Teknik cepat identifikasi lahan terbuka pasca tambang batubara menggunakan citra multi temporal dan multi spasial Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama
dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan
penting bagi Indonesia.

Dampak lingkungan dari adanya pertambangan ada

positif yaitu meningkatkan pendapatan ekonomi baik secara nasional maupun
regional, namun juga meninmbulkan dampak negatif seperti perubahan
lingkungan seperti degradasi hutan, berkurangnya luasan hutan, hilangnya topsoil
dan perubahan secara hidrologi seperti kualitas air akibat polusi serta perubahan
iklim secara mikro. Lebih lanjut menurut Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995)
dalam Qomariah (2003) kegiatan pertambangan selain meningkatkan pendapatan
dan devisa negara juga berdampak terhadap lingkungan antara lain menyebabkan
penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi,
terganggunya flora dan fauna, serta terganggunya keamanan dan kesehatan
penduduk, terjadinya perubahan iklim mikro. Kerusakan akibat pertambangan
dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan.
Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan

yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada
jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya
penambangan batubara dilakukan dengan sistem tambang terbuka, sistem
dumping (suatu cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah).
Berdasarkan hasil inventarisasi BPKH wilayah V Banjarbaru tahun 2006
terdapat 225 perusahaan tambang yang arealnya masuk kawasan hutan yang
terdiri dari 26 perusahaan pemegang ijin perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara atau PKP2B dan 199 perusahaan pemegang ijin kuasa
pertambangan atau KP. Sedangkan yang memperoleh ijin pinjam pakai kawasan
hutan sampai tahun 2005 baru ada 15 instansi/perusahaan swasta. Total areal
tambang yang masuk kawasan hutan adalah ± 442.371,83 ha yang terdiri dari
hutan produksi (HP) seluas 275.136,1 ha (62.20 %), hutan produksi terbatas

2
(HPT) 40.288,39 ha (9,11 %), hutan produksi konversi (HPK) 20.670,26 ha
(4,67 %), hutan lindung (HL) 48.680,08 ha (11,00 %), suaka alam (SA) 57.597,00
ha (13,02 %) (BPKH V,2006).
Pada tahun 2002 produksi batubara di Kalimantan Selatan mencapai 13 juta
ton per tahun.


Seiring dengan meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara

resmi, juga meningkat kegiatan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) batubara di
berbagai lokasi penambangan Kabupaten Banjar sebagai salah satu kabupaten di
provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan intensitas kegiatan PETI
batubara yang berkembang cepat seiring dengan perubahan situasi dan kondisi
ekonomi politik di tanah air. Pada tahun 1997 diperkirakan terdapat 157
perusahaan perorangan PETI batubara di Kalimantan Selatan, meningkat menjadi
445 pengusaha ,/ peorangan pada tahun 2000. (Qomariah, 2003).
Kajian mengenai dampak

pertambangan terbuka telah dilakukan oleh

Toren dan Unal (2001) dengan menggunakan citra landsat multi temporal untuk
identifikasi dan monitoring dampak pertambangan terbuka terhadap lingkungan
di provinsi Manisa Turki. Kemudian Limpitlaw (2003) dan Lau et al. (2005)
menggunakan citra landsat multi temporal untuk menurunkan indeks Tasseled
Cap atau Kauth Thomas untuk monitoring dampak

kegiatan pertambangan.


Torres dan Vera (2005) menggunakan metode change detection menggunakan
citra multi temporal dan memakai NDVI sebagai dasar untuk menentukan
kerusakan yang terjadi secara cepat di areal hutan akibat aktivitas pertambangan
di daerah San Luisi, Meksiko. Lebih lanjut Shimabukuro dan Filho (2003)
melakukan kajian untuk monitoring pertambangan menggunakan kombinasi citra
landsat dan radar oleh. Citra Landsat-5 TM tahun 1987, 1991, 1994, and 1996
and citra radar JERS-1 SAR tahun 1993, 1994, and 1996. Sementara Wenbo,
Lijing dan Yang. (2008) menggunakan teknik fusi antara citra Landsat TM dan
SAR digunakan menyediakan solusi yang lebih baik dalam monitoring
lingkungan di lahan tambang di lahan pertambangan di Cina dan menyediakan
basis data yang lebih baik untuk sumberdaya tambang.
Berdasarkan kajian penelitian terdahulu tersebut di atas maka pada
penelitian ini memfokuskan untuk melihat adanya lahan terbuka yang secara
visual tampak pada citra akibat aktivitas pertambangan. Adanya lahan terbuka

3
yang secara visual tampak pada citra akibat aktivitas pertambangan terbuka
seharusnya bisa dibedakan dan diidentifikasi secara cepat dengan lahan terbuka
akibat aktivitas lain seperti perkebunan, pembukaan lahan, jalan dan pemukiman


1.2 Rumusan Permasalahan
Menurut Qomariah (2003) kegiatan Pertambangan

Tanpa Ijin (PETI)

batubara di kabupaten Baniar Propinsi Kalimantan Selatan berada di lahan
kering dengan ketinggian 250-750 m dari permukaan laut yang dilakukan dengan
sistem terbuka (open dumping) tanpa ada usaha rehabilitasi lahan, sehingga
keadaannya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai lahan
produktif. Hal ini terutama disebabkan terjadinya perubahan kondisi lahan secara
keseluruhan serta penurunan kualitas lahan sehingga tidak mampu lagi untuk
mendukung suatu pertumbuhan tanaman.
Penambangan batubara dengan sistem terbuka selain berpengaruh terhadap
struktur ekosistem, yaitu perusakan bentuk lahan karena timbunan tanah galian,
terbentuknya cekungan-cekungan besar bekas galian tambang dan rusaknya
vegetasi yang tumbuh di atasnya,serta berpengaruh terhadap organisme perairan.
Sebab proses erosi yang terjadi di lahan pasca tambang menyebabkan proses
sedimentasi dalam perairan dan dapat membahayakan kehidupan organisme yang
ada di dalam perairan tersebut. Semakin tinggi produksi tambang maka akan

semakin banyak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya (Qomariah,
2003).
Ditinjau dari aspek lingkungan, kegiatan pertambangan Tanpa ljin (PETI)
batubara sangat berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, karena
menyebabkan hilangnya vegetasi dan populasi satwa liar akibat pembersihan
lahan

untuk

ditambang, serta kerusahan lahan akibat penambangan seperti

terjadinya perubahan bentuk lahan, penurunan

kualitas tanah dan air akibat

pengupasan lapisan tanah untuk menggali bahan tambang. Selain itu juga
menyebabkan terjadinya erosi di lahan pasca

tambang dan sedimentasi di


bagian hilir. Rusaknya lingkungan akibat PETI ini semakin diperparah karena
tidak ada tindakan dari pihak yang berwenang maupun kesadaran masyarakat

