PROGRAM EXPERIENTIAL BASED GROUP COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN MULTIBUDAYA CALON KONSELOR.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... ... xii

DAFTAR SKEMA... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian... 17

C. Tujuan Penelitian... 20

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian……... E. Asumsi Penelitian……….. 21 23 F. Hipotesis Penelitian…... 24

BAB II : PROGRAM EXPERIENTIAL BASED GROUP COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN MULTIBUDAYA……… 25

A. Kepekaan Multibudaya dalam Layanan Konseling ... 25

B. Konsep Experiential Based Group Counseling... 50

C. Rasional Experiential Based Group Counseling dalam Layanan Bimbingan dan Konseling... 75

D. Tahap-tahap Dinamika Kelompok dalam Experiential Based Group Counseling………. 77


(2)

A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian... 85

B. Populasi dan Sampel……… 90

C. Definisi Operasional Variabel ... 91

D. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 99

E. Teknik Pengolahan dan Pengumpul Data …... 106

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 112

A. Hasil Penelitian ... 112

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 158

BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 177

A. Kesimpulan ... 177

B. Rekomendasi ... DAFTAR PUSTAKA……….………….. 178 180 LAMPIRAN-LAMPIRAN……….. 183


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1

Tabel 3.2

Tahapan Program Experiential Based Group Counseling Untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor……….. Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Sebelum Ditimbang dan Pengujian Validitas………...

97

100 Tabel 3.3 Indeks Korelasi………... 106 Tabel 3.4 Pola Skor Opsi Alternatif Respon…... 107 Tabel 3.5 Skor Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon

Konselor………... 109

Tabel 4.1 Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

angkatan 2008 FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012... 112 Tabel 4.2 Gambaran Aspek Kepekaan Multibudaya Mahasiswa

Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

angkatan 2008 FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012... 114 Tabel 4.3 Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum

Mengikuti Program Experiential Based Group Counseling.... 115 Tabel 4.4 Isi Program Experiential Based Group Counseling Untuk

Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor... 130 Tabel 4.5 Gambaran Perbedaan Kepekaan Multibudaya Calon

Konselor Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum & Setelah Mengikuti Program Experiential Based


(4)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1 Perbedaan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum & Setelah Mengikuti Program Experiential Based Group


(5)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1 The Lewinian Experiential Learning Model………... 68 Skema 2.2 Dewey’s Model of Experiential Learning………. 69 Skema 2.3 Piaget’s Model of Learning and Cognitive Development… 70 Skema 2.4 Experiential Learning Cycle………. 72 Skema 2.5 The Experiential Learning Cycle and Basic Learning

Styles………... 74


(6)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kecenderungan perubahan dan arah tatanan kehidupan masyarakat dunia menuju kearah modernisasi secara tidak langsung mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan profesi. Merupakan suatu hal yang nyata bagi kehidupan masyarakat dunia untuk mampu bertahan (survive) dalam menghadapi segala bentuk pengaruh dari perubahan tatanan kehidupan yang terjadi.

Indikator perubahan tatanan kehidupan masyarakat dunia salah satunya adalah dengan meningkatnya frekuensi hubungan anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya dari latar belakang budaya yang berbeda-beda (multiculture). Pengaruh dari meningkatnya frekuensi hubungan anggota masyarakat terlihat jelas dengan adanya tarikan yang kuat antara pemenuhan kehendak atau kebutuhan dengan keadaan. Dengan adanya tarikan yang kuat antara pemenuhan kehendak dan kebutuhan mengharuskan individu untuk dapat mempelajari perilaku individu lain sebagai salah satu upaya dalam pemenuhan kebutuhannya. Delors dan Makagiansar (Supriadi, 2001) memprediksi bahwa agenda kehidupan umat manusia ke depan adalah membangun suatu dunia baru dalam tatanan yang didasarkan atas saling pengertian, saling membelajarkan, toleransi, kasih sayang dan harmoni, serta tidak pelak lagi akan melahirkan “kebudayaan baru dunia” yang berimplikasi pada adanya tarikan yang kuat antara kehendak setiap bangsa atau komunitas untuk mempertahankan identitasnya di


(7)

2 satu pihak dengan dorongan kuat untuk ikut serta dalam arena global dan mengambil manfaat darinya.

Munculnya tarikan yang kuat untuk ikut serta dalam arena global menyebabkan semakin intensnya kontak-kontak antar individu, masyarakat, negara dan bangsa. Dapat diartikan bahwa tarikan antara kehendak mempertahankan identitas dan kehendak untuk larut dalam perubahan menjadi suatu persoalan yang dilematis. Dengan adanya persoalan yang dilematis tersebut maka diperlukan suatu sikap yang tepat dalam bertindak dan berinteraksi dalam kehidupan global.

Perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan dunia secara tidak langsung memberi pengaruh terhadap tatanan kehidupan di Indonesia. Proses saling mempengaruhi merupakan gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi namun juga terkait dengan masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya yang


(8)

3 terhubung dengan adanya proses interaksi. Proses interaksi yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman yang dapat menjembatani proses interaksi antar individu. Pemahaman akan budaya atau lintas budaya dalam hal ini sangat diperlukan (Matsumoto, 1996). Dengan adanya pemahaman budaya yang tepat sangat memungkinkan untuk terbentuknya kehidupan antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Namun sebaliknya jika kondisi tersebut tidak terjadi carut marutnya kehidupan sosial-ekonomi, konflik rasial, etnik, pendidikan, politik dan agama semakin nyata.

Kecenderungan perubahan arah tatanan hidup masyarakat dewasa ini yang mengarah pada dinamika multikulturalisme (multibudaya) yang mendesak individu sebagai anggota masyarakat dan kelompok masyarakat untuk mampu berevolusi secara tepat mencakup seluruh segi kehidupan. Azra (Hufad, 2007 : 13) memandang multibudaya merupakan suatu pandangan terhadap dunia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keberagaman yang pluralis dan multikultural dalam kehidupan bermasyarakat. Keberagaman tersebut mencakup segi ideologis, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan politis merupakan segi kehidupan manusia yang harus dirubah secara tepat. Individu berevolusi secara tepat merupakan suatu tuntutan bagi individu yang harus dilakukan secara bekesinambungan. Perubahan secara tepat dilakukan dengan adanya penyesuaian kemampuan dan keterampilan dengan perubahan yang terjadi.

Budaya pada umumnya diasumsikan sebagai suatu konsep yang menyinggung masalah ras, etnik dan suku bangsa (biologis atau generic). Namun


(9)

4 pada dasarnya budaya tidak hanya menitikberatkan pada kesamaan secara bilogis atau generic saja melainkan budaya merupakan sebuah konstruk sosiopsikologis, suatu kesamaan dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan dan perilaku (Matsumoto, 2004: 5).

Krisis serta dinamika multibudaya yang terjadi pada masyarakat dewasa ini menuntut perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia termasuk dalam hal pendidikan. Bagi dunia pendidikan perubahan tersebut merupakan suatu tantangan dan peluang untuk memberikan kontribusi yang optimal terhadap kehidupan manusia. Pengaruh perubahan tatanan kehidupan pada pendidikan nasional terlihat pada dua konsekuensi, positif dan negatif. Konsekuensi positif dapat terlihat dari keberhasilan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan secara berkesinambungan. Namun sejalan dengan adanya keberhasilan pembangunan sarana pendidikan, ternyata pendidikan nasional dihadapkan dengan masalah yang cukup kompleks. Isu multibudaya sebagai indikator perubahan tatanan kehidupan masyarakat merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Dengan kata lain karena pemenuhan kebutuhan individu tidak dapat didasarkan hanya pada pemenuhan aspek psikofisis, melainkan juga dengan pemenuhan aspek-aspek sosial dan budaya sehingga dunia pendidikan harus mampu menyikapi dengan lebih terbuka, akomodatif, proaktif dan bijak dalam menghadapi isu multibudaya. Hal ini senada dengan pendapat Hufad (2007 : 22) yang menyatakan bahwa situasi pendidikan dan pengajaran antropologi di sekolah di Indonesia yang merupakan tahapan penting bagi peserta didik diberikan pemahaman, dilatih untuk mengerti toleransi dalam proses interaksi


(10)

5 antar sesama yang berdasarkan aneka warna masyarakat di bumi tempat individu berpijak.

Layanan bimbingan dan konseling sebagai salah satu bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan, mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam membina perkembangan peserta didik untuk mampu membantu diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab sehingga menjadi manusia yang berkembang optimal, produktif dan berbudaya. Sejarah menunjukkan bahwa tiga dekade terakhir pada abad ke-20 program bimbingan dan konseling dirancang untuk melayani semua siswa (peserta didik) atau “Guidance For All” (Kartadinata 2009: 15). Pemaparan tersebut dapat diartikan individu memiliki hak yang sama dalam mendapatkan layanan bimbingan dan konseling, siapa pun individu itu, dari mana pun individu itu berasal, dan bagaimana pun kondisi individu itu, semua mempunyai hak layanan. Hal ini senada dengan pendapat Kartadinata (2009: 15) program bimbingan dan konseling komprehensif melayani siswa, orangtua, guru, dan stakeholder lain secara seimbang tanpa membedakan gender, ras, etnik, latar belakang budaya, disabilitas, struktur keluarga, dan status ekonomi.

