of their formal thinking ability were clasified on
medium qualification, 13,44% on high qualification, and 2,74% on low
qualification; 2) The model of PBL and LCM were efective in developing
student’s formal thinking ability; and 3) The PBL was more efective than
LCM and conventional model, and the LCM was more efective than
conventional model in developing student’s formal thinking ability. Based
on the research finding it was suggested to physics teachers and other
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

3

teachers to use PBL and LCM in teaching and learning process in their

effort to developing student’s formal thinking ability.
Key words : formal thinking, PBL, LCM.

1. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan IPTEKS dan tekanan globalisasi dewasa ini
telah menyebabkan terjadinya akselerasi perubahan nilai-nilai sosial, yang
membawa dampak positif dan negatif terhadap pertumbuhan bangsa kita,
termasuk sistem pendidikan kita. Dampak positifnya adalah terjadinya
percepatan dan peningkatan pola berpikir dalam berbagai bidang dan
perubahan pola hidup yang lebih efisien dan pragmatis. Sedangkan dampak
negatifnya adalah adanya kesulitan masyarakat dalam memahami dan
mencerna perkembangan yang demikian pesatnya di berbagai bidang dan
terbenturnya berbagai kecenderungan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Konsekuensinya adalah bahwa dalam pengembangan SDM kita harus
bersifat realistik, karena globalisasi menjadi tantangan yang terkait dengan
daya saing dan prakarsa. Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh
kompetisi-kompetisi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi
terletak pada kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi,
keakuratan dalam pengambilan keputusan, dan tindakan yang proaktif
dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Dalam hubungan dengan

permasalahan pengembangan SDM, maka kemampuan berpikir formal
siswa yang mencakup kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan
berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan
berpikir reflektif perlu dijadikan sebagai substansi yang harus digarap

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

4

secara serius dalam dunia pendidikan pada jenjang pendidikan menengah
atas.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengungkap profil
kemampuan berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta
mengkaji dua model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan akan
mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model
pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran berbasis
masalah (Problem Based Learning) dan model siklus belar (Learning Cycle
Model). Model siklus belajar hipotetik-deduktif akan memberi wahana bagi

siswa untuk mengembangkan pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti
pengendalian variabel, penalaran korelasional, dan penalaran-penalaran
hipotetik-deduktif melalui tiga tahapan pembelajaran yaitu eksplorasi,
pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Sedangkan model pembelajaran
berbasis masalah akan memberi wahana bagi tumbuh dan berkembangnya
keterampilan pemecahan masalah berdasarkan pola-pola penalaran yang
rasional, analitis, sintesis, dan reflektif. Di samping itu model pembelajaran
berbasis masalah juga memberi peluang kepada siswa untuk
mengembangkan keterampilan berpikir hipotetik, berpikir kombinatorial,
berpikir divergen, serta latihan metakognisi.
Model siklus belajar (learning cycle model) merupakan suatu
strategi pembelajaran yang berbasis pada paham konstruktivisme dalam
belajar, dengan asumsi dasar bahwa “pengetahuan dibangun di dalam
pikiran pebelajar” (Bodner, 1986). Dasar pemikiran para konstruktivis
adalah bahwa proses pembelajaran yang efektif menghendaki agar guru
mengetahui bagaimana para siswa memandang fakta dan fenomena yang
menjadi subjek pembelajaran. Proses pembelajaran harus dikembangkan
dari gagasan yang telah ada pada diri siswa (prior knowledge) melalui
langkah-langkah intermediasi dan berakhir pada gagasan baru yang telah
mengalami modifikasi.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

5

Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase
aktivitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam
memahami gejala – gejala alam yang konpleks melalui pengalaman
langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh
kesempatan
untuk
memberi
penjelasan
dan
mengemukakan
argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya
(Ramsey, 1993). Fase – fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar
adalah (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi
konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya

dalam suatu situasi baru. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen
dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala – gejala yang
diobservasi dalam fase eksplorasi diharapkan memunculkan pertanyaan –
pertanyaan bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan
prior knowladge atau prakonsepsi mereka. Pada fase pengenalan konsep,
para siswa didorong untuk mendiskusikan temuan – temuan dalam fase
eksplorasi. Melalui fase ini para siswa diharapkan membangun struktur
mental baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase aplikasi
para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan konsepsi barunya dalam
situasi yang baru. Fase aplikasi merupakan wahana untuk memperkaya dan
memperkuat struktur kognitifnya.
Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur
pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dan menggunakan
instruktur sebagai pelatih metakognitif. Prosedur Problem Based Learning,
setting awalnya adalah penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai
setelah siswa dikonfrontasikan dengan struktur masalah riil, sehingga
dengan cara itu siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari
materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan
mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan
tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Masalah yang