4
penambang sendiri baik untuk merehabilitasi lahan pasca tambang maupun untuk
melakukan tindakan konservasi tanah dan air.
Eksploitasi batubara dilakukan secara terbuka yaitu penambangan dengan
cara mengupas permukaan tanah yang dilanjutkan dengan penggalian batubara,
dan setelah selesai penambangan lapisan atas tanah (top soil) tidak dikembalikan
ke tempat semula. Kegiatan penambangan batu bara tanpa tindakan untuk
merehablitasi lahan

setelah kegiatan berakhir dilakukan hampir pada semua

lokasi pertambangan tanpa ijin, sehingga menimbulkan cekungan besar yang
dikelilingi tumpukan anah bekas galian. Pada saat musim hujan cekungan ini
membentuk danau dan kemudian karena erosi maka lahan bekas tambang
mengalir

ke


daerah-daerah

sekitarnya

melalui

sungai

menutupi

lahan

pertanian/perkebunan sekaligus menimnbulkan sedimentasi di areal tersebut.
Sehingga kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan oleh penambangan
tanpa ijin menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius.
Analisis inderaja (remote sensing) dan analisis sistem informasi geografis
dalam berbagai studi telah terbukti mampu mendeteksi keadaan lingkungan
tertentu di suatu daerah secara cost-effective, antara lain karena cakupan areal
yang dianalisis cukup luas. Beberapa komponen yang dapat dipantau antara lain

adalah penutupan lahan dari waktu ke waktu, sebaran areal tambang, sebaran dan
pola lahan terbuka akibat aktivitas penambangan illegal dan akibat aktivitas lain.
Atas dasar permasalahan tersebut maka rumusan permasalahan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Apa metode yang cepat digunakan untuk deteksi cepat lahan terbuka di lahan
pasca tambang batubara?
2. Bagaimana efisiensi metode cepat identifikasi lahan terbuka di lahan pasca
tambang batubara diabandingkan metode ground survey?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan metode cepat identifikasi lahan terbuka pada lahan pasca
tambang batubara.
2. Untuk mengevaluasi efisiensi metode cepat identifikasi lahan terbuka di lahan
pasca tambang batubara diabandingkan metode ground survey.

5
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan pertama dapat bermanfaat untuk monitoring
dampak pertambangan terbuka dengan terbukanya lahan hutan secara cepat.
Kedua untuk memberikan informasi basis data lahan kritis yang berguna untuk

rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hutan di kabupaten Banjar.

1.5 Kerangka Pemikiran
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki potensi tambang batubara yang
besar, sejak lima tahun terakhir kegiatan tambang khususnya batubara semakin
marak dan tidak terkoordinasi dengan perencanaan kehutanan padahal sebagian
besar kegiatan pertambangan berada di kawasan hutan. Berdasarkan data
Departemen Energi dan Sumberdaya Manusia tahun 2008 propinsi Kalimantan
Selatan mempunyai potensi tambang batubara

sebesar 12,26 milyar ton dan

menempati urutan ke-3 di Indonesia. Salah satu kendala dalam pengembangan
lahan usaha tambang adalah adanya benturan kepentingan atau tumpang tindih
penggunaan lahan disamping dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan
akibat adanya aktivitas usaha tambang tersebut.

Kegiatan PETl batubara di

kabupaten Banjar, Kalimantan Selalan menyebabkan pH tanah bekas tambang

sangat rendah sehingga tidak dapat diusahakan lagi untuk budidaya tanaman. Hal
ini disebabkan munculnya lapisan bawah tanah ke permukaan sehingga terjadi
oksidasi pirit yang merupakan senyawa beracun dan hilangnya bahan organik
akibat tidak adanya vegetasi (Qomariah,2003).
Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pertambangan, pembalakan hutan,
pertanian dan lain-lain menyebabkan kerusakan hutan sehingga fungsi hutan
menjadi terganggu. Fungsi hutan dimaksudkan sebagai hutan lindung (fungsi
lindung) yang menjaga keseimbangan ekosistem air, tanah, vegetasi dan mengatur
keseimbangan iklim mikro, maupun fungsi konservasi.

Kegiatan ini

menyebabkan hilangnya hutan primer yang dapat menyebabkan perubahan pada
iklim, kehilangan spesies, dampak terhadap hidrologi dan tanah, gangguan
kesehatan, kehilangan hasil hutan, dampak terhadap ekonomi dan kehilangan
estetika terhadap hutan.

6
Penambangan batubara yang tidak memperhatikan aspek lingkungan
berupa pembersihan lahan dan pengupasan lapisan atas tanah akan menyebabkan

terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor sebagai
akibat dari hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembukaan lahan secara besarbesaran juga menyebabkan teriadinya perubahan bentang alam (morfologi dan
topografi) yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng.

Pengupasan-

pengupasan, penimbunan tanah, penutupan dan penggalian batubara menimbulkan
perubahan pola drainase, debit air sungai dan kualitas air permukaan pada saat
hujan (Qomariah,2003).
Motloch (1993) dalam Yusuf (2008) menyatakan bahwa landskap dalam
definisi kontemporer meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni.
Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah
lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang
merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan
budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka
bumi, sehingga secara estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh karena itu, untuk medapatkan hasil kajian atau analisis yang baik cepat
dan tepat diperlukan data yang representatif, akurat, dan mutakhir di mana
teknologi

penginderaan

jauh

dan

sistem

informasi

geografis

mampu

melakukannya. Sehingga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu
metode cepat deteksi lahan terbuka pada lahan pasca tambang batubara.

7

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

BAB II
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak dan Luas Kabupaten Banjar
Kabupaten Banjar dengan luas wilayah 4.699 km2 merupakan kabupaten
yang secara geografis terletak antara 20 49’ 55’’ sampai dengan 30 43’38’’ Lintang
Selatan dan 1140 30’20’’ sampai 1150 35’37’’ Bujur Timur dengan batas-batas
sebagai berikut :


Sebelah Utara : Kabupaten Tapin.



Sebelah Timur : Kabupaten Tanah Bumbu .



Sebelah Selatan: Kabupaten Tanah Laut



Sebelah Barat : Kota Banjarmasin dan kabupaten Barito Kuala.

Kabupaten Banjar dengan ibukotanya Martapura terbagi menjadi 16 kecamatan
dan 288 desa/kelurahan.
Kabupaten Banjar dilewati oleh 4 (empat) buah sub DAS yaitu Sub DAS
Riam Kanan, Sub DAS Riam Kiwa, Sub DAS Martapura dan Sub Das Barito
Hilir yang semuanya bermuara ke induknya yaitu DAS Barito. Sungai-sungai
yang mengalir pada sub-sub das tersebut antara lain Sungai Martapura, Sungai
Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa,Sungai Mangkaok, Sungai Alalak,

Sungai

Binuang dan lain-lain.
Berdasarkan peta tanah eksplorasi tahun 1981 skala 1 : 1.000.000 dari
Lembaga Penelitian Bogor, di wilayah kabupaten Banjar terdapat jenis tanah
organosol gleihumus dengan bahan induk bahan organik alluvial dan fisiografi
dataran sebesar 28,57% dari luas wilayah, tanah alluvial dengan bahan induk
lahan alluvial dan fisiografi dataran sebesar 3,72%, tanah komplek podsolik
merah kuning dan laterit dengan bahan induk batuan beku dengan fisiografi
dataran sebesar 14,29%, tanah latosol dengan bahan induk batuan beku dan
fisiografi intrusi meliputi 24.84% serta tanah kompleks podsolik merah
kuning,latosol dengan bahan induk batuan endapan dan metamorf sebesar 28.57%
Pembagian luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Tanah
Luat dapat dilihat pada Tabel 1.

