PROGRAM KONSELING MULTIBUDAYA UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SOSIAL SISWA SMA.

(1)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

A. Dasar Pemikiran 1

B. Tujuan 6

C. Sasaran Program Layanan Konseling Multibudaya 7

D. Konten Program Layanan Konseling Multibudaya 7

E. Mekanisme Implementasi Program Layanan Konseling Multibudaya 19

F. Evaluasi 21

G. Indikator Keberhasilan Implementasi Layanan Konseling Multibudaya untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persoalan serius yang dihadapi pendidikan di Indonesia adalah sering terjadinya tawuran atau perkelahian antar pelajar dan mahasiswa terutama di kota-kota besar. Data Komnas PA merilis jumlah tawuran pelajar tahun ini sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Di Bekasi Misalnya Rabu (18/2), terjadi baku pukul antara pelajar putih abu-abu ini di depan gelanggang Olah Raga Bekasi, jawa Barat. Seorang pelajar sekolah menengah tewas karena tusukan di punggung yang menembus ke paru-paru. Di Sukabumi aksi tawuran yang melibatkan dua sekolah kejuruan, yakni SMK Lodaya dan SMK Dwi Darma. Pada aksi tawuran ini yang menjadi korban adalah Adi siswa kelas dua SMK Lodaya terkena sabetan clurit milik siswa SMK Dwi Darma. Di Purwakarta, Jawa Barat tawuran antar pelajar melibatkan siswa SMK teknik Industri dan SMK Bintar. Kejadian dipicu saling ejek dan penghadangan siswa SMK Teknik Industri terhadap SMK Bintar. (Sumber: www.seputar-indonesia.com)

Ada dua faktor penyebab terjadinya tawuran antara pelajar dan mahasiswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu yang terdapat dalam diri remaja seperti emosi yang tidak terkendali, mudah tersinggung, sehingga saling mengejek yang menimbukan keinginan untuk balas dendam karena merasa terganggu dan terhina. Menurut Anne Ahira (2012), tawuran antar


(3)

1. Ketersinggungan salah satu kawan yang ditanggapi dengan rasa setia kawan yang berlebihan.

2. Permasalahan yang sudah mengakar dalam sejarah yang menyebabkan pelajar dua sekolah saling bermusuhan.

3. Jiwa premanisme yang tumbuh dalam jiwa pelajar.

Rasa setia kawan atau lebih dikenal dengan solidaritas adalah hal yang lumrah kita temukan dalam kehidupan. Rasa setia kawan akan menjadi indah manakala ditempatkan dalam posisi yang benar dan seimbang. Namun rasa setia kawan yang buruk akan menyebabkan hal yang tidak baik. Persahabatan berkontribusi pada status teman sebaya dan memberikan beberapa manfaat yang lain (Parker & Asher, 1987):

1. Pertemanan. Persahabatan memberikan anak seorang teman akrab, seseorang yang bersedia untuk menghabiskan waktu dengan mereka dan bergabung dalam aktivitas kolaborative.

2. Dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumber dan bantuan kapan pun dibutuhkan.

3. Dukungan ego. Persahabatan membantu anak merasa bahwa mereka adalah individu-individu yang berkompeten dan berharga. Selain itu adalah dukungan sosial dari teman-temannya.

4. Keintiman/kasih sayang. Persahabatan memberi anak-anak suatu hubungan yang hangat, penuh kepercayaan, dan dekat dengan orang lain. Dalam hubungan ini, anak-anak merasa nyaman dan terbuka untuk berbagai informasi pribadi.


(4)

Mempunyai teman-teman yang terampil secara sosial dan sportif merupakan suatu keuntungan dalam perkembangan. Namun memiliki persahabatan yang dikendalikan dengan konflik dan paksaan bukanlah suatu keuntungan dalam perkembangan. Para remaja mengatakan bahwa mereka lebih bergantung kepada teman-teman mereka daripada dengan orang tua untuk memuaskan kebutuhan pertemanan, perasaan berharga dan keintiman (Furman & Buhrmester: 1992).

Hubungan dengan teman sebaya mempunyai berbagai macam fungsi, yang banyak diantaranya dapat memfasilitasi proses belajar dan perkembangan anak. Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan yang dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk memcahkan konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982- dalam Didi Tarsidi, 2010)

Adapun yang menjadi faktor eksternal yaitu pertama faktor keluarga misalnya kekerasan dalam rumah, kekerasan yang dimaksud bukan hanya individu pelajar saja yang menjadi korban kekerasan namun kekerasan yang terjadi terhadap anggota keluarga yang lainnya. Kedua, faktor sekolah yang kurang perhatian terhadap kegiatan orientasi sekolah yang cenderung disalahgunakan oleh senior untuk dijadikan ajang balas dendam dari apa yang pernah dia terima ketika mereka dulu menjadi junior.

Ketiga, faktor lingkungan masyarakat yang tidak menguntungkan bagi perkembangan siswa seperti tidak ada wadah/sarana untuk menyalurkan


(5)

kreativitas yang dimiliki oleh warga. Selain itu, dampak dari kemajuan teknologi yang tidak dapat menyaring perilaku kurang baik yang mudah diakses dari internet maupun media televisi tentang permusuhan, tawuran serta konflik di masyarakat.

Fenomena tawuran antar pelajar yang sering terjadi menandakan bahwa mereka tidak memiliki kompetensi sosial yang baik Hal tersebut dipertegas dengan mudahnya siswa terutama siswa remaja terbakar emosinya dan mengesampingkan daya nalar sehingga perilaku saling menghormati, menghargai, dan menyayangi antar sesama tidak dihiraukan lagi. Untuk itu siswa remaja perlu mendapatkan pengetahuan tentang menjalin hubungan yang baik terhadap teman dan masyarakat. Jika aspek kompetensi sosial ini diabaikan dan tidak dibina secara baik maka dapat diprediksi dikemudian hari akan terjadi kemerosotan moral secara cepat pada generasi muda terutama remaja. Pembinaan kompetensi sosial pada siswa khususnya siswa remaja memerlukan penanganan yang serius karena aspek sosial merupakan salah satu aspek perkembangan remaja yang signifikan guna tercapainya kematangan diri.

Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya turut andil dalam perkembangan karakter anak.


(6)

Dampak dari pertikaian antar pelajar yaitu siswa enggan masuk sekolah bahkan banyak yang menjadi depresi sehingga prestasi belajar menurun. Hal itu menjadikan miris dan mencoreng dunia pendidikan karena pendidikan juga merupakan salah satu media paling efektif untuk melahirkan generasi yang lebih baik untuk memimpin bangsa.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki multi budaya. Sampai saat ini tercatat lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999 dalam http://adisanjaya24blogspot.com). Keragaman budaya yang dimiliki menjadi aset yang sangat berharga sehingga Indonesia menjadi terkenal di dunia Internasional. Suwanto (2010: 55) mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat majemuk diperlukan toleransi dan integrasi sosial sebagai usaha untuk menjalin hubungan yang serasi dengan berbagai individu yang berasal dari lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Penyelesaian konflik antar pelajar secara sistematis lewat jalur pendidikan merupakan salah satu alternatif strategis yang penting untuk dipertimbangkan, karena salah satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk meningkatkan kepekaan sosial dan tampilan personal yang empatik. Pendidikan juga pada hakekatnya merupakan proses pembentukan budaya Indonesia yang memiliki keragaman yang disebut dengan “Bhineka Tunggal Ika” dapat memberi ide untuk menciptakan suatu model pendidikan yang dapat mengakomodir keragaman, sehingga menjadi satu kekuatan dalam membangun karakter (character building) bangsa yang saling menghormati dan toleran terhadap


(7)

keragaman, serta dapat menjadikan negara yang aman tentram, berbudaya, dan dihargai bangsa lain.

