Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan

PERENCANAAN LANSKAP PASCA TAMBANG BATUBARA
SEBAGAI ARBORETUM DI KAWASAN TANAH PUTIH
PULAU SEBUKU KALIMANTAN SELATAN

EKA YUNIAWATININGTYAS

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap
Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau
Sebuku Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Eka Yuniawatiningtyas
NIM A44090064

ABSTRAK
EKA YUNIAWATININGTYAS. Perencanaan Lanskap Pasca Tambang
Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan
Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI.
Eksploitasi batubara melalui sistem penambangan terbuka menyebabkan
dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Upaya reklamasi lahan pasca
tambang adalah kewajiban setiap perusahaan tambang. Hal itu bertujuan untuk
memulihkan kondisinya seperti semula. Perencanaan lanskap berperan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan selanjutnya. Penelitian ini dilaksanakan di area
pasca tambang batubara seluas 223 ha yang terletak di kawasan Tanah Putih, Desa
Mandin, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik dan menyusun
perencanaan lanskap pasca tambang batubara sebagai arboretum sebagai wujud
penerapan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati. Metode yang

digunakan meliputi persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan.
Konsep dasar yang diterapkan dalam perencanaan ini adalah untuk
mengembangkan area tersebut sebagai arboretum yang mengonservasi tanah, air,
dan keragaman hayati terutama jenis tanaman lokal. Konsep tersebut
dikembangkan ke dalam konsep ruang, sirkulasi, aktivitas dan fasilitas serta
vegetasi. Melalui analisis deskriptif kuantitatif dan analisis spasial, diperoleh hasil
berupa gambar rencana lanskap dan pembagian pola ruang sebagai berikut: ruang
penerimaan dan pelayanan 0.5%, ruang budidaya 11%, ruang konservasi 29.7%,
ruang pendidikan konservasi 0.8%, ruang koleksi 40% dan ruang penyangga 18%.
Kata kunci: arboretum, lanskap pasca tambang, perencanaan lanskap, reklamasi

ABSTRACT
EKA YUNIAWATININGTYAS. Landscape Planning of Post-Mining Areas at
Tanah Putih Mandin Village Pulau Sebuku District South Kalimantan. Supervised
by SETIA HADI.
Exploitation of coal through the open mining system cause negative impacts
for environmental sustainability. Land reclamation efforts of post-mining area is
the obligation of the mining company involved. It aims to restore the condition as
previously. Landscape planning plays the role to optimize the next utilization.
This study is conducted in an after coal mines which covers on 223 hectares land

area at Tanah Putih, Mandin Village, Pulau Sebuku District, Kotabaru Regency,
South Kalimantan. The objectives of this study are to identify the characteristics
of post-coal mining and to compose a landscape planning of post-coal mining as
an arboretum to implement land, water and biodiversity conservation. This study
uses methods including preparation, inventory, analysis, synthesis, and planning.
The basic concept of this plan is to develop the post coal mining area as an
arboretum conserving land, water and biodiversity especially indigenous plants.
The concept was developed into spatial, circulation, activity, facility, and also
vegetation concept. Quantitative description and spatial analyze produce a

landscape plan and distribution of area as the following: welcome area and service
area 0.5%, cultivation area 11%, conservation area 29.7%, education of
conservation area 0.8%, collection area 40%, and buffer area 18%.
Keywords: arboretum, post-mining landscape, landscape planning, reclamation

PERENCANAAN LANSKAP PASCA TAMBANG BATUBARA
SEBAGAI ARBORETUM DI KAWASAN TANAH PUTIH
PULAU SEBUKU KALIMANTAN SELATAN

EKA YUNIAWATININGTYAS


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum
di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan
Nama
: Eka Yuniawatiningtyas
NIM
: A44090064

Disetujui oleh

Dr Ir Setia Hadi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum
di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan
: Eka Yuniawatiningtyas
Nama
: A44090064
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Setia Hadi , MS
Pembimbing

Tanggal Lulus:

0 5 FEB ?011

PRAKATA
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

atas limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah
Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ucapan terima kasih terutama ingin penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS selaku pembimbing skripsi atas arahan,
bimbingan, dukungan, saran dan masukan yang telah diberikan.
2. Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku pembimbing akademik atas arahan,
saran dan masukan selama masa perkuliahan.
3. Bapak Ir Qodarian Pramukanto, Msi dan Ibu Dr Ir Afra DN Makalew selaku
dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan.
4. Bapak Joko Indratmo beserta staf divisi Enviro, Bapak Agus, Kak Rezky
Khrisrahmansyah, seluruh pihak PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) serta
pihak Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB
yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data.
5. Kak Andhika Galih Adi Nugraha atas motivasi, saran, masukan dan bantuan
yang diberikan selama pembuatan skripsi ini.
6. Teman-teman Arsitektur Lanskap angkatan 46 dan seluruh sahabat penulis
atas motivasi dan bantuannya selama pembuatan skripsi ini.

7. Ibu, bapak, adik serta seluruh keluarga tercinta atas dukungan, doa dan kasih
sayang yang selalu diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Eka Yuniawatiningtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Kerangka Pikir Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

4

Arboretum

4

Perencanaan Lanskap

5

Lanskap Pasca Tambang

5

Pertambangan dan Proses Penambangan Batubara

6


Reklamasi Lahan Bekas Tambang

8

METODE

9

Tempat dan Waktu Penelitian

9

Alat dan Bahan

9

Batasan Penelitian

10

Tahapan Penelitian

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Kondisi Umum Kawasan

13

Aspek Fisik

14

Aspek Biofisik

19

Aspek Sosial

22

Analisis

23

Sintesis

38

Konsep Dasar

44

Pengembangan Konsep

44

Perencanaan

46

SIMPULAN DAN SARAN

61

Simpulan

61

Saran

61

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

64

RIWAYAT HIDUP

66

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Jenis, sumber data, metode pengambilan dan pengolahan data
Perkembangan jenis tanaman pada plot 1 Tanah Putih (tahun tanam
2008)
Perkembangan jenis tanaman pada plot 2 Tanah Putih (tahun tanam
2009)
Vegetasi yang direkomendasikan di Tanah Putih
Satwa yang terdapat di sekitar lokasi tambang PT BCS
Kepadatan penduduk Kecamatan Pulau Sebuku tahun 2011
Sumber penghasilan utama masyarakat Pulau Sebuku
Hasil analisis dan sintesis
Rencana pembagian ruang
Rencana aktivitas dan fasilitas
Rencana pengelompokan tanaman
Rencana daya dukung tiap ruang