9
Tabel 1. Pembagian luas wilayah kecamatan di kabupaten Banjar
No.

Kecamatan

Luas Wilayah
(km2)
82.48

%
1.79

Jumlah Desa
(buah)
19

61.42

1.33

12

129.30

2.80

13

1

Aluh-aluh

2

Beruntung Baru

3

Gambut

4

Kertak Hanyar

81.30

1.76

26

5

Sungai Tabuk

147.30

3.19

21

6

Martapura

42.03

0.91

25

7

Martapura
Timur

30.49

0.66

20

8

Martapura Barat

149.38

3.24

13

9

Astambul

216.50

4.69

22

10

Karang Intan

215.35

4.67

26

11

Aranio

1166.35

25.28

12

12

Sungai Pinang

1019.50

22.10

15

13

Pengaron

378.25

8.20

12

14

Sambung
Makmur

134.65

2.92

7

15

Mataraman

148.40

3.22

15

16

Simpang Empat

611.30

13.25

30

Jumlah
469.00
Sumber : BPS Kabupaten Banjar (2007)

2.2 Keadaan Geologi

Mengacu pada peta geologi lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000
(Sikumbang dan R. Heryanto, 1994), secara regional wilayah kabupaten Banjar
berada dalam sub Cekungan Asam-asam yang merupakan bagian dari Cekungan
Barito. Batuan yang terdapat di cekungan Asam-asam adalah sebagai berikut :
1. Batuan Ultramafik dan skis
batuan ini merupakan batuan tertua yaitu berumur Yura tengah-kapur awal.
Batuan Ultramafik terdiri dari : herzburgit wehrile, weksterliter piroksinit, dan
serpentinit. Sedangkan skis teridiri dari : Kuarsa, skis hornblenda, skis klorit,
dan filit.

10
2. Kelompok Alino
Batuan ini terdiri dari formasi pundak dan formasi keramaian yang berumur
kapur akhir, dan mendidih secara tidak selaras batuan ultranafik dan skis.
Formasi pundak terdiri dari : lava, dengan selang-seling konglomerat/breksi
dengan batu pasir, basalt porfir, ignimbrit, batuan malihan dan batu lempung,
setempat terdapat sisipan batu gamping.
3. Formasi Tanjung
Formasi Tanjung terdiri dari batu pasir kuarsa dengan sisipan batulempung di
bagian atas dan sisipan batubara di bagian bawah, setempat dijumpai lensa
batu gamping. Batuan ini berumur eosen dan mendidih secara tidak selaras
batuan kelompok alino.
4. Formasi Berai
Formasi berai terdiri dari batu gamping dengan sisipan napal, berumur
oligosen miosen awal dan mendidih secara selaras formasi tanjung di atas.
5. Formasi Warukin
Formasi warukin terdiri dari perselingan batu pasir dan batu lempung dengan
sisipan batubara, berumur miosen tengah dan mendidih secara selaras formasi
berai di atas.
6. Formasi Dahor
Formasi dahor terdiri dari batu pasir, lanau, dan batu lempung dengan sisipan
lignit, berumur miasen akhir dan mendidih secara tidak selaras formasi
warukin diatas.
7. Formasi Akuveilen
Satuan akuveilen ini terdiri dari kerikil, pasir, lanau, lempeng dan lumpur
yang merupakan satuan termuda dan mendidih secara erosisional formasi
dahor di atas.
Keadaan batuan di kabupaten Banjar masuk pada Formasi Tanjung (Tet)
berumur Eosen berada di tengah lokasi penjyelidikan dimana di bagian Barat dari
Formasi Binuang (Tob) dan Aluvium berumur antara Kapur Akhir sedangkan
sebelah Timur llkasi adalah Formasi Manunggul berumur antara Kapur Akhir dan
Kapur Awal tersusun atas konglomerat, dengan sisipan batupasir dan
batulempung. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

11
Tabel 2 Keadaan geologi di kabupaten Banjar
Umur

Formasi

Kwarter

Deskripsi

Aluvial

Sedimen

(Q)

sedimen

tidak

kompak,
detritus,

konglomerat, lempung, dsb.
Pliosen

Dahor (P)

Batuan detritus, konglomerat
serpih batubara, batulempung.
Formasi pembawa batubara
(berkadar

Tersier Neogen
Miosen

gambut

lignit

atau

Warukin

bawa

(M)

batubara), batu pasir, serpih,
perselingan

dalam

di
rank

batupasir-serpih,

batu lempung.
Neogen– Miosen – Undivided
Paeogen

Ologosen

(EO)

Serpih, perselingan batupasir
dan serpih, batulempung dan
marmer
Batugamping,

Oligosen

Berai (O)

marmer

dan

batulempung, batu gamping
sebagai lapisan penentu

Oligosen– Undivided Marmer,
Eosen

(EO)

serpih

dan

batugamping
Formasi pembawa batubara

Eosen

Tanjung
(E)

(Formasi sasaran), batupasir,
serpih, perselingan batupasir
dan serpih, seam batubara,
konglomerat
Batuan beku dasar, batupasir

Pra – Tersier

Kapur

Batuan

silikan, batuan klastis hasil

Jura

Dasar (B)

gunung api, batuan sedimen,
batuan metamorf

Sumber :Sikumbang dan R. Heryanto (1994)

12
2.3 Perusahaan Tambang Di Kabupaten Banjar
Berdasarkan data dinas pertambangan dan energi propinsi Kaliamntan
Selatan dan dinas pertambangan dan energi kabupaten Banjar tahun 2008, di
kabupaten Banjar terdapat 29 perusahaan yang melakukan aktivitas tambang
dengan rincian seperti Tabel.
Tabel 3 Perusahaan tambang di kabupaten Banjar
No.