Pendidikan merupakan kunci untuk menanamkan moral dan perilaku dalam rangka memelihara keteraturan sosial yang diinginkan. Disamping menanamkan ilmu pengetahuan, sekolah harus membantu mengembangkan rasa kesetiaan terhadap negara. Hal ini dapat diartikan bahwa sekolah tidak hanya mengasah aspek yang berkenaan dengan sisi akademik saja namun perlu mengasah aspek non akdemis seperti perasaan atau soft skill.

Kebudayaan secara sepesifik menanamkan konsep-konsep, gagasan-gagasan dan keyakinan yang unik, dengan demikian anak-anak dari latar belakang budaya yang berbeda akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan cara berfikir yang berbeda pula. Apabila sekolah ingin berhasil mendidik anak menjadi individu yang berkarakter yaitu individu yang berakhlak baik dan memahami nilai-nilai budaya, maka hendaknya memperhatikan kebudayaan yang dimiliki setiap peserta didik, sehingga mereka merasa bangga dengan budayanya, dan ini akan menjadi pemersatu dan saling menghargai satu sama lain.

Dirjarkara (Naim & Sauqi, 2008) menjelaskan bahwa pendidikan adalah suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antar pribadi, dan dalam komunikasi tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia (hominisasi) dan proses pengembangan kemanusiaan manusia (humanisasi). Dengan demikian pendidikan harus membantu orang agar tahu dan mampu bertindak sebagai manusia. Selanjutnya Sudarminata (Naim & Sauqi, 2008) menjelaskan bahwa pendidikan secara luas sebagai usaha yang dilakukan pendidik melalui bimbingan, pengajaran


(8)

serta latihan untuk membantu anak didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa susila.

Selanjutnya bila melihat kembali fenomena tawuran yang sering terjadi dalam dunia pendidikan saat ini terutama yang dilakukan oleh para siswa remaja seperti tawuran antar siswa SMA/SMK atau maraknya geng motor yang sering merusak bahkan melukai sampai membunuh orang yang ditemuinya, hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan salah satu misi pendidikan yaitu memanusiakan manusia secara manusiawi (humanisasi). Fenomena tersebut dapat dipahami karena remaja adalah individu yang berada pada masa yang penuh dengan permasalahan. Lustin Pikunas mendefinisikan remaja sebagai masa yang dikenal dengan masa strom and stress, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuiaan, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa. (Yusuf, 2004: 184).

Pentingnya pengetahuan dan pemahaman kompetensi sosial dimiliki oleh siswa khususnya siswa remaja agar siswa mampu menempatkan diri secara efektif maka diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Upaya tersebut dapat dikemas dalam bentuk layanan konseling multibudaya karena dalam layanan konseling multibudaya, siswa difasilitasi untuk mampu memahami psikofisik diri sendiri dan psikofisik orang lain sehingga mampu menempatkan diri secara efektif dilingkungan tempat siswa hidup.

Seorang konselor dituntut untuk memahami nilai-niai dari subkultur yang dianut konseli sehingga mempengaruhi perilaku dan persoalan konseli. Konselor


(9)

harus memikirkan cara untuk meningkatkan layanan mereka dengan cara mengembangkan program yang menjangkau semua siswa.

Layanan konseling multibudaya dalam konteks lembaga pendidikan (sekolah) lebih menitikberatkan pada relasi layanan konselor professional dengan siswa yang didalamnya terdapat penghargaan yang berarti terhadap konteks budaya. Dalam proses layanan konseling multibudaya tersebut konselor dituntut secara penuh memahami aspek bahasa, nilai, keyakinan, kelas sosial, tingkatan akulturasi, ras dan etnis dari konseli (siswa) dan selalu menggunakan teknik dan intervensi konseling yang konsiten dengan nilai budaya tersebut.

Kenyataannya di Sekolah Menengah Atas (SMA) BPI 2 Kota Bandung ditemukan keragaman siswa dalam berbagai hal seperti budaya, sosial ekonomi, dan latar belakang keluarga, sehingga berpengaruh terhadap kompetensi sosial setiap siswa. Hal ini akan menjadi suatu pekerjaan bagi pihak sekolah termasuk kepala sekolah, guru, konselor, dan staf lain agar dapat memberikan pemahaman kepada siswa untuk hidup bersama dalam perbedaan dengan cara meningkatkan kompetensi sosial yang lebih baik diantara siswa.

Upaya yang dilaksanakan sekolah selama ini untuk meningkatkan kompetensi sosial antara lain: setiap hari Jumat diwajibkan untuk mengikuti kegiatan solat Dhuha berjamaah yang diteruskan dengan ceramah keagamaan bagi mereka yang beragam Islam, begitu juga bagi mereka yang beragama Kristen mengikuti kegiatan kerohanian. Selain itu siswa diwajibkan melaksanakan solat dzuhur berjamaah karena sekolah dilaksanakan sampai pukul 15.00. Untuk memupuk rasa dermawan dan empati, bagi teman yang kurang mampu dan


(10)

membutuhkan bantuan, setiap kelas mengedarkan semacam kencleng yang diisi dengan sukarela setiap minggu sekali di hari jumat.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa yaitu dengan layanan konseling multibudaya yang diharapkan akan menimbulkan kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran terhadap semua keragaman sehingga masalah tawuran, bullying, dan permasalahan dapat dicegah. Layanan konseling multibudaya dapat berperan membantu individu dan kelompok yang menggunakan perawatan sesuai dengan pengalaman hidup dan nilai kultur konseli. Peningkatan kompetensi sosial siswa perlu dilakukan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena negatif yang dilakukan oleh siswa yang bersumber pada kompetensi sosial terutama penempatan diri, penerimaan diri serta penerimaan diri orang lain yang masih rendah. Selanjutnya layanan konseling multibudaya untuk mengingkatkan kompetensi sosial siswa tersebut dikemas dalam suasana kelompok berdasarkan keuntungan-keuntungan yang didapat dari kontribusi kelompok terhadap perilaku anggota kelompok.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2012) menunjukkan bahwa penerapan konten-konten multibudaya efektif untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor, dengan peningkatan skor sebesar 19,47%. Sebelum dilakukan penelitian capaian kepekaan multibudaya calon konselor sebesar 71,12%, namun setelah dilakukan tingkat pencapaian kepekaan multibudaya meningkat menjadi 90,60%.