10
20
20
21
22
23
23
38
47
51
52
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Kerangka pikir penelitian
Proses penambangan batubara di Tanah Putih
Lokasi penelitian
Tahapan Penelitian
Peta Citra Lidar Pulau Sebuku
Kondisi Tanah Putih sebelum dan setelah penambangan
Peta jaringan jalan Kecamatan Pulau Sebuku
Peta kawasan hutan Kecamatan Pulau Sebuku
Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1998–2012 di Tanah Putih
Revegetasi berumur 5 tahun (a) dan 1 tahun (b)
Kondisi jalan perusahaan menuju ke tapak
Peta penggunaan lahan eksisting
Peta analisis penggunaan lahan
Segitiga tekstur tanah (modifikasi dari image.google.com)
Peta topografi
Peta klasifikasi kemiringan lahan
Peta analisis kemiringan lahan
Cara vegetasi mengontrol radiasi matahari (Robinette, 1983)
Peta penutupan vegetasi dan progres hydroseeding
Peta analisis penutupan vegetasi
Peta komposit
Rencana Blok (Block Plan)
Diagram konsep sirkulasi
Diagram konsep pembagian ruang
Hubungan antarruang dalam tapak
Rencana ruang
Rencana sirkulasi
Rencana vegetasi

3
7
9
11
13
14
15
16
18
21
24
26
27
28
30
31
32
33
36
37
42
43
45
45
47
49
50
53

29
30
31
32
33
34
35

Rencana lanskap area reklamasi Tanah Putih
Rencana lanskap (Blow up 1)
Rencana lanskap (Blow up 2)
Ilustrasi area pelayanan
Ilustrasi gazebo/shelter
Ilustrasi dek dan wetland
Ilustrasi menara pandang

56
57
58
59
59
60
60

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Hasil pengujian tanah di Pit Tanah Putih
Hasil analisis sifat fisik tanah di Pit Tanah Putih

64
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan sumber energi
juga meningkat. Salah satu cara untuk mendapatkan sumber energi adalah melalui
sektor pertambangan. Pertambangan memiliki banyak manfaat, di antaranya untuk
pemenuhan sumber energi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi, penyerapan
tenaga kerja dan sumber devisa negara. Di sisi lain, sektor pertambangan
membawa dampak buruk bagi kelestarian lingkungan.
Sektor pertambangan batubara di Kalimantan diidentifikasi sebagai salah
satu kegiatan ekonomi utama yang dapat menopang perekonomian Kalimantan di
saat produktivitas sektor migas menurun. Sejak tahun 1996 hingga 2010, produksi
batubara Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14.8% per tahun,
dan pertumbuhan rata-rata ekspor batubara Indonesia adalah 15.1% per tahun.
Sementara angka konsumsi batubara dalam negeri mengalami rata-rata
pertumbuhan sebesar 13.8% per tahun dalam periode 1996–2010. Pada tahun
2010, jumlah produksi batubara mencapai 325 juta ton dengan jumlah ekspor 265
juta ton dan penggunaan domestik sebesar 60 juta ton atau 18% dari total
produksi. Sektor kelistrikan merupakan pengguna batubara terbesar di dalam
negeri. Negara tujuan utama ekspor batubara Indonesia adalah Jepang, Cina, India,
Korea Selatan, dan beberapa negara ASEAN (Bappeda Kotabaru, 2011).
Salah satu perusahaan yang melaksanakan kegiatan pertambangan batubara
adalah PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS). PT BCS merupakan pemegang
PKP2B No 009/PK/PTBA-BCS/1994 di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sebelumnya, perusahaan ini telah melaksanakan
penyusunan AMDAL dan telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi
pada tanggal 24 September 1996 melalui surat No 3378.0115/SJ.T/1996 untuk
melakukan kegiatan eksploitasi pada Blok Bingkuang, Kanibungan, Daeng Setuju
dan Tanah Putih (AMDAL PT BCS, 2006).
Umumnya, batubara terdapat pada lapisan di bawah permukaan bumi.
Proses pengambilan batubara dilakukan dengan membongkar lapisan tanah.
Berdasarkan laporan Rencana Penutupan Tambang (RPT) PT BCS, sistem
penambangan terbuka mengakibatkan perubahan bentang alam seperti perubahan
kemiringan lereng, pola hidrologi, susunan lapisan tanah, penurunan tingkat
kesuburan tanah dan hilangnya vegetasi yang tumbuh di area tersebut. Selain itu,
timbul masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran air, perubahan
iklim mikro, dan hilangnya habitat bagi satwa liar.
Setelah kegiatan penambangan selesai, diperlukan upaya reklamasi agar
lahan bekas tambang tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai peruntukannya.
Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu: (1) pemulihan lahan bekas
tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, (2)
mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk
pemanfaatan selanjutnya (Direktorat Pengelolaan Lahan, 2006). Adapun tahapan
detilnya meliputi penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi
(penanaman kembali), dan pemeliharaan. Menurut UU Republik Indonesia No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan

2
pertambangan wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang
kepada pemerintah. Di PT BCS, kewajiban reklamasi dilaksanakan oleh divisi
Enviro.
Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal
ini tergantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut. Untuk itu,
diperlukan suatu perencanaan lanskap untuk menata lahan pasca tambang agar
tidak sekadar hijau kembali, namun juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan
lahan yang mendukung keberlanjutan lanskap dan kesejahteraan masyarakat
sekitar daerah tambang dari segi ekologis dan ekonomi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik lanskap pasca
tambang batubara dan membuat perencanaan lanskap pasca tambang batubara
sebagai arboretum di kawasan Tanah Putih, Desa Mandin, Kecamatan Pulau
Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT Bahari Cakrawala
Sebuku selaku pengelola untuk mengembalikan dan mengembangkan lahan pasca
tambang di Pit Tanah Putih sesuai dengan karakteristik dan potensi tapaknya.

Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya lahan pasca tambang batubara di
area reklamasi Pit Tanah Putih yang perlu segera direklamasi agar dapat
digunakan untuk pemanfaatan selanjutnya. Pemanfaatan yang mengarah pada
upaya konservasi akan mendukung keberlanjutan lanskap pasca tambang. Untuk
itu, diperlukan pengambilan data baik dari aspek fisik, biofisik dan sosial.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui
potensi dan kendala di tapak. Dari analisis tersebut, dilakukan sintesis untuk
memberikan solusi permasalahan pada tapak dalam bentuk zonasi. Zonasi tersebut
akan menjadi acuan untuk perencanaan lanskap pasca tambang yang berbasis
konservasi sebagai arboretum sebagai upaya untuk mendukung keberlanjutan
lanskap pasca tambang. Kerangka pikir penelitian dituangkan dalam diagram alir
pada gambar 1.

3
Lahan pasca tambang batubara
Reklamasi
Pemanfaatan selanjutnya yang optimal berbasis konservasi

Aspek fisik







Aspek biofisik

Lokasi dan
aksesibilitas
Tata guna lahan
Karakteristik
tanah
Topografi dan
kemiringan
Iklim
Hidrologi




Vegetasi
Satwa

Aspek sosial



Preferensi
masyarakat
Preferensi
pengelola

Preferensi
pemerintah
(aspek legal)

Analisis deskriptif dan spasial
Zonasi
Rencana lanskap pasca tambang sebagai arboretum
Gambar 1 Kerangka Pikir
pikir Penelitian
penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA
Arboretum
Menurut Kamus Kehutanan (1989) yang diacu dalam Ma’mur (2011),
arboretum adalah kebun pepohonan yang merupakan bentuk konservasi plasma
nutfah buatan manusia. Arboretum atau kebun raya merupakan suatu area yang
sengaja dibuat sebagai display dan tempat menumbuhkan berbagai jenis tanaman
pada strata semak, pohon, tanaman merambat maupun jenis lainnya. Perbedaan
arboretum dengan kebun raya adalah arboretum merupakan tempat koleksi
tanaman berkayu atau pepohonan sedangkan kebun raya lebih beragam dari segi
jenis tanaman (Wyman 1960).
Baskara (1998) mengemukakan arboretum merupakan kebun koleksi
pepohonan atau tanaman kayu-kayuan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
terutama kehutanan. Manfaat lain dari arboretum adalah sebagai pengatur tata air,
pengendali erosi, pembentukan iklim mikro yang nyaman serta sebagai obyek
wisata atau rekreasi alam. Manfaat arboretum bagi ilmu pengetahuan dan
pendidikan harus didukung dengan ketepatan memilih dan menentukan letak
fasilitas pendukung arboretum. Pemilihan dan penentuan letak fasilitas pendukung
yang tepat akan memberikan nilai unik dan kemudahan bagi pengunjung
arboretum. Keberadaan sarana dan prasarana penunjang lainnya juga harus
lengkap, baik sarana dan prasarana untuk tujuan pengelolaan, pendidikan, maupun
kegiatan wisata.
Pengaturan tanaman dalam kebun koleksi seperti arboretum dapat
dikelompokkan menurut kekerabatan maupun manfaat tanaman. Hubungan
kekerabatan tersebut didasarkan klasifikasi tanaman secara botani pada tingkat
tertentu, misalnya famili. Selain itu, pengelompokan tanaman juga dapat
berdasarkan ciri geografis, nilai ekonomi, kepentingan ekologi atau nilai estetika
yang dimiliki tiap pepohonan tersebut (Taman 1955 dalam Ma’mur 2011).
Konservasi terhadap kekayaan genetis yang mewakili flora dan fauna
bertujuan untuk melestarikan dan mengamankan kekayaan biotik yang kita miliki.
Menurut Dinas Kehutanan Republik Indonesia (1990) dalam Dinata (2009),
konservasi flora dan fauna dapat dilaksanakan baik di dalam kawasan (in-situ),
maupun di luar kawasan (ex-situ). Tujuan dari konservasi tersebut adalah untuk
melindungi dan melestarikan jenis, terutama pada flora dan fauna yang tergolong
langka.
Konservasi in-situ dilakukan dengan membiarkan semua jenis flora dan
fauna tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Konservasi tumbuhan
secara ex-situ adalah upaya pelestarian, penelitian dan pemanfaatan tumbuhan
secara berkelanjutan yang dilakukan di luar habitat alaminya. Salah satu alternatif
bentuk aplikasi konservasi tumbuhan secara ex-situ adalah arboretum. Arboretum
merupakan salah satu upaya untuk menangkar dan membudidayakan tanaman asli
Indonesia. Selain itu, arboretum dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu
menjembatani bentuk antara kebun raya dan kebun koleksi kehutanan, terutama
dalam fungsinya sebagai sumber plasma nutfah.

5
Perencanaan Lanskap
Lanskap menurut Simonds (2006) merupakan suatu bentang alam dengan
karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia. Suatu
lanskap dikatakan alami jika area tersebut memiliki keharmonisan dan kesatuan
antar elemen-elemen pembentuknya. Perencanaan adalah suatu alat sistematis
yang dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara
terbaik untuk mencapai keadaan tersebut (Gold 1980).
Nurisjah dan Pramukanto (2008) menyebutkan, perencanaan lanskap
merupakan suatu bentuk kegiatan yang berbasis lahan melalui kegiatan
pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses pengambilan keputusan
berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam
yang fungsional, estetik, dan lestari.
Perencanaan lanskap merupakan penataan lanskap berdasarkan potensi,
amenity, kendala dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan
lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya.
Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data,
proyeksi ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang
beralasan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam suatu bentang
alam. Proses perencanaan yang baik dinyatakan sebagai suatu proses yang
dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara
lain:
1. Pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe cara alternatif aktivitas
berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.
2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan
seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan
apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang.
3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan
aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi.
4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan
perilaku manusia.
Hasil perencanaan lanskap disajikan dalam bentuk gambar pra-rencana dan
gambar rencana lanskap. Gambar pra-rencana berupa gambar situasi awal dari
tapak perencanaan dan gambar atau ilustrasi tahapan analisis dan sintesis,
sedangkan gambar rencana lanskap berupa gambar konsep perencanaan, rencana
penggunaan lahan, rencana penggunaan ruang, rencana pengembangan tapak,
rencana induk lanskap, rencana tapak atau rencana lanskap, rencana penanaman,
rencana atau program pengembangan, rencana anggaran biaya, dan rencana
pelaksanaan (dalam skala mikro), serta berbagai bentuk gambar dan ilustrasi
lainnya sesuai kebutuhan.
Lanskap Pasca Tambang
Menururt UU RI Nomor 4 Tahun 2009, kegiatan pasca tambang merupakan
kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan
fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Kegiatan