Peran layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan layanan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan potensi serta kemampuan yang dimiliki siswa. Kemampuan yang dikembangkan secara optimal melalui layanan bimbingan dan konseling meliputi ranah Pribadi-Sosial, Akademis, Religi dan Karir. Selain itu layanan bimbingan dan konseling berperan untuk meningkatkan


(11)

6 kemampuan siswa menuntut terlaksananya pendidikan yang berimbang dan bermutu.

Konselor dalam proses layanan bimbingan dan konseling memiliki peran utama dan signifikan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Salah satu peran konselor sebagai seorang pendidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat sehingga peningkatan mutu dan pembaharuan kompetensi konselor menjadi suatu aspek yang mutlak terjadi seiring dengan semakin kompleksnya ruang lingkup permasalahan yang ditangani layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dengan semakin luasnya penyebaran informasi dan luasnya determinasi budaya yang menjadikan karakteristik peserta didik selalu berbeda dari generasi kegenerasi maka konselor diharuskan memiliki kompetensi yang harus selalu ter-update agar setiap permasalahan dapat terselesaikan dengan optimal.

Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007) menyatakan salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa konselor harus mampu memahami dan peka (sensitif) dengan adanya perubahan dan keberagaman individu.

Selanjutnya layanan konseling merupakan suatu layanan yang bersifat kuratif dan lebih banyak mengandalkan keterampilan berkomunikasi baik verbal dan nonverbal dalam membantu konseli dalam menyelesaikan masalahnya. Namun dalam proses konseling, terkadang konselor kurang peduli terhadap


(12)

7 perbedaan atribut budaya antara konseli dan konselor sehingga menimbulkan jarak antara konseli dan konselor dalam proses konseling. Dalam proses konseling konselor maupun konseli membawa serta atribut-atribut psikofisik seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi dan sosio-budaya. Bolton-Brownlee (Supriadi, 2001: 23) menyatakan proses konseling yang dilakukan oleh konselor sejauh ini hanya menitikberatkan pada aspek-aspek psikologis (kecerdasan, minat, bakat, kepribadian, dll) dan masih kurang memperhatikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun konseli yang ikut membentuk prilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling. Selain itu Gielen, Draguns & Fish (2008: 2) menyatakan

“Because many modern societies are steadily becoming more diverse, multicultural, and complex in nature, they are in need of counselors, psychotherapists, social workers, and healers who are able to interact eff ectively with clients from a broad variety of cultural, ethnic, social, political, and religious backgrounds.”

Pernyataan Bolton-Brownlee dan Glelen, Draguns & Fish tersebut dapat ditindaklanjuti dengan asumsi jika semakin banyak kesesuaian antara konselor dengan konseli dalam hal-hal psikologis maupun sosio-budaya, maka akan semakin besar kemungkinan layanan konseling akan berjalan efektif. Implikasi dari relasi konseling yang melibatkan konselor dan konseli beserta atribut-atribut psikologis dan sosio-budaya diawali dengan kemampuan konselor dalam memahami diri sendiri dan konseli. Supriadi (2001: 23) menyatakan kemampuan konselor untuk memahami dirinya adalah titik awal kemampuannya untuk memahami dan membantu orang lain (dalam hal ini konseli). Selanjutnya Geldard & Geldard (2001: 336) menyatakan ”Counsellors should have knowledge about


(13)

8 the client’s particular group and culture..., If a counsellor can do this successfully, they may be able to further their knowledge about the client’s family, values, attitudes, beliefs and behaviours”.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diartikan seorang konselor harus memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri dan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan baik maka konselor akan mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang latar belakang konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan berjalan efektif. Namun akan menjadi suatu halangan yang sangat berarti jika dalam proses konseling terjadi pertentangan budaya antara konseli dan konselor jika konselor kurang mampu menyikapi hal tersebut. Pertentangan budaya yang terjadi antara konselor dan konseli dalam proses konseling akan berimbas pada kebungkaman konseli dalam proses konseling serta menjadi suatu kekurangan yang signifikan bagi konselor dalam proses penentuan pendekatan dan pengetahuan lebih jauh mengenai masalah yang dihadapi konseli. Hal ini sedana dengan pernyataan Stewart yang menyatakan “when the cultures of the participant in counseling differ, counselor often lack implicit inferent to create coherent image of counselees. Significant aspects of perceptions, memories, and histories remain silent.” (Pedersen, et. al. 1981: 61).

Pengetahuan lebih jauh dan mendalam bagi seorang konselor terhadap isu multibudaya dapat diterjemahkan sebagai suatu kepekaan multibudaya (culturally sensitive) konselor dalam menyikapi perkembangan isu-isu multibudaya yang


(14)

9 selalu dinamis. Kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Supriadi (2001: 32) memaparkan perlunya konselor yang memiliki kepekaan multibudaya (culturally sensitive counselor) untuk dapat memahami dan membantu klien/konseli. Konselor yang demikian adalah yang menyadari benar bahwa secara budaya, inidvidu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling konseli membawa serta karakteristik tersebut.

Kepekaan multibudaya konselor akan diuji dalam proses konseling yang melibatkan dua orang yang berbeda budaya yaitu konselor dan konseli. Jika konselor yang memiliki kepekaan yang baik terhadap perbedaan atribut psikofisik yang dibawa oleh konseli dengan dirinya maka sangat mungkin konselor tersebut akan mampu mewujudkan relasi konseling yang efektif. Dan akan menjadi suatu kesulitan yang sangat berarti bagi seorang konselor jika tidak memiliki kepekaan yang cukup terhadap perbedaan atribut psikofisik antara konselor dan konseli dalam mewujudkan relasi konseling yang efektif.

Kepekaan multibudaya dalam layanan konseling menurut Stewart dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan diri konselor untuk merasakan perbedaan atau jarak antara latar belakang konseli dan konselor. Selain itu kepekaan dapat diartikan juga sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu individu total yang terbentuk dari pengalamannya(Pedersen, et. al. 1981: 83). Hal senada juga dipaparkan oleh Hays & Erford (2010: 30) yang menyatakan “ Counselor sensitive to the needs of understand and integrate numerous terms within the


(15)

10 context of multiple cultural identities.” Dapat diartikan konselor yang peka terhadap keberagaman budaya konseli yang dihadapi dalam layanan konseling adalah konselor yang mengerti, paham dan mampu meramu konteks budaya secara tepat.

Kepekaan multibudaya bagi konselor dalam layanan konseling merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai salah satu akumulasi dari identifikasi secara akurat dan intervensi yang tepat terhadap keragaman budaya konseli. Untuk memiliki kepekaan multibudaya konselor dituntut untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya klien/konseli (Supriadi, 2001: 33). Kepekaan dalam layanan konseling merupakan jembatan bagi konselor untuk lebih mengetahui pengalaman budaya yang dimiliki oleh konseli dan memahami konseli secara utuh sebagai seorang individu yang unik. Konselor yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perbedaan budaya antara dirinya dan konseli akan mampu mengarahkan konseli untuk dapat mempersepsikan dirirnya sebagai suatu individu yang total.

Selanjutnya kepekaan menurut Surya (2003: 65) mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien/konseli dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling, karena hal itu akan memberikan rasa aman bagi klien/ konseli dan akan merasa lebih percaya diri manakala berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan. Dinamika yang timbul dalam diri konseli dan konselor dapat dimaknai sebagai atribut psikofisik yang mencakup budaya hidup seorang konelor dan


(16)

11 konseli sehingga kompetensi kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepekaan multibudaya sangat penting dalam keefektifan layanan konseling yang terbangun dari kemampuan/kompetensi dan keterampilan multibudaya dimana didalamnya terdapat kesadaran dan pemahaman akan budaya konselor sendiri serta kesadaran dan pemahaman budaya konseli. Hal ini senada dengan pendapat Hackney & Cormier (2009: 15) yang menyatakan bahwa konselor yang peka adalah konselor yang menyadari dan memahami konteks budaya sendiri dan konseli.