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

6

disajikan juga hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun
prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui problem
based learning para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu
proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui,
mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi,
dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data
yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan guru lebih berperan sebagai tutor
dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam
mengambil kesimpulan.
Savoi & Andrew (1994), mengemukakan enam tahapan proses
pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut, (1) mulai dengan penyajian
masalah; (2) masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah
riil); (3) organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; (4)
memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan

pembelajarannya sendiri; (5) menggunakan kelompok-kelompok kecil
dalam proses pembelajaran; dan (6) menuntut siswa untuk menampilkan
apa yang telah mereka pelajari.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang
program pembelajaran problem based learning sehingga proses
pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada siswa (studentcentered) adalah sebagai berikut. (1) Fokuskan permasalahan (problem)
sekitar pembelajaran konsep-konsep sains yang esensial dan strategis. (2)
Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya
melalui eksperiment atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data
yang diperlukan untuk memecahlkan masalah yang dihadapinya. (3)
Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka
miliki, yang merupakan proses latihan metakognisi. (4) Berikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk mempresentasikan solusi-solusi
yang mereka kemukakan. Penyajiannya dapat dilakukan dalam bentuk
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

7


seminar atau publikasi (jurnal ilmiah) atau dalam bentuk penyajian poster
(Gallagher & Stepien, 1995).
Implementasi strategi pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam
perbaikan
proses
belajar-mengajar,
khususnya
dalam
menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa, baik dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir
hipotetik-deduktif,
berpikir
proporsional, berpikir kombinatorial, maupun dalam meningkatkan
kemampuan berpikir reflektif.
2. Metode Penelitian
2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan
rancangan “Nonrandomized Pretest-Posttest Kontrol Group Design” .
Dalam hal ini digunakan dua kelompok eksperimen dan satu kelompok
Kontrol. Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut (Isaac
Stephen & Michael William B.; 1971)
Kelompok Eksperimen I
T1
Xa
T2
Kelompok Eksperimen II
T1
Xb
T2
Kelompok Kontrol
T1
T2
Keterangan: T1 = pre-test kemampuan berpikir formal
T2 = post-test kemampuan berpikir formal
Xa = model pembelajaran “ Problem based learning”
Xb = model pembelajaran “ Learning cycle model”
2.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I SMA Negeri di
Kabupaten Buleleng. Sebagai sampel penelitiannya adalah 217 orang siswa
kelas I SMA Negeri yang terdiri atas dua kelompok eksperimen I, dua
kelompok eksperimen II, dan dua kelompok kontrol. Pengambilan sampel
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

8

dari populasi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, dilakukan
pengambilan sampel sekolah dengan teknik cluster random sampling. Pada
tahap kedua, pengambilan sampel kelas dilakukan dengan teknik simple
random sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka
sebaran sampel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 01 berikut.
Tabel 01: Sebaran Sampel Penelitian
No.

Nama Sekolah

Kelompok

Kelas

1

SMA Negeri 1 Singaraja
(Sekolah Standar
Nasional)
SMA Negeri 1 Seririt
(Sekolah Berpotensi)

Eksperimen I
Eksperimen II
Kontrol

X2
X4
X3

Eksperimen I
Eksperimen II
Kontrol

X5
X4
X3

2

Jumlah

Jumlah
Siswa
35
35
35
36
38
38
217

2.3 Variabel (Objek) Penelitian
Variabel bebas penelitian eksperimental ini adalah perlakuan
(treatmen) yang dikenakan pada kelompok eksperimen, yaitu model
pembelajaran problem based learning (PBL) dikenakan pada kelompok
eksperimen I, model pembelajaran learning cycle model (LCM) dikenakan
pada kelompok eksperimen II, dan model pembelajaran konvensional
(MPK) dikenakan pada kelompok kontrol. Variabel terikatnya adalah efek
dari perlakuan yaitu kemampuan berpikir formal (KBF)
2.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini terdapat lima instrumen, yaitu (1) Instrumen
perlakuan untuk kelompok eksperimen I berupa program pembelajaran
Fisika kelas I yang dirancang berdasarkan model pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning); (2) Instrumen perlakuan untuk
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

