Manajemen Subsidi yang Efektif untuk Nel (1)

Manajemen Subsidi yang Efektif untuk Nelayan
*Moh Nur Nawawi
Sebagai negara kepulauan yang menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di
dunia, Indonesia sudah sepatutnya menjaga sumber daya laut dan bagaimana bekerja untuk
menciptakan kedaulatan pangan laut di Negeri sendiri. Pemerintah Indonesia harus
menjadikan nelayan sebagai pilar utama yang wajib dilibatkan dalam upaya mewujudkan dua
hal tersebut. Presiden Joko Widodo sendiri menyebut profesi nelayan dalam Poros Maritim
sebagai pilar utama menjaga kedaulatan di laut dan kedaulatan pangan laut.
Indonesia memiliki 2.7 juta jiwa nelayan, baik mereka yang beroperasi di laut maupun
perairan umum. Dari jumlah tersebut, sekitar 556.349 unit kapal sedang beroperasi dan 95,6
persen di antaranya adalah kapal skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau
beberapa mil dari pantai. Kapal-kapal tersebut memiliki spesifikasi perahu tanpa motor
sebanyak 170.938 unit, kapal motor tempel sebanyak 225.786 unit, kapal motor di bawah 5
GT sebanyak 123.748 unit, dan kapal motor ukuran 5GT s.d 10 GT mencapai 35.877 unit (
KIARA, 2017).
Badan Pusat Statistik (BPS) Menyebutkan ada 63,47 persen dari jumlah nelayan tersebut
tercatat sebagai penduduk miskin dan hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Mereka yang
disebut miskin yaitu berpenghasilan Rp1,2 juta per bulan.
Kebijakan Subsidi untuk Nelayan
Persoalan yang selalu dihadapi nelayan adalah alat dan kapal penangkapan, biaya operasional
untuk melaut, seperti: subsidi BBM, skema permodalan dan asuransi untuk nelayan, serta

Pembebasan pajak dan retribusi; sarana dan prasana pendukung hasil tangkapan; Informasi
yang tepat terkait daerah peangkapan dan cuaca sehingga memudahkan nelayan dalam
melakukan operasi penangkapan sehingga lebih efektif dan efisien, dan bantuan pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan perikanan.
Berdasarkan data tersebut maka pemberian subsidi bagi nelayan masih sangat diperlukan oleh
karena itu diharapkan pemerintah bisa menetapkan kebijakan subsidi perikanan lebih tepat
sasaran dan tepat guna. Subsidi untuk nelayan adalah amanat Konstitusi. Karena faktanya,
hingga saat ini nelayan Indonesia masih sangat membutuhkan dukungan pemerintah terkait
berbagai persoalan yang dihadapi nelayan.
Tiga kebijakan nasional yaitu Undang-Undang Perikanan, UU Kelautan dan UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, terdapat
sedikitnya 24 bentuk tindakan kebijakan subsidi yang diamanatkan. Kebijakan undangundang tersebut mewajibkan Negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar pelaku kegiatan
perikanan nelayan tradisional skala kecil. Hal itu, sesuai dengan komitmen Pemerintah
Indonesia untuk melindungi perikanan skala kecil sesuai Pedoman FAO Mengenai
Perlindungan Perikanan Skala Kecil dalam Konteks Mengurangi Kemiskinan dan Ketahanan
Pangan Tahun 2014.
Problematika Subsidi untuk Nelayan
Menurut Kiara (2017), permasalahan terkait subsidi yang masih menjadi dilema dan polemik
adalah fakta dilapangan, hanya sekitar 16 persen dari total subsidi perikanan dari Pemerintah
Indonesia yang sampai pada nelayan tradisional skala kecil. Sebaliknya, sekitar 90 persen