Pemahaman dan pengetahuan mengenai konteks budaya sendiri dan konseli merupakan aspek kemampuan/kompetensi multibudaya konselor. Selanjutnya kompetensi multibudaya (Sue & Sue, 2003: 17) dapat diartikan sebagai suatu bantuan profesional yang dilakukan oleh seseorang yang aktif dalam proses penyadaran asumsi diri tentang prilaku, nilai, bias, dan keterbatasan individu. Selain itu Sue, Arredondo, & McDavis (Chung, 2005: 264) memaparkan kompetensi multibudaya merupakan suatu respon terhadap ras, etnik, dan populasi budaya yang beragam. Sue & Sue, (2003: 18) merumuskan aspek-aspek kompetensi konselor multibudaya diantaranya pertama; kesadaran konselor akan dirinya sendiri, nilai dan bias diri (polemik diri). Kedua, paham dan mengerti terhadap pandangan keberagaman budaya konseli dan ketiga, mampu meningkatkan intervensi, strategi dan teknik konseling yang tepat. Secara keseluruhan kompetensi konselor multibudaya merupakan suatu keterampilan dan


(17)

12 kemampuan konselor dalam menempatkan diri beserta atribut psikologisnya secara tepat dalam proses layanan konseling.

Penelitian ketercapaian kompetensi konselor multikultural yang dilakukan oleh Herdi (2009) terhadap mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) angkatan 2006 (n= 76) tahun akademik 2008/2009 menunjukkan bahwa kompetensi konseling multikultural (KKM) berada pada kategori kompeten 51,3 %, cukup kompeten 38,2 %, sangat kompeten 5.3%, dan kurang kompeten 5,3%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi konseling multikultural yang dicapai belum mencapai harapan. Hal ini merupakan suatu tantangan dan peluang untuk lebih meningkatkan kompetensi konseling multikultural. Selanjutnya Holcomb-McCoy dan Myers (1999: 300) memaparkan hasil penelitiannya mengenai peningkatan kompetensi konselor multibudaya melalui pelatihan dan seminar menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan sebesar 46% peningkatan kompetensi konselor multibudaya.

Berdasarkan hasil studi teoritis dan empiris yang telah dipaparkan dapat dipahami betapa pentingnya kepekaan multibudaya bagi keefektifan seorang konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Konsekuensi dari hal tersebut mengarahkan pada asumsi bahwa kepekaan multibudaya seorang konselor harus terbangun sedini mungkin sebagai kemampuan dasar bagi seorang konselor. Pembentukan dan proses mempersiapkan konselor atau pendidikan konselor yang peka (sensitif) terhadap keragaman budaya merupakan suatu keharusan.


(18)

13 Mencermati pentingnya kepekaan multibudaya terbangun secara dini dalam diri konselor dan sebagai salah satu penyokong dalam proses layanan konseling maka diperlukan suatu upaya yang difokuskan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya.

Upaya untuk meningkatkan kepekaan multibudaya tersebut dapat dikemas dalam suatu bentuk kegiatan yang dapat memberikan pengalaman langsung (experience) serta significant effect terhadap peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor. Kegiatan yang mengandung unsur pengalaman tersebut dikemas dalam program experiential based group counseling sebagai salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan kepekaan multibudaya. Program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor terbangun dari konstruk teori bimbingan konseling kelompok yang memadukan unsur pengalaman (experience) yang didapat dari aktivitas kelompok (group) saat mengikuti kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya serta sebagai sumber pengetahuan untuk membentuk kepekaan multibudaya. Dalam program experiential based group counseling peserta berkesempatan untuk saling membantu, saling memberi wawasan/informasi, saling bertukar pengalaman dan saling memberi alternatif penyelesaian masalah islutratif yang sedang dihadapi kelompok. Berg, Landreth dan Fall (2006: 6) memaparkan kontribusi konseling kelompok dalam membentuk dan merubah prilaku dan wawasan anggota kelompok sebagai berikut


(19)

14 “Group members come to function not just as counselees but also as a combination of counselees but also as combination of counselees at times in the sessions and at other times as helpers or therapists. Through the process of this experience, group members seem to learn to be better helpers or member-therapists.”

Bergh, Landerth & Fall (2006: 5-7) serta Gladding (2008: 147) memaparkan bahwa melalui group counseling individu sebagai anggota kelompok diberi kesempatan untuk mengembangkan kesadaran hubungan antar pribadi anggota kelompok (developing self awareness), mendapatkan pengalaman yang signifikan dalam hubungan antar pribadi anggota kelompok (experiencing significant relationships), tekanan dinamis untuk perkembangan (dynamic pressure for growth), mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk saling berkembang satu sama lain (supportive environment), meningkatkan kepekaan terhadap prilaku baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota kelompok lainnya.

Selanjutnya unsur pengalaman yang didapat dalam suatu kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya klien/konseli. Hal ini senada dengan pendapat Kim & Lim yang menyatakan

“Experiential learning can be a powerful means to stimulate multicultural awareness and can be use to help individuals confront and overcome racial/ethnic biases. When use the didactic methods, experiential based group counseling can provide trainees with opportunities to observe and practice skills that they have read and have been taught.” (Baruth & Manning 2007: 57).


(20)

15 Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu yang bertenaga yang mampu merangsang kesadaran multibudaya dan dapat digunakan untuk membantu individu dalam mengahadapi bias budaya. Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai proses pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience). Pengetahuan yang didapat merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Model peningkatan pengetahuan ini lebih menekankan pada model pembalajaran yang holistik (kognitif, afektif dan konasi) Kolb (1984).

Pengalaman yang didapat peserta saat mengikuti program experiential based group counseling diharapkan mampu menjadi stimulus bagi peserta untuk lebih meningkatkan kepekaan multibudayanya dan diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan konseling multibudaya. Lebih jauh lagi Atkinson, Morten, et al., 1998; Ponterotto, Casas, Suzuki, & Alexander, 1995; Sue & Sue, 1999), menyatakan “as a result the theoretical and empirical literature on ways in which counselors can provide more culturally relevant and sensitive services has increasingly highlighted the importance of the relationship between counselors multicultural counseling competence and positive counseling outcome.” (Kim and Lyons, 2003: 400).

Peningkatan kepekaan multibudaya perlu dilakukan sebagai respon terhadap kecenderungan perubahan arah tatanan hidup masyarakat dewasa ini yang mengarah pada dinamika multikulturalisme (multibudaya) yang mendesak individu sebagai anggota masyarakat untuk mampu berevolusi secara tepat mencakup seluruh segi kehidupan. Peningkatan kepekaan multibudaya dilakukan


(21)

16 sebagai upaya seorang calon konselor menuju konselor profesional dan sesuai dengan Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007: 110) yang menyatakan salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa konselor harus mampu memahami dan peka (sensitif) dengan adanya perubahan dan keberagaman individu. Oleh karena itu sudah seharusnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon konselor khususnya Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) untuk mengakomodir, meningkatkan, mengevaluasi, dan merevisi kurikulum untuk meningkatkan kepekaan, pengetahuan, dan keterampilan konseling multibudaya. Konsekuensinya, seluruh pendidik calon konselor perlu menyiapkan seluruh calon konselor untuk meningkatkan/meningkatkan kompetensi konseling multibudaya khususnya kepekaan multibudaya. Pentingnya peningkatan kepekaan multibudaya secara dini bagi calon konselor sangat diperlukan dimana kepekaan multibudaya sebagai salah satu aspek terdepan dalam proses layanan konseling terutama dalam menghadapi dan melayani konseli dan masyarakat yang beragam latar belakang budayanya.

Berdasarkan rasional tersebut penelitian ini difokuskan pada peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor yang dikemas dalam bentuk kegiatan aktif, partisipatif, dan reflektif yaitu program experience based group counseling. Selain itu disetiap akhir kegiatan dilakukan refleksi terhadap materi yang di sampaikan dalam setiap kegiatan. Dalam program experiential based group counseling,


(22)

17 peserta (calon konselor) berbagi dalam tugas-tugas tertentu serta materi-materi ilustratif untuk meningkatkan kepekaan multibudaya yang spesifik dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu program experiential based group counseling ini menyediakan pedoman (manual) meningkatkan kepekaan multibudaya, mengahadapi bias budaya dalam proses layanan konseling serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses layanan konseling.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan budaya yang muncul seiring dengan perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan manusia dewasa ini memberikan pengaruh terhadap peningkatan disiplin ilmu. Layanan konseling sebagai salah satu disiplin ilmu yang berada pada koridor layanan yang membantu individu dalam peningkatan seluruh potensi individu secara optimal memiliki tantangan dan peluang untuk meningkatkan diri. Dengan adanya permasalahan budaya dan individu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda target layanan konseling menjadi lebih terbuka dan berada dalam tatanan kehidupan yang lebih terbuka, seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, industri dan seluruh lingkungan tempat individu berinteraksi dalam peningkatan potensi dan pemenuhan kebutuhannya.

Layanan konseling merupakan suatu layanan yang bersifat kuratif dan lebih banyak mengandalkan keterampilan berkomunikasi baik verbal dan nonverbal dalam membantu konseli dalam menyelesaikan masalahnya. Namun dalam proses konseling, terkadang konselor kurang peduli terhadap perbedaan atribut budaya antara konseli dan konselor sehingga menimbulkan jarak antara konseli dan konselor dalam proses konseling.