6
penambangan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, terutama
terhadap komponen lingkungan berikut:
1. Penurunan kualitas air akibat adanya erosi tanah
2. Penurunan muka air tanah dangkal karena dalamnya penggalian lubang
tambang
3. Peningkatan erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup
4. Kehilangan potensi dan struktur vegetasi karena aktivitas pembersihan lahan
(land clearing) sebelum pertambangan dimulai
5. Kehilangan satwa liar karena hilangnya habitat
6. Perubahan penggunaan lahan karena adanya penempatan proyek
7. Peningkatan kesempatan berusaha karena berkembangnya perekonomian
lokal
8. Peningkatan potensi konflik sosial karena adanya pertentangan kepentingan
dan kecemburuan sosial.
Menurut Kusnoto & Kusumodihardjo (1995) dalam Adman (2012) dampak
lingkungan akibat penambangan dapat berupa penurunan produktivitas tanah,
pemadatan tanah, erosi dan sedimentasi, gerakan tanah dan longsoran, gangguan
terhadap flora dan fauna, gangguan terhadap keamanan dan kesehatan penduduk
serta perubahan iklim mikro. Selain itu, air asam tambang dikenal sebagai
masalah lingkungan utama dalam pertambangan batubara. Pencemaran air baik
air permukaan maupun air tanah dalam juga dapat terjadi akibat penambangan
batubara.
Pertambangan dan Proses Penambangan Batubara
Menurut UU RI Nomor 4 Tahun 2009, Pertambangan adalah sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Proses penambangan merupakan
salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk
menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin
maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbon yang terbentuk secara
alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Menurut Setyawan (2004) dalam Haris
(2011) Sistem penambangan batubara di Indonesia pada umumnya adalah sistem
penambangan terbuka dengan metode konvensional yang merupakan kombinasi
penggunaan excavator dan truk. Urutan kegiatan penambangan batubara dengan
metode ini meliputi:
1. Pembukaan lahan
2. Pengupasan dan penimbunan tanah penutup
3. Pengambilan dan pengangkutan tanah batubara serta pengecilan ukuran tanpa
proses pencucian batubara
Tahapan kegiatan penambangan yang dilakukan PT BCS secara umum
adalah sebagai berikut:
1. Pembabatan semak dan perdu, penebangan pohon dan pemotongan kayu
2. Pembuatan kanal (untuk lokasi pit di rawa)
3. Operasi pengupasan tanah pucuk (top soil)

7
4. Pengupasan lumpur rawa (stripping mud)
5. Pengupasan overburden
6. Penambangan batubara.
Untuk mengantisipasi limpasan air rawa, sebelum membongkar dan
memindahkan overburden perlu dilakukan pembuatan kanal disekitar pit yang
akan digali terutama pada bagian yang telah ditambang yaitu bagian Tenggara dan
Selatan yang umumnya berupa endapan rawa yang ketebalan lumpurnya berkisar
1–2 m. Tujuan dari kanal ini untuk mengisolasi pit yang berada di daerah rawa,
agar dapat dilakukan kegiatan penambangan. Kanal tersebut mengitari pit dengan
lebar 5 m dan dalam sekitar 2 m. Limpasam air yang masih ada di dalam pit
dikeluarkan ke kanal tersebut. Pengaturan air di dalam kanal akan digunakan
pompa yang dapat mengeluarkan air dari kanal keluar menjauhi pit.
Rencana penambangan yang dilakukan PT BCS pada tahap operasi meliputi
penambangan batubara secara terbuka di daerah Tanah Putih, Kecamatan Pulau
Sebuku, selama 6 tahun. Proses penambangan batubara yang dilakukan oleh PT
BCS meliputi:
1. Pengupasan dan penimbunan lapisan lumpur rawa.
2. Pengupasan dan penimbunan lapisan tanah pucuk dan subsoil.
3. Pengupasan tanah penutup dengan kegiatan peledakan.
4. Penambangan batubara secara terbuka (open pit).
5. Penimbunan kembali lumpur rawa ataupun tanah penutup.
6. Pengelolaan lumpur rawa dan tanah penutup.
7. Pengangkutan batubara dari tambang sampai ke lokasi pengolahan/ pelabuhan.
8. Pencucian batubara.
9. Pemuatan batubara ke tongkang.
Proses pengambilan batubara di Tanah Putih dapat dilihat pada gambar 2.
Pembersihan Lahan
(Land Clearing)

Pembuatan Kanal dan
Bund

Pengupasan Top Soil

Pengupasan Lumpur/Stripping Mud
(Daerah Rawa)

Peledakan

Pengupasan Tanah Penutup
(Stripping Over Burden)

Penggalian Batubara

Gambar 2 Proses penambangan batubara di Tanah Putih
Sumber: AMDAL PT BCS, 2006

8
Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Menurut UU RI No 4 Tahun 2009, reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan,
dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali
sesuai peruntukannya. Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah
pilihan optimal dari berbagai keadaan dan kepentingan. Tujuan reklamasi tidak
boleh ditentukan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan karena
reklamasi menyangkut kepentingan berbagai pihak termasuk masyarakat di sekitar
lokasi pertambangan.
Penetapan tujuan reklamasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Jenis mineral yang ditambang.
2. Sistem penambangan yang digunakan.
3. Keadaan lingkungan setempat.
4. Keadaan dan kebutuhan sosial-ekonomis masyarakat setempat.
5. Keekonomian investasi mineral.
6. Perencanaan tata ruang yang telah ada.
Pelaksanaan reklamasi meliputi tahapan kegiatan penataan lahan,
pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi (penanaman kembali) dan
pemeliharaan. Menurut Suprapto (2008), secara umum yang harus diperhatikan
dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang adalah:
1. Dampak perubahan dari kegiatan pertambangan.
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang
juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya.
2. Rekonstruksi tanah.
Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi
lahan dan pengelolaan tanah pucuk.
3. Revegetasi.
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim
setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan
spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang
cepat tumbuh.
4. Pencegahan air asam tambang.
Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan,
hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan yang
mengandung sulfida pada udara bebas.
5. Pengaturan drainase.
Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk
menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir.
6. Tata guna lahan pasca tambang
Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini
tergantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut.