(11)

Adapun hasil penelitian lain yang relevan adalah hasil penelitian Morina (2009: 87), diketahui bahwa sebanyak 71,71% siswa mengalami kesulitan menjalin hubungan interpersonal dengan guru bidang studi, 71,24% siswa menunjukkan tidak memiliki minat dan partisipasi terhadap kegiatan ekstrakurikuler.

Berdasarkan rasional tersebut penelitian ini difokuskan pada peningkatan kompetensi sosial siswa yang dikemas dalam program layanan konseling multibudaya dengan suasana kelompok yang aktif, partisifatif dan reflektif. Di dalam program layanan konseling multibudaya untuk mengingkatkan kompetensi sosial siswa terdapat kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kompetensi siswa.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Permasalahan serius yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dewasa ini adalah sering terjadinya tawuran antar pelajar, salah satu pemicunya dikarenakan siswa kurang memiliki kompetensi sosial. Sedangkan kompetensi sosial itu merupakan suatu aspek dasar yang harus dimiliki oleh individu terutama remaja sebagai salah satu media atau cara yang positif untuk mencapai suatu tujuan dalam memenuhi kebutuhan.

Selanjutnya menurut Goleman (1969:435) kompetensi sosial tidak dapat dicapai dengan mempelajari teknik-teknik tertentu atau keterampilan tertentu tetapi kompetensi sosial tumbuh dengan sendirinya melalui kondisi-kondisi seperti: (a) rasa hormat yang tulus dan perhatian kepada orang lain, saling berbagi,


(12)

dan menerima tanggung jawab yang diberikan; (b) memandang diri dan orang lain secara realistis; (c) mampu berkomunikasi dan sesuai struktur dalam suatu hubungan; dan (d) kemampuan dan kesediaan untuk memberi sesuai kebutuhan orang lain.

Mencermati begitu pentingnya kompetensi sosial dimiliki dan terbangun secara optimal pada diri siswa sebagai suatu aspek dasar dalam penyesuaian diri dan pencapaian tujuan diri maka diperlukan suatu upaya yang difokuskan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Peningkatan kompetensi sosial siswa dilakukan guna memfasilitasi siswa terutama siswa remaja menjadi pribadi yang matang. Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi sosial pada siswa SMA yaitu dengan diberikannya konseling multibudaya supaya mereka mampu menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu.

Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini “Program Konseling Multibudaya Bagaimana yang

Efektif untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa di Sekolah Menengah Atas”.

Secara rinci pertanyaan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut: 1. Seperti apa profil kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 di Kota Bandung

tahun ajaran 2011/2012?

2. Bagaimana rumusan program konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa di SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012?


(13)

3. Bagaimana tingkat efektivitas program konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun program konseling multibudaya. Tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui profil kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 di Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012?

2. Untuk mengembangkan rumusan program konseling multibudaya dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa di SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012?

3. Untuk mengetahui efektivitas program konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya dan mengembangkan program konseling multibudaya dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa di SMA.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh guru dan konselor sebagai rujukan dalam memberikan bimbingan


(14)

konseling multibudaya kepada peserta didik di SMA BPI 2 Kota Bandung.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan program konseling multibudaya yang efektif dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif-kualitatif dengan metode penelitian pra eksperimen dengan pretest-posttest one group design. Pengumpulan data menggunakan angket kompetensi sosial dengan teknik analisis statistika inferensial.

Langkah-langkah penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu Studi eksploratif, penyusunan program layanan konseling multibudaya dan validasi, dan uji coba lapangan. Pada studi eksploratif dilakukan kajian literature tentang konseling multibudaya, kompetensi sosial, dan kajian empirik mengenai kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung. Sintesis hasil studi pendahuluan menjadi dasar untuk pengembangan program hipotetik konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA yang selanjutnya divalidasi secara rasional oleh pakar bimbingan dan konseling. Berikutnya dilakukan validasi empirik melalui ujicoba lapangan dengan pretest-posttest.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung tahun ajaran 2011-2012 sebanyak 74 siswa, dan sampel sebanyak 12 orang siswa yang memiliki tingkat kompetensi sosial berada pada kategori kurang.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memungkinkannya pencatatan dan analisis data hasil penelitian secara numerik menggunakan perhitungan statistik mengenai efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk memungkinkan dilakukannya pencatatan selama observasi sebagai penunjang data.

Metode penelitian yang digunakan yaitu pra eksperimen, yakni mengujicobakan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa pada satu kelompok eksperimen tanpa adanya kelompok kontrol. Selanjutnya desain penelitian menggunakan pretest-posttest one group design dimana adanya pemberian tes awal sebelum diberi tindakan dan tes akhir setelah diberi tindakan pada kelompok eksperimen.

Selanjutnya berdasar pada tujuan penelitian maka secara operasional langkah-langkah pengembangan layanan konseling multibudaya yang akan digunakan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa yaitu sebagai berikut :

1. Studi eksploratif, merupakan langkah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif lapangan sebagai dasar terselenggarakannya penelitian. Terdapat tiga kegiatan dalam langkah ini yakni (a) pemahaman tentang tingkat pentingnya masalah penelitian (need


(16)

assessment), (b) pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif lapangan dalam mendukung keterlakasanaan penelitian, (c) studi pustaka, merupakan proses pencarian merumuskan kerangka teoritik layanan konseling multibudaya dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa khususnya yang berkaitan dengan konsep, teori, dan laporan penelitian tentang (a) konseling multibudaya, (b) perkembangan aspek sosial remaja, (c) kompetensi sosial siswa remaja, (d) kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa.

2. Penyusunan program layanan konseling multibudaya dan validasi. Dalam kegiatan ini dirumuskan secara hipotetik tujuan penyusunan layanan konseling multibudaya, yaitu dihasilkannya layanan konseling multibudaya yang dapat meningkatkan kompetensi sosial siswa. Selanjutnya penetapan kriteria layanan konseling multibudaya yaitu kriteria materi kegiatan disesuaikan dengan aspek-aspek kompetensi sosial dalam penelitian ini. Layanan konseling multibudaya yang dikembangkan merupakan kegiatan yang praktis dan layak secara teoritis untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Model hipotetik yang dikembangkan dibangun dengan komponen model yang meliputi (a) rasional, (b) tujuan, (c) mekanisme dan langkah-langkah, (d) strategi dan teknik pelaksanaan, (e) kriteria keberhasilan, dan (f) model evaluasi. Setelah kegiatan ini dilanjutkan dengan verifikasi dan validasi oleh Pakar dan Praktisi; Pakar yang akan diminta untuk memberi timbangan tentang kelayakan model hipotetik adalah : (1) pakar dan praktisi bimbingan dan konseling kelompok, (2) pakar dan praktisi konseling


(17)

multibudaya. Selanjutnya revisi program layanan konseling, pada tahapan revisi layanan dilakukan perumusan kembali layanan konseling multibudaya hipotetik yang telah divalidasi oleh para pakar dan praktisi dengan mengakomodasi saran-saran dan rekomendasi yang telah diberikan. Target utama dari tahapan ini adalah diperolehnya rumusan layanan konseling multibudaya yang siap diujicobakan.

