Proses Amdal Pembangunan Bandara Kulon P

Proses Amdal Pembangunan
Bandara Kulon Progo Dinilai
Cacat Hukum, Mengapa?

Panas terik matahari tak menyurutkan langkah ratusan petani tergabung dalam
Paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) menyuarakan penolakan pembangunan
Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di depan Balai Desa Temon
Kulon, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, Kamis, (10/11/16).
Poster dan spanduk bertuliskan tolak bandara dan tolak Analisis mengenai dampak
lingkungan (Amdal) terbentang. Martono, Ketua WTT mengatakan, mereka konsisten
menolak bandara dan rencana Amdal. Pembangunan ini, katanya, bertentangan
dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)
Kulon Progo.
Tanah di wilayah pembangunan bandara, juga lahan produktif, dan rawan tsunami
seperti ungkapan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta.
“Pembangunan bandara merugikan kaum tani. Kami tetap konsisten menolak
pembangunan bandara di Temon sampai kapanpun. Kami akan
mengajukan judicial review RTRW Kulon Progo,” katanya, dihubungi Mongabay.

Muhamdi, petani tergabung di WTT dihubungi Mongabay mengatakan, rencana
studi Amdal pembangunan bandara cacat hukum. Seharusnya, Amdal disusun

sebelum pembebasan dan ganti rugi lahan. Proses Amdal salah (bukan tahap
perencanaan).
Rencana pembangunan Bandara NYIA Kulon Progo telah menimbulkan gejolak
sosial masyarakat, di mana konflik antar tetangga bahkan antarkeluarga terus terjadi.
Penetapan lokasi rencana pembangunan bandara, katanya, tanpa memperhatikan
peraturan perundang-undangan berlaku, baik berkaitan rencana tata ruang maupun
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengadaan tanah, katanya, sebagian bertentangan dengan hukum berlaku. Sesuai
persyaratan dalam UU, mewajibkan pemrakarsa melengkapi dokumen perencanaan
pengadaan tanah dan dokumen hasil studi Amdal guna memastikan kelayakan
dampak lingkungan dan sosial.
“Proses jelas catat hukum, maka pembangunan dan Amdal harus dihentikan,” ucap
Muhamdi.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang mendampingi warga
tolak bandara, Yogi Zul Fadhli mengatakan, dengan pengumuman rencana studi
Amdal pembangunan Bandara NYIA, Senin, (31/10/16), bukan berarti proses jadi
sahih secara hukum.
Dia menilai, penyusunan Amdal cacat hukum akut. “Studi Amdal tak pada tahapan
semestinya,” katanya.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan memberikan ketegasan sangat

terang, terkait studi amdal, dan seharusnya dimengerti pemrakarsa maupun
pemerintah daerah.
Mengacu Pasal 4 ayat 1 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, katanya, seharusnya
Amdal disusun pemrakarsa pada tahap perencanaan usaha atau kegiatan. Dalam
UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum dan PP terkait,
ada empat tahap pengadaan tanah, yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan
penyerahan hasil.
Khusus perencanaan, ada amanat bagi pemrakarsa untuk menyusun dokumen
perencanaan pengadaan tanah. “Dokumen dibuat berdasarkan studi kelayakan.
Muncul pula perintah menyusun dokumen Amdal.”
Seharusnya, kata Yogi, Amdal beserta izin lingkungan harus ada jauh sebelum Surat
Keputusan Gubernur soal penetapan lokasi pembangunan bandara keluar.
Pengadaan tanah, katanya, merupakan tahap pelaksanaan suatu usaha, pada tahap
pra kontruksi. Maka jadi konsekuensi logis secara keilmuan dan normatif, bahwa
kajian Amdal harus terlebih dahulu sebelum pengadaan tanah.

Temuan lain LBH Yogyakarta, ternyata sebelum penetapan lokasi dari Menteri
Perhubungan tertanggal 11 November 2013, studi Amdal harus sudah dijalankan
pemrakarsa. Hal ini, katanya, diatur dalam aturan soal pembangunan dan pelestarian
lingkungan hidup bandar udara.