9

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di area reklamasi kawasan Tanah Putih di Desa
Mandin Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Oktober 2013.
Pengambilan data di lapang dilaksanakan selama 2 minggu, yaitu pada tanggal 24
April–5 Mei 2013. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Lokasi penelitian
Sumber: image.google.com, BAPPEDA Kotabaru, PT BCS

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS untuk menunjukkan
orientasi dan lokasi tapak, kamera digital untuk mengambil gambar kondisi yang
ada di tapak, software komputer grafis seperti AutoCAD, Adobe Photoshop,
Google SketchUp, Microsoft Office, serta alat tulis, alat gambar, dan kertas
gambar untuk pengolahan data. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri
dari peta dan data-data baik primer maupun sekunder. Berikut adalah data yang
diambil untuk penelitian.

10
Tabel 1 Jenis, sumber data, metode pengambilan dan pengolahan data
Sumber data

Metode
pengambilan data

Metode pengolahan
data

Letak, luas,
aksesibilitas dan
batas tapak
Aspek fisik

Tapak, P4W IPB,
PT BCS

Survei lapang,
studi pustaka

Deskriptif, spasial

Tata guna lahan

BAPPEDA, PT
BCS
Tapak, PT BCS

Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka

Deskriptif, spasial

Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka

Deskriptif, spasial

Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
studi pustaka
Survei lapang,
wawancara
Survei lapang,
wawancara

Deskriptif

Jenis data
Data umum

Tanah
Topografi dan
kemiringan
Iklim

Tapak, PT BCS

Hidrologi

Tapak, PT BCS

Tapak, PT BCS

Deskriptif
Deskriptif, spasial
Deskriptif
Deskriptif

Aspek biofisik
Vegetasi

Tapak, PT BCS

Satwa

Tapak, PT BCS

Deskriptif

Aspek sosial
Demografi
Perilaku masyarakat
Preferensi
masyarakat
Preferensi
perusahaan

Tapak, P4W IPB,
BPS
Tapak, P4W IPB,
BPS
Tapak
Tapak, PT BCS

Deskriptif
Deskriptif
Deskriptif

Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan sampai tahap perencanaan lanskap sebagai
arboretum di pit Tanah Putih yang meliputi cell 7, 20, 21 dan 22. Hasil dari
perencanaan ini dituangkan ke dalam gambar rencana lanskap.
Tahapan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti proses perencanaan
menurut Gold (1980). Tahapan perencanaan dimulai dari kegiatan persiapan,
inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan lanskap. Tahapan penelitian dapat
dilihat pada gambar berikut.

11
Persiapan

Usulan penelitian, perijinan penelitian, perumusan
masalah

Inventarisasi

Data umum :
Letak, batas, dan luas tapak
Data fisik :
Lokasi dan aksesibilitas, tata guna lahan,
karakteristik tanah, topografi dan kemiringan, iklim,
hidrologi
Data biofisik
:
Vegetasi, satwa
Data sosial :
Demografi, preferensi masyarakat, preferensi
pengelola (PT BCS), preferensi pemerintah (aspek
legal)

Analisis

Analisis secara deskriptif kuantitatif dan spasial
menghasilkan peta kesesuaian lahan, potensi dan
kendala pada tapak beserta pemanfaatan dan
pemecahan masalah

Sintesis

Zonasi
Konsep

Perencanaan

Rencana lanskap arboretum di lahan pasca tambang
Pit Tanah Putih

Gambar 4 Tahapan Penelitian
Sumber: Gold, 1980 (dimodifikasi)

Persiapan
Persiapan awal meliputi perumusan masalah dan penetapan tujuan penelitian.
Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data-data sekunder terkait topik dan area
perencanaan. Hasil pada tahap ini berupa proposal penelitian dan perizinan.
Inventarisasi
Inventarisasi adalah tahap pengumpulan data primer dan data sekunder.
Data yang diambil pada tahap inventarisasi meliputi aspek fisik, biofisik dan
sosial. Metode pengambilan data adalah melalui survei lapang, wawancara dengan
penduduk setempat dan pengelola serta studi pustaka. Data terkait aspek fisik dan
biofisik didapat melalui studi pustaka dari dokumen-dokumen PT BCS berupa
peta, data kuantitatif dan kualitatif serta survei lapang berupa pengambilan foto
kondisi lapang. Studi pustaka juga didapat dari jurnal, laporan, dan skripsi yang
berkaitan dengan topik penelitian. Data terkait aspek sosial terutama yang

12
berkaitan dengan preferensi masyarakat didapat melalui wawancara secara
tertutup kepada masyarakat setempat. Pertanyaan yang diajukan saat wawancara
mengacu pada pertanyaan yang telah disusun sebelumnya.
Analisis
Analisis dilakukan terhadap data yang sudah didapatkan terkait aspek fisik,
biofisik dan aspek sosial. Analisis terhadap aspek fisik dan biofisik dilakukan
untuk mengetahui potensi dan kendala tapak terkait pengembangan tapak tersebut.
Analisis sosial dilakukan untuk melihat keinginan dan preferensi pihak-pihak
terkait yang meliputi masyarakat dan pengelola serta pemerintah melalui aspek
legal. Analisis ini mengacu hasil wawancara dan data-data sekunder.
Analisis dilakukan melalui metode spasial dan deskriptif kuantitatif.
Analisis secara spasial dilakukan terhadap kemiringan lahan, penggunaan lahan
dan penutupan vegetasi. Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan memberikan
skor pada tiap kriteria yang telah ditentukan dari masing-masing aspek. Kemudian
dilakukan overlay untuk mendapat peta komposit yang menunjukkan zonasi
menurut tingkat kesesuaiannya. Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan terhadap
semua aspek untuk mengetahui potensi dan kendala yang ada di tapak disertai
pemanfaatan dan pemecahan solusinya.
Sintesis
Pada tahap sintesis diperoleh pengembangan tapak berdasarkan hasil
analisis spasial maupun deskriptif. Hasil dari sintesis berupa zonasi kesesuaian
lahan. Selanjutnya adalah penentuan konsep dasar dan pengembangan konsep.
Pengembangan konsep meliputi konsep ruang, aksesibilitas dan sirkulasi, aktivitas
serta vegetasi. Konsep akan menjadi acuan dalam perencanaan lanskap area
tersebut.
Perencanaan lanskap
Perencanaan lanskap merupakan tahap yang mengacu pada rencana blok
untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan dalam menata lahan pasca
tambang sebagai arboretum. Pada tahap ini didapat hasil akhir dalam bentuk grafis
berupa rencana lanskap yang mencakup rencana ruang, sirkulasi, vegetasi,
aktivitas dan fasilitas beserta deskripsi masing-masing. Pada tahap ini juga
dilakukan perhitungan daya dukung menurut Boulon dalam WTO dan UNEP
(1992) dalam Nurisjah (2007) dengan rumus sebagai berikut.
DD = A x S