(23)

18 Peran utama dalam proses layanan konseling ialah konselor. Konselor berperan dalam mengarahkan layanan konseling yang sedang berlangsung. Dalam kajian layanan konseling multibudaya, agar konselor mampu berperan secara optimal maka konselor dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri dan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan berjalan efektif. Namun akan menjadi suatu halangan yang sangat berarti jika dalam proses konseling terjadi pertentangan budaya antara konseli dan konselor.

Pengetahuan lebih jauh dan mendalam bagi seorang konselor terhadap fenomena multibudaya dapat diterjemahkan sebagai suatu bentuk kemampuan, penghayatan dan sikap peka seorang konselor dalam menyikapi perkembangan isu-isu multibudaya yang selalu dinamis. Kemampuan dan sikap peka tersebut dapat diartikan sebagai suatu kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor. Kepekaan multibudaya akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan konselor.

Kepekaan multibudaya dalam layanan konseling menurut Stewart (1976 : 61) dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan diri konselor untuk merasakan perbedaan atau jarak antara latar belakang konseli dan konselor. Selain itu


(24)

19 kepekaan multibudaya dapat diartikan juga sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu individu total yang terbentuk dari pengalamannya.

Kepekaan multibudaya bagi konselor dalam layanan konseling merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai salah satu akumulasi dari identifikasi secara akurat dan melakukan intervensi yang tepat guna terhadap keragaman budaya konseli.

Mencermati begitu pentingnya kepekaan multibudaya terbangun secara dini dalam diri konselor dan sebagai salah satu aspek terdepan dalam proses layanan konseling maka diperlukan suatu upaya yang difokuskan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya sebagai salah satu kemampuan dasar bagi konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Peningkatan kepekaan multibudaya dilakukan sebagai upaya seorang calon konselor menuju konselor profesional dan sesuai dengan Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007: 110) yang menyatakan salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa konselor harus mampu memahami dan peka (sensitif) dengan adanya perubahan dan keberagaman individu. Oleh karena itu sudah seharusnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon konselor khususnya Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) untuk mengakomodir, meningkatkan, mengevaluasi, dan merevisi kurikulum untuk meningkatkan kepekaan, pengetahuan, dan keterampilan konseling multibudaya. Konsekuensinya, seluruh


(25)

20 pendidik calon konselor perlu menyiapkan seluruh calon konselor untuk meningkatkan/meningkatkan kompetensi konseling multibudaya khususnya kepekaan multibudaya. Pentingnya peningkatan kepekaan multibudaya secara dini bagi calon konselor sangat diperlukan dimana kepekaan multibudaya sebagai salah satu aspek terdepan dalam proses layanan konseling terutama dalam menghadapi dan melayani konseli dan masyarakat yang beragam latar belakang budayanya.

Berbagai kajian teoritik maupun empirik mengenai isu-isu konseling multibudaya beserta implikasinya yang telah dipaparkan memberikan suatu kerangka pemikiran masalah yaitu “apakah peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor dapat meningkatkan akurasi (ketepatan) layanan konseling?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan memperoleh tingkat keefektifan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor. Sehingga penelitian ini menghasilkan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor yang secara empiris dapat digunakan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor.

Merujuk pada pemaparan batasan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka sebagai arahan pelaksanaan penelitian ini diperinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut.


(26)

21 1. Seperti apa profil kepekaan multibudaya calon konselor/mahasiswa

jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012? 2. Seperti apa rumusan program experiential based group counseling untuk

meningkatkan kepekaan multibudaya bagi calon konselor/mahasiswa jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012? 3. Bagaimana efektivitas program experiential based group counseling

untuk meningkatkan kepekaan multibudaya bagi calon konselor/mahasiswa jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012?

D. Signifikasi Dan Manfaat Penelitian 1. Signifikasi Penelitian

Signifikansi program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor didasarkan pada kebutuhan dan pemikitan berikut.

a. Masyarakat Indonesia yang heterogen secara logis akan mengalami berbagai permasalahan kehidupan.

b. Layanan bimbingan dan konseling memiliki tantangan dan peluang dalam upaya untuk mengatasi isu multibudaya sebagai ajang untuk membangun sistem layanan jasa bimbingan dan konseling yang kompeten dan optimal.

c. Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling multibudaya yang tidak kompeten tentu tidak dapat diterima, tidak etis serta akan


(27)

22 menimbulkan kesalahan praktik yang berujung pada penurunan mutu layanan bimbingan konseling.

2. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan khazanah keilmuan mengenai isu kepekaan multibudaya bagi calon konselor .

b. Memberikan gambaran program experiential based group counseling yang dapat memfasilitasi peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor.

Manfaat praktis yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut.

a. Bagi Program Studi Bimbingan Konseling

Bagi program studi bimbingan konsleing, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan bimbingan dan konseling. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan dan peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor yang terintegrasi dalam penyelenggaraan pedidikan calon konselor.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk berbagai implikasi isu multibudaya dalam layanan bimbingan dan konseling.


(28)

23

E. Asumsi Penelitian

1. Efektivitas hubungan konseling sangat tergantung pada kualitas hubungan antara klien/konseli dan konselor (David Gerldard & Kathryn Geldard, 2001: 12).

2. Salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan (Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).

3. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil, konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli. Sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna (David Geldard & Kathryn Geldard, 2001: 336). 4. Konselor perlu memiliki kepekaan multibudaya (culturally sensitive

counselor) untuk dapat memahami dan membantu klien/konseli Supriadi (2001: 32).

5. Konseling kelompok dapat memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk mengeksplorasi permasalahan yang dimiliki oleh kelompok dan belajar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. (Berg, Landerth & Fall, 2006: 32).


(29)

24 6. Kelompok dengan beragam budaya (heterogen) mampu meningkatkan kepekaan terhadap prilaku baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota kelompok lainnya Gladding (2008: 147).

7. Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu yang bertenaga yang mampu merangsang kesadaran multibudaya dan dapat digunakan untuk membantu individu dalam mengahadapi bias budaya (Baruth & Manning 2007: 57).

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah “program experiential based group counseling efektif untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor.”


(30)

85 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan, Metode dan Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif memungkinkan dilakukannya pencatatan dan analisis data hasil penelitian secara matematis dengan menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai tingkat efektivitas program experiential based group counseling dalam meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor secara nyata dalam bentuk angka sehingga memudahkan proses analisis dan penafsirannya, sedangkan pendekatan kualitatif memungkinkan dilakukannya pencatatan selama observasi sebagai penunjang dalam meningkatkan program experiential based group

counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor.

Selanjutnya metode penelitian yang digunakan yaitu pra eksperimen, yakni mengujicobakan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor pada satu kelompok eksperimen tanpa kelompok kontrol. Desain penelitian ini menggunakan desain Pretest-Postest One

Group Design dengan adanya pemberian tes awal sebelum diberi tindakan dan tes


(31)

86 Berdasarkan pada tujuan penelitian maka secara operasional langkah-langkah pengembangan program experiential based group counseling yang akan digunakan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor yaitu sebagai berikut.

1. Studi eksploratif, merupakan langkah awal yang dilakukan dalam rangka memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif lapangan dalam mendukung terselenggarakannya penelitian. Dalam studi eksploratif dilkukan dua kegiatan yakni (a) pemahanan tentang tingkat urgensi masalah penelitian (need assessment) dan (b) pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif lapangan dalam mendukung keterlakasanaan penelitian. Hal-hal yang dilakukan pada langkah need assessment adalah mengumpulkan informasi tentang kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh calon konselor mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 tahun akademik 2011/2012.

2. Studi pustaka. Dalam studi pustaka dilakukan proses pencarian informasi tentang kerangka teoritik program experiential based group counseling dalam meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor khususnya yang berkaitan dengan konsep, teori, dan laporan penelitian tentang (a) konseling multibudaya, (b) kepekaan multibudaya, (c) kompetensi kepekaan multibudaya, (d) kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya dan (d)

experiential based group counseling dalam meningkatkan kepekaan


(32)

87 3. Penyusunan program hipotetik. Dalam kegiatan ini dirumuskan tujuan penyusunan program experiential based group counseling, yaitu dihasilkannya program experiential based group counseling yang dapat meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor. Selanjutnya penetapan kriteria program experiential based group counseling, yaitu kriteria materi kegiatan disesuaikan dengan aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan dikembangkan seperti ; (a) empathy; (b) awareness of own cultural values

and biases; (c) awareness of client’s world view; dan (d) culturally appropriate intervention strategies. Program experiential based group counseling yang dikembangkan merupakan kegiatan yang praktis dan layak

secara teoritis untuk meningkatkan kepekaan multibudaya. Model hipotetik yang dikembangkan dibangun dengan komponen model yang meliputi (a) rasional, (b) tujuan, (c) mekanisme dan langkah-langkah, (d) strategi dan teknik pelaksanaan, (e) kriteria keberhasilan, dan (f) model evaluasi.