9

kelompok eksperimen II berupa program pembelajaran berdasarkan model
siklus belajar (learning cycle model); (3) Instrumen perlakuan untuk
kelompok kontrol berupa program pembelajaran berdasarkan model
konvensional; (4) Tes kemampuan berpikir formal, yang disusun
berdasarkan empat indikator berpikir formal yaitu kemampuan berpikir
hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir
kombinatorik, dan kemampuan berpikir reflektif. Tes kemampuan berpikir
formal ini merupakan modifikasi tes yang dikembangkan oleh Robert B.
Sund (1976).
2.5 Teknik Analisis Data
Data tentang profil kemampuan berpikir formal siswa akan
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang penyimpulannya
didasarkan atas skor rerata (mean) dan simpangan baku. Kemampuan
berpikir formal (KBF) siswa dikelompokkan ke dalam tiga jenjang
kualifikasi yaitu tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan pedoman
konversi skor seperti tabel 02 berikut.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

10

Tabel 02 : Pedoman Konversi Kualifikasi KBF
No.
1
2
3

Interval Skor
> Mi + si
(Mi – 0,5 si) ----- (Mi + 1,5 si)
< Mi – 0,5 si

Kualifikasi
Tinggi
Sedang
Rendah

Data tentang perbedaan peningkatan kemampuan berpikir formal
antara kelompok siswa yang belajar Fisika melalui model problem based
learning, learning cycle, dan model pembelajaran konvensional, akan
dianalisis dengan statistik analisis varian (anova) dengan menggunakan
program SPSS.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
3.1.1 Profil kemampuan berpikir formal
Kemampuan berpikir formal siswa diukur melalui tes objektif
dengan jumlah butir 30. Setiap butir yang dijawab benar diberi skor 1 dan
yang dijawab salah diberi skor 0. Dengan demikian, rentangan skor
idealnya adalah antara 0 sampai 30. Rerata (mean) idealnya adalah 15 dan
simpangan baku idealnya adalah 5. Dengan menggunakan pedoman
konversi kualifikasi kemampuan berpikir formal yang telah diuraikan pada
bagian teknik analisis data, maka jika skor yang dicapai siswa lebih besar
dari 22,5 kemampuan berpikir formalnya dikategorikan berkualifikasi
tinggi. Jika skornya antara 12,5 sampai 22,5 dinyatakan dengan kualifikasi
sedang, dan jika skornya lebih kecil dari 12,5 maka dikategorikan
berkualifikasi rendah.
Pada tabel 03 berikut akan disajikan rangkuman hasil analisis data
tentang profil kemampuan berpikir formal siswa dalam bentuk persentase
untuk tiap-tiap kelompok perlakuan dan kualifikasinya masing-masing.
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

11

Tabel 03 : Profil Kemampuan Berpikir Formal
No.

Model-Level

1
2
3
4
5
6

A1B1 (n = 35)
A1B2 (n = 36)
A1 ( n = 71)
A2B1 (n = 35)
A2B2 (n = 38)
A2 (n = 73)

7
8
9

A3B1 ( n = 35)
A3B2 (n = 38)
A3 (n = 73)

Persentase tiap-tiap kualifikasi
Tinggi (%)
Sedang (%)
Rendah (%)
22,86
27,14
0,00
19,44
80,56
0,00
21,13
78,87
0,00
14,29
85,71
0,00
18,42
81,58
0,00
16,45
83,55
0,00
5,71
0,00
2,74

Keterangan:
A1 = Kelompok PBL
A1B1 = Kelompok PBL, sekolah level 1
A1B2 = Kelompok PBL, sekolah level 2
A2

= Kelompok LCM

88,58
89,47
89,04

5,71
10,53
8,22

A2B2 = Kelompok LCM,
sekolah level 2
A3 = Kelompok MPK
A3B1 = Kelompok MPK,
sekolah level 1
A3B2 = Kelompok MPK,
sekolah level 2