3. Uji coba lapangan untuk mengetahui keterlaksanaan dan keefektifan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa yang telah teruji menurut uji kelayakan dan menghasilkan program konseling multibudaya yang telah teruji.

Secara skematis langkah-langkah kegiatan penelitian di atas digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1

Skematis Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian

TAHAPAN KEGIATAN HASIL

Studi Pendahuluan

Uji Lapangan Operasional Penyusunan Program

Dan Validasi

- Kajian Literatur - Assemen Kebutuhan - Rancangan Program

- Validasi Isi - Validasi Empirik - Revisi Program

- Uji Efektivitas - Revisi Program

Program Teruji Program Operasional

Program Hipotetik


(18)

Selanjutnya alur tahapan pelaksanaan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap sebagai berikut.

1. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut :

a. Penyusunan proposal penelitian dan konsultasi proposal bersama dosen pembimbing akademik dan disahkan dengan persetujuan dari dewan penguji proposal penelitian dan ketua program studi.

b. Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing disertasi pada tingkat Sekolah Pascasarjana.

c. Mengajukan permohonan izin penelitian dari Pogram Studi Bimbingan dan Konseling yang memberikan rekomendasi untuk melanjutkan ke tingkat Sekolah Pascasarjana dan rektor UPI. Selanjutnya mengajukan permohonan penelitian pada SMA BPI 2 Kota Bandung.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut :

a. Menguji coba kelayakan instrumen kompetensi sosial siswa pada siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung secara acak sebanyak 74 orang tahun ajaran 2011-2012.

b.Mengumpulkan data studi pendahuluan untuk mengetahui need assessment dan juga sebagai data pre-test dengan menyebarkan instrumen pada 74 orang responden siswa kelas X SMA BPI 2 Kota


(19)

c. Menentukan sampel penelitian yaitu siswa kelas X tahun akademik 2011/2012. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan tingkat komptensi sosial siswa yang berada dibawah kategori sedang.

d. Pelaksanaan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung pada tanggal 1 Juni - 29 Juni 2012 bertempat di ruang kelas X lantai 1 Gedung SMA BPI 2 Kota Bandung.

e. Mengumpulkan data post-test untuk memperoleh data efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa.

3. Tahap Akhir

Pada tahap akhir dilakukan pengolahan dan menganalisis data tentang efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa serta kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011-2012 dengan kriteria : (a). Terdaftar secara administratif sebagai siswa SMA BPI 2 Kota Bandung dan (b). Masih aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMA BPI 2 Kota Bandung.

Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan atas


(20)

pertimbangan-pertimbangan tertentu atau tujuan tertentu. (Riduwan, 2006). Pertimbangan dan tujuan tertentu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada data siswa yang memiliki kompetensi sosial kurang berdasarkan studi pendahuluan. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 74 siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012 diketahui sebanyak 12 orang siswa tingkat kompetensi sosialnya berada pada kategori rendah sehingga 12 orang siswa tersebut perlu ditingkatkan kepekaan multibudayanya dan mendapatkan intervensi sesuai dengan fokus masalah penelitian.

C. Definisi Operasional Variabel

Terdapat dua variabel utama dari penelitian ini yaitu variabel bebas dan variable terikat. Variable bebas dalam penelitian ini adalah layanan konseling multibuadaya sedangkan variabel terikat penelitian adalah kompetensi sosial.

Berikut dikemukakan penjelasan beberapa hal yang berkaitan dengan variabel-variabel secara operasional.

1. Konseling Multibudaya

Konseling multibudaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses konseling yang dilakukan oleh konselor dengan memperhatikan keragaman siswa dalam hal: latarbelakang budaya, sosial ekonomi, keyakinan, kemampuan, kepribadian, dan sebagainya dimana terdapat transformasi pengalaman dari kegiatan ilustratif yang diikuti siswa, melibatkan aktivitas kognitif, afektif dan


(21)

konasi dalam suasana yang menyenangkan sebagai sumber belajar dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi sosial

Layanan konseling multibudaya yang diaplikasikan disusun berdasarkan aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan dikembangkan dan berdasarkan hasil kebutuhan dasar (need assessment) dari studi pendahuluan. Layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa secara operasional dilakukan dengan proses dinamika kelompok.

2. Kompetensi sosial

Berdasarkan beberapa batasan definisi teoritis dan empiris yang dimaksud dengan kompetensi sosial dalam penelitian ini merupakan kemampuan siswa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal yang ditandai dengan aspek sebagai berikut.

a. Environment behavior (perilaku berkenaan dengan lingkungan), yaitu

kemampuan memandang orang-orang di sekitar individu sesuai norma yang dianut pada lingkungan tertentu yang terdiri dari indikator peduli lingkungan, keadaan darurat dan mengitari lingkungan

b. Interpersonal behavior (perilaku interpersonal), yaitu berperilaku positif

dengan lingkungan sosialnya yang terdiri dari indikator menerima otoritas, mengatasi konflik, membantu orang lain, menghormati privasi orang lain, komunikasi.


(22)

sendiri yang terdiri dari indikator menerima konsekuensi, sikap positif terhadap diri sendiri, dan bertanggungjawab.

d. Task-related behavior (perilaku yang berhubungan dengan tugas), yaitu

berperilaku sesuai dengan tuntutan dan kewajiban untuk mendapatkan penghargaan sosial yang terdiri dari indikator diskusi kelas dan menyelesaikan tugas.

D. Pengembangan Instrumen Penelitian 1. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua instrumen, pertama instrumen pengungkap data yang dikembangkan berdasarkan konstruk kompetensi sosial siswa dikemukakan oleh Hurlock (1980: 213); Goleman (1969: 435); dan (Cartledge & Milburn, 1992: 335-359).

Kedua, instrumen yang dikemas dalam bentuk jurnal kegiatan harian. Jurnal kegiatan harian adalah instrumen yang digunakan untuk mengungkap apresiasi peserta terhadap pelaksanaan layanan konseling multibudaya pada setiap sesi. Selanjutnya kisi-kisi instrumen kompetensi sosial siswa disajikan dalam Tabel 3.1 berikut.


(23)

Tabel 3.1

Kisi-Kisi Instrumen Kompetensi Sosial Siswa SMA Sebelum Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Variabel Aspek Indikator No Item

Kompetensi Sosial

Environmental behavior (Perilaku berkenaan dengan Lingkungan)

1. Peduli Lingkungan 2. Gerak mengitari

lingkungan

1-4 5-10

Interpersonal behavior (Perilaku Interpersonal)

1. Menerima otoritas 2. Mengatasi konflik 3. Sopan santun

4. Membantu orang lain 5. Bersikap positif pada

orang lain

6. Menghormati privasi dan orang lain

7. Komunikasi 11-14 15-19 20-25 26-30 31-36 37-40 41-46 Self related behavior

(Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri)

1. Menerima konsekuensi 2. Sikap positif terhadap diri

diri sendiri

3. Perilaku bertanggung jawab

47-50 51-53 54-58

Task-related behavior (Perilaku yang berhubungan dengan tugas)

1. Diskusi kelas

2. Menyelesaikan tugas-tugas

59-63 64-69

2. Penimbangan Instrumen Penelitian

Penimbangan instrument dilakukan untuk memperoleh item angket yang layak pakai. Instrumen penelitian ditimbang oleh tiga orang penimbang untuk dikaji secara rasional dari segi isi dan redaksi item, serta ditelaah kesesuaian item dengan aspek-aspek yang diungkap. Ketiga penimbang tersebut adalah Dr. Ipah saripah, Dr. Mubiar dan Dr. Ilfiandra yang memiliki keahlian dan pengalaman yang memadai serta berkualifikasi pendidikan doktor konseling.