4. Verifikasi dan validasi oleh Pakar dan Praktisi; Pada tahap ini dilakukan proses pengujian rasional program hipotetik dengan meminta pendapat dari para pakar dan praktisi. Pakar yang akan diminta untuk memberi timbangan tentang kelayakan model hipotetik adalah : (1) pakar bimbingan dan konseling kelompok dan (2) pakar konseling multibudaya. Praktisi yang akan diminta untuk memberi timbangan kelayakan model adalah (1) calon konselor dan (2) relawan atau praktisi yang berkecimpung program experiential based


(33)

88 5. Revisi model. Pada tahapan revisi program dilakukan perumusan kembali model hipotetik yang telah ditimbang oleh para pakar dan praktisi dengan mengakomodasi saran-saran dan rekomendasi yang telah diberikan. Target utama dari tahapan ini adalah diperolehnya rumusan model operasional yang siap diujicobakan.

6. Uji coba lapangan untuk mengetahui keterlaksanaan dan keefektifan bentuk program hipotetik experiential based group counseling yang telah teruji menurut uji kelayakan.

Selanjutnya alur tahapan pelaksanaan program experiential based group

counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor dalam

penelitian ini meliputi beberapa tahap sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut:

a.Penyusunan proposal penelitian dan konsultasi proposal dengan dosen pengampu pembimbing akademik dan disahkan dengan persetujuan dari dewan penguji proposal penelitian dan ketua program studi.

b.Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing tesis pada tingkat Sekolah Pascasarjana.

c.Mengajukan permohonan izin penelitian dari Pogram Studi Bimbingan Konseling yang memberikan rekomendasi untuk melanjutkan ke tingkat Sekolah Pascasarjana dan rektor UPI. Selanjutnya mengajukan permohonan penelitian pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.


(34)

89 2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data studi pendahuluan untuk mengetahui need assessment dan juga sebagai data pre-test dengan menyebarkan instrumen pada 75 orang responden calon konselor mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 FIP UPI tahun akademik 2011/2012 pada tanggal 21- 25 Oktober 2011.

b. Menentukan sampel penelitian yaitu mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 FIP UPI tahun akademik 2011/2012. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan tingkat kepekaan multibudaya yang berada dibawah kategori mampu.

c. Pelaksanaan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober - 28 November 2011 bertempat di ruang kelas 3.04 lantai 3 FIP UPI.

d. Mengumpulkan data post-test untuk memperoleh data efektivitas program

experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan


(35)

90 3. Tahap Akhir

Pada tahap akhir dilakukan pengolahan dan menganalisis data tentang efektivitas program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor serta kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

B.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa dari Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) angkatan 2008 dengan kriteria: a) terdaftar secara administratif sebagai mahasiswa Prodi BK jurusan PPB; b) masih aktif mengikuti perkuliahan; c) telah mengikuti perkuliahan pada mata kuliah konseling lintas budaya; d) pernah melakukan praktikum konseling, baik individual maupun kelompok di sekolah-sekolah; dan e) berasal dari lebih latar belakang budaya dan suku bangsa yang berbeda.

Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu atau tujuan tertentu. (Riduwan, 2006). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 75 calon konselor mahasiswa jurusan PPB FIP UPI angkatan 2008 tahun akademik 2011/2012 diketahui sebanyak 15 orang tingkat kepekaan multibudayanya berada pada kategori kurang mampu dan 60 orang lainnya berada


(36)

91 pada kategori mampu sehingga 15 orang tersebut diidentifikasi perlu dikembangkan kepekaan multibudayanya dan mendapatkan intervensi sesuai dengan fokus masalah penelitian.

C. Definisi Operasional Variabel 1. Kepekaan Multibudaya

Berdasarkan beberapa batasan definisi teoritis dan empiris yang dimaksud dengan kepekaan multibudaya dalam penelitian ini merupakan kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling yang ditandai dengan aspek, sub aspek dan indikator sebagai berikut.

A. Empathy (A), yaitu kemampuan pribadi calon konselor untuk memahami (kognitif) dan merasakan (afektif) secara akurat kondisi yang sedang dialami oleh konseli yang terdiri atas sub aspek dan indikator-indikator sebagai berikut.

1) Fantasy (A.1) merupakan kecenderungan calon konselor untuk mengubah diri secara imajinatif dalam mendalami perasaan dan tindakan individu lain. Kecenderungan respon secara imajinatif dalam mendalami perasaan/tindakan konseli tersebut ditandai dengan a) membayangkan diri berada pada posisi konseli (A.1.a); b) membayangkan kondisi yang dialami oleh konseli sebagai pengalaman sendiri (A.1.b).


(37)

92 2) Prespective Taking (A.2) mencerminkan kecenderungan atau kemampuan calon konselor dalam mengambil sudut pandang psikologis konseli secara spontan yang ditandai dengan kemampuan dalam mengangkat visi atau segi pandang dari konseli (A.2.a).

3) Empathic Concern (A.3) merupakan ekspresi perhatian calon konselor terhadap kemalangan konseli yang ditandai dengan a) memiliki perhatian terhadap konseli yang sedang mengalami pengalaman negatif/kemalangan (A.3.a) dan b) memilki dorongan untuk membantu konseli yang sedang mengalami pengalaman negatif/kemalangan (A.3.b).

d) Personal Distress (A.4) menitikberatkan pada ketidaknyamanan pribadi dalam menghadapi kondisi negatif yang dialami konseli ditandai dengan menunjukkan perasaan ketidaknyamanan ketika berjumpa dengan kondisi negatif yang dialami oleh konseli (A.4.a). B. Kesadaran calon konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias

budaya sendiri (awareness of own cultural values and biases) (B) yaitu kemampuan calon konselor untuk menyadari secara mendalam mengenai nilai, sikap, kepercayaan, pandangan hidup dan warisan budaya yang dimilikinya sehingga memberi pengaruh terhadap perwujudan diri konselor yang terdiri atas sub aspek dan indikator-indikator sebagai berikut.


(38)

93 1. Kepercayaan dan prilaku (B.1)

a) Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap budaya warisan budaya adalah hal yang penting dalam proses konseling (B.1.a).

b) Menyadari sumber ketidaknyamanan antara perbedaan budaya diri sendiri dengan konseli (B.1.b).

2. Pengetahuan (B.2)

a) Memiliki pengetahuan mengenai budaya sendiri (B.2.a).

b) Mengetahui perbedaan gaya komunikasi diri sendiri berpengaruh terhadap proses konseling (B.2.b).

3. Keterampilan (B.3)

a) Aktif mencari pengalaman pendidikan, konsultasi, atau pelatihan untuk memperkaya pemahaman budaya sendiri (B.3.a).

b) Aktif mencari pemahaman diri sebagai makhluk hidup yang memiliki kebudayaan (B.3.b).

C. Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budayanya (awareness of client’s world view) (C) yaitu kemampuan calon konselor untuk menyadari secara mendalam mengenai mengenai nilai, sikap, kepercayaan, pandangan hidup dan warisan budaya yang dimiliki oleh konseli sehingga memberi pengaruh terhadap perwujudan diri konseli yang terdiri atas sub aspek dan indikator-indikator sebagai berikut.


(39)

94 1) Kepercayaan dan prilaku (C.1)

a) Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap pandangan hidup konseli adalah hal penting dalam proses konseling (C.1.a).

2) Pengetahuan (C.2)

a) Memiliki pengetahuan mengenai kelompok budaya tertentu yang diajak bekerja sama (C.2.a).

b) Memahami pengaruh budaya terhadap formasi pribadi, pilihan vokasional, manifestasi gangguan psikologis dan perilaku mencari bantuan (C.2.b).

3) Keterampilan (C.3)

a) Mampu mengakses informasi yang relevan mengenai keragaman budaya (C.3.a).

b) Terlibat secara aktif dengan kehidupan kelompok budaya tertentu (C.3.b).

D. Mampu mengembangkan strategi dan intervensi konseling budaya yang tepat (culturally appropriate intervention strategies) (D) yaitu kemampuan calon konselor dalam mengembangkan strategi intervensi konseling yang akurat berlandaskan pengetahuan menggenai perbedaan budaya antara konselor dan konseli yang terdiri atas sub aspek dan indikator-indikator sebagai berikut.


(40)

95 1) Keterampilan dan Prilaku (D.1)

a) Menghargai keberagaman kepercayaan dan nilai religius konseli (D.1.a).

b) Menghargai kealamian praktik membantu dan menghargai jaringan kerja pemberi bantuan bagi masyarakat kaum minoritas (D.1.b). c) Menghargai bilingualisme dalam praktik konseling (D.1.c). 2) Pengetahuan (D.2)

a) Memiliki pengalaman pendidikan yang memperkaya wawasan konseling multibudaya (D.2.a).