T = DD x K

Keterangan:
DD : Daya dukung
K
: Koefisien rotasi
A
: Area yang digunakan wisatawan
N
: Jam kunjungan per hari area yang diizinkan
S
: Standar rata-rata individu
R
: Rata-rata waktu kunjungan
T
: Total hari kunjungan yang diperkenankan

K = N/R

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kawasan
Kawasan Tanah Putih terletak di bagian tengah sebelah barat di Kecamatan
Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara
geografis, kawasan ini terletak di antara 116°20'15" sampai 116°21'00" BT dan
3°31'15" sampai 3°32'15" LS. Secara administratif, Kawasan Tanah Putih
termasuk ke dalam wilayah Desa Mandin. Lokasi Kawasan Tanah Putih dapat
dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Peta Citra Lidar Pulau Sebuku
Sumber: P4W IPB (2013)

Kawasan Tanah Putih dapat ditempuh melalui jalur air dengan
menggunakan speed boat selama 2 jam dari Kotabaru menuju pelabuhan khusus
yang dibangun BCS di daerah Tanjung Kepala. Kawasan tersebut juga dapat
ditempuh melalui jalur udara dengan pesawat Twin Otter selama 55 menit dari
Balikpapan menuju airstrip milik PT BCS.
Kegiatan penambangan batubara oleh PT BCS dimulai tahun 1998 setelah
mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Departemen Kehutanan.
Perjanjian Pinjam Pakai tersebut ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1998
dan diperbarui oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 29 Mei 2009. PT BCS
mengeksploitasi wilayah pinjam pakai melalui aktivitas penambangan batubara
dengan metode tambang terbuka (open pit).

14
Sebelum penambangan, Kawasan Tanah Putih merupakan area rawa yang
didominasi lumpur yang bersifat sulfat masam. Topografi awalnya berupa dataran
rendah dengan hamparan rumput kering dan sebagian rawa merupakan daerah
pasang surut air laut. Setelah penambangan, kawasan ini berubah menjadi area
terbuka yang gersang dan terdapat void atau lubang besar bekas galian batubara
yang akan dijadikan danau. Sebagian area yang telah direklamasi berubah menjadi
dataran yang lebih tinggi. Kondisi Tanah Putih sebelum dan sesudah
penambangan dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) Bentang alam sebelum penambangan

(b) Bentang alam setelah penambangan
Gambar 6 Kondisi Tanah Putih sebelum dan setelah penambangan
Sumber: (a) PT BCS, 2006; (b) dokumentasi lapang 2013

Kawasan bekas tambang di Tanah Putih yang dimanfaatkan sebagai lokasi
penelitian memiliki luas 223 ha. Sebagian besar area perencanaan merupakan area
yang telah direklamasi. Batas area lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
Utara
: engineering office, area reklamasi
Barat
: void, Cagar Alam hutan mangrove
Selatan
: hutan produksi
Timur
: hutan produksi
Aspek Fisik
Lokasi dan Aksesibilitas
Lokasi penelitian
Jaringan jalan di Pulau Sebuku terdiri dari jalan utama dan jalan perusahaan.
Jalan utama merupakan jalan kabupaten yang membujur dari arah utara-selatan di
tengah pulau yang menghubungkan beberapa desa sebagai sarana transportasi
utama. Jalan utama disebut Sabuk Tengah untuk menandainya. Selain jalan utama,

15
di Pulau Sebuku terdapat jalan perusahaan pertambangan yang terletak di bagian
utara dan selatan pulau. Jalan perusahaan yang terletak di bagian utara disebut
Sabuk Utara sedangkan yang terletak di bagian selatan disebut Sabuk Selatan.
Peta jaringan jalan di Kecamatan Pulau Sebuku dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta jaringan jalan Kecamatan Pulau Sebuku
Sumber: P4W IPB (2011)

Akses utama ke kawasan Tanah Putih berupa jalan tanah yang tidak
dilakukan pengerasan dan hanya diperuntukkan bagi kendaraan ringan. Jalan
akses di wilayah Tambang Sebuku dibangun pada tahun 1997 seiring dengan
dimulainya kegiatan penambangan. Sebagian besar dari jalan tersebut mengikuti
alur jalan setapak yang telah ada sebelumnya. Jalan tersebut diklasifikasikan
sebagai struktur permanen karena pentingnya sebagai akses untuk keperluan
pemantauan dan pemeliharaan lahan yang telah direklamasi oleh PT BCS. Sarana
transportasi untuk menjangkau lokasi tersebut adalah dengan menggunakan mobil

16
perusahaan. Saat ini jalan perusahaan hanya diakses oleh perusahaan dan tidak
terbuka untuk umum.
Tata Guna Lahan
Lokasi penambangan kawasan Tanah Putih merupakan lahan negara yang
sebagian besar belum atau tidak digarap. Letaknya berada di daerah rawa dan
sebelah baratnya berbatasan langsung dengan hutan cagar alam mangrove.
Berdasarkan SK Menhut Nomor: 453/Kpts-II/1999 daerah tambang PT BCS di
Tanah Putih berada dalam status kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan
Produksi Konversi (Gambar 8). Setelah masa pinjam pakai berakhir, kawasan
tersebut akan dikembalikan menjadi hutan produksi atau dikembangkan untuk
pemanfaatan yang lain selama tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Kehutanan.