Nama Perusahaan

Luas

Jenis Ijin

( ha )
1

PT Sumber Kurnia

Jenis

Jenis

Kegiatan

Tambang

Status

10920

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

1767

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

6960

PKP2Bd

Eksploitasi

Batubara

Aktif

752

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

825

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

1575

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

2924.86

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

1232

PKP2B

Eksploitasi

Batubara

Aktif

6625

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

192

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

196

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

199.8

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

90.65

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

Buana
2

PT Antang Gunung
Meratus

3

PT Bangun Banua
Persada Kalimantan

4

PD Baramarta Blok
I
PD Baramarta Blok
I Blok II

5

PT Kadya Caraka
Mulia Blok I
PT Kadya Caraka
Mulia Blok II

6

PT Tanjung Alam
Jaya

7

PT Baramulti
Sukses Sarana

8

CV Makmur
Bersama

9

PT Sumpol Megah

10

CV Gunung
Sambung Blok I
CV Gunung
Sambung Blok II

13
No.

11

Nama Perusahaan

PT Putera Bara

Luas

Jenis

Jenis

Jenis

Status

( ha )

Ijin

Kegiatan

Tambang

91

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

198

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

114

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

198

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

Mitra
12

PT Rahmat Bara
Utama

13

PT Nusantara Citra
Jaya Abadi

14

CV Dasar Karya

15

KUD Panca Bakti

85.72

KP

Eksploitasi

Batubara

Aktif

16

CV Cinta Puri

5000

KP

Eksplorasi

Batubara

Aktif

Pratama
17

194

KP

Eksplorasi

Batubara

Aktif

1073

KP

Eksplorasi

Batubara

Aktif

19

CV Intan Karya
Mandiri
Primkopad Dim
1006 Martapura
CV Baratama

682

KP

Eksplorasi

Batubara

Aktif

20

PT Usaha Kawan

3800

KP

Eksplorasi

Batubara

Aktif

5000

KP

Eksplorasi

Biji Besi

Aktif

4750

KP

Eksplorasi

Biji Besi

Aktif

5000

KP

Eksplorasi

Biji Besi

Aktif

100

KP

Eksplorasi

Mangan

Aktif

11970

KP

Eksplorasi

Intan

Aktif

2

KP

Eksplorasi

Batu

Aktif

18

Bersama
21

PT Kandis Besi
Kalimantan

22

PT Wesi
Arthalokatama

23

PT Kalimantan
Power Stone

24

PT Maju Mulia
Makmur

25

PT Indo
Mineratama

26

PT HM.Thaher

Gunung
27
28
29

PD Aneka Usaha
Barakat
PT Bintang
Bersaudara Putra
PT Borneo Inti
Persada

15

KP

Eksplorasi

2

KP

Eksplorasi

199

KP

Eksplorasi

Batu
Gunung
Batu
Gunung
Batubara

Sumber :
1. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2008.
2. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar Tahun 2008.

Aktif
Aktif
Aktif

14
Berdasarkan hasil telaahan data luas areal perusahaan pemegang ijin
PKP2B dan KP dengan kawasan hutan propinsi Kalimantan Selatan (SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 453/KPts-II/1999 Tanggal 17 Juni 1999) terdapat
tumpang tindih kawasan hutan pada beberapa areal tambang perusahaan
pemegang ijin PKP2B dan KP yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil telaahan tumpang tindih kawasan hutan
dengan areal pertambangan
No.
1.
2.
3.
4.

Nama Perusahaan

Luas
( ha)

Areal yang Masuk (ha)
HP
HL
SA

PT Indo Mineratama
11.970
10.308
1686
PD Baramarta Blok1
752
458
291
PD Baramarta Blok2
825
321
537
PT Antang Gunung
1767
409
Meratus (AGM)
5.
PT Bagun Banua Persada
6960
335
82
Kalimantan
6.
PT Kandis Besi
5000
4963
Kalimantan
7.
PT Nusantara Citra Jaya
114
109
5
Abadi (NCJA)
8.
PT Rahmat Bara Utama
198
232
9.
PT Wesi Arthalokatama
4750
1028
3406
10.
PT HM.Thaher
2
2
Luas total (ha)
32.338
18.163
4321
1688
Keterangan : HP = Hutan Produksi, HL=Hutan Lindung, SA=Suaka Alam.

Luas total
(ha)
11.994
749
859
409
417
4963
114
232
4433
2
24.172

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian
tian
Lokasi penelit
litian dilaksanakan di kabupaten Banjar, Provi
ovinsi Kalimantan
Selatan. Sedangkann kegiatan persiapan dan pengolahan dataa dilaksanakan di
laboratorium inventar
ntarisasi sumberdaya hutan Fakultas Kehutana
nan IPB. Sebagai
ilustrasi disajikann peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
bar 2.



!
 "
"#
#
$
$%&''('''

Gambar 2. Lokasi Penelitian
Keterangan :







 
 
 



 












 


 
 


  




16
3.2 Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dimulai pada bulan
April s/d Juni 2009. Tahap Persiapan, pengolahan dan analisis data awal
dilaksanakan mulai April 2009, sedangkan pengambilan data lapangan
dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Mei 2009.

3.3 Peralatan dan Bahan
Peralatan yang diperlukan antara GPS (Global Positioning System),
Kompas, GPS, meteran, alat tulis menulis, kamera, software Arc-View 3.2 dan
Erdas Imagine versi 9.1, komputer dan printer. Bahan yang digunakan adalah,
data citra satelit tahun 2003-2007, peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), dan petapeta tematik pendukung lainnya.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Tahap Persiapan
Tahapan ini merupakan tahap awal dari penelitian, dengan kegiatan
sebagai berikut.
1. Studi pustaka, untuk memperoleh pustaka/literatur/landasan teori, hasil
penelitian yang pernah dilakukan dan data sekunder.
2. Menyiapkan data yang diperlukan serta menyiapkan/membuat peta-peta
sebagai berikut.
1.) Peta RBI yang memuat informasi jalan, sungai, pemukiman dan informasi
dasar lainnya di wilayah kabupaten Banjar.
2.) Peta wilayah areal Pertambangan yang ada di Kabupaten Banjar
3.) Peta kawasan hutan di kabupaten Banjar
4.) Citra resolusi sedang (Landsat TM tahun 2003 path row 117 62 dan SPOT
4 XS tahun 2006 path row 300 356 dan 300 357) dan dibantu dengan citra
resolusi tinggi yaitu SPOT 5 XS tahun 2007 dan Quickbird tahun 2006)
yang mencakup wilayah kabupaten Banjar . Wilayah studi dapat dilihat
pada gambar 3.

17

Citra Landsat TM tahun 2003
Citra SPOT 4XS tahun 2006
Gambar 3. Citra Landsat TM tahun 2003 dan SPOT 4XS tahun 2006 wilayah
studi.
5.) Peta-peta pendukung lainnya
6.) Data pengamatan lapangan.
3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan seperti : Software Arc View, Erdas
Imagine versi 9,1 dan perangkat komputer.

3.4.2 Pengolahan Citra Satelit Landsat TM dan SPOT
Informasi yang dihasilkan oleh citra satelit Landsat TM dan SPOT
memegang peranan penting dalam penelitian ini. Penyadapan informasi dari citra
digital dengan cara transformasi indeks harus dilakukan koreksi terlebih dahulu
dengan koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Citra satelit Landsat dalam
perekamannya belum mampu melakukan koreksi radiometrik sendiri sehingga
koreksi radiometrik harus dilakukan sendiri oleh pengguna. Sementara itu
kesalahan geometri diakibatkan adanya sistem orbital dari satelit yang polar

18
sehingga. Kesalahan tersebut dikoreksi dengan menggunakan peta topografi
dengan menggunakan titik kontrol-titik kontrol yang akurat.
Koreksi Geometrik
Koreksi ini mencakup rujukan titik-titik tertentu pada citra ke titik-titik
yang sama di medan maupun di peta. Pasangan titik-titik tersebut kemudian
digunakan untuk membangun fungsi-fungsi matematis yang menyatakan
hubungan antara posisi sembarang titik pada citra dengan titik obyek yang sama
pada peta maupun lapangan.