3) Keterampilan (D.3)

a) Mampu mengirim pesan utama kepada kosneli secara akurat (D.3.a).

b) Mampu menerima pesan utama dari konseli secara akurat (D.3.b). c) Mampu memodifikasi gaya membantu ketika merasa tidak sesuai

dengan budaya konseli (D.3.c).

d) Mampu untuk mencari konsultasi dengan penyembuh tradisional, pemimpin religious dab spriritual atau para praktisi perawatan konseli yan memiliki budaya berbeda (D.3.d).

e) Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh konseli (D.3.e).


(41)

96 f) Mengikuti pelatihan keahlian dalam penggunaan asesmen dan

instrumen tes (D.3.f).

g) Bertanggung jawab dalam mendidik konseli pada proses intervensi psikologis/konseling, seperti tujuan, harapan, hak-hak, dan orientasi (D.3.g).

2. Program Experiential Based Group Counseling

Program experiential based group counseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bentuk konseling kelompok dimana terdapat transformasi pengalaman dari kegiatan ilustratif yang diikuti calon konselor, melibatkan aktivitas kognitif, afektif dan konasi dalam suasana yang menyenangkan sebagai sumber belajar dengan tujuan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya. Materi program experiential based group counseling yang diaplikasikan disusun berdasarkan aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan dikembangkan dan berdasarkan hasil kebutuhan dasar (need assessment) dari studi pendahuluan. Program experiential

based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon

konselor secara operasional dilakukan dengan proses dinamika kelompok. Daftar materi program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor dapat diamati pada tabel 3.1 berikut.


(42)

97 Tabel 3.1

Tahapan Program Experiential Based Group Counseling Untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

SESI FOKUS MATERI

Sesi pembentukan (Forming stage)

Pada tahap ini setiap peserta dibentuk dalam suatu kelompok serta pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggotanya dan jumlahnya. Dalam tahapan ini juga dipaparkan mengenai kesepakatan kegiatan seperti peraturan kegiatan yang akan dilakukan dan batasan kegiatan (setting limit). Selain itu dalam tahap ini anggota kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya.

1. Bola berantai

2. Zip Zap

3. Pohon harapan

Sesi pancaroba (Storming stage)

Pada tahap ini upaya memperjelas tujuan kegiatan mulai nampak dengan upaya peningkatan partisipasi dari peserta dan pengurangan resistensi. Peserta diarahkan untuk menditeksi dan sadar mengenai tujuan kegiatan sehingga rasa keengganan dan keraguan dalam mengikuti kegiatan mulai terkikis. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain sudah mulai mengenal

siapa dirinya dan siapa orang lain dalam peran masing-masing.

4. Susun baris

5. Holahoop

Sesi pembentukan norma (Norming stage)

Tahap ini peserta diarahkan untuk membentuk pemahaman, ikatan (cohesi), rasa percaya (trust) dan kesiapan peserta secara penuh. Peserta mulai merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan


(43)

98 yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma

kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama serta menggapai tujuan kegiatan secara optimal.

Sesi kerja (Performing stage)

Pada tahap ini kelompok sudah dibekali dengan suasana hubungan kerja yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok telah disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran masing-masing anggota telah jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolelir, inovasi berkembang (ibid) serta produktivitas kinerja meningkat. Dengan iklim kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan tercapai, sehingga kelompok mampu menampilkan prestasi kerja yang optimal. Selain itu dalam sesi ini kegiatan-kegiatan yang diberikan sudah menitikberatkan pada pengembangan kepekaan multibudaya beserta aspek-aspek kepekaan multibudaya seperti empati, kesadaran pada nilai budaya sendiri (konselor), kesadaran dan pemahaman budaya konseli dan mampu mengembangkan strategi intervensi konseling yang sesuai dengan budaya konseli.

7. Muticultural Counseling

8. Pertukaran jeruk lemon

9. Sarang korek api

10. Pesan berantai

11. Persamaan & Perbedaan 12. Sungai berbuaya

13. Wanita tua/muda/ wajah dan piala

14. Videotherapy ”We are Family”

Sesi terminasi (Adjourning stage)

Pada tahap ini merupakan tahap effect of termination on individual atau tahap dimana peserta menunjukkan hal-hal, kinerja yang terpikir dan terasa sebagai hasil dari pengalamannya dalam mengikuti kegiatan. Selain itu dalam tahap ini terdapat proses refleksi dan aplikasi terhadap pengalaman, wawasan dan ketercapaian tujuan yang tebangun selama peserta mengikuti kegiatan


(44)

99 D. Pengembangan Instrumen Penelitian

1. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua instrumen, pertama instrumen pengungkap data yang dikembangkan berdasarkan konstruk kompetensi kepekaan multibudaya konselor yang dikemukakan oleh Pedersen et. al. (1981: 62-84); Sue & Sue (2003: 17-21); Gysbers & Henderson (2006: 455-457) ;Hays dan Erford (2010 : 22); Baruth & Manning (2007: 51-54); Pedersen, Crether & Carlson (2008: 41-58 ); Ivey & Auther (1978: 128-155) dan Herdi (2009: 113-116), sebagai berikut.

Kedua, instrumen yang dikemas dalam bentuk jurnal kegiatan harian. Jurnal

kegiatan harian adalah instrumen yang digunakan untuk mengungkap apresiasi peserta terhadap proses pelaksanaan program experiential based group counseling pada setiap sesi.

Selanjutnya kisi-kisi instrumen Skala Kepekaan Multibudaya disajikan dalam tabel berikut.


(45)

100 Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Sebelum Ditimbang dan Pengujian Validitas

Aspek Sub Aspek Indikator

Sebaran Butir Pernyataan (+) (-)

A. Empathy A.1. Fantasy (imajinasi) a. Membayangkan diri berada pada posisi konseli (A.1.a).

1, 2, 3 -

3

b. Membayangkan kondisi yang

dialami oleh konseli sebagai

pengalaman sendiri (A.1.b).

4 , 5, 6, 7 - 4

A.2. Prespective Taking (pengambilan sudut pandang)

a. Mampu dalam mengangkat visi atau

sudut pandang dari individu lain (konseli) (A.2.a).

8, 9, 10, 11, 12

- 5

A.3. Empathic Concern (Perhatian yang empati)

a. Memiliki perhatian terhadap individu

lain yang sedang mengalami

pengalaman negative/kemalangan

(A.3.a).

15, 16,17 13, 14 5

b. Memiliki dorongan untuk membantu

konseli yang sedang mengalami

pengalaman negatif/kemalangan

(A.3.b).

18, 19, 20 - 3

A.4. Personal Distress (ketegangan pribadi)

1. Menunjukkan perasaan

ketidaknyamanan ketika berjumpa

dengan pengalaman negatif/

kemalangan yang dihadapi oleh

- 21,

22, 23 3


(46)

101

Aspek Sub Aspek Indikator

Sebaran Butir Pernyataan (+) (-)

konseli (A.4.a).

B. Awareness of own cultural values and biases (Kesadaran konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias budaya sendiri )

B.1. Kepercayaan dan prilaku a. Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap budaya adalah hal yang

penting dalam proses konseling

(B.1.a).

24, 25, 26, 27, 28, 29

- 6

b. Menyadari sumber ketidaknyamanan

antara perbedaan budaya diri sendiri dengan konseli (B.1.b).

30, 31, 32, 33, 34, 35

- 6

B. 2. Pengetahuan a. Memiliki budaya sendiri (B.2.a). pengetahuan mengenai 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45

- 10

b. Mengetahui perbedaan gaya

komunikasi diri sendiri berpengaruh terhadap proses konseling (B.2.b)

46, 47, 48 - 3

B. 3. Keterampilan a. Aktif mencari pengalaman

pendidikan, konsultasi atau pelatihan

untuk memperkaya pemahaman

budaya sendiri (B.3.a).

49, 50, 51, 52 - 4

b. Aktif mencari pemahaman diri

sebagai makhluk hidup yang

memiliki kebudayaan (B.3.b).

53, 54, 55 - 3

C. Awareness of client’s world view

(Kesadaran konselor mengenai

C. 1. Kepercayaan dan prilaku a. Mempercayai bahwa kesadaran diri

terhadap pandangan hidup konseli adalah hal penting dalam proses konseling (C.1.a).

56, 57, 58, 59 - 4

C. 2. Pengetahuan a. Memiliki pengetahuan mengenai

kelompok budaya tertentu yang diajak

60, 61, 62, 63, 64


(47)

102

Aspek Sub Aspek Indikator

Sebaran Butir Pernyataan (+) (-)

pandangan hidup konseli)

bekerja sama (C.2.a).

b. Memahami pengaruh budaya terhadap

formasi pribadi, pilihan vokasional, manifestasi gangguan psikologis dan perilaku mencari bantuan (C.2.b).

65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80

- 16

C. 3. Keterampilan a. Mampu mengakses informasi yang

relevan mengenai keragaman budaya (C.3.a).