(24)

Setiap penimbang memberikan koreksinya. Item yang menurut penimbang kurang layak, baik secara konstruk maupun kebahasaannya, dilakukan revisi seperlunya sesuai dengan saran-saran para penimbang tersebut.

Pada langkah berikutnya sebelum dilakukan uji coba instrument, dihadirkan lima orang siswa dan dua orang guru untuk melakukan keterbacaan terhadap setiap butir item instrument. Setiap masukan yang diberikan dijadikan bahan untuk perbaikan dan pengembangan instrument yang akan diujicobakan.

3. Validitas Item dan Reliabilitas Instrumen a. Pengujian Validitas Item

Langkah uji validitas butir pernyataan (item) dilakukan dengan menggunakan korelasi item total product moment untuk mencari validitas item dan untuk melihat signifikansi menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007.

Hasil pengujian validitas instrumen kompetensi sosial dengan menggunakan teknik item total product moment, dari 69 butir pernyataan yang disusun terdapat 6 item pernyataan yang dinyatakan tidak valid dengan nomor pernyataan 2,8, 25, 42, 50, dan 51.

b. Reliabilitas Instrumen

Setelah diuji validitas setiap item selanjutnya alat pengumpul data tersebut diuji tingkat reliabilitasnya. Realibilitas berhubungan dengan masalah ketetapan atau konsistensi instrumen. Reliabilitas instrument berarti bahwa suatu instrumen


(25)

instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang dipercaya atau reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapakalipun diambil, tetap akan sama.

Dalam pengujian reliabilitas instrumen, digunakan bantuan perhitungan dengan Alpha.

Tabel 3. 2

Indeks Korelasi Menurut Guilford No. Indeks Koefisien

Korelasi

Kualifikasi 1 = 1,00 Korelasi sempurna 2 0,90 – 1,00 Korelasi sekali 3 0,70 – 0,90 Korelasi tinggi 4 0,40 – 0,70 Korelasi sedang 5 0,20 – 0,40 Korelasi rendah 6 Kurang dari 0,20 Tidak ada korelasi

Hasil uji reliabilitas instrumen kompetensi sosial dengan menggunakan bantuan program Microsoft Office Excel 2007 diperoleh koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,88. Mengacu pada klasifikasi rentang koefisien Guilford (Subino, 1987), koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,88 ternasuk ke dalam kategori korelasi tinggi.

E. Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data 1. Pedoman Skoring

Instrumen pengungkap data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi yang diaplikasikan dengan format skala penilaian sikap dengan alternatif respon pernyataan sebanyak tiga respon. Ketiga alternatif respon tersebut adalah: 1) Sering (S) diartikan baik; 2) Kadang-kadang (K) diartikan


(26)

cukup; dan 3) Tidak Pernah (TP) diartikan kurang. Secara sederhana, setiap alternatif respon mengandung arti dan nilai skor sebagai berikut.

Tabel 3. 3

Pola Skor Opsi Alternatif Respon

Pernyataan

Opsi Alternatif Respons

S K TP

Favorabel (+) 3 2 1

Un-Favorabel (-) 1 2 3

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument angket dan observasi agar data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data tentang kompetensi sosial siswa serta efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa sehingga pengumpulan data dilakukan secara dua kali, yaitu pretest dan posttest dengan menggunakan isntrumen yang sama.

Observasi dilakukan dengan menggunakan jurnal harian yang berisi beberapa pernyataan refleksi dari kegiatan konseling yang diisi setelah siswa mengikuti layanan konseling.

3. Teknik Analisis Data

a. Profil Kompetensi Sosial Siswa

Langkah-langkah dalam membuat profil tingkat kompetensi sosial siswa sebelum dan setelah penerapan layanan konseling multibudaya adalah sebagai


(27)

1) Menentukan skor maksimal ideal yang diperoleh sampel: Skor maksimal ideal = jumlah soal x skor tertinggi

Aspek Skor Maksimal Ideal Keseluruhan = 63 x 3 = 189

Aspek 1 = 8 x 3 = 24 Aspek 2 = 34 x 3 = 102 Aspek 3 = 10 x 3 = 30 Aspek 4 = 11 x 3 = 33

2) Menentukan skor minimal ideal yang diperoleh sampel: Skor minimal ideal = jumlah skor x skor terendah

Aspek Skor Minimal Ideal Keseluruhan = 63 x 1 = 63

Aspek 1 = 8 x 1 = 8 Aspek 2 = 34 x 1 = 34 Aspek 3 = 10 x 1 = 10 Aspek 4 = 11 x 1 = 11

3) Mencari rentang skor ideal yang diperoleh sampel : Rentang skor = skor maksimal ideal – skor minimal ideal

Aspek Rentang Skor

Keseluruhan = 189 – 63 = 126 Aspek 1 = 24 – 8 = 16 Aspek 2 = 102 – 34 = 68 Aspek 3 = 30 – 10 = 20 Aspek 4 = 33 – 11 = 22


(28)

4) Mencari interval skor :

Interval skor = rentang skor / 3

Aspek Interval Skor

Keseluruhan = 126 / 3 = 42 Aspek 1 = 16 / 3 = 5,33 Aspek 2 = 68 / 3 = 22,67 Aspek 3 = 20 / 3 = 6,67 Aspek 4 = 22 / 3 = 7,33

Berdasarkan langkah-langkah di atas, kemudian didapat kriteria sebagai berikut :

Tabel 3.4

Kriteria Profil Tingkat Kompetensi Sosial Siswa

Aspek Kriteria Interval

Keseluruhan

Baik 148 - 189

Cukup 106 - 147 Kurang 63 - 105 Aspek 1

Baik 20 - 24

Cukup 14 - 19

Kurang 8 - 13

Aspek 2

Baik 80 - 102

Cukup 58 - 79

Kurang 34 - 57

Aspek 3

Baik 24 - 30

Cukup 18 - 23

Kurang 10 - 17

Aspek 4

Baik 27 - 33

Cukup 19 - 26

Kurang 11 - 18

Setiap kategori interval diasumsikan mengandung pengertian sebagai berikut.

Baik : Siswa pada level ini memiliki kompetensi sosial sangat optimal pada setiap aspeknya, dengan kata lain siswa pada level ini memiliki mampu berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungn tempat siswa tersebut tinggal sangat optimal.