Gambar 8 Peta kawasan hutan Kecamatan Pulau Sebuku
Sumber: P4W IPB (2011)

17
Sejumlah kegiatan akan diizinkan untuk dilakukan di dalam area bekas
penambangan BCS apabila sesuai dengan ketentuan hukum mengenai Hutan
Produksi Tetap dan Hutan Lindung/Cagar Alam, serta tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pinjam pakai. Kegiatan-kegiatan yang
diizinkan tersebut antara lain:
1. Budidaya perairan dan perikanan;
2. Memanen produk-produk selain kayu, misalnya buah-buahan, buah kemiri,
pisang kelapa dan lain-lain;
3. Kegiatan pendidikan dan wisata alam, seperti penelitian, kunjungan lapangan,
pengamatan burung, pengamatan ikan dan lain-lain.
Penutupan lahan di lokasi penelitian sebagian besar berupa area yang telah
direklamasi di bagian timur. Area ini telah berubah menjadi hutan kembali.
Penutupan tajuk dan densitas tanaman terpantau cukup baik. Sebagian lain
penutupan lahan di tapak berupa rawa-rawa atau cekungan yang tergenang air.
Penutupan lainnya berupa area terbuka denagn hamparan rumput yang gersang.
Jenis dan Karakteristik Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Tanah Putih adalah entisol atau tanah rawa.
Secara umum, tanah jenis entisol memiliki kejenuhan basa bervariasi, pH berkisar
asam hingga basa dan KTK untuk setiap lapisan tanah bervariasi. Tanah entisol
cenderung memiliki tekstur yang kasar dengan kadar bahan organik dan nitrogen
rendah, mudah teroksidasi dengan udara. Kelembaban dan pH tanah entisol selalu
berubah. Hal ini karena tanah entisol selalu basah dan terendam dalam cekungan.
Pada tanah entisol tidak terdapat hewan-hewan seperti cacing karena keadaanya
yang kurang subur. Komposisi mineralnya adalah mineral kuarsa dan oksida besi.
Tanah di kawasan Tanah Putih umumnya bertekstur liat dengan kandungan
fraksi liat berkisar 58–73%. Kandungan liat menurun dengan semakin dalamnya
lapisan tanah. Ditinjau dari perbandingan fraksi, tanah di wilayah tersebut bukan
merupakan tekstur tanah yang ideal karena daya lekat (kohesif) yang sangat tinggi.
Hal itu menyebabkan tanah mudah menjadi lumpur dalam keadaan basah tetapi
menjadi keras dan berbongkah dalam keadaan kering.
Setelah proses penambangan selesai, struktur tanah yang ada di tapak sangat
berbeda dari struktur awalnya. Tanah tidak memiliki profil karena terbolak-balik
saat penggalian dan penutupan kembali. Tanah terbagi menjadi dua jenis yaitu,
tanah yang diberi lapisan topsoil dan overburden atau batuan penutup yang
berasal dari galian batubara. Secara umum keduanya kurang baik untuk
pertumbuhan tanaman. Namun tanaman lebih toleran di tanah yang ditutup
dengan overburden dibandingkan di tanah yang diberi lapisan topsoil. Hal itu
karena lapisan topsoil yang disebar hanya setebal 5–10 cm dari ketebalan yang
seharusnya yaitu 30 cm. Selain itu, tanah di bawah lapisan topsoil memiliki pH
lebih rendah sehingga kurang baik untuk pertumbuhan tanaman.
Jenis tanah entisol dapat dikembangkan apabila dilakukan pengelolaan
khusus seperti misalnya melalui sistem drainase untuk mengairi tanah ketika
kadar asamnya mulai rendah. Pemupukan juga perlu dilakukan untuk
memperbaiki unsur hara tanah. Salah satu alternatif pemupukan adalah dengan
menggunakan cendawan mikoriza arbuskular sebagai pupuk biologis. Mikoriza
merupakan suatu bentuk simbiosis antara cendawan dan perakaran tumbuhan
tingkat tinggi. Selain sebagai pupuk biologis, cendawan ini dapat membantu

18
pertumbuhan tanaman, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman pada
lahan kritis yang tercemar logam berat seperti lahan bekas tambang.
Berdasarkan analisis tersebut, sifat tanah di area yang akan direncanakan di
termasuk dalam kelas yang memiliki faktor penghambat yang cukup banyak.
Semakin tinggi kelas kemampuan lahan, kualitas lahannya semakin buruk, resiko
kerusakan dan pilihan penggunaan lahannya semakin terbatas (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007). Untuk itu, lahan tersebut harus dibiarkan dalam keadaan
alami atau dihutankan.
Topografi dan Kemiringan Lahan
Bentang alam Tanah Putih sebelum dilakukan penambangan merupakan
areal rawa yang didominasi oleh lumpur rawa yang bersifat sulfit masam.
Topografi awal areal Tanah Putih merupakan dataran rendah, dimana sebagian
adalah rawa yang mengalami pasang surut. Saat kegiatan penambangan
berlangsung, area tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara bagi
tanah galian lubang tambang. Hal itu menyebabkan perubahan topografi lahan
setelah kegiatan penambangan selesai.
Kawasan bekas tambang di Tanah Putih umumnya memiliki ketinggian
yang beragam setelah kegiatan penambangan. Sebelum ditambang, kawasan ini
didominasi oleh topografi yang cukup datar. Adanya kegiatan penambangan
membuat rona lanskap kawasan ini berubah. Kegiatan penambangan
meninggalkan bekas lubang-lubang yang sangat dalam. Hal ini menyebabkan
topografi di kawasan ini cukup dinamis.
Lokasi penelitian didominasi topografi yang relatif datar dengan kemiringan
0–8%. Ketinggian maksimum mencapai 30 mdpl ditengah area perencanaan dan
terus menurun hingga ketinggian 0 mdpl ke sebelah barat daya. Kawasan ini
hanya memiliki sedikit kemiringan yang curam. Area dengan kemiringan yang
curam hingga terjal perlu perhatian khusus karena lebih rawan bahaya erosi.
Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan meminimalisasi rencana
aktivitas atau pemberian tanaman konservasi.
Iklim
Suhu udara pada siang hari di lokasi kegiatan PT BCS dan daerah sekitarnya
berkisar antara 29–330C. Kelembapan pada siang hari berkisar antara 47.5–68%.
Suhu tertinggi dan kelembapan terendah terjadi di lokasi tambang Tanah Putih.
Hal ini disebabkan sebagian besar daerah tersebut merupakan daerah yang terbuka.
Curah hujan (mm)