81, 82, 83, 84, 85

- 5

b. Terlibat secara aktif dengan kehidupan kelompok budaya tertentu (C.3.b).

86, 87, 88 - 3

D. Culturally appropriate intervention strategies (Mengemban gkan strategi dan teknik intervensi konseling yang sesuai )

D.1 Kepercayaan dan prilaku a. Menghargai keberagaman

kepercayaan dan nilai religious konseli (D.1.a).

89, 90, 91, 92 - 4

b. Menghargai kealamian praktik

membantu dan menghargai jaringan

kerja pemberi bantuan bagi

masyarakat kaum minoritas (D.1.b).

93, 94, 95, 96 - 4

c. Menghargai bilingualisme dalam

praktik konseling (D.1.c).

97, 98, 99 - 3

D. 2. Pengetahuan a. Mencari pengalaman pendidikan yang

memperkaya wawasan konseling multibudaya (D.2.a).

100, 101, 102, 103, 104, 105

- 6

D. 3. Keterampilan a. Mampu mengirim pesan utama kepada konseli secara akurat (D.3.a). 106, 107, 108 - 3

b. Mampu menerima pesan utama dari konseli secara akurat (D.3.b).

109, 110, 111 - 3 c. Mampu memodifikasi gaya membantu

ketika merasa tidak sesuai dengan budaya konseli (D.3.c).


(48)

103

Aspek Sub Aspek Indikator

Sebaran Butir Pernyataan (+) (-) d. Mampu untuk mencari konsultasi

dengan penyembuh tradisional, pemimpin religius dan spiritual atau para praktisi perawatan konseli yang memiliki budaya berbeda (D.3.d).

115, 116, 117 - 3

e. Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh konseli (D.3.e).

118, 119, 120 - 3

f. Mengikuti pelatihan keahlian dalam menggunakan instrumen tes (D.3.f).

121, 122, 123 - 3 g. Bertanggung jawab dalam mendidik

konseli pada proses intervensi psikologis/konseling, seperti tujuan, harapan, hak-hak, dan orientasi (D.3.g).

124, 125, 126, 127, 128, 129,

130, 131


(49)

104 2. Penimbangan (Judge) Instrumen Penelitian

Penimbangan instrumen penelitian berdasarkan pada kisi-kisi yang dipaparkan pada tabel 3.2 lalu dikembangkan instrumen kepekaan multibudaya calon konselor yang dilanjutkan dengan tahap penimbangan (judge) kepada empat orang pakar bimbingan dan konseling yang semuanya berasal dari program studi Bimbingan dan Konseling (BK) jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Proses penimbangan instrument ini berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa aspek dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan. Berdasarkan beberapa masukan dari para penimbang, kemudian dikembangkan revisi kisi-kisi penelitian serta instrumen penelitian penilaian kepekaan multibudaya calon konselor.

3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian

Uji keterbacaan instrumen penelitian ditujukan kepada mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Jurusan PPB angkatan 2008 yang dipilih secara acak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam inventori dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya, telah sesuai/menggambarkan tentang apa yang dirasakan, dialami, dan dihadapi saat melaksanakan praktik konseling.


(50)

105 4. Uji Coba Instrumen Penelitian

a. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian

Pengujian korelasi item-total product moment untuk mencari validitas item dan untuk melihat signifikansinya menggunakan bantuan program Microsoft Office

Excel 2007. Hasil pengujian validitas instrumen SPK-MB dengan menggunakan

teknik korelasi item-total product moment, dari 131 item pernyataan yang disusun didapatkan 113 item pernyataan dinyatakan valid. Sementara item pernyataan yang tidak valid sebanyak 18 item pernyataan dengan nomor pernyataan 2, 3, 9,13, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, 28, 30, 31, 33, 34, 42, dan 43.

b. Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat seberapa besar tingkat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Untuk menguji reliabilitas instrumen penelitian ini digunakan rumus dari Alpha sebagai berikut:

= − 1 . 1 −

(Riduwan, 2006:115) Keterangan:

= Nilai Reliabilitas

∑ = Jumlah Varians Skor Tiap-tiap Item = Varians Total


(51)

106 Sebagai kriteria untuk mengetahui tingkat reliabilitas, digunakan klasifikasi perbandingan r11 dengan rtabel, dimana:

Kaidah Keputusan : Jika r11 > rtabel berarti reliabel, dan

Jika r11 < rtabel berarti tidak reliabel

Untuk menafsirkan hasil perhitungan korelasi atau koefisien korelasi menggunakan kriteria sebagai bersadarkan klasifikasi Guilford (Subino, 1987).

Tabel 3. 3 Indeks Korelasi

No. Indeks Koefisien

Korelasi

Kualifikasi

1 = 1,00 Korelasi sempurna

2 0,90 – 1,00 Korelasi sekali

3 0,70 – 0,90 Korelasi tinggi

4 0,40 – 0,70 Korelasi sedang

5 0,20 – 0,40 Korelasi rendah

6 Kurang dari 0,20 Tidak ada korelasi

Hasil uji reliabilitas instrument SPK-MB dengan menggunakan bantuan program Microsoft Office Excel 2007 diperoleh koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,963 Mengacu pada klasifikasi rentang koefisien Guilford (Subino, 1987), koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,963 ternasuk ke dalam kategori korelasi sekali.

E. Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data 1. Pedoman Skoring

Jenis instrumen pengungkap data dalam penelitian ini adalah skala psikologi yang diaplikasikan dengan format rating scales (skala-penilaian) dalam model


(52)

rating-107

scales yang digunakan yaitu summated ratings (Likert) dengan alternatif respons

pernyataan subjek skala 3 (lima). Ketiga alternatif respons tersebut diurutkan dari kemungkinan kesesuaian tertinggi sampai dengan kemungkinan kesesuaian terendah, yaitu : 1) Tidak Mampu (TM); 2) Kurang Mampu (KM); 3) Mampu (M). Secara sederhana, tiap opsi alternatif respon mengandung arti dan nilai skor seperti tertera pada tabel berikut.

Tabel 3. 4

Pola Skor Opsi Alternatif Respon Pernyataan

Opsi Alternatif Respons M KM TM

Favorabel (+) 3 2 1

Un-Favorabel (-) 1 2 3

2. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen angket dan observasi agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan dan dapat menunjang tujuan penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data tentang kepekaan multibudaya dan efektivitas program experiential based group counseling untuk meningkatkan kompetensi kepekaan multibudaya calon konselor. Oleh karena itu dalam pengambilan data dilakukan dalam dua kali, yaitu pre-test dan post-test dengan menggunakan instrumen yang sama disertai dengan observasi yang dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi berupa daftar cek yang terdiri atas sejumlah pernyataan singkat yang diisi setelah dilakukan kegiatan.


(53)

108 3. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk persentase. Selain itu untuk mengelompokkan sampel atau peserta menggunakan skor ideal. Penentuan kedudukan sampel atau peserta dengan skor ideal yaitu penentuan kedudukan dengan membagi kepekaan multibudaya yang didapat. Selanjutnya penentuan kedudukan dengan skor ideal ini dilakukan dengan cara pengelompokkan atas lima ranking.

Secara spesifik penentuan skor dari data responden diperoleh Xmaks dan Xmin .

Untuk memperoleh rentang data skor ideal responden adalah Xmaks - Xmin, dan untuk

memperoleh interval untuk tabel konversi skor adalah sebagai berikut : rentang = Xmaks - Xmin (skormaksimal dikurangi skorminimal)

kelompok = kategori konversi skor

Sehingga skor berkisar pada interval 113-188 untuk kategori tidak mampu (M); 189-263 untuk kategori kurang mampu (KM) dan 264-339 untuk kategori mampu (M). Kategori kepekaan multibudaya calon konselor dapat diamati pada tabel berikut.

interval = rentang kategori


(54)

109 Tabel 3.5

Skor Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

KATEGORI RENTANG SKOR ƑƑƑƑ %

1 2 3 4

M 264 – 339

KM 189 – 263

TM 113 – 188

a. Persentase

Persentase digunakan untuk mengungkap karakteristik kepekaan multibudya calon konselor yang dialami. Bila persentase semakin tinggi, maka karakteristik kepekaan multibudaya calon konselor termasuk dalam karakteristik tinggi. Namun sebaliknya, bila persentase rendah, maka karakteristik kepekaan multibudaya calon konselor termasuk dalam karakteristik rendah. Selain itu untuk mendapatkan gambaran tingkat kepekaan multibudaya calon konselor secara lebih rinci, dilakukan perhitungan persentase distribusi respon data terhadap masing-masing indikator dengan rumus:

(Rakhmat & Solehuddin, 2006: 67). Skor Aktual/Skor Ideal x 100%


(55)

110 Setiap kategori interval diasumsikan mengandung pengertian sebagai berikut.

MAMPU : Calon konselor pada level ini memiliki kepekaan multibudaya

sangat optimal pada setiap aspeknya ( 79 – 100 %), dengan kata lain calon konselor pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling sangat optimal.