A2B1 = Kelompok LCM, sekolah level 1
Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tercantum pada tabel 03
berikut, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Secara umum
dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui
model pembelajaran PBL (A1) sebagian besar (78,87%) siswa kemampuan
berpikir formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian lagi (21,13%)
berkualifikasi tinggi, dan tidak ada yang berkualifikasi rendah. (2) Jika
ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

12

Fisika melalui PBL (A1B1), 22,86% siswa kemampuan berpikir formalnya
berkualifikasi tinggi dan 77,14% siswa berkualifikasi sedang. Siswa pada
sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui PBL (A 1B2), 19,44%
kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi tinggi dan (80,56%)
berkualifikasi sedang serta tidak terdapat siswa yang kualifikasi
kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (3) Secara umum
dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui
model pembelajaran LCM (A2) sebagian besar (83,55%) siswa kemampuan
berpikir formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian lagi (16,45%)
berkualifikasi tinggi, dan tidak ada yang berkualifikasi rendah. (4) Jika
ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar
Fisika melalui LCM (A2B1), ternyata 14,29% siswa kemampuan berpikir
formalnya berkualifikasi tinggi, dan 85,71% berkualifikasi sedang. Siswa
pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui LCM (A 2B2),
ternyata 18,42% siswa kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi
tinggi, dan (81,58%) berkualifikasi sedang, serta tidak terdapat siswa yang
kualifikasi kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (5) Secara
umum dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika
melalui model MPK (A3) sebagian besar (89,04%) siswa kemampuan
berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 8,22%) berkualifikasi rendah, dan
hanya 2,74% yang berkualifikasi tinggi. (6) Jika ditinjau dari level sekolah,
siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar Fisika melalui MPK (A3B1),
sebagian besar (88,58%) siswa kemampuan berpikir formalnya
berkualifikasi sedang, 5,71% berkualifikasi rendah dan 5,71%
berkualifikasi tinggi. Siswa pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika
melalui MPK(A3B2), sebagian besar (89,47%) kemampuan berpikir
formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian (10,53%) berkualifikasi
rendah, dan tidak terdapat siswa yang kualifikasi kemampuan berpikir
formalnya berkategori tinggi.
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

13

3.1.2 Pengujian Hipotesis
Untuk menjawab pertanyaan seberapa efektif model pembelajaran
berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM) dalam
meningkatkan kemampuan berpikir formal, serta untuk menguji
keunggulan komparatif PBL dan LCM terhadap model pembelajaran
konvensional (MPK), maka dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan
analisis statistik Anova dua jalur.
Hipotesis alternatif (Ha), ”Terdapat perbedaan yang signifikan antara
kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui model
pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM), dan
model pembelajaran konvensional (MPK)”. Atau dinyatakan dalam
hipotesis nol (H0) ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui model
pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM), dan
model pembelajaran konvensional (MPK)” . Hipotesis nol (H 0) ini diuji
dengan teknik analisis varian melalui uji-F.
Berikut pada tabel 04 dan 05 akan disajikan hasil analisis statistik
deskriptif dan hasil analisis varians, untuk digunakan sebagai pengambilan
kesimpulan dalam uji hipotesis.
Tabel 04 : Rangkuman Hasil Analisis Statistik Deskriptif
Model
Level
PBL
1
2
Total
LCM 1
2
Total

Mean

Simpangan Baku

N

21,0286
20,5556
20,7887
20,1429
19,1053
19,6027

2,1759
2,1573
2,1641
2,5798
3,0738
2,6759

35
36
71
35
38
73

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250
PMK

Total

1
2
Total
1
2
Total

14
18,2857
17,8421
18,0548
19,8190
19,1429
19,4700

2,7070
3,5832
3,1793
2,7273
3,1818
2,9830

35
38
73
105
112
217

Tabel 05 : Rangkuman Hasil Analisis Varians
Source
Corrected Model
Intercept
Model
Level
Model * Level
Error
Total
Corrected Total

Type III Sum
of Squares
298,135a
82346,239
269,855
22,989
4,069
1623,920
84183,000
1922,055

df
5
1
2
1
2
211
217
216

Mean
Square
59,627
82346,239
134,928
22,989
2,034
7,696

F

Sig.