Dalam aturan itu disebutkan, menteri ketika akan menetapkan lokasi pembangunan
bandar udara harus mempertimbangkan kelayakan lingkungan. Kelayakan
lingkungan ini, katanya, dinilai dari besaran dampak dan kemampuan mengurangi
dampak (mitigasi), pada masa kontruksi, pengoperasian atau tahap pengembangan
selanjutnya.
“Klausul kelayakan lingkungan ini melalui studi dokumen lingkungan berupa Amdal.”
Menurut Yogi, rencana studi Amdal pembangunan Bandara NYIA baru mulai tahap
pelaksanaan, atau bersamaan proses pengadaan tanah hampir selesai– karena
sudah sampai tahapan pembayaran ganti rugi— jelas cacat hukum.
“Dari proses Amdal akan keluar keputusan layak atau tak layak suatu usaha kegiatan
dijalankan. Jika dinilai layak, terbitlah izin lingkungan. Jika Amdal cacat hukum,
seharusnya dibatalkan,” katanya.
“Pembangunan bandara merugikan kaum tani. Kami tetap konsisten menolak
pembangunan bandara di Temon sampai kapanpun. Kami akan
mengajukan judicial review RTRW Kulon Progo,” katanya, dihubungi Mongabay.
Muhamdi, petani tergabung di WTT dihubungi Mongabay mengatakan, rencana
studi Amdal pembangunan bandara cacat hukum. Seharusnya, Amdal disusun
sebelum pembebasan dan ganti rugi lahan. Proses Amdal salah (bukan tahap
perencanaan).
Rencana pembangunan Bandara NYIA Kulon Progo telah menimbulkan gejolak

sosial masyarakat, di mana konflik antar tetangga bahkan antarkeluarga terus terjadi.
Penetapan lokasi rencana pembangunan bandara, katanya, tanpa memperhatikan
peraturan perundang-undangan berlaku, baik berkaitan rencana tata ruang maupun
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengadaan tanah, katanya, sebagian bertentangan dengan hukum berlaku. Sesuai
persyaratan dalam UU, mewajibkan pemrakarsa melengkapi dokumen perencanaan
pengadaan tanah dan dokumen hasil studi Amdal guna memastikan kelayakan
dampak lingkungan dan sosial.
“Proses jelas catat hukum, maka pembangunan dan Amdal harus dihentikan,” ucap
Muhamdi.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang mendampingi warga
tolak bandara, Yogi Zul Fadhli mengatakan, dengan pengumuman rencana studi
Amdal pembangunan Bandara NYIA, Senin, (31/10/16), bukan berarti proses jadi
sahih secara hukum.

Dia menilai, penyusunan Amdal cacat hukum akut. “Studi Amdal tak pada tahapan
semestinya,” katanya.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan memberikan ketegasan sangat
terang, terkait studi amdal, dan seharusnya dimengerti pemrakarsa maupun
pemerintah daerah.

Mengacu Pasal 4 ayat 1 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, katanya, seharusnya
Amdal disusun pemrakarsa pada tahap perencanaan usaha atau kegiatan. Dalam
UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum dan PP terkait,
ada empat tahap pengadaan tanah, yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan
penyerahan hasil.
Khusus perencanaan, ada amanat bagi pemrakarsa untuk menyusun dokumen
perencanaan pengadaan tanah. “Dokumen dibuat berdasarkan studi kelayakan.
Muncul pula perintah menyusun dokumen Amdal.”
Seharusnya, kata Yogi, Amdal beserta izin lingkungan harus ada jauh sebelum Surat
Keputusan Gubernur soal penetapan lokasi pembangunan bandara keluar.
Pengadaan tanah, katanya, merupakan tahap pelaksanaan suatu usaha, pada tahap
pra kontruksi. Maka jadi konsekuensi logis secara keilmuan dan normatif, bahwa
kajian Amdal harus terlebih dahulu sebelum pengadaan tanah.
Temuan lain LBH Yogyakarta, ternyata sebelum penetapan lokasi dari Menteri
Perhubungan tertanggal 11 November 2013, studi Amdal harus sudah dijalankan
pemrakarsa. Hal ini, katanya, diatur dalam aturan soal pembangunan dan pelestarian
lingkungan hidup bandar udara.
Dalam aturan itu disebutkan, menteri ketika akan menetapkan lokasi pembangunan
bandar udara harus mempertimbangkan kelayakan lingkungan. Kelayakan
lingkungan ini, katanya, dinilai dari besaran dampak dan kemampuan mengurangi

dampak (mitigasi), pada masa kontruksi, pengoperasian atau tahap pengembangan
selanjutnya.
“Klausul kelayakan lingkungan ini melalui studi dokumen lingkungan berupa Amdal.”
Menurut Yogi, rencana studi Amdal pembangunan Bandara NYIA baru mulai tahap
pelaksanaan, atau bersamaan proses pengadaan tanah hampir selesai– karena
sudah sampai tahapan pembayaran ganti rugi— jelas cacat hukum.
“Dari proses Amdal akan keluar keputusan layak atau tak layak suatu usaha kegiatan
dijalankan. Jika dinilai layak, terbitlah izin lingkungan. Jika Amdal cacat hukum,
seharusnya dibatalkan,” katanya.

Aksi petani tolak pembangunan Bandara Kulon Progo yang akan mengambil lahan tani
mereka. Foto: LBH Yogyakarta

***
Di Balai Desa Temon Kulon, Kamis, (10/11/16), PT Angkasa Pura I bersama tim
konsultan dan Pemkab Kulon Progo menggelar konsultasi publik Amdal rencana
pembangunan Bandara NYIA.
Konsultasi publik diikuti perwakilan warga guna menyusun kerangka acuan Analisis
dampak lingkungan (KA-Andal), bagian dari Amdal.
Halik Sandera, Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, penyusunan KA-Andal

bandara jelas terlambat. Semestinya, Amdal sebelum ada pembebasan lahan dan
ganti rugi. Pembebasan lahan, katanya, bagian dari proses pra kontruksi, dibahas
dalam Amdal. Amdal, katanya, salah satu kelayakan aspek tata ruang.
Pembangunan bandara baru, katanya, akan menghilangkan lahan produktif.
“Padahal, Kulon Progo, salah satu sumber penghidupan petani, dan distribusi
pertanian beberapa wilayah selama ini bergantung dari sana,” kata Halik.
Selain itu, pesisir Kulon Progo rawan gempa bumi. Seharusnya, tak boleh ada
pengembangan yang mengubah bentang alam, karena risiko akan lebih besar.
Penetapan lokasi bandara di kawasan lindung geologi dari bencana alam tsunami,
katanya, tak sesuai peruntukan ruang. Dalam strategi pengembangan prasarana
lingkungan RTRW, Temon kawasan lindung geologi dari bencana alam tsunami dan
banjir.

Sementara itu, Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kulon Progo, Suharjoko,
mengatakan, pembangunan bandara NYIA merupakan proyek strategis nasional.
Penyusunan Amdal, merupakan bagian proses perizinan ini juga termasuk program
percepatan.
“Penyusunan KA-Andal dipercepat, dibatasi lebih cepat dari biasa yang 150 hari,”
katanya.
Penyusunan KA-Andal, katanya, diharapkan benar-benar berkualitas hingga tak

lepas dari masukan masyarakat terdampak.
“Kami juga menerima masukan tertulis. Dalam penyusunan KA-Andal juga akan
dipetakan potensi-potensi dampak dari pembangunan bandara NYIA, terutama
lingkungan. Juga dampak lain, sosial dan ekonomi.”
Safety Health and Environment Department Head PT Angkasa Pura I, Dedi Ruhiyat
mengatakan, target penyusunan KA-Andal selesai dalam 75 hari dan penyusunan
Amdal 75 hari. Nanti, katanya, Amdal dinilai Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Masukan-masukan dalam konsultasi publik, katanya, akan dipelajari ahli masingmasing, seperti ahli sosial, ahli tanah, udara, maupun terkait kebisingan.
Pembangunan bandara NYIA merupakan eco airport, yakni, bandara berwawasan
lingkungan.
Penolakan sikap WTT, katanya, akan menjadi bahan kajian penyusunan Amdal.
“Semua penolakan akan kita kaji korelasi dan keterkaitannya, bisa dibuktikan atau
tidak. Amdal disusun melalui proses penilaian sekaligus bisa menjadi solusi atas
penolakan.”

Pertanian semangka di Temon, yang akan tergusur bandara. Foto: Tommy Apriando

Tak ganggu ketersediaan lahan?
Dinas Pertanian Yogyakarta, memastikan pembangunan bandara di Temon, Kulon

Progo, tak akan mengganggu ketersediaan lahan sawah daerah itu.
Kepala Dinas Pertanian (Distan) Yogyakarta, Sasongko mengatakan, di Kulon Progo
sudah ada cetak sawah baru untuk mengantisipasi lahan sawah berkurang untuk
bandara.
Saat ini, katanya, cetak sawah baru bertahap di Kulon Progo, sudah 50 hektar
menempati lahan-lahan yang selama ini tak berfungsi. Dia bilang, cetak sawah 150
hektar masih kajian kondisi tanah dan ketersediaan air.
Ketersediaan lahan sawah di Yogyakarta, katanya, termasuk Kulon Progo telah
dijamin dengan penetapan kawasan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLPPB). “Dengan begitu kita masih bisa menahan kekurangan lahan
sawah.”
Di Yogyakarta, Perda turunan dari UU PLPPB dibuat pada 2011. Melalui perda itu,
ditentukan lahan pertanian dilindungi seluas 35.911 hektar, terdiri atas Sleman
seluas 12.377,59 hektar, Kulon Progo 5.029 hektar, Bantul 13.000 hektar, dan
Gunung Kidul 5.500 hektar.
“Untuk kebutuhan pangan beras di Yogyakarta beberapa tahun ke depan aman.”

Martono, Ketua WTT, menanggapi, bagaimana mungkin perampasan lahan
pertanian untuk bandara baru tak berdampak pada ketersedian lahan dan
kedaulatan pangan.

“Sudah jelas lahan pasti berkurang, dan penghidupan petani hilang,” katanya