300
250
200
150
100
50
0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Oct Nov Des
Bulan

Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1998–2012 di Tanah Putih
Sumber: PT BCS (2013)

19
Berdasarkan data pengamatan yang didapatkan dari PT BCS, diketahui
bahwa curah hujan di lokasi penelitian cukup tinggi dari bulan Desember hingga
bulan Juli. Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun menyebabkan ketersediaan
air melimpah. Hal itu menyebabkan volume limpasan air cukup banyak dan dapat
menimbulkan erosi yang membawa material tanah penutup. Untuk itu, perlu
penanaman jenis vegetasi dengan keragaman vertikal mulai dari groundcover,
semak, hingga pohon dengan beragam ketinggian untuk mengurangi volume
limpasan air hujan yang langsung jatuh ke tanah.
Tingginya suhu dan kelembaban yang rendah pada siang hari membuat
kawasan tersebut kurang nyaman untuk aktivitas manusia. Penanaman vegetasi
pioner merupakan solusi untuk perbaikan iklim mikro di kawasan tersebut.
Vegetasi pioner seperti akasia dan sengon telah terbukti adaptif terhadap kondisi
ekstrim seperti pada lahan bekas tambang. Pertumbuhannya yang cepat, sistem
perakaran intensif, serta tajuk yang melebar dan berlapis membuat penutupan
lahan juga cepat terjadi sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan dan
erosi.
Hidrologi
Sumber air di Tanah Putih terdiri dari air permukaan dan air tanah. Air
permukaan berasal dari 2 sumber yaitu air hujan yang langsung jatuh ke
permukaan tanah dan air limpasan. Air limpasan umumnya berasal dari daerah
tangkapan air hujan di sekitar lokasi tambang. Secara umum, kualitas air tanah di
tapak kurang baik. Hal itu ditandai dengan warna kecoklatan dan sampah yang
ikut mengalir bersama air sungai terutama saat musim hujan. Berdasarkan data
pengamatan yang dilakukan PT BCS, sumber air tambang per tahun di Tanah
Putih adalah: air hujan langsung sebanyak 2 940 m3/hari, air limpasan sebanyak
51 492 m3/hari, dan air tanah sebanyak 0.023 m3/hari.
Data kedalaman air tanah di wilayah tambang PT BCS dilakukan pada
waktu pelaksanaan pengeboran batubara. Pada musim kemarau kedalaman air
tanah mencapai lebih dari 10 m, sebaliknya pada musim penghujan kurang dari 5
m. Sebaran air tanah cukup merata dan terdapat pada tanah pelapukan dan lumpur
rawa. Dengan demikian wilayah kajian merupakan akuifer dangkal terbuka
dengan produktif sedang. Berdasarkan dokumen AMDAL, Pengukuran debit dari
mata air yang airnya dimanfaatkan penduduk sebagai air bersih, didapat hasil
sebesar 0.10–0.25 liter per detik.

Aspek Biofisik
Vegetasi
Kawasan Tanah Putih berbatasan langsung dengan hutan mangrove selebar
300 m dari Selat Sebuku yang berada di sebelah barat pulau. Sebelum
penambangan, kawasan Tanah Putih merupakan hamparan rumput kering dengan
sedikit vegetasi lain yang bercampur secara spot-spot seperti rumput beluntas, apiapi, genjoran, walingi, nipah, pakis rawa, rumput teki dan bati-bati. Jenis vegetasi
tersebut terdapat dalam berbagai tingkat mulai dari groundcover sampai pohon.
Seiring dengan proses penambangan, dilakukan revegetasi untuk
mengembalikan penutupan lahan dan kesuburan tanah di kawasan Tanah Putih.

20
Berdasarkan dokumen RPT BCS (2012), jenis tanaman yang dikembangkan
diantaranya Akasia, Sengon,Gmelina, Trembesi, Johar, Kemiri, Karet, Durian,
Madang Bakau, Sungkai, Halaban, Rambutan, Galam, Nangka, dan Jambujambuan.
Revegetasi di area perencanaan awalnya dilakukan di dua lokasi yaitu plot 1
dengan tahun tanam 2008 dan dan plot 2 dengan tahun tanam 2009 yang lokasi
penanamannya relatif lebih kering. Keduanya berada di cell paling luas di area
perencanaan yaitu cell 20. Berikut adalah tabel perkembangan jenis tanaman pada
plot 1 dan plot 2 Tanah Putih. Parameter yang digunakan dalam pemantauan
adalah besarnya diameter dan riap diameter tanaman/triwulan.
Tabel 2 Perkembangan jenis tanaman pada plot 1 Tanah Putih (tahun tanam 2008)
Diameter periode Diameter periode
I (cm)
II (cm)
Akasia
4,14
4,45
Crasicarpa
7,90
8,53
Galam
8,33
9,06
Kariwaya
4,30
5,01
Mahoni
1,50
1,59
Sengon
4,68
4,80
Sumber: Dokumen Rencana Penutupan Tambang BCS, 2012
Nama jenis

Riap triwulan (cm)
0,32
0,36
0,74
0,72
0,10
0,13

Tabel 3 Perkembangan jenis tanaman pada plot 2 Tanah Putih (tahun tanam 2009)
Nama jenis

Diameter
Diameter periode
periode I (cm)
II (cm)
Akasia
5,41
10,02
Gmelina
4,45
5,41
Johar
4,14
6,05
Sengon
3,98
7,45
Sungkai
3,34
5,79
Trembesi
3,18
4,84
Sumber: Dokumen Rencana Penutupan Tambang BCS, 2012

Riap triwulan (cm)
4,61
0,95
1,91
3,47
2,45
1,65

Perkembangan tanaman di lokasi tersebut terpantau cukup baik. Densitas
tanaman cukup rapat dan biomassa mulai terbentuk. Serasah yang berasal dari
daun-daun kering akan menjadi sumber bahan organik yang dapat meningkatkan
kesuburan tanah. Adanya vegetasi juga dapat meningkatkan kualitas iklim mikro
di area tersebut sehingga relatif lebih nyaman dibandingkan sekitarnya. Stabilitas
tanah pun meningkat seiring bertambahnya usia tanaman reklamasi.
Kondisi tersebut berbed