7,747
10699,450
17,531
2,987
0,264

0,000
0,000
0,000
0,085
0,768

Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dan hasil analisis
varian, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Hipotesis nol
(H0) yang menyatakan bahwa ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL,
LCM, dan MPK” ditolak (F = 17,531; p < 0,05). Dengan lain perkataan,
”Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir formal
siswa SMA yang belajar Fisika melalui PBL, LCM, dan MPK”. (2)
Kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL(mean =
20,7887) lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang
belajar Fisika melalui LCM (mean = 19,6027) dan lebih baik daripada
kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean
= 18,0548). (3) Untuk sekolah level-1 (SNBI), kemampuan berpikir
formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL(mean = 21,0286) lebih baik
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

15

daripada kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui
LCM (mean = 20,1429) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir
formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean = 18,2857). (4)
Untuk sekolah level-2 (SSN), kemampuan berpikir formal siswa yang
belajar Fisika melalui PBL(mean = 20,5556) lebih baik daripada
kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui LCM (mean
= 19,1053) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang
belajar Fisika melalui MPK (mean = 17,8421). (5) Tidak terdapat interaksi
yang signifikan antara model pembelajaran dengan level sekolah (F =
0,264; p > 0,05). Artinya, penerapan PBL dan LCM dalam mengembangkan
kemampuan berpikir formal siswa tidak dipengaruhi oleh level sekolah.
3.2 Pembahasan
Dengan tidak memperhatikan perlakuan (treatment) dan level
sekolah, hasil tes kemampuan berpikir formal terhadap 217 orang siswa
SMA kelas X di Kabupaten Buleleng, menunjukkan bahwa sebagian besar
(83,82%) siswa kemampuan berpikir formalnya berada pada kualifikasi
sedang, dan hanya 13,44% yang berkualifikasi tinggi dan bahkan masih
terdapat 2,74% yang berkualifikasi rendah. Secara teoretik, berdasarkan
teori Piaget, semestinya siswa SMA kelas I dengan rentangan umur antara
14 sampai 16 tahun kemampuan berpikir formalnya sudah berada pada
kualifikasi tinggi, jika kelima faktor penentu perkembangan intelektual
siswa, yaitu (1) kedewasaan, (2) pengalaman fisik, (3) pengalaman logiko
matematik, (4) transmisi sosial, dan (5) pengaturan-diri berinteraksi dan
berkontribusi secara optimal dalam pengembangan intelektual anak.
Tampaknya teori Piaget tentang perkembangan intelektual anak bahwa anak
yang telah berusia 11 tahun ke atas sudah mencapai operasi formal kurang
sesuai dengan kondisi anak di Kabupaten Buleleng.
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

16

Gambaran tentang profil kemampuan berpikir formal seperti yang
disajikan pada tabel 03 menunjukkan bahwa PBL lebih efektif daripada
LCM dan jauh lebih efktif daripada MPK serta model LCM lebih efektif
daripada MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa.
Proses pembelajaran Fisika yang diawali dengan penyajian masalah dan
dilanjutkan dengan analisis masalah oleh siswa dalam kelompok-kelompok
kecil sampai pada penemuan konsep, ataupun prinsip Fisika untuk
memecahkan masalah merupakan wahana yang sangat baik dalam
mengasah dan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, termasuk
kemampuan berpikir formal. Di sisi lain, pembelajaran Fisika dengan
model LCM yang kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen
memberi peluang yang banyak kepada siswa untuk merancang eksperimen,
mengendalikan variabel, merumuskan hipotesis, menganalisis data, dan
mengambil kesimpulan melalui proses induktif. Peluang-peluang tersebut
juga ada pada model PBL. Jika proses pembelajaran berlangsung melalui
model konvensional (ekspositori), kesempatan siswa untuk mengasah dan
melatih kemampuan penalaran formalnya sangat rendah. Kondisi itulah
yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara model PBL dan
LCM dengan model konvensional (MPK) dalam pengembangan
kemampuan berpikir formal siswa.
Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi
antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan
kemampuan berpikir formal siswa. Artinya, efektivitas model pembelajaran
PBL maupun LCM dalam peningkatan kemampuan berpikir formal tidak
dipengaruhi oleh level sekolah. PBL dapat diterapkan pada semua level
sekolah baik itu sekolah yang berstatus SNBI, maupun SSN.
4. Penutup
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