subsidi perikanan diberikan secara eksklusif pada industri perikanan skala besar yang
berkontribusi pada penangkapan ikan berlebih.
Fenomena terkait subsidi diatas memiliki dampak pada stock ikan nasional, hal ini senada
dengan data badan pangan dunia (FAO) menyebutkan bahwa subsidi perikanan dunia
diperkirakan mencapai USD35 miliar, dimana sekitar USD20 miliar di antaranya adalah
subsidi yang berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas penangkapan ikan yang
berlebih dan berdampak langsung pada keberlanjutan sumber daya perikanan. Hal ini
berdampak terhadap pangsa stok ikan yang terus menurun sepanjang tahun. FAO mencatat
adanya penurunan stok ikan yang yang cukup signifikan, dari sekitar adanya 90 persen stok
ikan di tahun 1974 dan menurun hingga 69 persen di tahun 2013.
Menurut Koalisi nasional nelayan dan tani Indonesia (KNTI) permasalahan terus
berlangsungnya praktik penangkapan berlebih (overfishing) dan penangkapan illegal (IUU
Fishing), di seluruh perairan dunia salah satunya disebabkan oleh adanya pemberian subsidi
di bidang perikanan berlebih pada industri penangkapan ikan berskala besar, dan secara
khusus subsidi di negara-negara industri. Subsidi perikanan perlu dievaluasi dan jika memang
banyak diserap oleh pengusaha skala besar perlu segera dihentikan, kebijakan tersebut bisa
membantu untuk memerangi praktek Illegal fishing. Praktik IUU Fishing di Indonesia adalah
praktik yang melibatkan banyak korporasi besar, baik dalam maupun luar negeri.
Penindakan illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan

penenggelaman kapal saja. Akan tetapi, bagaimana dilaksanakan penegakan hukum terhadap
perusahaan pemilik kapal yang menjadi kunci utamanya. Dengan mengejar perusahaan
pemilik kapal, dinilai pelacakan akan lebih mudah dilakukan dan penindakan IUU Fishing
bisa lebih tepat karena tertuju pada kuncinya. Jika itu terjadi, maka efek jera bisa dirasakan
pelaku. Karena penindakan hukum hanya sebatas pada Nakhoda kapal tidaklah cukup
membuat efek jera perusahaan pemilik kapal. Selain itu, penegakan hukum terhadap illegal
fishing harus menyentuh pada praktik-praktik pencurian ikan di perbatasan seperti double
flagging, mematikan alat VMS, dan transshipment di tengah laut.
Wacana pencabutan Subsidi untuk Nelayan
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 yang berlangsung di Buenos Aires, Argentina,
Januari 2018, disepakati tentang berbagai permasalahan di bidang perikanan termasuk isu
peninjauan nelayan kecil dan artisanal yang selama ini menjadi isu utama di Indonesia.
Dengan kesepakatan tersebut, ada peninjauan kembali untuk penerapan subsidi perikanan di
seluruh negara.
Sebagai negara yang memperjuangkan pemberantasan praktik IUUF, pemerintah menilai
subsidi perikanan masih diperlukan untuk menopang kehidupan nelayan kecil dan artisanal.
Untuk itu, perlu ada fleksibilitas dalam penyaluran subsidi perikanan di negara berkembang
seperti Indonesia. Jangan sampai, nelayan kecil dan artisanal terkena imbas. Indonesia
mendukung adanya pelarangan subsidi yang menyebabkan overcapacity dan overfishing,
serta penghapusan subsidi yang berkontribusi terhadap IUUF. Untuk transparansi, Indonesia

mendukung penguatan pelaksanaan notifikasi subsidi agar pemberian subsidi oleh negara
maju kepada industri perikanan besar dapat dipantau.
Armada penangkapan ikan di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh kapal
berukuran kecil berukuran di bawah 10 gros ton (GT). Fakta tersebut dinilai bisa menjadi

celah bagi pelaku IUUF untuk melancarkan aksinya di perairan laut Indonesia. Untuk itu,
Pemerintah harus segera membenahi tata kelola dan manjemen perikanan dalam negeri.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyebutkan Praktik tersebut bisa terjadi
karena kapal berukuran maksimal 10 GT tidak memiliki kewajiban untuk melakukan
registrasi dan perizinan. Kondisi tersebut, secara tidak langsung akan memberi kesempatan
kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk melakukan IUUF. Tanpa pengaturan, hal ini
berpotensi merusak upaya mewujudkan praktik perikanan berkelanjutan yang dikampanyekan
sendiri oleh pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Abdi Suhufan
menjelaskan, kapal berukuran kecil di bawah 10 GT dikategorikan sebagai kapal nelayan
kecil. Dengan status tersebut, pemilik kapal berukuran tersebut kemudian mendapatkan
beragam kemudahan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seperti subsidi dan
kebijakan bantuan lainnya. Tetapi agar tidak terjadi praktik IUU Fishing yang sedang gencar
dikampanyekan sekarang, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah antisipasi

dengan kemudahan yang didapat kapal berukuran kecil di bawah 10 GT. Antisipasi harus
ada, karena selain potensi IUUF, dia menilai ada potensi negatif lainnya yang bisa dilakukan
pemilik kapal kecil tersebut. Ketiadaan izin bagi kapal kecil akan berkonsekuensi pada
sulitnya melakukan traceabilty (penelusuran) hasil dan lokasi tangkapan serta berpotensi
berkontribusi pada terjadinya overfishing.
Di antara bentuk subsidi yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk sektor perikanan dan
kelautan, adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 6 Tahun 2014. Di dalam Permen tersebut, kapal berukuran 30 gros ton (GT)
dibolehkan untuk mendapatkan subsidi solar. Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat sasaran,
karena masih ada kapal berukuran kecil yang lebih berhak menerima subsidi.
Indonesia for Global Justice (IGJ) menyebutkan , 90 persen rumah tangga nelayan yang ada
di Indonesia, selalu menghabiskan 60 persen pengeluaran ongkos produksi hanya untuk
membeli BBM. Kondisi itu berbanding terbalik dengan subsidi yang diterima kapal besar
berukuran 30 GT. Terjadinya ketimpangan ekonomi dapat terlihat dengan jelas antara
nelayan skala kecil dan industri perikanan skala besar ini akibat dari distribusi subsidi
perikanan yang tidak adil tersebut. Penghapusan subsidi perikanan tidak seharusnya
dilakukan secara menyeluruh, bukan ditujukan bagi nelayan- nelayan tradisional skala kecil,
tetapi harus difokuskan pada pelaku usaha perikanan tangkap skala besar. Akurasi data
tentang nelayan ketegori nelayan kecil harus benar-benar valid agar subsidi benar-benar tepat
sasaran.

Solusi pengelolaan subsidi untuk Nelayan
Permasalahan yang selalu muncul berkaitan dengan BBM bersubsidi, adalah sulitnya
melaksanakan distribusi hingga menjangkau kepada nelayan yang tepat sasaran di seluruh
Indonesia. Terutama, mereka yang tinggal di kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil. Dan
masih banyak subsidi BBM yang diserap oleh pengusaha skala besar, untuk mengantisipasi
hal-hal tersebut pemerintah diharapkan bisa mengambil langkah-langkah sebagi berikut:
1. Melakukan pelibatan organisasi nelayan dan secara bertahap memfasilitasi
pembentukan koperasi nelayan untuk memperbaiki masalah distribusi BBM;
2. Memfasilitasi pembangunan Solar Pack Dealer Nelayan (SPDN) mini untuk nelayan
dengan armada tidak lebih besar dari atau kurang dari 10 GT di kampung-kampung

3.
4.
5.

6.

nelayan dan tempat pelelangan ikan (TPI). Upaya ini untuk menjawab masalah
penggunaan BBM bersubsidi yang dinikmati oleh kapal perikanan skala besar;
Penentuan lokasi pembangunan SPDN untuk nelayan harus dilakukan secara

partisipatif, termasuk kelembagaan pengelolaannya; dan
Melakukan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi terhadap kapal-kapal perikanan
skala besar diatas atau kurang dari 10 GT untuk tepat sasaran sesuai dengan skala
usaha penangkapan.
Untuk memecahkan persoalan adanya kapal berskala besar menggunakan solar
bersubsidi, maka Pemerintah juga harus mengkaji ulang Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2014. Dalam aturan tersebut, kapal berbobot
30 gros ton (GT) diperbolehkan membeli solar bersubsidi. Adanya Permen ini kerap
dijadikan celah bagi pengusaha perikanan untuk menggunakan solar bersubsidi.
Pemerintah diharapkan menerbitkan peraturan tentang peruntukkan solar subdisi bagi
nelayan kecil atau maksimal kapal berbobot 10 GT.

Sumber Pustaka:
Sarjono, (2017). Peralihan subsidi BBM nelayan ke subsidi LPG. Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI).
Herawati, susan (2017), data terkait subsidi pemerintah untuk nelayan. Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA)
Suhufan, abdi (2017), data nelayan kecil di Indoensia penerima subsidi. Destructive Fishing
Watch (DFW)
Hartanti, rahmi (2017), data kebutuhan rumah tangga nelayan. Indonesia for Global Justice

(IGJ).
Hadiwinata, martin (2018), Menyikapi polemic subsidi dan rencana pemerintah mencabut
subsidi nelayan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Ambari, M (2018) Artikel tentang subsidi untuk nelayan ( Online).
http://www.mongabay.co.id