(29)

Cukup : Siswa pada level ini memiliki kompetensi sosial yang cukup optimal pada setiap aspeknya, dengan kata lain siswa pada level ini mampu berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal cukup optimal.

Kurang : Siswa pada level ini memiliki kompetensi sosial yang kurang optimal pada setiap aspeknya, dengan kata lain siswa pada level ini mampu berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal kurang optimal.

b. Pengujian Hipotesis

Sebelum pengujian hipotesis dilakukan, dilakukan uji normalitas dengan menggunakan statistik uji Z Kolmogrov-Smirnov (p > 0,05) dengan menggunakan bantuan SPSS 18.0. Pengujian efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa dilakukan dengan uji t berpasangan (paired sample t test) sebagai berikut:

a. Dasar pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan dilakukan dengan dua cara, yaitu membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau dengan membandingkan nilai probabilitas yang diperoleh dengan α = 0,05.

Jika pengambilan keputusannya berdasarkan nilai t hitung maka

kriterianya adalah Ho diterima jika – t 1–½ α < t hitung < t 1–½ α, dimana t 1–½ α

didapat dari daftar tabel t dengan dk = (n1 + n2– 1) dan peluang 1- ½ α. Untuk

harga-harga t lainnya Ho ditolak.

Jika pengambilan keputusannya berdasarkan angka probabilitas (nilai p), maka kriterianya adalah:


(30)

2) Jika nilai p > 0,05, maka Ho diterima b. Mencari t hitung

Tahapan mencari t hitung adalah sebagai berikut:

1) Menghitung selisih (d), yaitu data pretest – data posttest. 2) Menghitung total d, lalu mencari mean d.

3) Menghitung d – (d rata-rata), kemudian mengkuadratkan selisih tersebut, dan

menghitung total kuadrat selisih tersebut. 4) Mencari Sd2, dengan rumus:

Sd2 = 1

�−1 x [total (d – d rata-rata) 2

] 5) Mencari t hitung dengan rumus:

t

hitung

=

� �� � Keterangan:

� : rata-rata d Sd : Standar deviasi


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis serta pembahasan data empiris penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian telah tercapai yaitu dengan diperolehnya program layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Selanjutnya secara rinci terdapat beberápa kesimpulan yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, yaitu sebagai berikut.

1. Pada umumnya siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung Tahun Akademik 2011/2012 memiliki kompetensi sosial yang cukup baik dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan; memandang orang-orang di sekitar individu sesuai norma yang dianut pada lingkungan tertentu; berperilaku positif dengan lingkungan sosialnya; berperilaku atas dasar pertimbangan dan penghayatan terhadap diri sendiri; serta berperilaku sesuai dengan tuntutan dan kewajiban untuk mendapatkan penghargaan sosial.

2. Rumusan program layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung Tahun Akademik 2011/2012, berisi (a) Dasar pemikiran, (b) tujuan, (c) sasaran, (d) konten/materi, (f) mekanisme implementasi, (g) indikator keberhasilan dan (h) evaluasi. Dalam pelaksanaannya materi diberikan dalam bentuk


(32)

3. Progam layanan konseling multibudaya efektif meningkatkan kompetensi sosial siswa secara keseluruhan terutama dalam aspek perilaku yang berhubungan dengan interpersonal, akan tetapi masih terdapat yang kurang efektif dalam aspek perilaku yang berhubungan dengan lingkungan, berhubungan dengan diri sendiri dan berhubungan dengan tugas.

B. Saran

Hasil penelitian ini memberikan implikasi kepada berbagai pihak sehingga disarankan melakukan pengkajian lebih jauh untuk meningkatkan bidang keilmuan bimbingan dan konseling multibudaya, seperti hal-hal berikut ini.

1. Bagi Sekolah

Untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa ke arah yang lebih baik, seperti untuk menggugah rasa peduli lingkungan, sekolah hendaknya menciptakan lingkungan sekolah yang asri dan bersih, yang wajib dipelihara dan dijaga oleh semua, kemudian untuk meningkatkan perilaku yang berhubungan dengan interpersonal sekolah menyelenggarakan kegiatan yang diikuti oleh semua siswa,guru dan staf lain, sehingga terbangun kebersamaan dan kedekatan diantara semua warga di sekolah. Selain itu sekolah menyelenggarakan kegiatan unjuk kebolehan/ kemampuan siswa dalam mengembangkan potensi akademik maupun potensi lain sepertu musik, spatsial ruang dan kinistetik, sehingga siswa saling menghargai terhadap kemampuan dan keberadaan orang lain.

2. Bagi Praktisi Bimbingan dan Konseling di SMA BPI 2 Bandung Praktisi Layanan bimbingan dan konseling dalam memberikan layanan


(33)

memfasilitasi secara kognitif untuk menggugah kesadaran, pemahaman, dan kemampuan menempatkan diri siswa secara efektif dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa terutama berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan; memandang orang-orang di sekitar individu sesuai norma yang dianut oleh lingkungan tersebut.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan penelaahan yang mendalam terhadap kompetensi sosial siswa yang masih kurang efektif seperti aspek perilaku yang berhubungan dengan lingkungan, berhubungan dengan diri sendiri dan berhubungan dengan tugas.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, G. R., (1983). Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity, Locus of Control, And Peer Popularity. Journal of Youth and Adolescence. Vol. 12, No. 03, 203-211.

Ahira, Anne. (2012). Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar. (online). Tersedia di: http://www.anneahira.com/tawuran-antar-pelajar.htm. (3 September 2012). Arrendodo, P. et. al. (1996). Operationalization of the Multicultural Counseling

Competencies. Alexandria: AMCD.

Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. Boston: Pearson.

Bellack, A.S. & Hersen, M., (1977). Behavior Modification: An Introductory Textbook. Baltimore: Williams & Wilkins.

Blocher. (1974). Develompental Counseling. New York : John Willey & Sons.

Buckley, Roger, Caple, Jim. (1991). One-to-One Training and Coaching Skills. London: Kogan Page.

Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds). (1997). Developmentally Appropriate Practice In Early Childhood Programs (rev. ed.). Washington, DC: National Association for The Education of Young Children

Brown,S., & kysilka, M. (2002). Adolescents’ relationships with peers. In R. lerner &

L. Steinberg (Eds.), Handbook of adolescent psychology (2nd ed). New York:

Wiley.

Cartledge, G & Milburn, J.F. (1992). Teaching Social Skills To Children (3rd Edition). New York: Pergamon Press.

Cultural Sensitivity. (Online). Tersedia di: http://www.sac..edu/students/

admissions/international_students/career_life2/culture.htm. (31 Januari 2008). Denham, S., A., & Queenan, P., (2003). Preschool Emotional Competence: Pathway


(35)

Desvi, Yanti. (2005). Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir Yang mengalami gangguan Perilaku. [online]. Tersedia: http://.www.f4jar.multiply. com/journal/. [24 Juni 2008]

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Standar Konpetensi Konselor. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

Exploring School Counselor Multicultural Competence: a Multidimensional Concept. (Online). Tersedia di: http://www.accessmylibrary.com/coms2/summary_0286-13999644_ITM. (23 April 2008).