17

Berdasarkan perasalahan, tujuan penelitian, dan hasil analisis data,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, secara umum
dengan tidak memandang perlakuan (treatment) dan level sekolah, ternyata
sebagian besar (83,82%) siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng
kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 13,44%
berkualifikasi tinggi, dan 2,74% berkualifikasi rendah. Kedua, model
pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM)
ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal
siswa. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara model
pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM) dan
model pembelajaran konvensional (MPK) dalam mengembangkan
kemampuan berpikir formal siswa. Model PBL lebih baik daripada LCM
dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada MPK. Hal ini terbukti dari
hasil uji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis varian dimana F =
17,531 (p < 0,05). Keempat, tidak terjadi interaksi antara model
pembelajaran dan level sekolah dalam pengembangan kemampuan berpikir
formal, dalam arti bahwa efektivitas PBL maupun LCM dalam
pengembangan berpikir formal tidak dipengaruhi oleh level sekolah, apakah
SMA berstatus SNBI maupun SSN.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini maka dikemukan saransaran berikut. Pertama, bertolak dari temuan penelitian tentang profil
kemampuan berpikir formal siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng,
yang menunjukkan bahwa sebagian besar (83,82%) siswa kemampuan
berpikir formalnya masih berada pada kualifikasi sedang dan hanya 13,44%
siswa yang berkualifikasi tinggi, dan bahkan masih terdapat 2,74% siswa
yang kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi rendah, maka
disarankan kepada semua guru agar berupaya untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan model-model pembelajaran yang inovatif yang
mampu meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa. Kedua, model
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

18

pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM)
ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal
siswa, dan juga bahwa model PBL lebih baik daripada model LCM dan
MPK, serta model LCM lebih baik daripada MPK dalam meningkatkan
kemampuan berpikir formal dan pemahaman konsep Fisika, maka
disarankan kepada para guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk
menggunakan model PBL atau model LCM dalam proses pembelajaran
guna meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Barrows, Howard S. 1996. Problem-Based Learning in Medicine and
Beyond. New Direction for Teaching and Learning. Jossey-Bass
Publishers.
Bodner, George M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge.
Journal of Chemical Education, Vol.63.
Brooks J.G & Martin G.B. 1993. In Search of Anderstanding; The Case for
Contructivist Classroom. Alexandria Virginia.
Dantes, dkk. 1994. Pengaruh Bakat Diferensial Matematika, Kemampuan
Awal dan Intelgensi Terhadap Kesanggupan Berpikir Formal dalam
Kaitannya dengan Prestasi Belajar Matematika. Laporan Penelitian
STKIP Singaraja.
Driver, Rosalind. 1988. Changing Conceptions. Centre for Studies in
Science and Mathematics Education, University of Leeds.
Eka Wilantara, I Putu. 2003. Implementasi Model Belajar Konstruktivis
dalam Pembelajaran Fisika untuk Mengubah Miskonsepsi Ditinjau
dari Penalaran Formal Siswa. Thesis Program Pascasarjana IKIP
Negeri Singaraja
Flavell, J.H. 1963. The Developmental Psychology of Jean Piaget.
Princeton: N.J. van Nostrand
____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

ISSN 0215 - 8250

19

Fosnot, Caterine Twomey 1989. Equiring Teachers Equiring Learners.
A Construvitist Approach for Teaching. New York: Teachers College
Press.
Gallagher, Shelagh A & Stepien, William J. 1995. Implementing ProblemBased Learning in Science Classroom. School Science and
Mathematics
Isaac Stephen & Michael William B. 1971. HandBook in Research and
Evaluation. San Diego, California: Robert R. Knapp Publisher.
Ratna Wilis Dahar 1989. Teori-Teori Belajar.Jakarta: Penerbit Erlangga
Sadia.

1996. Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam
Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi
Program Pascasarjana IKIP Bandung

Savoie J.M. & Andrew S.H. 1994. Problem-Based Learning as Classroom
Solotion.
Educational Leadership
Savery, John R & Duffy, Thomas M. Problem Based Learning: An
Instructional Model and Its Contructivist Framework.
Sund, Robert B. 1976. Piaget for Educator. Ohio: A Bell and Howell.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007