KURANG MAMPU

: Calon konselor pada level ini memiliki kepekaan multibudaya

yang kurang optimal pada setiap aspeknya ( 57 – 78 %), dengan kata lain calon pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling kurang optimal.

TIDAK MAMPU

: Calon konselor pada level ini memiliki kompetensi kepekaan

multibudaya yang belum optimal pada setiap aspeknya (35 - 56 %), dengan kata lain calon konselor pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling tidak optimal.

b. Uji Komparatif ( Uji t )

Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan skor pre-test dan post- test calon konselor yang mengikuti program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon kosnelor. Untuk menganalisis hasil eksperimen yang menggunakan pre-test dan post-test one group design maka digunakan rumus berikut (Furqon, 2002: 1993).

t = 2 1 1 1 2 1 n n gab

S

Y

Y

+


(1)

179 2. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dilakukan sebatas menelaah profil kepekaan multibudaya secara umum sehingga penelaahan kepekaan multibudaya secara mendalam berdasarakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan multibudaya dan menggunakan teknik strategi yang bervariasi masih diperlukan. Karena itu bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan beberapa tema penelitian, yaitu a) meningkatkan kepekaan terhadap budaya diri calon konselor atau konselor; b) memahami dan merasakan secara akurat kondisi yang sedang dialami oleh konseli atau empati budaya; c) meningkatkan kepekaan multibudaya dengan menggunakan teknik atau metode simulasi praktik konseling dengan konseli yang lebih beragam budayanya; d) calon konselor lebih berpartisipasi aktif mendapatkan pengalaman dengan ikut serta dalam rutinitas kehidupan kelompok budaya tertentu dalam kurun waktu tertentu; e) sangat mungkin meneliti kepekaan multibudaya calon konselor atau konselor berdasarkan pengalaman pendidikan, status sosial-ekonomi, agama dan gender; f) meneliti kepekaan multibudaya calon konselor atau konselor terhadap budaya siswa jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan g) meneliti layanan konseling yang efektif bagi konseli yang berasal dari suku bangsa/ budaya Indonesia yang berbeda (sampel berasal dari suku bangsa atau budaya yang berbeda-beda).


(2)

159 DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaran Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung.

Arredondo, P. et al. (1999). “Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address Oppression and Racism”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 1, Winter 1999, pp. 102-107.

Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. New Jersey: Pearson.

Berg, Robert C., Landerth, Garry L., & Fall, Kevin A. (2006). Group Counseling: Concepts and Procedures. New York: Routledge.

Berne, Eric M. D. (1966). Principles of Group Treatment. New York: Grove Press.

Chung, Rita Chi-Ying. (2005). “Women, Human Rights, and Counseling: Crossing International Boundaries”. Journal of Counseling & Development, Vol. 83, No. 1, Summer 2005, pp. 262–268.

Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Davis, M. H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy. Austin: The University of Texas.

Geldard, David & Geldard, Kathryn. (2001). Basic Personal Counseling; A Training Manual for Counsellors. Australia: Prentice Hall.

Gielen, Uwe P., Draguns, Juris G., & Fish, Jefferson M. (2008). Principles of Multicultural Counseling and Therapy. Ney York: Routledge.

Gladding, Samuel T. (2008). Groups a Counseling Specality. New Jersey: Pearson.

Hackney, Harold L. & Cormier, Sherry. (2009). The Professional Counselor; A Process Guide to Helping. New Jersey: Pearson.

Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010). Developing Multicultural Counseling Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson.


(3)

160 Herdi. (2009). Model Pelatihan Untuk Meningkatkan Kompetensi Konseling Multikultural Calon Konselor. Tesis. Bandung: SPS UPI Bandung.

Hojat, Mohammadreza .(2007). Empathy in Patient Care; Antecedents, Development, Measurement, and Outcomes. New York: Springer. Holcomb-McCoy, Cheryl C. dan Myers, Jane E. (1999). “Multicultural

Competence and Counselor Training: A National Survey”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 3, Summer 1999, pp. 46–54.

Hufad, Ahmad. (2007). ”Panorama Multikulturalisme Dalam Pengembangan antropologi Pendidikan (Isu-Isu dan Relevansinya Di Indonesia”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Sosiologi-Antrolpologi Pendidikan” Pada Fakultas Ilmu Penididkan UPI, tidak diterbitkan.

Ivey, Allen E. & Auther, Jerry. (1978). Micro Counseling; Innovations in Interviewing, Counseling, Psychotherapy, and Psychoeducation: Second Edition. USA: Charles C Thomas Publisher.

Kartadinata, Sunaryo. (2009). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik. Bandung: UPI. Kartadinata, Sunaryo. (2009). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling

Dalam Pendidikan; Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Bandung: UPI.

Kim, Bryan S. K. and Lyons, Heather Z. (2003). “Experiential Activities and Multicultural Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development, Vol. 81, No. 4, Fall 2003, pp. 400–408. Kolb, David. A. (1984). Experiential Learning. Englewood Cliffs, NJ:

Prentice Hall.

Matsumoto, David. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McGill, Ian and Weil, Susan W. (1989). A Framework for Making Sense of Experiential Learning. Milton Keynes: Shere/Ou Press.

Mitchell & Meier. (1983). Camp Counseling:Leadership & Programing for The Organized Camp. USA: Saunders College Publishing.


(4)

161 Pedersen, Paul B., Crether & Carlson. (2008). Inclusive Cultural Empathy; Making Relationships Central in Counseling and Psychotherapy. Washington D.C : APA.

Pedersen, Paul B., Draguns, Juris G., Lonner, Walter J., and Trimble, Joseph E.. (1981). Counseling Across Cultures. USA: The East-West Center by The University Press of Hawaii.

Rakhmat, Cece & Solehudin, M. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Andira.

Riduwan (2006). Belajar Mudah Penilitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. (Edisi Keenam). Bandung: Alfabeta.

Schoel, Jim., Prouty, Dick., & Radcliffe, Paul. (1988). Islands of Healing: Guide to Adventure Based Counseling. USA: Project Adventure. Inc. Subino. (1987) Konstruksi dan Analisis Tes (Suatu pengantar Kepada

Teori Tes dan Pengukuran). Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud. Sue, D. W. & Sue, D. (2003). Counseling the Culturally Diverse;Theory

and Practice. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Suherman A.S., Uman dan Sudrajat, Dadang. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.

Supriatna, Mamat. (2011). Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi; Orientasi Dasar Pengembangan Profesi Konselor. Bandung: Rajawali Pers.

Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: C. V. Pustaka Bani Quraisy.

UNM & ISPI.(2011). Seminar & Lokakarya; Teknik dan Strategi Bimbingan dan Konseling Untuk Pendidikan Karakter. Malang: SPs UNM.

Yustiana, Yusi Riksa. (2002). Konseling Kelompok Wawasan Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Rentang Sepanjang Hayat; Kumpulan Makalah. PPS BK UPI: Bandung.


(5)

162 A. DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaran Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung.

Ahmad Hufad. (2007). ”Panorama Multikulturalisme Dalam Pengembangan antropologi Pendidikan (Isu-Isu dan Relevansinya Di Indonesia”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Sosiologi-Antrolpologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Penididkan UPI, tidak diterbitkan.

Arredondo, P. et al. (1999). “Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address Oppression and Racism”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 1, Winter 1999, pp. 102-107.


(6)

163 Bryan S. K. Kim and Heather Z. Lyons. (2003). “Experiential Activities and Multicultural Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development, Vol. 81, No. 4, Fall 2003, pp. 400–408. Cheryl C. Holcomb-McCoy dan Jane E. Myers (1999). “Multicultural

Competence and Counselor Training: A National Survey”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 3, Summer 1999, pp. 46–54.

Danica G. Hays & Bradley T. Erford. (2010). Developing Multicultural Counseling Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson. Leroy G. Baruth & M. Lee Manning (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. New Jersey: Pearson.

David Geldard & Kathryn Geldard. (2001). Basic Personal Counseling; A Training Manual for Counsellors. Australia: Prentice Hall.

David Matsumoto. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

D. W. Sue & D. Sue. (2003). Counseling the Culturally Diverse;Theory and Practice. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Herdi. (2009). Model Pelatihan Untuk Meningkatkan Kompetensi Konseling

Multikultural Calon Konselor. Tesis. Bandung: SPS UPI Bandung. Paul B. Pedersen, Juris G. Draguns, Walter J. Lonner, and Joseph E.

Trimble. (1981). Counseling Across Cultures. USA: The East-West Center by The University Press of Hawaii.

Rita Chi-Ying Chung. (2005). “Women, Human Rights, and Counseling: Crossing International Boundaries”. Journal of Counseling & Development, Vol. 83, No. 1, Summer 2005, pp. 262–268.

Sunaryo Kartadinata. (2009). Arah dan Tantangan Bimbingan dan