Perubahan posisi piksel juga berakibat terjadi

perubahan informasi spektralnya, untuk itu diperlukan interpolasi nilai spektral
selama transformasi geometri yang disebut resampling. Teknik koreksi geometrik
yang digunakan adalah dengan menggunakan referensi koordinaat citra digital
Landsat TM Tahun 2003 Propinsi Kalimantan Selatan.
Relokasi piksel menggunakan algoritma polinomial, sedangkan interpolasi
nilai spektral yaitu algoritma nearest neighbour. Algoritma nearest neighbour
diterapkan

dengan hanya mengambil kembali nilai piksel terdekat. Proses

resampling pada penelitian ini menggunakan algoritma Nearest Neighbour karena
algoritma ini dalam proses resampling hanya menggunakan tetangga terdekat
sehingga tidak terlalu mengubah nilai piksel asli sehingga nilai baru hasil
interpolasi tersebut masih mewakili nilai piksel aslinya.
Residual errors (dx,dy) dapat digunakan untuk menganalisa GCP (ground
control point) atau titik control lapangan mana yang memberi kontribusi terbesar
terhadap error. Sedangkan deviasi antara lokasi suatu titik pada input dan lokasi
titik tersebut pada output, digambarkan dengan kesalahan rata-rata akar kuadrat
atau Root Mean Square Error (RMSE). Akurasi keseluruhan (overall accuracy)
dari transformasi biasanya diekspresikan dengan RMSE yang menghitung nilai
rata-rata dari masing-masing residu. RMSE yang tinggi menunjukkan bahwa titik
acuan dan titik acuan tidak berhubungan pada lokasi yang sama, dengan demikian
output yang dihasilkan tidak akan teregisterasi tidak memperhitungkan distribusi
spasial dari GCP.

RMSE

hanya valid pada areal yang terikat oleh GCP.

Pemilihan GCP sebaiknya menentukan titik-titik yang tersebar secara merata
dalam sebuah citra. Secara umum RMS yang diijinkan adalah 0,5 piksel (Jaya,

19
2007) dan sekaligus membuat citra baru dengan sistem koordinat yang ditentukan
yang dalam hal ini menggunakan datum WGS 1984 dengan sistem koordinat
UTM (universal transverse mercator).
Kesalahan rata-rata atau Root Mean Square Error (RMSE) dari proses
koreksi geometrik dihitung dengan formula sebagai berikut :

RMS error =

2

( X r − X i ) + (Yr − Yi )

2

(Jensen, 2005 ; Jaya ,2005).

Keterangan :
Xr , Yr = Koordinat GCP pada sumbu X dans Y pada data acuan
Xi , Yi = Koordinat GCP pada sumbu X dan Y pada data asli
Berdasarkan Tabel 5 hasil rektifikasi atau koreksi citra SPOT 4 XS Tahun
2006 yang didapatkan dengan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 0.225.
Nilai RMSE ini teleh memenuhi kriteria di mana RMSE yang ada harus di bawah
0.5.
Tabel 5. Tabel hasil koreksi geometrik citra SPOT XS tahun 2006


 


 

 
  





 




  





 














  

 






  









 




  


 








 







 



 

 


 





 








 




 



0.057








0.366

1.370



 




0.222

0.848

  









0.140

0.534

 


  




 

 

0.410

1.567


 






 



 

 

0.239

0.912


 






 








 



0.270

1.030









  






  







0.082

0.314





 

   



 

 









 

0.050

0.192


 

 



 

   


 











0.415

1.585











0.225



 





0.290

Citra Landsat TM tahun 2003 dan SPOT 4 XS tahun 2006 kemudian
dipotong seluas areal kajian yang dalam hal ini termasuk dalam wilayah
administrasi kabupaten Banjar propinsi Kalimantan Selatan.
3.4.3 Pembuatan Citra Sintetis dengan Analisis Komponen Utama
Untuk deteksi lahan terbuka di lahan pasca tambang digunakan analisis
pendekatan simultan (simultanous analysis of multitemporal image) (Singh,1989 ;
Jaya, 2005). Jaya (2005) menjelaskan bahwa pada metode MPCA (Multidate

20
Principal Component Analysis) digunakan untuk mengevaluasi wilayah yang
berubah (change) dengan menggunakan konsep yaitu :
a. Komponen Stable Brightness (SB) yang didefinisikan apabila besarnya nilai
eigenvector atau bobot dari setiap band hampir sama dengan tanda aljabar
yang positif. Indeks ini umumnya terdapat pada komponen utama satu.
b. Komponen Stable Greeness (SG) apabila band merah dari kedua waktu
mempunyai tanda aljabar yang sama tetapi berlawanan dengan tanda aljabar
band infra merah dari kedua waktu. Sebagai contoh tanda aljabar kedua band
merah positif pada kedua tahun yang berbeda sedangkan tanda aljabar kedua
band inframerah negatif, atau sebaliknya.
c. Komponen Delta Brightness (DB), ditandai dengan adanya kesamaan tanda
aljabar band merah dan inframerah dari waktu yang sama tetapi bertentangan
tanda aljabar pada band merah dan inframerah pada waktu yang berbeda.
Sebagai contoh, tanda aljabar pada tahun sebelumnya pada band merah dan
inframerah positif sedangkan untuk band merah dan inframerah pada tahun
sesudahnya negatif atau dapat juga sebaliknya.
d. Komponen Delta Greness (DG) , merupakan kebalikan dari

Stable

Brightness (SB). Sebagai contoh tanda aljabar untuk band merah positif dan
inframerah negatif untuk tahun sebelumnya, maka tanda aljabar untuk tahun
sesudahnya untuk merah negatif dan inframerah positif . Juga bisa sebaliknya,
negatif untuk merah, positif untuk inframerah pada tahun sebelumnya dan
untuk tahun sesudahnya positif untuk merah dan negatif untuk inframerah.
Proses pembuatan citra sintetis dengan metode MPCA adalah dengan
terlebih dulu membuat layer stacking antara citra landsat TM tahun 2000 dan
20003 dan citra landsat TM tahun 2003 dan SPOT 4 XS tahun 2006. Oleh karena
perbedaan resolusi spasial antara citra Landsat TM tahun 2003 dan SPOT 4 XS
tahun 2006, terlebih dulu pada citra Landsat TM tahun 2003 dilakukan resampling
sehingga resolusi spasialnya menjadi 20 m. Saluran yang digunakan untuk
membuat layer stacking pada kedua citra adalah saluran inframerah dekat atau
near infrared (NIR), merah (red) dan hijau (green). Pada citra Landsat TM
saluran inframerah dekat adalah saluran 4, merah adalah saluran 3 dan hijau

21
adalah saluran 2. Sedangkan pada citra SPOT 4 XS saluran inframerah dekat
adalah saluran 3, merah adalah saluran 2 dan hijau adalah saluran 1.
3.4.4 Pembuatan Citra Sintetis Disparitas Indeks Vegetasi atau VIDN
(Vegetation Index Differencing)
Selain pembuatan citra PCA multiwaktu juga dibuat citra sintetis yang
berasal dari nilai disparitas indeks vegetas NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) yang selanjutnya disebut Vegetation Index Differencing
(VIDN). Nilai VIDN dihitung dengan formula umum :
VIDN =

NIR − Red
NIR − Red
(Citra Landsat 2003)
(Citra SPOT 2006) −
NIR + Red
NIR + Red

Di mana :
NIR

= Saluran Near Infrared atau Inframerah dekat

Red

= Saluran merah

Nilai VIDN akan berkisar antara -2 sampai dengan 2 (Jaya, 2005). Nilai yang
negatif menyatakan

adanya pengurangan biomassa atau vegetasi hijau dan

merupakan indikasi adanya perubahan tutupan lahan.
3.4.5

Kriteria Lahan Terbuka
Pengertian lahan terbuka biasa pada penelitian mengacu pada pengertian

yang digunakan departemen kehutanan dalam yaitu seluruh kenampakan lahan
terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah
vulkan, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas
kebakaran, sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan-land clearing
dimasukkan kelas lahan terbuka. Sedangkan lahan terbuka yang digunakan untuk
aktivitas pertambangan terbuka-open pit (spt.: batubara, timah, tembaga dll.), serta
lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasikan dari citra
berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan
limbah penambangan).
Lahan terbuka tambang batubara dalam penelitian ini terbagi lagi dalam dua
kategori yaitu lama dan baru. Termasuk lahan terbuka tambang batubara lama
adalah areal bekas PETI dan areal tambang yang telah selesai dilaksanakan

22
penambangan lebih dari 3 tahun dan belum dilakukan kegiatan reklamasi.
Sedangkan lahan terbuka tambang batubara baru adalah lahan tambang batubara
yang termasuk dalam areal perusahaan tambang batubara yang masih aktif.

3.4.6 Tahap Pemeriksaan Lapangan
Penentuan sampel di lapangan dilakukan dengan purposive sampling
dengan didasarkan pada hasil training area lahan terbuka pada citra VIDN dan
komponen utama. Penentuan sampel tersebut juga perlu dibantu dengan
mengunakan citra Quickbird, SPOT 5 peta RBI dan peta topografi agar posisi
sampel tepat pada posisi yang diinginkan. Jumlah sampel yang diambil juga
mempertimbangkan biaya, waktu dan tenaga.

Pengamatan Lapangan
1. Mencari lokasi titik yang dilakukan berdasarkan kepada daftar lokasi yang
telah dibuat, koordinat titik kontrol lapangan dan peta kerja
2. Pengambilan koordinat GPS (Global Position System) titik sampel lapangan.
Titik sampel yang diambil adalah pada lahan terbuka di areal tambang dan
areal

lain

akibat

aktivitas

perladangan

berpindah,

perkebunan,

pemukiman,pembangunan jalan dan lain-lain.
1. Melakukan pengamatan lapangan dengan mencatat kondisi penutupan lahan,
kondisi sistem lahan, kemingan lereng.
2. Melakukan dokumentasi kondisi setiap sampel dengan kamera
3. Mengisi formulir isian setiap sampel yang diperiksa.
4. Semua data yang diperoleh dalam pemeriksaan lapangan disimpan dan diolah
untuk analisis lebih lanjut.

3.4.7 Penentuan Ambang (Treshold) Nilai Piksel Lahan Terbuka
Dari masing-masing citra sintetik yang terpilih selanjutnya dilakukan

tresholding

untuk menentukan areal lahan terbuka tambang batubara.

Nilai

ambang batas atas (Tu) dan ambang batas bawah (Td) dari masing-masing
treshold ditentukan berdasarkan nilai piksel contoh pada areal-areal lahan pasca
tambang batubara.

23
Proses tresholding dilakukan dengan kaidah pengambilan keputusan
sebagai berikut :

­1, jika I (x, y) ≥ Td dan jika I (x, y) ≤ Tu ½
I ( x , y) = ®
¾
¯0, selain itu
¿
Di mana I (x,y) adalah nilai piksel yang dibuat dari indeks terpilih.
Pembuatan trehshold dilakukan dengan membuat training area pada citra sintetis
yang telah dihasilkan.

3.4.8 Filtering (penghalusan) dan Masking
Jaya (2005) menyebutkan bahwa hasil tresholding pada umumnya masih
mengandung noise yang tampak seperti noktah-noktah atau sering disebut salt

and pepper. Sehingga untuk menghilangkan kesalahan ini dilakukan filtering
menggunakan lowpass filter yaitu filter median. Selanjutnya dilakukan masking
untuk melokalisasi lahan terbuka dan mengeluarkan areal yang dapat
meningkatkan hasil analisis. Dalam proses masking juga dilakukan tumpang
susun antara peta-peta dasar dan tematik seperti peta pemukiman, peta
perkebunan dan peta geologi untuk menghasilkan peta lahan terbuka tambang
batubara yang logis.

3.4.9 Perhitungan Efisiensi Relatif
Perhitungan efisiensi relatif dilakukan dengan membandingkan biaya per
hektar dan waktu antara kegiatan identifikasi lahan tambang batubara dengan
metode cara ground survey atau survey lapangan langsung dengan metode
penafsiran citra. Komponen biaya yang dianalisis adalah biaya pemeriksaan
lapangan, biaya pengadaan citra, biaya pengolahan data, biaya analisis dan
pembuatan hasil. Formula yang digunakan adalah :
ER =

Total Biaya Tanpa Menggunakan Citra (ground survey) (Rp/Ha)
Total Biaya Dengan Menggunakan Citra (Rp/Ha)

ER Waktu =

(Jaya,2005).

Total Waktu Yang diperlukan tanpa menggunaka n Citra (hari)
Total Waktu Yang diperlukan dengan menggunaka n Citra (hari)

24
Untuk lebih jelasnya, prosedur kerja dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 3.
Tabel 6. Proses input output prosedur penelitian

Kegiatan

Input

Proses

Output

1. Pengumpulan
Citra

Data

Citra Landsat 7 TM
Tahun 2003 dan SPOT 4
XS Tahun 2006

Pengambilan Data di
BAPLAN, BPKH V
Banjarbaru, Dinas
Kehutanan Kabupaten
Banjar

Citra Landsat TM Path
Row 117 62
Dan Citra SPOT 4 XS
Path Row 300/356 dan
300/357

2. Pengumpulan
Sekunder

Data

Letak dan luas wilayah
studi, curah hujan, data
penduduk dan sosek
masyarakat

Pengumpulan data di
BPS,BPKHV
Banjarbaru, Dinas
Kehutanan Propinsi
/Kabupaten ,Dinas
Pertambangan
Propinsi/Kabupaten.

Kumpulan
sekunder
penunjang

3. Pra Pengolahan Citra

Citra Landsat TM Path
Row 117-62 Dan Citra
SPOT 4 XS Path Row
300-356 dan 300-357

1. Mosaicing
2. Koreksi Geometrik
3. Histogram Matching
4. Cropping
5. Layer Stacking
6. Resampling

Hasil pra pengolahan
citra wilayah kajian

4. Pembuatan
Vegetasi

Indeks

Hasil pra pengolahan
citra wilayah kajian

Formula NDVI

Citra NDVI Tahun
2003 dan 2006

5. Pembuatan
VIDN

Citra

Citra NDVI
2003 dan 2006

Formula VIDN

Citra VIDN

Tahun

data
untuk

6. Pembuatan Citra PCA
Multi waktu

Citra Gabungan Landsat
TM 2003 dan SPOT
2006

Metode PCA

Citra PC 1 ~ PC6

7. Analisis Change
Detection Citra PC

Citra PC 1 ~ PC6

Uji Tanda Aljabar

Citra Stable
Brightness, Stable
Greeness, Delta
Brightness,dan Delta
Greeness

8. Klasifikasi Tutupan
Lahan

Komposit
PC1~PC6

Supervised
Classification

Citra Tutupan Lahan

9. Ground Checking

Hasil Analisis P oint 5,7
dan 8
PetaKerja Pemeriksaan
lapanganing

Pengambilan
Titik
Koordinat dengan GPS

Titik Koordinat Lahan
terbuka

10. Perhitungan
Akurasi dan
Perbandingan
Metode

Hasil Analisis point 8
dan 9

Uji Akurasi

Metode
Idenfikasi
Cepat Lahan Terbuka
yang terbaik

Citra

25

,






#$$%


&!'#$$(

.&4+)+!.
   
 



 

5  
  
.
   ,
 


!     

 




0 . 

6
1  
 

 



 


)*+

!,

&!'-

+
 
//  

0  




1

 


!







 








 




 




!,

&!' 
)+.
. 
 

 




4"

+ 


  
 


 



.
,! 


 
 3










*





/
! 


 




23 


+

 


 





    


 







! )
  2 

! 





!






  

0  


1

 
 





! 
 

 "

 




  


Gambar 4. Kerangka Kerja Penelitian

Citra SPOT 5 Tahun
2007, Quickbird
Tahun 2006

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Spektral Lahan Terbuka Tambang Batubara Pada Citra
Optik
Menurut Danoedoro (1996) citra digital beroperasi pada dua macam ruang
yaitu ruang spasial dan ruang spektral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ruang
spectral adaah ruang yang kita kenal sehari-hari yang dapat dibuat dalam sitem
koordinat kartesius (x,y,z). Model spasial yang paling umum adalah ruang dua
dimensi berupa koordinat x dan y tiap piksel. Sedangkan ruang spektral adalah
ruang dua dimensi yang dihasilkan melalui penggambaran distribusi nilai spektral
piksel tiap saluran dalam sumbu koordinat saluran spektral yang berbeda-beda.
Ruang spektral ini sering juga disebut dengan feature space. Menurut Danoedoro
(1996) pada feature space saluran hijau dan saluran inframerah dekat posisi
piksel-piksel vegetasi dan lahan terbuka mudah dibedakan, demikian juga feature
space antara saluran merah dan inframerah dekat antara vegetasi, lahan terbuka
dan air terpisah saling berjauhan sehingga dapat dengan mudah dibedakan.
Sehingga saluran hijau, merah dan inframerah dekat paling baik digunakan dalam
pembedaan obyek. Lebih lanjut Jaya (2007) menjelaskan bahwa tanah atau lahan
terbuka mempunyai reflektansi yang mendekati monotonikal terhadap panjang
gelombang dengan pusat-pusat lekukan pada panjang gelombang 1,4µm, 1,9 µm
dan 2,7 µm yang disebabkan karena kandungan air.

Lebih lanjut dijelaskan

bahwa vegetasi mempunyai kurva yang lebih kompleks. Rentang antara 0,7 µm
dan 1.3 µm sifat reklektansinya banyak dipengaruhi oleh pigmentasi tumbuhan.
Band penyerap klorofil terletak pada daerah biru dan merah, di mana reflektansi
yang cukup signifikan terjadi pada sinar hijau antara 0,5 µm dan 0,6 µm.
Sedangkan menurut Prahasta (2008) puncak pantulan vegetasi terjadi pada saluran
inframerah dekat. Oleh karena itu nilai pantulan spektrum inframerah dekat akan
jauh lebih besar dibandingkan spektrum tampak mata (hijau, biru,merah) sehingga
vegetasi dapat diidentifikasi dengan nilai pantulan saluran inframerah dekat yang
tinggi tetapi rendah pada nilai-nilai pantulan saluran tampak mata.

27
Pada penelitian ini digunakan saluran hijau, merah dan inframerah dekat di
mana pada citra landsat TM 7 ada pada saluran 2, 3 dan 4 sedangkan pada citra
SPOT 4 XS ada pada saluran 1, 2 dan 3. Hasil identifikasi lahan terbuka tambang
batubara secara visual menggunakan kedua citra dengan citra SPOT 5 resolusi
tinggi sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik lahan terbuka tambang batubara
Karakteristik Lahan Terbuka Tambang Batubara Pada Citra
No.

Landsat TM
SPOT 4 XS
SPOT V XS
Komposit 412
Komposit 432
Komposit 321
Liputan Tahun 2003 Liputan Tahun 2006 Liputan Tahun 2007
(Resolusi 2,5 m)
(Resolusi 30 m)
(Resolusi 20 m)

1

Keterangan

Tambang baru
berjalan pada areal
Perusahaan Daerah
Baramarta, baru
selesai ditambang
dan baru
direklamasi.
Warna biru muda
agak kehijauan

Warna biru muda

Warna ungu

2

Bekas Tambang
Ilegal yang sudah
ditinggalkan
sehingga terbentuk
danau kecil, tidak
direklamasi
Warna biru tua agak
gelap

Warna biru tua agak
gelap

Warna biru

3

Bekas areal
Tambang , kurang
lebih 2 tahun,belum
direklamasi
Warna biru muda
agak kehijauan

Warna biru muda

Warna ungu

4

Tambang baru
namun belum
dilakukan reklamasi
sehingga terbetuk
danau kecil,lokasi
di pada areal
Perusahaan Daerah
Baramar
Warna biru tua agak
gelap

Warna biru tua agak
gelap

Warna biru

Berdasarkan kenampakan visual pada ketiga citra pada Tabel 7 kenampakan
lahan terbuka tambang batubara mempunyai warna yang sama baik pada areal
tambang yang sedang berjalan, areal reklamasi maupun yang bekas PETI yang

28
sudah lama dan tidak direklamasi. Demikian juga kenampakan areal tambang
yang tergenang air, kenampakannya juga sama.

Sedangkan berdasarkan nilai

kecerahan atau digital number (DN) pada citra asli antara lahan terbuka biasa
lahan terbuka tambang batubara baru dan lama dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai kecerahan lahan terbuka tambang batubara pada citra
Citra

Saluran

Nilai kecerahan Lahan Terbuka Tambang Batubara Pada Citra
Lahan Terbuka Biasa

Min
Landsat
TM 7

SPOT 4
XS

Max

Rerata

Lahan Terbuka
Tambang Batubara
Lama
Min Max
Rerata

Lahan Terbuka
Tambang Batubara
Baru
Min Max Rerata

Inframerah
Dekat
Merah

71

84

77,89

36

97

66,67

47

97

68,52

66

88

75

67

132

93,68

76

120

95,75

Hijau

60

122

84,78

59

166

108,10

83

148

113,13

Inframerah
Dekat
Merah

149

168

158,85

41

183

147,43

68

232

138,27

111

133

124,47

45

161

130,61

80

223

136,65

Hijau

140

160

152,29

85

191

160,13

120

255

174,83

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai kecerahan

antara lahan

terbuka tambang batubara yang baru dan lama pada nilai rata-ratanya terdapat
perbedaan antara lahan terbuka biasa, lahan terbuka tambang batubara lama dan
baru.

4.2 Citra Komponen Utama
Danoedoro (1996) menyebutkan bahwa Analisis komponen utama atau
principal component analysis (PCA) pada dasarnya merupakan teknik rotasi yang
diterapkan pada sistem koordinat multi saluran sehingga menghasilkan jumlah
saluran yang lebih sedikit. Dengan kata lain bahwa PCA mampu mengurangi
dimensionalitas data sehingga dalam pengamatan visual sangat efisien karena
hanya menggunakan beberapa saluran saja tanpa mengurangi kandungan
informasi. Menurut Jaya (2007) teknik PCA multiwaktu banyak digunakan untuk
análisis perubahan penutupan lahan dengan melakukan derivasi informasi yang
menyatakan perubahan dan kestabilan kehijauan dan atau kecerahan (delta
greeness, delta brightness, stable greeness dan stable brightness). Lebih lanjut

29
Jensen (2005) menyebutkan bahwa hasil dari analisis PCA menghasilkan dua
komponen yaitu komponen mayor dan minor, di mana komponen mayor yang
diturunkan dari dataset citra menyatakan variasi data yang tidak mengalami
perubahan sehingga disebut stable component.

Sedangkan komponen minor

menyatakan perubahan kontras antara dua data citra pada waktu yang berbeda
sehingga disebut change component. Untuk mengidentifikasi komponen mayor
dan minor pada PCA digunakan nilaieigen (eigenvalue) dan vektoreigen
(eigenvector) yang diturunkan dari dataset citra melalui aljabar linier.

Lebih

lanjut Jaya (2006) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi komponenkomponen delta greeness, delta brightness, stable greeness dan stable brightness
dilakukan dengan cara melihat tanda aljabar pada eigenvector dari setiap band PC
pada masing-masing komponen.
Analisis citra komponen utama pada penelitian ini menggunakan citra
Landsat 7 TM tahun 2003 dan citra SPOT 4 XS tahun 2006. Kedua citra ini
mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu resolusi spasial yang berbeda dan
waktu liputan yang berbeda. Untuk membuat citra komponen utama terlebih dulu
citra Lansat 7 TM di resampling resolusi spasialnya dari 30 m menjadi 20 m, yang
kemudian dibuat satu set data citra gabungan antara landsat 7 TM dan SPOT4 XS.
Hasil analisis citra komponen utama multiwaktu dengan menggunakan metode
MPCA dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Eigenvector dari Komponen Utama Multiwaktu Landsat TM tahun 2003
dan SPOT XS tahun 2006
Band

PC1

PC2

PC3

PC4

PC5

PC6

Landsat TM 2003
hijau
Landsat TM 2003
merah
Landsat TM 2003
inframerah dekat
SPOT XS 2006 hijau

0,3023

0,5577

-0,0021

-0,1064

-0,0902

-0,7604

0,2799

0,6453

-0,0541

-0,3246

0,0014

0,6300

0,3166

0,1958

0,2305

0,8584

0,2385

0,1204

0,4827

-0,2334

-0,4627

0,1772

-0,6789

0,0777

SPOT XS 2006 merah

0,3417

-0,1869

-0,6040

-0,1021

0,6846

-0,0664

SPOT XS 2006
inframerah dekat
Eigen Value

0,6167

-0,3806

0,6042

-0,3233

0,0732

0,0009

13.384,64

2163,21

1052,25

221,98

60,82

7,28

12,81

6,23

1,31

0,36

0,04

Variasi (%)
Indeks

79,25
SB

DB

SG

30
Jaya (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep eigenvector yang
membentuk sumbu baru yang saling ortogonal dan sekaligus mencari korelasi
yang tinggi pada komponen-komponen di kelompok awal, maka sesungguhnya
sumbu-sumbu komponen yang merekam adanya perubahan adalah pada
komponen-komponen pada kelompok akhir. Pada Tabel terlihat 9 dapat dilihat
bahwa kestabilan kecerahan atau stable brightness (SB) ditemukan pada
komponen pertama atau PC1, perubahan kecerahan atau delta brightness (DB)
ditemukan pada komponen kedua atau PC2 dan kestabilan kehijauan atau stable
greenness (SG) ditemukan pada komponen ketiga atau PC3. Sedangkan
komponen delta greenness (DG) yang menunjukkan perubahan kehijauan pada
tutupan vegetasi tidak teridentifikasi.

Komponen-komponen yang ditemukan

hanya stable brightness, delta brightness dan stable greeness.

Indeks stable

brightness (SB) mencakup variasi 79,25 %, delta brightness (DB) 12,81% dan
stable greeness (SG) 6,23%.
Suatu perubahan tutupan lahan yang terjadi pada suatu areal

dapat

merupakan penambahan atau pengurangan kehijauan dan kecerahan atau kontras.
Perubahan yang terjadi seperti tergambar pada Tabel 9 merupakan perubahan
penambahan kehijauan atau pengurangan kecerahan. Hal in ditunjukkan oleh
tanda aljabar masing-masing bobot pada saluran merah dan inframerah pada
kedua waktu. Pada citra sintetik PC2 atau delta brightness terjadi pengurangan
kecerahan atau kontras di mana terlihat bahwa pada tahun 2003 nilai bobot pada
saluran merah dan inframerah positif yaitu 0,6453 dan 0,1958 sedangkan pada
tahun 2006 mempunyai nilai positif yaitu -0,1869 dan -0,3806. Pada citra PC3
atau stable greenness tidak terjadi perubahan kehijauan dan kecerahan yang
ditunjukkan tanda aljabar yang tetap pada band red dan infrared pada kedua tahun.
Indeks

delta

brightness

(DB)

menunjukkan

terjadinya

perubahan

kelembaban tanah yang penyebabnya erat berhubungan dengan adanya perubahan
atau penamba