Freidman, G. Paul. (1985). Training Strategis From Start to Finish. New Jersey: Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs.

Furman, W., & Buhrmester, D. (1992). Age And Sex Differences In Perceptions of Networks of Personal Relationships. Child Development, 63, 103-105

Furqon. (2002). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Gall & Gall, Borg, W.R (2003). Ducational Research; An Introduction – Seventh Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Gibson, R, L. & Mitchell, M, H. (2010). Bimbingan dan Konseling (Alih Bahasa oleh Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goleman, Daniel. (2007). Social Intelegence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010). Developing Multicultural Counseling

Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson

Hergenhahn, B.R. & Olson, M. H. (Alih bahasa Tri Wibowo B.S.). (2008). Theories Of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hurlock, E.B. (Alih bahasa Istiwidayanti & Sudjarwo). (1996). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Kartadinata, S. 2005 “ Standardisasi Profesi Bimbingan dan Konseling”. Makalah p -ada Konvensi Nasional XIV.dan Kongres Nasional X ABKIN< Semarang, 13-16 April 2005


(36)

Kim, S.K.B & Lyons, Z.H. (2003). “Exxperiental Activities and Multicultural

Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development.

Vol.81. No. 4, 400-408.

L’Abate, L. & Milan, M.A, (1985). Handbook of Social Skills Training an Research. Toronto: Wiley & Sons.

Latifah, L., (2000). Kompetensi Sosial, Status Sosial, daan Viktimisasi di sekolah Dasar. Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Libet, J.M. & Lewilsohn, P.M. (1973). Concept of Social Skill with Special Reference to The Behavior of Depressed Persons. Journal of Counsulting and Clinical Psychology, 40, 304-312.

Lismaniar. (2005). Integrasi Antara Proses Belajar Mengajar Dan Bimbingan Dalam Meningkatkan Kompetensi Sosial Anak Berbakat. Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan

Martani, W., & Adiyanti, M., G. (1990). Kompetensi Sosial dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Marzani, Anwar. (2008). Rangkuman Hasil Penelitian Multikulturalisme Dan Kehidupan Beragama. http://marzanianwar.wordpress.com/

McLeod, John. (Alih bahasa A.K Anwar). (2006). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.

Moekijat. (1993). Evaluasi Pelatihan: Dalam Rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju

Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Mada-ni. IPPK Indonesia Heritage Foundation.

Morina. (2009). Program Bimbingan Pribadi Sosial untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Remaja. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Naim, N & Sauki, A. (2008). Pendidikan Multikultural, “Konsep dan Aplikasi”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


(37)

Natawijaya, Rochman, (1987) Pendekatan-pendekatan dalam penyuluhan kelompok. Bandung: CV Dipenogoro

Nugraha, A. (2012). Program Experiential Based Counseling untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor. Tesis Pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., (2002). A Child’s World, Infancy Through Adolescence. Ninth Edition. New York, USA: Mcgraw-Hill Companies, Inc.

Parker, J.G., & Asher, S. R. (1987). Peer Relations And Later Personal Adjustment: Are Low Accepted Children At Risk? Psychological Bulletin, 102, 357-389. Pedersen, P.B, Ed. (1986). Counseling Across Cultures. Hawaii: East West Center. Philips, E.L. (1978). The Social Skills Basis of Psychopathology; Alternative to

Abnormal Psychology Psychiatry. New York: Grune Stratton.

Sciarra, Daniel T. (2004). School Counseling Foundations and Contemporary Issues. Australia: Thomson Brooks/Cole.

Rakhmat, C & Solehuddin, M. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Andira.

Riduwan. (2006). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula (Edisi keenam). Bandung: Alfabeta.

Rifai, Melly S.S (198) Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, Jakarta: Bina Aksara.

Russ, W. Sandra. (2004). Play In Child Development and Psychotherapy, Toward Empirically Supported Practice. New Jersey: Lowrence Erbaum Associates Publishers.

Santrock, J.W. (a.b. Shinto B. Adelar & Sherly Saragih). (2003). Adolescence:

Perkembangan Remaja. (Edisi ke-6). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(38)

Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Reinhart & Winston.

Sciarra, Daniel, T. (2004). School Counseling, “Foundation and Contemporary

Issues”. Canada: Thomson Learning.

Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis (Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran). Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Sudirman. (2001). Dampak Pelatihan Terhadap Peningkatan Pendapat Lulusan Pelatihan (Studi Kasus tentang Proses dan Pengaruh Pelatihan Teknis Pertamana di Balai Latihan Kerja Khusus Pertanian Lembang). Tesis. Bandung: PPs UPI. (Tidak Diterbitkan).

Sue, D.W & David Sue. 2003. Counseling the Culturally Diverse: Theory and

Practice (4th Edition). USA: John Wiley & Sons, Inc.

Sue, et.al. (1992). Multicultural Counseling Competencies & Standards: A Call to the Profession. Journal of Counseling and Development. Marc/April 1992. Vol. 70. Suherman A.S. dan Sudrajat, D. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program

Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.

Suherman AS, Uman (2005). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling. Bandung; tidak diterbitkan

Sukarso, Ekodjatmiko. (2008). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Sumardi. (2006). Tantangan Baru Dunia Pendidikan. [online]. Tersedia: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/, [24 Juni 2008]

Supriadi, Dedi. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 18 Oktober 2001. (Tidak Diterbitkan).

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Ringkasan Disertasi Pada Program Studi


(39)

Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Surya, M. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy. Suwanto, AW. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sweeney & Howeyer. (1999). Handbook of Group Play Therapy, How to Do it, How

it Works, Whom it, Whom It’s Best For. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Syamsuddin, A. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda.

Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda. Tarsidi, Didi. (2010). Bimbingan dan Konseling, “Untuk Perkembangan Kompetensi

Sosial Anak Tunanetra”. Bandung: Rizqi Press.

Tawuran Pelajar. (Online). Tersedia di: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita. Yusuf, Syamsu. 2009. Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung:


(1)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

144

DAFTAR PUSTAKA

Adam, G. R., (1983). Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity, Locus of Control, And Peer Popularity. Journal of Youth and Adolescence. Vol. 12, No. 03, 203-211.

Ahira, Anne. (2012). Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar. (online). Tersedia di: http://www.anneahira.com/tawuran-antar-pelajar.htm. (3 September 2012). Arrendodo, P. et. al. (1996). Operationalization of the Multicultural Counseling

Competencies. Alexandria: AMCD.

Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. Boston: Pearson.

Bellack, A.S. & Hersen, M., (1977). Behavior Modification: An Introductory Textbook. Baltimore: Williams & Wilkins.

Blocher. (1974). Develompental Counseling. New York : John Willey & Sons.

Buckley, Roger, Caple, Jim. (1991). One-to-One Training and Coaching Skills. London: Kogan Page.

Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds). (1997). Developmentally Appropriate Practice In Early Childhood Programs (rev. ed.). Washington, DC: National Association for The Education of Young Children

Brown,S., & kysilka, M. (2002). Adolescents’ relationships with peers. In R. lerner &

L. Steinberg (Eds.), Handbook of adolescent psychology (2nd ed). New York:

Wiley.

Cartledge, G & Milburn, J.F. (1992). Teaching Social Skills To Children (3rd Edition). New York: Pergamon Press.

Cultural Sensitivity. (Online). Tersedia di: http://www.sac..edu/students/

admissions/international_students/career_life2/culture.htm. (31 Januari 2008). Denham, S., A., & Queenan, P., (2003). Preschool Emotional Competence: Pathway


(2)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

145

Desvi, Yanti. (2005). Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir Yang mengalami gangguan Perilaku. [online]. Tersedia: http://.www.f4jar.multiply. com/journal/. [24 Juni 2008]

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Standar Konpetensi Konselor. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

Exploring School Counselor Multicultural Competence: a Multidimensional Concept. (Online). Tersedia di: http://www.accessmylibrary.com/coms2/summary_0286-13999644_ITM. (23 April 2008).

Freidman, G. Paul. (1985). Training Strategis From Start to Finish. New Jersey: Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs.

Furman, W., & Buhrmester, D. (1992). Age And Sex Differences In Perceptions of Networks of Personal Relationships. Child Development, 63, 103-105

Furqon. (2002). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Gall & Gall, Borg, W.R (2003). Ducational Research; An Introduction – Seventh Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Gibson, R, L. & Mitchell, M, H. (2010). Bimbingan dan Konseling (Alih Bahasa oleh Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goleman, Daniel. (2007). Social Intelegence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010). Developing Multicultural Counseling

Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson

Hergenhahn, B.R. & Olson, M. H. (Alih bahasa Tri Wibowo B.S.). (2008). Theories Of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hurlock, E.B. (Alih bahasa Istiwidayanti & Sudjarwo). (1996). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Kartadinata, S. 2005 “ Standardisasi Profesi Bimbingan dan Konseling”. Makalah p -ada Konvensi Nasional XIV.dan Kongres Nasional X ABKIN< Semarang, 13-16 April 2005


(3)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

146

Kim, S.K.B & Lyons, Z.H. (2003). “Exxperiental Activities and Multicultural

Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development.

Vol.81. No. 4, 400-408.

L’Abate, L. & Milan, M.A, (1985). Handbook of Social Skills Training an Research. Toronto: Wiley & Sons.

Latifah, L., (2000). Kompetensi Sosial, Status Sosial, daan Viktimisasi di sekolah Dasar. Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Libet, J.M. & Lewilsohn, P.M. (1973). Concept of Social Skill with Special Reference to The Behavior of Depressed Persons. Journal of Counsulting and Clinical Psychology, 40, 304-312.

Lismaniar. (2005). Integrasi Antara Proses Belajar Mengajar Dan Bimbingan Dalam Meningkatkan Kompetensi Sosial Anak Berbakat. Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan

Martani, W., & Adiyanti, M., G. (1990). Kompetensi Sosial dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Marzani, Anwar. (2008). Rangkuman Hasil Penelitian Multikulturalisme Dan Kehidupan Beragama. http://marzanianwar.wordpress.com/

McLeod, John. (Alih bahasa A.K Anwar). (2006). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.

Moekijat. (1993). Evaluasi Pelatihan: Dalam Rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju

Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Mada-ni. IPPK Indonesia Heritage Foundation.

Morina. (2009). Program Bimbingan Pribadi Sosial untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Remaja. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Naim, N & Sauki, A. (2008). Pendidikan Multikultural, “Konsep dan Aplikasi”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


(4)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

147

Natawijaya, Rochman, (1987) Pendekatan-pendekatan dalam penyuluhan kelompok. Bandung: CV Dipenogoro

Nugraha, A. (2012). Program Experiential Based Counseling untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor. Tesis Pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., (2002). A Child’s World, Infancy Through Adolescence. Ninth Edition. New York, USA: Mcgraw-Hill Companies, Inc.

Parker, J.G., & Asher, S. R. (1987). Peer Relations And Later Personal Adjustment: Are Low Accepted Children At Risk? Psychological Bulletin, 102, 357-389. Pedersen, P.B, Ed. (1986). Counseling Across Cultures. Hawaii: East West Center. Philips, E.L. (1978). The Social Skills Basis of Psychopathology; Alternative to

Abnormal Psychology Psychiatry. New York: Grune Stratton.

Sciarra, Daniel T. (2004). School Counseling Foundations and Contemporary Issues. Australia: Thomson Brooks/Cole.

Rakhmat, C & Solehuddin, M. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Andira.

Riduwan. (2006). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula (Edisi keenam). Bandung: Alfabeta.

Rifai, Melly S.S (198) Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, Jakarta: Bina Aksara.

Russ, W. Sandra. (2004). Play In Child Development and Psychotherapy, Toward Empirically Supported Practice. New Jersey: Lowrence Erbaum Associates Publishers.

Santrock, J.W. (a.b. Shinto B. Adelar & Sherly Saragih). (2003). Adolescence:

Perkembangan Remaja. (Edisi ke-6). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(5)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

148

Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Reinhart & Winston.

Sciarra, Daniel, T. (2004). School Counseling, “Foundation and Contemporary

Issues”. Canada: Thomson Learning.

Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis (Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran). Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Sudirman. (2001). Dampak Pelatihan Terhadap Peningkatan Pendapat Lulusan Pelatihan (Studi Kasus tentang Proses dan Pengaruh Pelatihan Teknis Pertamana di Balai Latihan Kerja Khusus Pertanian Lembang). Tesis. Bandung: PPs UPI. (Tidak Diterbitkan).

Sue, D.W & David Sue. 2003. Counseling the Culturally Diverse: Theory and

Practice (4th Edition). USA: John Wiley & Sons, Inc.

Sue, et.al. (1992). Multicultural Counseling Competencies & Standards: A Call to the Profession. Journal of Counseling and Development. Marc/April 1992. Vol. 70. Suherman A.S. dan Sudrajat, D. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program

Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.

Suherman AS, Uman (2005). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling. Bandung; tidak diterbitkan

Sukarso, Ekodjatmiko. (2008). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Sumardi. (2006). Tantangan Baru Dunia Pendidikan. [online]. Tersedia: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/, [24 Juni 2008]

Supriadi, Dedi. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 18 Oktober 2001. (Tidak Diterbitkan).

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Ringkasan Disertasi Pada Program Studi


(6)

Ehan, 2012

Program Konseling Multibudaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa Sma Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

149

Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Surya, M. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy. Suwanto, AW. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sweeney & Howeyer. (1999). Handbook of Group Play Therapy, How to Do it, How

it Works, Whom it, Whom It’s Best For. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Syamsuddin, A. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda.

Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda. Tarsidi, Didi. (2010). Bimbingan dan Konseling, “Untuk Perkembangan Kompetensi

Sosial Anak Tunanetra”. Bandung: Rizqi Press.

Tawuran Pelajar. (Online). Tersedia di: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita. Yusuf, Syamsu. 2009. Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: