Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Indonesia untuk Ekowisata di Batulicin Kalimantan Selatan

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang di dalamnya menyimpan banyak mineral. Pulau Kalimantan sering dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan, salah satunya adalah penambangan mineral batubara. Salah satu wilayah penambangan, khususnya penambangan batubara di Indonesia adalah wilayah kecamatan Batulicin, Kalimantan Selatan. Kegiatan penambangan ini secara legal dikelola oleh PT Arutmin Indonesia yang menjadi lokasi penelitian.

Penambangan batubara di satu pihak memberikan kontribusi terhadap penyediaan sumber energi, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain pihak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penambangan batubara yang biasanya dilakukan dengan sistem terbuka (open mining system) secara nyata menghilangkan vegetasi, mengubah susunan lapisan tanah, menimbulkan erosi, sedimentasi, dan pemadatan tanah yang dapat mengakibatkan degradasi lahan.

Salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan pada area pertambangan adalah kegiatan reklamasi. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu: (1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, (2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya (Direktorat Pengelolaan Lahan, 2006).

Kegiatan perbaikan lingkungan khususnya reklamasi lanskap pasca penambangan batubara sudah menjadi kewajiban setiap perusahaan tambang batubara. Pada PT Arutmin Indonesia, kewajiban reklamasi dipenuhi oleh departemen SHE (Safety, Health and Environment). Departemen ini juga harus bersinergi dengan departemen CD (Community Development) guna memikirkan reklamasi yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar area penambangan.

Kegiatan reklamasi lanskap pasca tambang akan terus berjalan untuk memulihkan kondisi lahan tetapi dibutuhkan suatu penataan pemanfaatan lahan


(2)

untuk mendukung keberlanjutan lanskap tersebut. Melihat PT Arutmin Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, maka salah satu pemanfaatan lahan pasca tambang adalah ekowisata. Ekowisata adalah perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang bersifat konservatif terhadap lingkungannya dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat lokal (Ecotourism Society, 1990 dalam Drumm dan Moore, 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka, perlu adanya perencanaan lanskap kawasan pasca tambang untuk ekowisata guna mendukung keberlanjutan lanskap yang sudah diawali oleh proses reklamasi. Perencanaan ini melihat aspek ekologis, sosial dan ekonomi dari kawasan tersebut agar dapat bermanfaat dalam jangka panjang atau berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lanskap pertambangan khususnya pasca tambang.

b. Membuat rencana penataan lanskap pasca tambang untuk kegiatan ekowisata.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat:

a. Menjadi masukan bagi PT Arutmin Indonesia khusunya dalam pemanfaatan area reklamasi.

b. Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pengembangan kawasan pasca tambang.

1.4 Kerangka Pikir

Penelitian ini akan melihat kondisi lanskap pasca tambang yang sudah mengalami proses reklamasi lahan dengan kondisi ekologi yang cukup baik. Pada lahan yang sudah pulih akan dilihat aspek sumber daya alamnya (SDA) sehingga dapat dianalisis kesesuaian lahan kawasan tersebut untuk kegiatan ekowisata. Aspek SDA juga dilihat untuk menentukan objek wisata beserta atraksinya. Selain itu perencanaan ini akan melihat sumber daya manusia (SDM) pada kawasan yang


(3)

menyangkut potensi pengunjung dan preferensi masyarakat, pihak PT Arutmin Indonesia, dan pihak pemerintah. Hal ini terkait dengan aspek legal dalam perencaanan kawasan pasca tambang. Diagram kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Reklamasi Tahap Awal (Pengembalian fungsi ekologi)

Pemanfaatan Kawasan Reklamasi sebagai Ekowisata

SDA

-Fisik (jenis tanah, topografi dan kemiringan,

hidrologi, iklim) -Biofisik (vegetasi,

satwa)

SDM -potensi pengunjung - preferensi masyarakat

- preferensi pihak PT Arutmin Indonesia -preferensi pemerintah

(aspek legal) Analisis Kesesuaian Lahan

Rencana Lanskap Kawasan Pasca Tambang untuk Ekowisata

Analisis Aspek Legal dan Preferensi

Analisis Daya Dukung

SD Wisata -obyek wisata -atraksi wisata

-Visual (pemandangan)

Zonasi


(4)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penambangan Batubara

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematik.

Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:

1. Eksplorasi.

2. Pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energy. 3. Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.

4. Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan. 5. Pengolahan bijih dan operasional.

6. Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya.

Sistem penambangan batubara di Indonesia pada umumnya adalah sistem tambang terbuka dengan metode konvensional yang merupakan kombinasi penggunaan excavator/shovel dan truk. Urutan kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi:

1. Pembukaan lahan.

2. Pengupasan dan penimbunan tanah tertutup.

3. Pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004).

Setyawan (2004) juga mengemukakan bahwa sistem penambangan ini belum memungkinkan untuk dilaksanakan pengisian lubang bekas tambang (back filling) sehingga tanah pucuk yang terkumpul segera disebarkan pada lahan yang sudah siap direklamasi (brech final). Apabila brech final belum tersedia, maka


(5)

tanah pucuk tersebut harus dikumpulkan keluar batas daerah penimbunan atau diamankan ke tempat kumpulan tanah pucuk. Kemudian lapisan tanah penutup ditimbun di luar areal tambang dengan sistem terasering dan recountoring. Pada kaki daerah penimbunan (waste dump) dibuat kolam pengendapan (settling pond) untuk menangkap air permukaan dan mengendapkan lumpur yang terangkut.

2.2 Lanskap Pasca Tambang

Kegiatan penambangan terbuka (open mining) dapat mengakibatkan gangguan seperti:

1. Menimbulkan lubang besar pada tanah.

2. Penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian.

3. Penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan.

4. Bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir.

5. Mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organik/humus atau unsur hara telah tercuci.

Dampak terhadap komponen lingkungan fisik-kimia dan biologi tersebut tidak dapat dihindarkan namun dapat ditekan seminimal mungkin. Selain dampak negatif, proyek pertambangan batubara di wilayah Batulicin akan menimbulkan dampak positif terhadap lingkungan sosial dan ekonomi dalam bentuk terbukanya peluang kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat setempat, serta meningkatkan pendapatan daerah (ANDAL PT Arutmin, 2003).

Kegiatan pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).


(6)

2.3 Kegiatan Reklamasi Pasca Tambang

Reklamasi adalah usaha memperbaiki memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang telah rusak (kritis) sebagai akibat dari kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu:

1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya.

2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.

Melalui upaya reklamasi lahan dengan menggunakan teknologi dan pemberdayaan masyarakat, maka diharapkan dapat menambah luas areal taman yang pada gilirannya dapat meningkatkan produksi tanaman (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2006).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 76 tahun 2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

Pada pasal 19 tertulis bahwa rencana reklamasi kawasan hutan pada lahan bekas tambang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan proposal yang diajukan oleh perusahaan pertambangan.

2.4 Ekowisata

Ekowisata/pariwisata alam dalam PP No.18/1994 adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha terkait di bidang tersebut. Secara umum pariwisata alam dalam kawasan hutan mengandung ciri-ciri utama sebagai berikut: 1) Meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, 2) Menyediakan sebuah pengalaman wisata dengan lingkungan yang masih alami dan kesempatan menambah pengetahuan, 3) Secara aktif melibatkan masyarakat dalam proses pelaksanaan pariwisata alam, sehingga mereka memperoleh keuntungan, 4)


(7)

Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat dalam arti penting konservasi, dan 5) Peluang pendapatan bagi pemerintah (Subadia, 2003).

Ekowisata merupakan sarana yang sangat baik untuk orang lokal dan kawasan alami yang bersangkutan. Ekowisata merupakan komponen ideal yang mendukung strategi pengembangan berkelanjutan dimana sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata tanpa merusak area alami tersebut (Drumm dan Moore, 2005).

Menurut Lindberg et al.(1997), terdapat beberapa pihak atau “actor” dalam sebuah ekowisata, yaitu:

1. Pengunjung.

2. Area alami dan pengelolanya, baik area umum maupun pribadi. 3. Masyarakat.

4. Pebisnis, yang mencakup, hotel dan penyediaan penginapan, restoran dan lain sebagainya.

5. Pemerintah, termasuk perannya dalam pengelola area alami. 6. NGO (Non-Governmental Organizations) atau LSM.

Pada definisi ekowisata, faktor keberlanjutan menjadi faktor terpenting yang harus diterapkan. Keberlanjutan suatu wisata ditunjukan dari hasil keseimbangan positif dari dampak lingkungan, pengunjung, sosio-budaya dan ekonomi.

The Ecotourism Society (dalam Drumm dan Moore, 2005) menyebutkan ada delapan prinsip ekowisata, yaitu:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan


(8)

conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini.

7. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak untuk mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

8. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

2.5 Perencanaan Lanskap

Lanskap berdasarkan Simonds (2006) merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana suatu lanskap dikatakan alami jika area atau kawasan tersebut memiliki keharmonisan dan kesatuan antar elemen-elemen pembentuk lanskap. Rachman (1984) menyatakan bahwa lanskap sebagai wajah karakter lahan atau tapak dan bagian dari muka bumi dengan segala sesuatu dan apa saja yang ada di dalamnya, baik yang bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap, dan sejauh imajinasi dapat menangkap dan membayangkan.

Perencanaan lanskap merupakan penataan lanskap berdasarkan potensi,

amenity, kendala dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya.


(9)

Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data, proyeksi ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam suatu bentang alam.

Menurut Gold (1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe cara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang.

3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi.

4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.

Menurut Rachman (1984), perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian atas lahan yang luas dalam mencari ketepatan tata guna tanah di masa yang akan datang.


(10)

III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian Perencanaan Lanskap Kawasan Pasca Tambang Batubara untuk Ekowisata dilaksanakan di PT Arutmin Indonesia Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya pada departemen SHE (Safety, Health, Environment) yang menangani aspek pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Lokasi yang dijadikan tapak penelitian adalah pit Ata yang merupakan salah satu lokasi tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin. Pit Ata terletak di tiga desa yaitu Desa Batuharang, Desa Gunung Raya dan Desa Produksi, Kecamatan Mentewe. Waktu studi dilakukan dari bulan April 2011 sampai Maret 2012.

3.2 Batasan Studi

Batasan studi ini dilakukan sampai pada tahap perencanaan lanskap pasca tambang untuk ekowisata. Hasil dari perencanaan ini adalah ruang objek wisata

Lokasi Penelitian

Sumber: http://www.google.com/


(11)

dan ruang pendukung, sistem sirkulasi dan fasilitas pendukung wisata yang dituangkan dalam bentuk gambar rencana.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan, kompas, kamera digital untuk pengambilan data dan software komputer grafis, alat tulis, alat gambar, kertas gambar untuk pengolahan data.

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari peta dan data-data, baik berupa data primer maupun data sekunder. Berikut merupakan data yang diambil untuk memenuhi kelengkapan bahan penelitian (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis, Bentuk, Bentuk Pengambilan dan Sumber data

Jenis Data Bentuk data Bentuk Pengambilan Data Sumber Data Data Umum

Luas, Letak dan batas tapak Spasial Kuantitatif Deskriptif

Data primer (survei lapang) Data sekunder

-Tapak -PT Arutmin Sistem Transportasi dan Aksesibilitas Spasial

Kuantitatif Deskriptif

Data primer (survei lapang) Data sekunder

-Tapak -PT Arutmin

Aspek Sumber Daya Alam (SDA)

Fisik Tanah Hidrologi

Topografi dan Kemiringan Iklim dan kenyamanan

Spasial Kualitatif Kuantitatif Deskriptif

Data primer (survei lapang) Data sekunder -Tapak -PT Arutmin -Badan Pemerintah Biofisik Vegetasi Satwa Spasial Kuantitatif

Data primer (survei lapang) Data sekunder

-Tapak -PT Arutmin

Aspek Sosial (SDM)

Masyarakat Lokal Preferensi

Deskriptif Tabular

Data Primer

(wawancara dan kuesioner)

-tapak Pengelola-Pihak PT Arutmin Indonesia

Preferensi

Deskriptif Data Primer (wawancara) Data Sekunder

-PT Arutmin Pemerintah

Preferensi

Deskriptif Data Sekunder -PT Arutmin

Aspek Legal

RTRW

Hukum Legalitas

Spasial Deskriptif

Data sekunder (Peta Kawasam Hutan)

-Pemerintah -PT Arutmin


(12)

3.4 Tahapan dan Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan mengikuti proses perencanaan yang dikemukakan oleh Gold (1980) dengan pendekatan sumberdaya. Tahapan perencanaan meliputi kegiatan persiapan, inventarisasi, analsis, sintesis dan perencanaan lanskap.

3.4.1 Persiapan

Persiapan awal meliputi perumusan masalah dan penetapan tujuan perencanaan lanskap pasca tambang pit Ata untuk kawasan ekowisata, kemudian dilakukan pengumpulan data-data sekunder terkait lokasi dan topik peneilitian. Pada tahapan ini diperoleh hasil berupa proposal penelitian.

3.4.2 Inventarisasi

Tahap inventarisasi, yaitu tahap pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survey pengamatan langsung pada tapak dan wawancara dengan pihak-pihak terkait sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dari berbagai pustaka. Data terkait aspek sumberdaya didapat berdasarkan studi pustaka dan dokumen-dokumen PT Arutmin berupa peta-peta spasial, data kualitatif dan kuantitatif serta survey lapang berupa foto-foto kondisi lapang, wawancara dan kuesioner. Data terkait sumberdaya manusia khususnya preferensi masyarakat dilakukan dengan penyebaran kuestioner dengan teknik purposive sampling atau pemilihan responden secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah masyarakat yang tinggal di kawasasn pit Ata dan pernah terlibat dalam pemanfaatan kawaswan pit Ata sebelum dilakukan pertambangan.

3.4.3 Analisis

Analisis dilakukan terhadap data yang sudah didapatkan yaitu terkait aspek sumberdaya alam, aspek sumberdaya manusia dan aspek sumberdaya wisata. Analisis terhadap sumberdaya alam dilakukan guna melihat potensi dan kendala tapak guna mengembangkannya sebagai kawasan ekowisata. Secara


(13)

spasial aspek sumberdaya alam menghasilkan peta analisis kemiringan lereng dan vegetasi.

Analisis sumberdaya manusia dilakukan guna melihat keinginan dan preferensi pihak-pihak terkait antara lain masyarakat, pemerintah dan Pt Arutmin terhadap pengembangan kawasan pasca tambang sebagai kawasan ekowisata. Analisis ini melihat hasil penyebaran kuestioner, wawancara dan data-data sekunder.

Analisis sumberdaya wisata melihat potensi-potensi pada tapak yang dapat menjadi objek ewisata. Menurut Nurisjah (2007) objek wisata adalah andalan utama bagi pengembangan kawasan wisata dan didefinisikan sebagai suatu keadaan alam dan perwujudan ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya, serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Potensi yang memiliki ciri khas dan estetika yang baik dapat menjadi objek wisata utama pada kawasan ekowisata yang secara sepasial dapat berupa peta analisis potensi wisata.

Analisis dilakukan melalui metode spasial dan metode deskriptif kuantitatif. Metode spasial dilakukan terhadap aspek sumberdaya alam dan sumberdaya wisata.. Peta analisis yang dihasilkan ditentukan masing-masing kriteria penilaian dan skornya (baik=3, sedang=2, buruk=1) dan kemudian dilakuan overlay untuk mendapatkan peta komposit (Gambar 3).

Gambar 3. Diagram Proses Analisis

Tahap Analisis

Analisis Spasial Analisis Deskriptif Kuantitatif

Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Sumberdaya Wisata Sumberdaya

Alam Sumberdaya Wisata Peta Kemiringan Lereng Peta Penyebaran Vegetasi Peta Potensi Wisata Overlay Zonasi Rencana Lanskap


(14)

Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan pada semua aspek untuk melihat potensi dan kendala apa saja yang terdapat pada tapak, kemudian dilakukan pembahasan terkait solusi yang dapat mengembangkan potensi dan mengatasi kendala. Metode kuantitatif digunakan pada analisis iklim yaitu menghitung derajat kenyamanan atau Thermal Humidity Index (THI) dengan rumus:

THI = 0,8T + [(RH x T)/500]

T= suhu udara (˚C), RH= kelembaban nisbi udara (%).

Nilai THI <27 = iklim tersebut nyaman untuk daerah tropis (Laurie, 1985 dalam Purnama, 2007)

3.4.4 Sintesis

Pada tahap sintesis akan diperoleh pengembangan tapak yang berdasarkan hasil analisis spasial maupun deskriptif. Hasil dari sintesis berupa block plan yang menunjukan zona pengembangan kawasan, selanjutnya ditentukan konsep dasar dan pengembangan konsep. Pengembangan konsep mencakup konsep ruang wisata, aksesibilitas dan sirkulasi, aktivitas wisata, fasilitas wisata, dan tata hijau. Penentuan konsep dasar dan pengembangan konsep ini akan dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan kawasan tersebut.

3.4.5 Perencanaan

Tahap perencanaan lanskap merupakan tahapan yang mengacu pada rencana blok (block plan) untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan dalam menata kawasan ekowisata. Pada tahap ini, akan menghasilkan suatu rencana lanskap (landscape plan) yang meliputi rencana ruang, sirkulasi, fasillitas, vegetasi, aktivitas dan fasilitas dan daya dukung pada kawasan ekowisata.

Setelah diperoleh rencana ruang maka dihitung daya-dukung tiap ruang agar jumlah pengunjung pada kawasan ekowisata tidak berlebih sehingga sumberdaya alam dapat tetap lestari. Perhitungan untuk mencari daya dukung untuk wisata berdasarkan standar rata-rata individu dalam m2/orang berdasarkan


(15)

Boulon dalam WTO dan UNEP (1992) dalam Nurisjah (2003). Nilai standar rata-rata individu ditentukan berdasarkan sesuai tiap aktifitas dan diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan. Rumus perhitungan daya dukung adalah sebagai berikut:

DD = A/S T = DD x K K= N/R

Dimana:

DD = Daya dukung

A = Area yang digunakan wisatawan S = Standar rata-rata individu

T = Total hari kunjungan yang diperkenankan K = Koefisien rotasi

N = Jam kunjungan per hari area yang diijinkan R = Rata-rata waktu kunjungan

Gambar 4. Tahapan Penelitian

Sintesis Perencanaan

Sumber: Gold, 1980 (dimodifikasi)

Persiapan Inventarisasi Analisis

Tujuan Tapak Desk Study Aspek SDA -fisik -biofisik Aspek SDM -Masyarakat -PT arutmin -Pemerintah (aspek legal) _

Potensi SDM Rencana

Lanskap: -ruang -sirkulasi -vegetasi -wisata -fasilitas -daya dukung Potensi SDA Alternatif Pengembangan Potensi SDW Aspek SDW -obyek -visual Konsep Dasar Konsep Pengembangan: -Konsep ruang -Konsep sirkulasi -Konsep vegetasi -Konsep wisata -Konsep fasilitas


(16)

IV KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN

4.1 Administrasi dan Geografis

Secara administratif Pit Ata terletak di tiga desa yaitu Desa Batuharang, Desa Gunung Raya dan Desa Produksi. Ketiga desa ini terdaftar pada kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Pit Ata terletak pada 350’326.22”- 351 470’92” Bujur Timur dan 9638 502’96” – 9649.053’46” Lintang Selatan dengan luas keseluruhan 1418,868 Ha.

Pit Ata secara resmi adalah area wilayah konsesi pertambangan PT Arutmin Indonesia (PKP2B) yang saat ini masih dalam proses pertambangan dan diperkirakan akan tutup tambang pada akhir tahun 2012. Seiring dengan kegiatan penambangan area tertentu yang sudah dilakukan penambangan direklamasi guna mengembalikan fungsi wilayah sebagai kawasan hutan sesuai IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).

Area yang akan dijadikan sebagai area penelitian adalah area Ata Selatan yang dibatasi oleh batas PKP2B dan Jalan Provinsi yang terletak di sebelah utara tapak. Ata Selatan memiliki luas 518,1 Ha dan berdasarkan dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) pit Ata Selatan akan memiliki luasan area daratan seluas 421,3 Ha dan area perairan seluas 96,8 Ha. Area perairan ini berupa void yaitu danau bekas lubang tambang dan kolam hutan (woodland pond). Batas tapak penelitian dan rencana pembentukan void dapat dilihat pada Gambar 5.

4.2 Aksesibilitas

Jalan utama yang melintasi tapak ini adalah jalan propinsi (dulu jalan Kodeco) yang menghubungkan Banjarmasin-Batulicin-Kandangan. Tapak berada sekitar 60 km dari ibukota Kecamatan Batulicin yang dapat ditempuh ± 2 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor, serta berada sekitar 160 km dari Kecamatan Kandangan yang dapat ditempuh ± 4 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jalan dari Kecamatan Batulicin umum digunakan oleh kendaraan pengangkutan hasil penambangan dan juga masyarakat lokal sedangkan jalan dari Kecamatan Kandangan hanya digunakan oleh masyarakat lokal terutama dengan sepeda motor.


(17)

Mayoritas desa-desa pada kawasan Tambang Batulicin memiliki aksesibilitas tinggi terhadap jalan provinsi ini karena letaknya tepat disisi kiri dan kanan jalan dan beberapa hanya dipisahkan oleh jalan kecil yang berjarak ±500 m. Area sekitar pit Ata sendiri merupakan kawasan yang cukup dipadati oleh penduduk dimana terdapat 3 pemukiman terdekat dari pit Ata yaitu permukiman Desa Produksi, permukiman Desa Batuharang dan Pemukiman KM58 yang berjarak kurang lebih 500 m - 1 km (Gambar 5). Peta aksesibilitas kawasan Tambang Batulicin dapat dilihat pada Gambar 6.

4.3 Kependudukan

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010 (Tabel 2), jumlah penduduk Kabupaten Tanah Bumbu adalah 267.931 orang, yang terdiri atas 139.498 laki-laki dan 128.415 perempuan. Selama periode tahun 2000-2010, laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tanah Bumbu mencapai 3,74 persen. Hal ini disebabkan oleh peningkatan perekonomian Kabupaten Tanah Bumbu dan juga terkenalnya Tanah Bumbu sebagai tujuan pekerja migran. Kecamatan Mentewe sendiri memiliki penduduk sebanyak 16.909 orang dengan rasio jenis kelamin 112. Kecamatan Mentewe memiliki laju pertumbuhan penduduk yang paling rendah di Kabupaten Tanah Bumbu yaitu sebesar 0,39 persen.

Tabel 2. Sensus Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu 2010

Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki +

Perempuan

Rasio Jenis Kelamin

Kepadatan Penduduk

Kusan Hilir 21.584 21.245 42.829 102 107

Sungai Loban 9.744 9.087 18.831 107 53

Satui 25.882 23.219 49.101 111 56

Angsana 8.579 7.783 16.362 110 108

Kusan Hulu 9.874 9.053 18.927 109 12

Kuranji 3.930 3.603 7.533 109 68

Batulicin 6.904 6.555 13.459 105 105

Karang Bintang 8.356 7.680 16.036 109 136

Simpang Empat 35.723 32.203 67.926 111 225


(18)

Gambar 5. Peta Batas Tapak Penelitian

Desa Produksi Pemukiman KM58


(19)

(20)

Berdasarkan dokumen ANDAL PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, penduduk di wilayah tambang Batulicin memiliki etnis yang cukup beragam dimana terdapat bermacam-macam suku bangsa seperti suku Banjar, Jawa, Bugis, Sunda, Dayak, Madura dan lain-lainnya. Ditinjau dari aspek agama dan kepercayaan yang dianut, umumnya mereka adalah pemeluk agama Islam (97,17%), sedangkan sisanya adalah pemeluk agama Kristen, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Berdasarkan kondisi masyarakat yang demikian, maka nilai dan norma budaya yang berlaku umumnya bersumber dari budaya Banjar, Jawa dan Sunda yang kental dengan nuansa Islam. Pada beberapa desa masih ditemukan beberapa upacara adat seperti kelahiran atau Tasmiyah, Sunatan, Mandi-mandi (untuk wanita hamil 7 Bulan) dan lain-lain. Kesenian adat yang masih ada seperti kuda lumping, campur sari dan wayang kulit.

Mata pencaharian utama yang paling banyak ditekuni bagi masyarakat di wilayah Tambang Batulicin adalah petani (terutama padi) (ANDAL PT AI, 2003). Mata pencaharian lain berupa dagang, usaha mencari kayu, supir, karyawan perusahaan dan lain-lain. Selain mata pencaharian utama, beberapa masyarakat juga memiliki mata pencaharian sampingan seperti: bertani, dagang, tukang ojek, beternak sapi, mencari kayu dan lain-lain. Persentase mata pencaharian utama masyarakat wilayah Tambang Batulicin dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Mata Pencaharian Utama Masyarakat Wilayah Tambang Batulicin

No Jenis mata pencaharian Persentase (%)

1 Tani 30,61

2 Dagang / kios / warung 19,05

3 Sopir 10,88

4 Mencari kayu 8,16

5 Karyawan perusahaan 5,44

6 Tukang ojek 3,4

7 Bengkel 2,72

8 Buruh bangunan 2,04

9 PNS dan Pensiunan 6,12

10 Wiraswasta 4,08

11 Lainnya 7,48


(21)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sumberdaya Alam 5.1.1 Aspek Fisik

a. Lokasi dan Aksesibilitas

Pit Ata terletak dekat dengan 3 pemukiman yaitu pemukiman Desa Produksi, pemukiman Desa Batuharang dan pemukiman KM58 yang berjarak kurang lebih 500 m – 1 km. Keberadaan pemukiman-pemukiman ini akan memudahkan pengembangan wisata di area ini karena selain dapat menjadi sumber mata pencahrian baru bagi masyarakat sekitar, pemukiman tersebut dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung. Sarana transportasi yang sering digunakan menuju lokasi oleh masyarakat lokal antara lain kendaraan pribadi, angkutan umum, menumpang dengan angkutan perusahaan dan berjalan kaki.

Jalan provinsi yang melintasi tapak ini menjadi potensi yang baik karena terdapat akses yang mudah dari pusat kecamatan Batulicin dan Kandangan. Saat ini jalan provinsi menjadi jalan alternatif menuju Kecamatan Kandangan dan Barabai dari Kecamatan Batulicin. Pit Ata terletak dipertengahan jalan propinsi ini dimana kondisi jalan ini dari arah Kecamatan Batulicin berbeda dengan jalan dari arah Kecamatan Kandangan.

Jalan menuju tapak dari arah Batulicin berjarak sekitar 50 km. Jalan ini merupakan jalan ex-Kodeco yang saat ini digunakan menjadi jalur pengirimin Batubara menuju pelabuhan. Kondisi jalan ini kurang baik dengan kondisi berupa tanah dan batuan. Kondisi jalan sering berdebu ketika musim kemarau dan sangat licin ketika musim hujan. Pada musim kemarau dilakukan penyiraman jalan setiap hari oleh pihak perusahaan. Dalam menuju pasca penambangan, kondisi jalan ini sebaiknya diperbaiki kondisinya agar diberi kenyamanan pada pengunjung dalam mengakses tapak tersebut. Aspek visual pada jalan ini cukup baik yaitu terlihat pemandangan gunung-gunung kapur secara dekat (Gambar 7).

Akses dari Kandangan menuju tapak berjarak sekitar 150 – 200 km dengan kondisi jalan berupa aspal yang cukup baik, akan tetapi jalan ini masih kurang penerangan dan pengamanan sehingga sedikit berbahaya jika diakses pada malam hari. Selain itu, pada beberapa titik, semak-semak yang terletak dipinggir


(22)

jalan tidak diberi perawatan sehingga batang dan daunnya menghalangi sebagian badan jalan dan menyebabkan penyempitan jalan. Jalan ini berlekuk-lekuk dengan mengelilingi pegunungan sehingga memiliki pemandangan hutan alam yang menarik (Gambar 7). Potensi visual pada kedua jalan ini dapat dikembangkan dengan pemanfaatan titik-titik istirahat yang memperlihatkan potensi visual tersebut.

Gerbang utama pit Ata Selatan terletak sebelah utara tapak yang berdekatan dengan bangunan-bangunan kantor milik kontraktor. Gerbang ini sudah menjadi identitas pit Ata selama tambang ini dibuka maka sangat sesuai apabila dipertahankan menjadi gerbang utama wisata. Selain itu letaknya yang relatif dekat dengan pumukiman Desa Produksi akan menjadi potensi karena dekat dengan masyarakat lokal.

b. Topografi dan Kemiringan

Berdasarkan ANDAL PT AI Tambang Batulicin, wilayah tambang Batulicin pada umumnya memiliki topografi berombak hingga bergelombang. Topografi pada tapak diperoleh dari rencana rona akhir tambang Pit Ata yang dimiliki oleh PT AI Tambang Batulicin. Pada rencana rona akhir tambang, ketinggian maksimum mencapai 110 m dpl dengan rata-rata ketinggian berkisar

Gambar 7. Kondisi Jalan menuju Tapak

(1) Kondisi jalan dan good view menuju tapak dari Kec. Batulicin


(23)

50-100 m dpl. Pada tapak penelitian terdapat beberapa daerah yang datar dan daerah yang bergelombang. Peta Topografi dapat dilihat pada Gambar 8 dan peta klasifikasi kemiringan lahan dapat dilihat pada Gambar 9. Luas klasifikasi kemiringan pada tapak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Luas Klasifikasi Kemiringan

Kemiringan Persentase (%) Luas (ha)

0 - 8 % 28,05 145,37

8 – 15 % 15,65 81.13

15 – 25 % 15,76 81.68

25 – 40 % 15,49 80,27

Lebih dari 40 % 6,17 31,95

Luas Danau/Badan Air 18,88 96,8

Luas Keseluruhan 100 518,1

Tingkat kemiringan pada tapak beragam dimana kemiringan 0-8% memiliki persentase luas terbesar. Beberapa area memiliki kemiringan lebih dari 40% yang pada umumnya merupakan high wall (dinding terjal bekas tambang). Ketinggian high wall pada void pertama direncanakan mencapai 38 m sedangkan pada void kedua mencapai 42 m. Pemandangan void dengan high wall akan menjadi daya tarik tapak ini dimana menunjukan karakter area bekas tambang. Perlakuan yang diberikan pada high wall dalam mencegah erosi adalah dengan metode hydroseeding yaitu metode revegetasi dengan menggunakan media air dan campuran berbagai macam biji benih serta unsur hara yang diperlukan untuk perbaikan tanah sebagai media tempat tumbuhnya tanaman. Secara keseluruhan tapak memiliki bentukan lahan yang bergelombang sehingga menjadi potensi visual dan pengalaman pengunjung yang tidak monoton, akan tetapi pada area yang bergelombang sebaiknya dimanfaatkan untuk aktivitas yang bersifat pasif karena memiliki area dengan kemiringan curam sehingga rawan longsor.

Menurut Hardjowigeno dan Widyatmaka (2001) kesesuaian lahan untuk wisata ditentukan oleh drainase tanah, bahaya banjir, permeabilitas, lereng, tekstur tanah, kerikil dan kerakal, batu serta batuan. Pada studi ini parameter yang diambil yaitu kesesuaian lahan untuk kegiatan wisata berdasarkan kemiringan lereng karena aspek lain kondisinya cenderung homogen. Area dengan kemiringan 0-15% atau area yang baik dan sangat sesuai untuk pengembangan wisata, area dengan kemiringan 15-25% atau area yang sedang yaitu cukup sesuai


(24)

(25)

(26)

untuk pengembangan wisata dan area dengan kemiringan lebih dari 25% atau area yang buruk yaitu tidak sesuai untuk pengembangan wisata. Danau atau badan air tergolong area yang buruk karena bentukan lahan danau berupa cekungan sehingga memiliki kemiringan yang curam.

Pada area yang sedang tetap dapat dilakukan aktivitas pada area ini tapi diperlukan penerapan teknologi seperti pelandaian bentukan lahan. Area yang buruk merupakan area yang berbahaya sehingga sebaiknya dikonservasi, akan tetapi area ini masih dapat dilakukan pengembangan aktivitas yang hanya bersifat pasif seperti jalan-jalan dan melihat-melihat. Peta analisis kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 10.

c. Jenis dan Karakteristik Tanah

Kondisi tanah pada kawasan tambang akan berbeda dengan tanah pada umumnya. Kegiatan penambangan akan merusak kondisi fisik maupun kimia tanah. Proses reklamasi lahan diharapkan dapat memperbaiki kondisi tanah yang telah rusak sehingga mampu menjadi media tanam yang baik.

Berdasarkan dokumen ANDAL PT Arutmin Indonesia tahun 2003, di pit Ata didominasi oleh tanah Ultisol (Sistem Klasifikasi Soil Taxonomy). Tanah Ultisol umumnya berkembang dari bahan induk tua. Tanah ini sering diidentikan dengan tanah yang kurang subur dengan nilai pH relatif rendah yaitu dibawah 5,5. Struktur tanah ultisol relatif tidak mantap sehingga peka terhadap erosi. Meskipun kesuburan alamiah Ultisol tidak terlalu baik, tanah ini memberikan respons baik terhadap pengelolaan yang tepat seperti pengapuran dan pemupukan (Soepardi, 1983).

Berdasarkan laporan pemantauan lingkungan PT AI Tambang Batulicin, telah dilakukan perbandingan kondisi tanah area reklamasi dengan area hutan alami yaitu area yang tidak terganggu. Hal ini dilakukan guna melihat keberhasilan proses reklamasi dalam memperbaiki kondisi tanah. Pada area reklamasi pit Ata dengan umur tanaman 2 tahun tercatat pH tanah sebesar 3,61, nilai bulk density 1,6 gr/mL dan nilai porositas sebesar 38,2%. Sedangkan pada area reklamasi dengan umur tanaman 5 tahun tercatat bahwa pH tanah sebesar


(27)

(1)


(28)

3,64, nilai bulk density 1,4 gr/mL dan nilai porositas sebesar 46,8%. Jika dibandingkan dengan kondisi tanah di area hutan alami terdapat nilai pH sebesar 3,94, nilai bulk density sebesar 1,2 gr/mL dan nilai porositas sebesar 52,7%.

Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa nilai pH, bulk density dan porositas tanah seiring dengan bertambahnya umur tanaman mengalami perbaikan kondisi dimana semakin mendekati kondisi pada area hutan alami. Selain pH, bulk density dan porositas dilakukan perbandingan terkait kandungan unsur hara makro maupun mikro pada area reklamasi dan hutan alami. Tercatat bahwa kondisi unsur hara pada area reklamasi berada pada kondisi normal dan hanya terdapat beberapa unsur hara dengan kadar yang sangat tinggi, akan tetapi kondisi tersebut semakin membaik seiring dengan bertambahnya umur tanaman.

Kondisi tanah yang semakin membaik pada area reklamasi menunjukan keberhasilan proses reklamasi. Oleh karena itu, pemantauan kondisi fisik maupun kimia tanah sebaiknya dilakukan secara kontinyu sehingga secara intesif dapat diketahui kebutuhan perlakuan pada tanah. Kondisi kimia tanah yang buruk dapat ditingkatkan dengan pengapuran atau pemupukan tanah, sedangkan kondisi fisik tanah yang buruk dapat ditingkatkan dengan penggemburan secara kontinyu.

d. Hidrologi

Pada area tambang yang menggunakan teknik penambangan terbuka maka akan timbul lubang besar pada tanah dan menampung air sehingga terbentuk void atau danau bekas tambang. Sesuai Rencana Rona Akhir Tambang pit Ata, tapak penelitian akan memiliki dua void. Kedalaman void yang direncanakan mencapai 70 m pada kedua void. Outlet dari kedua void ini direncanakan akan mengarah ke Sungai Sela. Kualitas air void dapat dilihat pada lokasi tambang yang lain milik PT Arutmin Indonesia, yaitu pit 1 Mangkalapi yang sudah mencapai 5 tahun semenjak Pit ditutup.

Kualitas air pada void pit 1 Mangkalapi menunjukan nilai pH dan kekeruhan yang semakin membaik seiring dengan waktu. Pada bulan Desember 2010 tercatat bahwa void pit 1 Mangkalapi memiliki nilai pH rata-rata 6,55 dan nilai kekeruhan rata-rata 41,1 (Haris, 2011). Menurut Pergub Kalsel No. 036/2008


(29)

kadar maksimum nilai pH untuk area bekas tambang batubara adalah 6-9. Pada

void Mangkalapi terdapat ikan yang hidup, tetapi hal ini tidak menunjukan bahwa

void sudah aman untuk dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya ikan karena masih dikhawatirkan ada kandungan logam yang terdapat pada ikan. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes), apu-apu (Pistia stratiotes) dan tifa (Typha angustifolia) yang dapat menyerap logam sisa-sisa tambang.

Selain void, tapak ini memiliki kolam area hutan (woodland pond) yang terbentuk oleh kesalahan aliran air pada saat penambangan sehingga menimbulkan genangan air pada area hutan. Genangan ini dipertahankan melihat kondisinya yang baik dimana ditemukan ikan dan dimanfaatkan untuk memancing oleh masyarakat lokal. Lokasi kolam ini berada di sebelah utara tapak yaitu dekat dengan gerbang masuk Pit Ata. Outlet dari kolam ini mengarah ke drainase jalan provinsi yang menuju arah Kandangan.

Pada tapak penelitian terdapat aliran sungai yaitu Sungai Sela yang merupakan bagian hulu dari Sungai Batulicin. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, sungai Sela memiliki lebar penampang basah berkisar antara 22-25 m, kedalaman 0,5 – 0,75 m dan tinggi tebing berkisar antara 3-5 m. Saat ini kondisi air Sungai Sela keruh yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan dan pembukaan lahan hutan disekitarnya khususnya daerah hulu sungai sehingga terjadi peningkatan erosi. Kondisi badan air yang ada pada tapak dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Kondisi Badan Air Tapak

(2) Kolam Area Hutan (Woodland Pond)


(30)

Keberadaan sungai ini dapat menjadi nilai tambah bagi tapak ini karena dapat meningkatkan nilai estetika dari segi visual maupun akustik dan juga dapat menarik satwa khususnya burung. Konservasi sempadan sungai dan dataran tinggi pada tapak dimana air permukaannya mengalir ke sungai dapat dilakukan dengan penggunaan tanaman seperti bambu (Bambusa vulgaris) dan tanaman ground cover. Peta hidrologi tapak dapat dilihat pada Gambar 12.

e. Iklim

Berdasarkan dokumen ANDAL PT Arutmin Tambang Batulicin, wilayah Batulicin dan sekitarnya memiliki suhu maksimum rata-rata bulanan mencapai 31,8oC yang biasanya terjadi pada bulan Oktober dan November. Sedangkan suhu minimum rata-rata bulanannya terjadi pada bulan Juni dengan suhu 22,7 oC. Rata-rata lama penyinaran matahari di daerah ini yakni 47,93 % (PT AI BTL, 2003).

Berdasarkan data kelembaban di area reklamasi pit Ata (Tabel 5) rata-rata kelembaban tercatat sebesar 70,17 %. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui Derajat Kenyamanan atau Thermal Humidity Index (THI) yaitu sebesar 26,87. Hal ini menunjukan bahwa tapak (khususnya pada area reklamasi) dikategorikan nyaman bagi manusia untuk beraktifitas khususnya pada daerah tropis dimana nilai THI lebih rendah dari 27 (Laurie,1985 dalam Purnama, 2007).

Tabel 5. Data Kelembaban di Area Reklamasi Pit Ata

No Lokasi Menit

ke

Suhu Bola Kering

(°C)

Suhu Bola Basah (°)C

Kelembaban

(%) THI

1 Tegakan Sengon, Tahun tanam Desember 2008 (plot 1)

0 28 26 85 27,16

10 28 23 65 26,04

20 28 23 65 26,04

2 Tegakan Sengon, Tahun tanam Desember 2008 (plot 2)

0 29 24 65 26,97

10 29 24 65 26,97

20 29 24 65 26,97

3 Tegakan Akasia, Tahun

tanam November 2005 (plot 1)

0 28 25 77 26,71

10 28 25 77 26,71

20 29 25 65 26,97

4 Tegakan Akasia, Tahun

tanam November 2005 (plot 2)

0 29 25 71 27,32

10 29 25 71 27,32

20 29 25 71 27,32


(31)

(32)

Berdasarkan pengamatan langsung pada tapak, suhu udara pada pagi-sore dan siang hari sangat berbeda. Tapak pada pagi dan sore hari nyaman, akan tetapi suhu udara pada tapak akan terasa sangat terik dan panas pada siang hari, sehingga tapak pada siang hari kurang nyaman.

Kondisi sinar matahari yang terik dan suhu yang panas dapat diatasi dengan pemanfatan vegetasi dalam menciptakan iklim mikro yang nyaman. Menurut Brooks (1988), untuk mengontrol intensitas sinar matahari dapat digunakan vegetasi yang dapat menghasilkan bayangan dan dapat mengurangi radiasi matahari. Transmisi sinar matahari pada vegetasi dapat dilihat pada Gambar 13(a). Suhu tapak yang tinggi dapat diubah dengan pemanfaatan angin oleh vegetasi yang disusun mengikuti atau tidak memotong arah angin (Brooks, 1988). Akan tetapi kelembaban dibawah naungan pohon akan lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya evaporasi dan penutupan dari kanopi vegetasi (Gambar 13(b)).

Data curah hujan Pit Ata diperoleh dari laporan pemantauan lingkungan bulanan, PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin. Pada periode tahun 2010, tercatat rata-rata curah hujan pada Pit Ata sebesar 413 mm. Curah hujan tiap bulan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 13. Pengaruh Vegetasi terhadap Iklim Mikro

a. Pengaruh vegetasi terhadap intensitas penyinaran matahari


(33)

Terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli 2010 sebesar 731mm/bulan dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Januari 2010 sebesar 73mm/bulan. Berdasarkan sistem Klasifikasi Oldeman yang menyatakan bahwa bulan basah adalah bulan yang memiliki curah hujan >200mm dan bulan kering memiliki curah hujan <100mm. Maka terlihat bahwa pada tahun 2010 tersebut terdapat 1 bulan kering dan 14 bulan basah dan tergolong tipe A1 yang berarti memiliki curah hujan yang tinggi atau dapat ditanam padi sepanjang tahun.

Curah hujan yang tinggi merupakan potensi bagi suplai air tanah dan sumber ketersedian air (danau) bagi tanaman terutama saat musim kering. Curah hujan yang tinggi juga dapat menimbulkan erosi, khususnya pada area dengan kemiringgan tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan penanaman tanaman ground cover yang dapat mengikat tanah dengan baik.

5.1.2 Aspek Biofisik a. Vegetasi

Kegiatan revegetasi atau penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka dimaksudkan untuk mengembalikan penutupan lahan dan memulihkan kesuburan tanah. Berdasarkan laporan pemantauan lingkungan PT AI, pada pit Ata terdapat beberapa area yang telah direvegetasi dengan ditanam vegetasi pioneer exotic dan

pioneer lokal. Jenis pioneer exotic antara lain Sengon dan Akasia sedangkan

Gambar 14. Grafik Curah Hujan Bulanan Batulicin Tahun 2010

Sumber: PT Arutmin Indonesia

(m

m

)


(34)

tanaman pioneer lokal adalah Gamal, Kapuk, Trembesi, Sungkai, Meranti, Ulin dan buah-buahan seperti mangga, jambu dan durian. Sebanyak 163.542 pohon telah ditanam dilokasi reklamasi pit Ata sampai dengan April 2010 sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan proses penambangan. Tanaman yang mendominasi wilayah adalah sengon.

Tabel 6. Daftar Vegetasi Kawasan Reklamasi di Pit Ata.

No Nama Latin Nama Lokal Jumlah (Pohon)

1 Paraserianthes falcataria Sengon 87.196

2 Acacia mangium Akasia 50.924

3 Glericidia maculata Gamal 350

4 Ceiba petandra Kapuk 1.879

5 Peronema canescens Sungkai 3.670

6 Samanea saman Trembesi 15.857

7 Swietenia mahagoni Mahoni 6.000

8 Shorea sp Meranti 380

9 Macaranga javanica Mahang 400

10 Ficus elastica Karet 610

11 Terminalia catappa Ketapang 201

12 Gmelina arborea Gamelina 1263

13 Erythrina Dadap 580

Proses revegetasi dilakukan seiring dengan proses penambangan. Hal ini harus sejalan dengan rencana penambangan. Saat ini terdapat tanaman reklamasi yang memiliki umur yang berbeda. Menurut Atmojo (2008), peran vegetasi dalam mengendalikan stabilitas lereng sangat ditentukan oleh sifat-sifat dari akarnya, antara lain; (1) bentuk system perakarannya (tunggang-serabut), (2) kedalaman akar, (3) Sebaran perakaran, (4) susunan akar (nisbah akar: tanah atau berat biomasa akar per satuan volume akar), dan (5) kekuatan akar. Hal ini menunjukan bahwa area reklamasi dengan umur pohon yang lebih tua akan menunjukan kestabilan tanah yang lebih baik, sehingga pemanfaatan wisata yang lebih intensif dapat dilakukan. Peta progres revegetasi pada tapak hingga periode triwulan 1 tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 15.

Dalam menganalisis tapak, dengan mempertimbangkan tingkat kestabilan tanah, peta rekalamasi dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu area tapak yang baik, cukup dan buruk. Area yang baik merupakan area reklamasi yang memiliki pohon


(35)

(36)

dengan umur 6 – 4 tahun. Area cukup baik merupakan area yang memiliki pohon dengan umur 3-2 tahun. Area buruk merupakan area yang memiliki pohon dengan umur di bawah 1 tahun atau belum ditanam. Danau atau badan air pada tapak tergolong area yang cukup baik karena kualitasnya yang kurang baik akan tetapi masih dapat ditanami tanaman air. Kondisi tanaman reklamasi berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Gambar 16. Peta analisis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 17.

b. Satwa

Daerah Batulicin memiliki beberapa spesies satwa lokal terutama jenis burung-burungan (Aves) dan mamalia. Terdapat pula satwa-satwa yang dilindungi sesuai PP No 7 tahun 1993, seperti alap-alap kelelawar (Machaeramphus alinus), raja udang (Halcyon sancia), enggang hitam (Anthracoceros malayanus), enggang (Annohinus galeritus), elang bondol (Haliastur indus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muncak), kancil (tragulus javanicus), warik/owa-owa (Hylobates muelleri), landak (Hystrix brachyuran), bekantan (nasalis larvatus), ternggiling (Manis javanica), macan dahan (Neofelis nevbulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), kukang (Nycticebus menagensis) (PT AI BTL, 2003).

Selama proses pertambangan, satwa-satwa tersebut akan terganggu akan tetapi dengan proses reklamasi, diperkirakan akan meningkatkan kembali jumlah satwa yang terganggu. Berdasarkan dokumen Rencana Penutupan Tambang PT Arutmin Indonesia, diperkirakan pasca penambangan akan ditemukan beberapa jenis aves dan mamalia. Jenis mamalia yang diperkirakan ditemukan adalah rusa, kijang, kancil dan monyet. Jenis aves seperti karuang, tinjau karang, tinjau gunung. Jenis-jenis aves yang ditemukan di pit Ata saat pemantauan terakhir dapat dilihat pada Tabel 7.

Gambar 16. Tanaman Reklamasi Sesuai Umur Tanaman (a) < 1 tahun (b) 2-3 tahun (c) 4-6 tahun


(37)

(2)


(38)

Tabel 7. Satwa Liar Jenis Burung yang Teramati di Pit Ata

No Nama Jumlah Individu

1 Pipit hirang 9

2 Curiak 2

3 Cuit 3

4 Karuang 5

5 Tinjau gunung 1

6 Tinjau karang 1

7 Layang-layang 7

8 Bubut alang-alang 1

9 Punai 2

10 Cekakak sungai 1

Berhubungan dengan rencana reservoir air bekas tambang, diperkirakan akan ditemukan berapa satwa akuatik dengan jenis ikan air tawar. Ikan-ikan yang diperkirakan akan ditemukan antara lain ikan lokal seperti gabus, seluang, nila, mujair, emas dan lain-lain. Beberapa ikan ini telah ditemukan di kolam hutan (woodland pond).

Salah satu prinsip ekowisata menurut The Ecotourism Society (dalam Drumm dan Moore, 2005) adalah pendidikan konservasi lingkungan yaitu mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Satwa lokal terutama yang merupakan satwa lindung dapat menjadi salah satu objek konservasi yang dapat diterapkan dalam ekowisata ini.

5.2 Sumberdaya Manusia 5.2.1 Preferensi Masyarakat

Untuk mengetahui preferensi masyarakat lokal terhadap perencanaan pasca tambang pit Ata maka dilakukan survey dengan metode penyebaran kuesioner dengan teknik purposive sampling kepada 30 responden dari ketiga permukiman sekitar pit Ata.

Berdasarakan hasil survey tersebut 90 persen dari seluruh responden setuju untuk mengembangkan pit Ata sebagai kawasan wisata. Terhitung pula 87 persen dari responden bersedia berpartisipasi dalam pengembanagan kawasan ini sebagai kawasan wisata. Beberapa responden bersedia menjadi tenaga kerja pengelola kawasan wisata dan mayoritas responden ingin menyediakan akomodasi seperti


(39)

penginapan, rumah makan dan lain-lain. Mayoritas responden juga mengatakan bahwa kawasan pit Ata memiliki potensi lahan yang berbukit-bukit dan gunung-gunung kapur sekitarnya yang dapat menjadi daya tarik wisata.

Berdasarkan wawancara mayoritas masyarakat ingin mengembangkan budidaya tanaman karet (Hevea Brasiliensis) dan sawit (Elaeis guineensis) dan beberapa ingin tanaman kehutanan penghasil kayu dan tanaman buah-buahan. Dengan melihat kawasan ini sebagai kawasan hutan produksi maka pengembangan tanaman karet, tanaman kehutanan penghasil kayu dan tanaman buah-buahan dapat dilakukan tetapi tidak untuk tanaman sawit. Pada danau, masyarakat ingin memanfaatkan sebagai area rekreasi dan budidaya ikan. Pemanfaatan ikan dapat dilakukan apabila perlakuan terhadap kualitas air terus ditingkatkan.

Berdasarkan hasil survey 93% dari responden tidak mengetahui dan tidak pernah dengar dengan konsep ekowisata dalam suatu wisata. Pemahaman mengenai ekowisata kemudian disampaikan kepada responden dan mayoritas setuju dengan konsep tersebut. Hasil kuesioner masyarakat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Kuesioner Masyarakat Terkait Preferensi terhadap Kawasan Pit Ata

No Variabel Frekuensi Frekuensi Relatif

1 Jenis Kelamin:

a. Laki-laki 17 56. 7%

b. Perempuan 13 43.3%

2 Tingkat Pendidikan:

a. SD 15 50%

b. SLTP 7 23.3%

c. SLTA 5 16.7%

d. Perguruan Tinggi 3 10%

3 Pekerjaan:

a. Pelajar/Mahasiswa

b. Ibu rumah tangga 6 20%

c. Guru 4 13.3%

d. Karyawan 12 40%


(40)

No Variabel Frekuensi Frekuensi Relatif

4 Apakah anda mengetahui mengenai Rencana Penutupan Tambang?

a. Ya 10 33.3%

b. Tidak 20 66.7%

5 Pemanfaatan apa yang sebaiknya dilakukan di area sekitar void?

a. Rekreasi 13 43.3%

b. Budidaya ikan 17 56.7%

c. Area Konservasi -

d. Lainnya -

6 Bagaimana anda menuju kawasan Ata?

a. Kendaraan umum 6 20%

b. Berjalan Kaki 13 43.3%

c. Sepeda -

d. Sepeda motor 11 36.7%

e. Mobil pribadi -

f. Lainnya -

7a Setujukah kawasan Ata dikembangkan menjadi area wisata?

a. Ya 27 90%

b. Tidak 3 10%

7b Alasan menjawab ya:

a. Kurangnya lokasi wisata/rekreasi di sekitar area ini 13 48.1% b. Dengan adanya pengelola wisata, kawasan akan tetap lestari dan

terjaga

5 18.5%

c. Dapat menambah lapangan pekerjaan dan peluang usaha 8 29.6%

d. Lainnya -

8a Adakah daya tarik tertentu dari kawasan Ata dan sekitarnya?

a. Ya 19 63.3%

b. Tidak 11 36.7%

8b Jika ya, apa daya tarik tersebut?

a. Bentukan lahan yang berbukit-bukit 7 36.8%

b. Gunung kapur 9 47.5%

c. Sungai-sungainya 1 5.2%

d. Budaya lokal yang menarik -

e. Lainnya 2 10.5%

9a Apakah anda bersedia ikut terlibat dalam perencanaan maupun pengelolaan kawasan wisata?

a. Ya 26 86.7%

b. Tidak 4 13.3%

9b Jika ya, bagaimana anda akan ikut terlibat?

a. Sebagai pemilik -

b. Sebagai Investor -

c. Sebagai Tenaga Kerja 8 30.8%

d. Sebagai Penyedia akomodasi (penginapan,tempat makan) 18 69.2%

e. Lainnya -


(41)

No Variabel Frekuensi Frekuensi Relatif

10a Apakah anda mengetahui tentang ekowisata?

a. Ya 1 3.3%

b. Tidak 28 93.3%

c. Pernah dengar 1 3.4%

10b Jika ya, setujukan anda jika kawasan ex-tambang Ata dikembangkan dengan konsep ekowisata?

a. Ya 1 100%

b. Tidak -

5.2.2 Preferensi Pihak PT Arutmin Indonesia

Berdasarkan PERMEN-ESDM nomor 18 tahun 2008, dalam melaksanakan reklamasi dan penutupan tambang, perusahaan wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja, serta konservasi bahan galian. PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin bertanggungjawab terhadap pembuatan program-program dan tindakan-tindakan yang akan dilakukan terkait penutupan tambang dari saat ini sampai dengan penyerahan wilayah bekas tambang kembali kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Pada penelitian ini, dilakukan wawancara terhadap Environmental Supervisor PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin , Bapak RS Subyiakto guna mengetahui preferensi perusahaan dalam perencanaan penutupan tambang pit Ata. Menurut beliau, penutupan ex-tambang Pit Ata akan sesuai dijadikan area wisata dan juga reservoir untuk sumber air bersih karena lokasinya yang relatif dekat dengan pemukiman/perkampungan. Beliau menambahkan bahwa lokasi sekitar pit Ata miskin area wisata (jauh dari pantai, danau atau areal wisata lainnya) sehingga dapat memberi hiburan bagi masyarakat.

Menurut Bapak RS Subiyakto, konsep ekowisata sangat sesuai di terapkan pada kawasan ex-tambang karena selain memberi hiburan kepada masyarakat, ekowisata juga memberikan aspek pendidikan lingkungan. Nilai edukasi pada kawasan ini dapat dikembangkan dimana mengajarkan masyarakat bahwa lokasi tambang yang dikelola dengan prinsip good mining practice akan memberikan manfaat yang besar.


(42)

5.2.3 Aspek Legal

Jika dilihat dari segi pengembangan wilayah, Kecamatan Batulicin termasuk ke dalam wilayah yang diarahkan kepada pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan, pertambangan, pariwisata dan aneka industry dengan pusat pengembangan di Batulicin (PT AI BTL, 2003). Wilayah ini secara regional merupakan salah satu kawasan pengembangan ekonomi terpadu yang lebih dikenal dengan KAPET Batulicin. Barbagai infrastruktur seperti pelabuhan, industri serta sarana perdagangan telah dibangun. Hal ini mendukung akan pengembangan pariwisata pada wilayah Batulicin.

Memperhatikan RTRWK, RTRWP serta IPPKH pada tambang Batulicin, maka areal akan dikembalikan sebagai kawasan hutan. Potensi yang ada dalam kawasan hutan terdiri dari hutan dan juga void/danau yang dapat dikembangkan dalam rangka mendukung pengembangan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan pit Ata berdasarkan Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan (Lampiran SK Menhutbun No. 453/Kpts-II/1999 dalam Rencana Penutupan Tambang Batulicin, 2009) terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung (Gambar 18).

Gambar 18. Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan dan Batas Lokasi Penelitian Sumber: Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan (Lampiran SK Menhutbun No. 453/ Kpts-II/ 1999)


(43)

Tapak penilitian ditetapkan sebagai hutan produksi dimana area pit Ata yang merupakan hutan lindung berada disebelah utara tapak peneltian. Ketetapan hutan produksi pada area ini mendukung pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata khusunya ekowisata dimana akan terjadi intesitas penggunaan. Tapak ini juga dapat berfungsi sebagai penyangga dari area hutan lindung yang membutuhkan perhatian lebih dalam mengkonservasinya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Pasal 28 Tahun 1999 tentang Penelolaan Hutan, dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Hal ini menunjukan bahwa pengembangan wisata dapat termasuk dalam pemanfaatan jasa lingkungan.

5.3 Sumberdaya Wisata

Menurut Fandeli (2000), destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai objek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan lain-lain. Kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi dapat dikembangkan untuk ekowisata apabila memiliki objek alam yang unik dari ekosistem hutannya tersebut.

Dalam kawasan pasca tambang, proses reklamasi merupakan proses perbaikan kondisi ekologis dari kawasan tambang tersebut. Akan tetapi kawasan pasca tambang yang sudah kembali fungsi ekologisnya akan tetap memiliki ciri dan karakteristik kawasan pasca tambang. Karakteristik ini dapat menjadi potensi sumberdaya wisata dalam kawasan ini. Beberapa potensi sumberdaya wisata yang akan dianalisis dan dikembangkan dari kawasan ini yaitu potensi visual, void

(Danau bekas Lubang Tambang) dan hutan reklamasi.

a. Potensi Visual

Menurut Bell (2004), persepsi visual dalam suatu lanskap terdiri dari empat elemen yaitu titik, garis, bidang, dan volume. Elemen-elemen ini dapat


(44)

dikombinasikan dalam membentuk suatu pemandangan yang memiliki satu kesatuan atau harmonisasi.

Pada tapak penelitian, elemen yang terlihat paling menarik adalah elemen bidang dan garis berupa latar pegunungan yaitu pegunungan angin yang terletak jauh di luar tapak. Pemandangan pergunungan ini terlihat lebih jelas pada titik-titik tinggi di dalam tapak. Latar pergunungan ini hampir mengelilingi tapak dimana terdapat di sebelah timur, barat dan selatan tapak.

Pemandangan pegunungan ini merupakan potensi dalam sebuah ekowisata dalam mendukung kesan alami sehingga harus didukung oleh fasilitas yang memadai dalam menikmati pemandangan ini. Fasilitas tersebut dapat berupa menara pandang, gazebo, atau alur trek yang memperlihatkan pemandangan pegunungan ini. Peletakan fasilitas seperti menara pandang dan gazebo sabaiknya diletakan di titik-titik tertinggi sehingga selain dapat melihat latar pegunungan dengan jelas, pengunjung dapat melihat kawasan wisata secara keseluruhan. Peta analisis visual dapat dilihat pada Gambar 19.

b. Void (Danau bekas Lubang Tambang)

Pada tapak ini, void yang direncanakan memiliki luas yang relatif besar yaitu seluas 74,5 ha dan 17,8 ha. Badan air yang luas dan bentukan high wall

bekas tambang akan menghasilkan visual lanskap yang atraktif dan sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber perikanan dan rekreasi (Gambar 20). Tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut terkait kualitas dan kandungan air, khususnya untuk dijadikan sebagai sumber perikanan. Danau ini juga merupakan ciri utama dari tapak ini sebagai kawasan pasca tambang.

(a) Viewhighwall danau (b) View danau dengan hutan reklamasi


(45)

(46)

c. Hutan Reklamasi

Sesuai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) area pit Ata maka pasca tamabang pit Ata akan dikembalikan dalam bentuk hutan dengan proses reklamasi. Secara keseluruhan, area reklamasi akan ditanam tanaman lokal yang telah ditemukan tumbuh pada kawasan pasca tambang dan sekitarnya.

Berdasarkan ANDAL PT AI Batulicin, dalam wilayah tambang Batulicin terdapat jenis-jenis vegetasi yang dilindungi menurut keputusan Menteri Pertanian no. 54/Kpts/Um/II/1972 yaitu antara lain: ulin (Eusyderoxylon zwageri), durian (Durio zibethinus), gaharu (Aquilaria beccarianna), damar putih (Shorea lepidota), mangaris (Malaccensis) dan kayu bawang (Scorodocarpus bornensis).

Pemilihan vegetasi lokal juga bertujuan untuk membentuk habitat satwa-satwa lokal khususnya satwa-satwa-satwa-satwa yang dilindungi yang telah terganggu akibat kegiatan penambangan. Vegetasi dan satwa lokal terutama yang dilindungi dapat menjadi potensi wisata karena kelangkaannya sehingga dapat mendukung nilai edukasi pada kawasan ekowisata.

Selain keanekaragaman hayati, sejarah kawasan yang merupakan area pertambangan dan kemudian beralih menjadi area hutan dapat dijadikan objek wisata edukasi. Objek ini dapat berupa museum yang mensajikan foto-foto kondisi kawasan ini sebelum pertambangan, saat pertambangan berlangsung dan sesudah dilakukan pertambangan dan reklamasi. Nilai edukasi lain yang dapat diangkat adalah bagaimana proses “green mining” dilakukan dan manfaat-manfaat yang dihasilkan. Kondisi hutan reklamasi umur 6 tahun dapat dilihat pada Gambar 21.


(47)

Dengan mempertimbangkan aspek visual, danau bekas tambang dan hutan reklamasi maka dapat dikatakan danau merupakan potensi utama dimana danau memberi ciri dan karakter yang kuat terhadap area pasca tambang dan elemen air pada danau memberi nilai estitika dan kenyamanan yang lebih. Maka pada tahap analisis sumberdaya wisata, tapak dinilai berdasarkan keterkaitan area terhadap danau sehingga dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu area yang berpotensi baik, berpotensi sedang dan tidak berpotensi.

Area yang berpotensi baik merupakan area sempadan danau atau kolam air berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yaitu 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Area ini relatif dekat dengan danau sehingga dapat menikmati danau secara langsung maupun tidak langsung. Area yang berpotensi sedang merupakan area dengan bentukan lahan yang mendukung pemandangan ke arah danau sehingga dapat menikmati danau secara tidak langsung. Area yang tidak berpotensi merupakan area yang tidak dapat melihat danau. Area danau tergolong area yang berpotensi baik karena dapat menikmatinya secara langsung. Peta potensi wisata dapat dilihat pada Gambar 22.

5.4 Hasil Analisis

Peta analisis yang dihasilkan yaitu peta komposit (Gambar 23) yang berasal dari overlay peta analisis kemiringan lereng, peta analisis vegetasi dan peta analisis potensi wisata. Peta komposit tersebut menunjukan area yang sesusai, cukup sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan wisata. Selain itu peta komposit ditambahkan titik-titik potensi visual pada tapak dan juga aksesibiltas berupa jalan baik diluar maupun dalam tapak (jalan pertambangan). Analisis deskriptif dilakukan pada semua aspek untuk mengetahui potensi dan kendala pada tapak yang kemudian ditentukan solusinya yang pengembangan potensi dan pemecahan kendala. Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada Tabel 9.


(48)

Gambar 22. Peta Analisis Potensi Wisata (3)


(49)

(50)

Tabel 9. Hasil Analisis Potensi dan Kendala serta Solusinya

No Unsur Lanskap

Analisis Solusi

Potensi Kendala Pemanfaatan Pemecahan A. Aspek Sumberdaya Alam

1 Lokasi dan Aksesibilitas

Lokasi sangat dekat dengan pemukiman dan dilewati jalan provinsi.

Kondisi jalan yang licin pada saat hujan dan berdebu pada saat kering.

Lokasi strategis dimanfaatkan untuk pengembangan wisata pada tapak.

Pelebaran dan pengaspalan jalan akses menuju tapak disertai rambu-rambu lalu lintas.

Pemandangan perbukitan hutan dan gunung kapur pada jalan akses menuju tapak.

Kurangnya rambu-rambu lalu lintas. Pada jalan akses menuju tapak dimanfaatkan titik-titik istirahat yang dapat menikmati

pemandangan.

2 Topografi dan Kemiringan

Topografi bergelombang mendukung potensi visual tapak yang tidak monoton.

Terdapat beberapa area dengan kecuraman tinggi sehingga berpotensi terjadi erosi / longsor.

Pemanfaatan aktifitas pasif seperti sightseeing, berjalan-jalan, berfoto, interpretasi pada area bergelombang.

Penggunaan ground cover, semak atau perdu untuk mendukung konservasi lahan miring.

3 Jenis dan Karakteristik Tanah

Berdasarkan data PT AI, kondisi fisik dan kimia tanah membaik seiring bertambahnya umur vegetasi.

Tanah Ultisol relatif miskin unsur hara pada area reklamasi.

Dilakukan peningkatan kondisi fisik dan kimia tanah secara kontinyu.

Diberikan perlakuan seperti pengapuran dan pemupukan untuk memperbaiki unsur hara tanah.

4 Hidrologi Memiliki rencana 2 danau dengan luas yang besar dan 1 kolam area hutan (woodland pond) yang sudah terbentuk dan ditemukan ikan di dalamnya.

Kualitas air danau akan relative buruk yang berasal dari kawasan tambang.

Pemanfaatan danau dan woodland pond untuk rekreasi aktif maupun pasif. Woodland pond dapat dikembangkan aktivitas memancing.

Pemantauan baku mutu air yang akan mengisi danau dan yang akan dikeluarkan ke sungai dengan menggunakan settling pond dan juga pengapuran untuk menaikkan nilai pH.

Tapak dilalui Sungai Sela yang berdimensi lebih besar dengan potensi akustik.

Air sungai keruh dan terdapat beberapa sempadan sungai dengan kemiringan curam dengan kondisi lahan terbuka.

Pemanfaatan sungai dengan aktivitas wisata pasif dan konservatif.

Konservasi sempadan sungai dengan menggunakan tanaman bambu (Bambusa vulgaris) dan ground cover guna memperbaiki kondisi fisik air.


(51)

No

Unsur Lanskap Analisis Solusi

Potensi Kendala Pemanfaatan Pemecahan 5 Iklim Suhu rata-rata pada area reklamasi

28,6°C dan kelembaban 70,2% sehingga derajat kenyamanan termasuk nyaman.

Pada siang hari suhu udara cukup tinggi.

Pemanfaatan akitivitas wisata rekreatif maupun edukatif pada area dengan derajat kenyamanan yang tergolong nyaman.

Pemanfaatan vegetasi dalam menyaring sinar matahari dan pemanfaatan konstruksi dengan fungsi peneduh.

Curah hujan kecamatan Batulicin tinggi dengan 11 bulan basah dalam 2011 merupakan potensi

ketersediaan air sepanjang tahun bagi tanaman dan pencipta iklim mikro.

Curah hujan tinggi dapat menyebabkan erosi pada daerah curam dan mengganggu aktivitas pengunjung sehingga mengurangi kenyamanan.

Pemanfaatan sebagai sumber air bagi tanaman terutama saat musim kering.

Menyediakan sistem drainase yang baik, konservasi daerah curam dan penyediaan sarana peneduh.

6 Vegetasi Beberapa area reklamasi sudah diintroduksikan tanaman lokal dapat menjadi potensi wisata.

Masih terdapat daerah yang belum dilapisi top soil dan ditanami karena masih dalam proses pertambangan.

Koleksi tanaman lokal dapat dibentuk sebagai objek wisata dengan fungsi edukasi dan rekreasi.

Rencana penanaman area yang belum ditanami disesuaikan dengan perencanaan kawasan dan

disesuaikan dengan persediaan top soil yang tersedia.

7 Satwa Batulicin memiliki beberapa satwa lindung yang dapat diintroduksikan kembali ke tapak sehingga dapat menjadi daya tarik wisata.

Saat ini jumlah satwa liar masih minim ditemukan di kawasan tambang.

Pemanfaatan satwa-satwa lokal untuk menjadi objek dan atraksi ekowisata.

Pengayaan jenis vegetasi yang menjadi pakan dan habitat satwa liar serta diikuti dengan pemantauan dan perlindungan satwa.

B. Aspek Sumberdaya Manusia 1 Preferensi

Masyarakat

90 persen dari responden setuju untuk mengembangkan Pit Ata sebagai kawasan wisata dan 87 persen bersedia untuk ikut terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata.

Pemahaman akan ekowisata dan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan masih minim di kalangan masyarakat.

Pengembangan kawasan sebagai area wisata dengan memanfaatkan sumberdaya manusia lokal untuk terlibat dalam pengembangan kawasan ini secara langsung maupun tidak langsung.

Pemberian penyuluhan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat yang akan terlibat dalam pengelolaan kawasan terkait ekowisata beserta prinsip-prinsipnya.


(52)

No

Unsur Lanskap Analisis Solusi

Potensi Kendala Pemanfaatan Pemecahan

Keinginan masyarakat untuk membudidaya tanaman kehutanan seperti karet, meranti, ulin dan juga membudidaya perikanan.

Pemanfaatan suatu area khusus yang dapat dimanfaatkan untuk area budidaya tanaman. Pemanfaatan void untuk budidaya ikan.

2 Preferensi PT AI BTL

Setuju dengan pengembangan ekowisata karena dapat memberi hiburan bagi masyarakat dan juga pendidikan terkait lingkungan.

Perencanaan pengembangan ekowisata dilakukan secara integratif dan koorperatif dengan berbagai pemangku kepentingan sehingga manfaatnya dapat dirasakan semua pihak.

3 Aspek Legal Tapak ditetapkan sebagai hutan produksi sehingga mendukung pengembangan wisata dalam pemanfaatan jasa lingkungan.

Diperlunya persetujuan pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata.

Mengalokasikan zona hutan produksi dimana masyarakat tetap dapat memanfaatkan hasil hutan kayu maupun non-kayu pada area tertentu.

Koordinasi secara intesif oleh pihak PT AI dengan pihak pemerintah daerah terkait pengembanngan kawasan.

C. Aspek Sumberdaya Wisata 1 Void (Danau

bekas tambang)

Danau dengan luas 74,5 dan 17,8 ha merupakan potensi utama pada kawasan dengan memberikan visual lanskap yang atraktif dan

menunjukan karakter lanskap pasca tambang.

Kualitas air yang berasal dari kawasan tambang pada umumnya berada di bawah baku mutu.

Danau menjadi objek utama ekowisata .

Pemantauan baku mutu air dengan meneliti secara rutin kualitas air sehingga dapat mengetahui kesesuaian pemanfaatan danau. Penggunaan vegetasi air yang dapat menyerap unsur logam dalam air seperti eceng gondok.


(53)

No

Unsur Lanskap Analisis Solusi

Potensi Kendala Pemanfaatan Pemecahan 2 Hutan Reklamasi Tegakan pohon tinggi dan koleksi

tanaman-tanaman lokal menjadi potensi wisata yang memberi kenyamanan dan nilai edukasi.

Jumlah tanaman lokal masih sedikit dengan umur yang relatif masih muda .

Pemanfaatan keragaman vegetasi lokal yang dapat menjadi arboretum dan juga dapat mengundang satwa liar sehingga mendukung fungsi utama pendidikan.

Dilakukan penanaman tanaman pioneer lokal yang variatif dan mendukung terbentuknya hutan alami.

3 Visual Pemandangan pegunungan pada bagian timur dan barat tapak menjadi latar yang baik. Terdapat titik-titik tinggi pada tapak berpotensi untuk viewing.

Pemanfaatan viewing point di titik-titik tertinggi di tapak yang dapat melihat keseluruhan kawasan dengan latar pegunungan. Viewing point dapat dilengkapi dengan menara pandang atau gazebo.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, SW. 2008.

Peran Agroforestri Dalam Menanggulangi Banjir Dan

Longsor Das. http://suntoro.staff.uns.ac.id (diakses tanggal 6 Januari

2012)

Bapedal, 2001. Aspek Lingkungan Dalam Amdal Bidang Pertambangan. Bapedal.

Jakarta.

Bell, S. 2004.

Elements of Visual Design in The Landscape. Spon Press. New

York.

Brooks, RG. 1988.

Site Planning: Environmental Process and Development.

Prentice Hall, Inc. New Jersey. 322p.

Burley, JB. 2000.

Environmental Design for Reclaiming Surface Mines. The

Edwin Mellen Press. Wales.

Chiara, JD dan Koppelman, LE. 1989. Standar Perencanaan Tapak. Terjemahan.

Oleh Ir. Januar Hakim. Site Planning Standards. Erlangga. Jakarta.

Direktorat Pengelolaan Lahan. 2006.

Pedoman Teknis Reklamasi Lahan.

www.google.com (diakses tanggal 2 Februari 2011)

Drumm, A dan Moore, A. 2005.

Ecotourism Development- A Maual for

Conservation Planners and Managers. The Nature Conservancy.

Arlington

Fandeli C dan Mukhlison. 2000.

Pengusahaan Ekowisata. Jurnal. Fakultas

Kehutanan.Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Gold. SM.

1980. Recreation Planning and Design. Mc Graw Hill Book. New

York.

Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007.

Evaluasi Kesesuaian Lahan dan

Perencanaan Tataguna Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

Bogor.

Haris, M. 2010. Perencanaan Lanskap Area Rekreasi pada Lahan Pasca Tambang

Batubara di Pit 1 Mangkalapi PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin,

Kalsel. Skripsi. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.


(2)

Kementrian Budaya dan Pariwisata. 2009. Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2009

tentang Pariwisata. Lembaran Negara RI tahun 2009. Sekretariat Negara.

Jakarta.

Kementrian Kehutanan. 1990. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran

Negara RI tahun 1990. Sekretariat Negara. Jakarta.

Kementrian Kehutanan. 1991. Undang-undang RI No. 41 Tahun 1991 tentang

Kehutanan. Lembaran Negara RI tahun 1991. Sekretariat Negara. Jakarta.

Kementrian Kehutanan. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor

76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Jakarta

Lestari, G dan Kencana, IP. 2008.

Galeri Tanaman Hias Lanskap. Jakarta.

Penebar Swadaya.

Lindberg K, Furze B, Staff M, Black R. 1997.

Ecotourism and other Services

Derived From Forests In The Asia-Pacific Region: Outlook to 2010.

Forest Service United States Department of Agriculture.

Nugraha, JA. 2011. Perencanaan Lanskap Pantai Tanjung Baru Sebagai Kawasan

Wisata Berbasis Ekologis. Skripsi. Bogor: Program Sarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Nurisjah, Siti. 2007. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Departemen

Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Bogor (tidak dipublikasikan).

Nurisjah, S dan Pramukanto. 1995. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap.

Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Bogor (tidak

dipublikasikan).

PT Arutmin Indonesia. 2005.

Langkah Perjalanan PT Arutmin Indoensia,

Menegakkan Good Mining Practices. COMDES. Kalimantan.

PT Arutmin Indonesia. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

PT AI. Batulicin.

PT Arutmin Indonesia. 2008. Rencana Penutupan Tambang PT Arutmin Indonesia

Tambang Batulicin. PT AI. Batulicin.

Priyanto, E. 2009. Perencanaan Lanskap Rowo Jombor Klaten Sebagai Kawasan

Rekreasi. Skripsi. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.


(3)

Purnama, W.A.A. 2007. Perencanaan Lokasi Perkebunan Teh Kabawetan sebagai

Kawasan Agrowisata di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Skripsi.

Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Rachman, Z. 1984.

Proses Berpikir Lengkap, Merencana dan Melaksana.

Makalah pada Festival Tanaman IV (Tidak Dipublikasikan). Bogor.

20hal.

Republik Indonesia. 1997. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Lembaran Negara RI tahun 1997.

Sekretariat Negara. Jakarta.

Setyawan, D. 2004. Perubahan Karakter Tanah pada Kawasan Reklamasi Bekas

Tambang Batubara yang Direvegetasi Selama Satu, Dua, Tiga dan Empat

Tahun dengan Sengon dan Akasia. Skripsi. Bogor : Departemen Ilmu

Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Simonds, J. O. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York.

Soepardi, G. 1988. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

Bogor.

Subadia, I Made. 2003. Peranan Ekowisata dalam Peningkatan Kualitas

Sumberdaya Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta.


(4)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Preferensi Masyarakat

Kuesioner masyarakat sekitar Kawasan PIT ATA, Batulicin.

Studi Perencanaan Lanskap Pasca Tambang untuk Ekowisata di PIT ATA, PT Arutmin Indonesia, Tambang Batulicin, Provinsi Kalimantan Selatan

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Pekerjaan :

Hobi :

Pendidikan terakhir : Alamat :

Apakah pendapat anda terhadap kegiatan pertambangan di kawasan ATA? ……… ……….. ………

Apakah anda memiliki ketergantungan terhadap kawasan ATA sebelum dilakukan penambangan? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa ketergantungan anda terhadap kawasan ATA? a. Lahan bertani

b. Lahan berkebun c. Lahan berkayu d. Lainnya

……… Bagaimana status anda terhadap kawasan tersebut sebelum dilakukan penambangan?

a. Pemilik b. Penyewa tanah c. Hanya pemanfaat d. Lainnya

……… Apakah anda mengetahui mengenai Rencana Penutupan Tambang?

a. Ya b. Tidak

Pemanfaatan apa yang anda inginkan di kawasan ATA setelah dilakukan penambangan? a. Area perkebunan

b. Area pertanian

c. Area konservasi (pelestarian lingkungan/penangkaran vegetasi,satwa) d. Area hutan produksi (hutan yang dapat dimanfaatkan hasilnya)


(5)

e. Area peternakan f. Lainnya

………

Pada kawasan ex-tambang, tanaman/pohon apa yang menurut anda baik untuk mendominasi area ini?(boleh lebih dari satu)

………. ……… ………

Pada kawasan ex-tambang, akan tercipta void (lubang tambang) yang akan terisi air sehinnga tercipta danau buatan.

Menurut anda, pemanfaatan apa yang sebaiknya dilakukan di area sekitar void ini? a. Rekreasi (berenang, bersampan, memancing, jalan-jalan, dll)

b. Budidaya ikan tawar (keramba) c. Area Konservasi (biarkan apa adanya) d. Lainnya

……… ………... Bagaimana anda menuju kawasan ATA?

a. Naik kendaraan umum b. Berjalan kaki

c. Naik sepeda d. Naik sepeda motor e. Naik mobil pribadi f. Lainnya

……… Dengan melihat pemanfaatan-pemanfaatan sebelumnya sebagai objek wisata, setujukah

kawasan ATA dikembangkan menjadi area wisata? a. Ya

b. Tidak

Alasan jika menjawab ya…

a. Karena kurangnya lokasi wisata/rekreasi di sekitar area ini

b. Dengan adanya pengelola wisata, kawasan akan tetap lestari dan terjaga c. Dapat menambah lapangan pekerjaan dan peluang usaha, seperti makanan,

cinderamata, dll d. Lainnya

……… ……… Alasan jika menjawab tidak…

a. Kawasan ini harus dikonservasi secara penuh (dibiarkan apa adanya) b. Pengunjung akan memberi pengaruh buruk terhadap kawasan c. Lainnya

……… ……… Menurut anda, adakah daya tarik tertentu dari kawasan ATA dan sekitarnya?

a. Ya b. Tidak


(6)

Jika ya, apa daya tarik tersebut? a. Bentukan lahan yang berbukit-bukit b. Gunung Kapur

c. Sungai-sungainya

d. Budaya lokal yang menarik e. Lainnya

………

Jika area dikembangkan menjadi kawasan wisata, Apakah anda bersedia ikut terlibat dalam perencanaan maupun pengelolaan kawasan tersebut?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, bagaimana anda akan ikut terlibat? a. Sebagai Pemilik

b. Sebagai Investor c. Sebagai Tenaga kerja

d. Sebagai penyedia akomodasi (penginapan, dll)

e. Sebagai penyedia atraksi (kegiatan bertani, berkebun, dll) f. Lainnya

……… Apakah anda mengetahui tentang ekowisata?

a. Ya b. Tidak

c. Pernah dengar

Jika ya, setujukah anda jika kawasan ex-Tambang ATA dikembangkan dengan konsep ekowisata? a. Ya

b. Tidak

Harapan anda terhadap pengembangan kawasan tambang ATA setelah kegiatan penambangan: ………

……… ………... ……… ………

Terimakasih atas kesediaan bapak/ibu telah mengisi kuesioner ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.


Dokumen yang terkait

Perencanaan Lanskap Area Rekreasi Pada Lahan Pasca Tambang Batubara Di Pit 1 Mangkalapi PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, Kalsel

1 15 222

Pendugaan Kandungan Karbon pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan

0 6 115

Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan

0 10 195

Perencanaan reklamasi tambang batubara dalam kawasan hutan untuk pengembangan wilayah desa lingkar tambang (studi kasus PT Arutmin Indonesia tambang batulicin Kalimantan Selatan)

0 5 153

Rencana Pengelolaan Lanskap Pasca Tambang untuk Kawasan Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin, Kalimantan Selatan

0 9 92

Studi Pertumbuhan Tanaman Revegetasi Pasca Tambang Batu Bara di PT Arutmin Indonesia Site Batulicin Kalimantan Selatan

0 5 38

Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan

2 10 81

Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Nikel PT INCO sebagai Kawasan Ekowisata di Sorowako Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan

2 23 85

PENDAHULUAN PELAKSANAAN KEWAJIBAN REKLAMASI OLEH PERUSAHAAN TAMBANG BATUBARA DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROPINSI KALIMANTAN SELATAN ( Studi Kasus PT ARUTMIN INDONESIA ).

0 2 10

PENUTUP PELAKSANAAN KEWAJIBAN REKLAMASI OLEH PERUSAHAAN TAMBANG BATUBARA DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROPINSI KALIMANTAN SELATAN ( Studi Kasus PT ARUTMIN INDONESIA ).

0 3 4