Kebijakan Fiskal Pada Otonomi Daerah.doc

BAB I
PENDAHULUAN
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 mengatur desentralisasi (pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab) di bidang administrasi dan di bidang politik kepada
pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintahan
daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan,
pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip “money follows
function” yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999. Tetapi mengingat
desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri
Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah, prinsip “money follows
function”, atau sebut saja penggunaan anggaran sesuai fungsinya, tidak mungkin
berlangsung. Menurut Lewis (2001), hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum
(DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian
besar akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk
pembangunan menjadi kecil. Siregar (2001:298) mengemukakan bahwa bagi banyak
daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi
daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama tahun anggaran
2000 (sebelum desentralisasi).
Secara umum, penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat
bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan
Musgrave, 1991: 225). Hal ini secara eksplisit diatur pada pasal 79 UU No. 22/1999.

Khusus untuk pinjaman daerah, PP No. 107/2000 telah memuat ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan kapasitas keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman
yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus lewat (dan seijin) pemerintah pusat,
baik itu pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Tetapi, meskipun
perundang-undangan memperbolehkan daerah melakukan pinjaman, hingga beberapa
tahun ke depan hal ini belum diperkenankan oleh pemerintah pusat (dan IMF). Oleh
karena itu, sumber pemerintah daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1

yang berasal dari restribusi daerah dan pajak daerah maupun bagi hasil dari pajak dan
bukan pajak.
Hingga saat ini kecenderungan yang nampak adalah terjadinya pilihan, dan
pilihan lebih banyak jatuh pada bentuk respon mengupayakan peningkatan PAD.
Dengan kata lain, perhatian pada aspek peningkatan efektivitas sisi pengeluaran
APBD untuk bidang pendidikan relatif lebih rendah. Kondisi ini nampaknya banyak
dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
1) Keterlambatan pemerintah pusat dalam mengeluarkan berbagai peraturan
pelaksanaan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah.
Peraturan pemerintah (PP) yang berkaitan dengan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah baru ditetapkan pada bulan November 2000, atau hanya selang dua bulan

sebelum jadwal pelaksanaan otonomi daerah (Januari 2001). Akibatnya adalah
keterlambatan pihak Pemda untuk mempersiapkan diri menghadapi otonomi daerah.
Hingga saat ini, sebagian besar Pemda kota/kabupaten masih disibukkan dengan
upaya penataan ulang struktur organisasi.
2) Peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom tidak mengatur
kewenangan dan tugas daerah kota dan kabupaten secara langsung, sehingga
menimbulkan keraguan atas kesungguhan implementasi otonomi daerah.
3) Hingga saat ini ketidakpastian kecukupan dana alokasi umum (DAU)
masih cukup tinggi, sebagai akibat pelimpahan pegawai pusat ke daerah, kenaikan
gaji pegawai yang berlaku surut dan isue pengalihan bentuk DAU dari uang menjadi
kertas obligasi.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Keuangan Daerah : Sebelum dan Sesudah Otonomi
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde
baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah,

Undang-undang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi
yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan
pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri
dari 3 komponen besar, yaitu:
A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi:





. Hasil pajak daerah
. Hasil restribusi daerah
. Hasil perusahaan daerah (BUMD)
. Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:




Sumbangan dari pemerintah
Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua
yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari
ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping
itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan
proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah.
Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah yang
dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam
anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam

3

hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut
(Kuncoro, 2004):
 Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam
rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
 Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka

desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
 Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah
daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas
perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh
pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang
menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah
pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian
bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat
bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I
Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari
pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan
menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas,
peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.
Ketergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat
seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut lebih tepat disebut
sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik daripada yang desentralistik.
Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam
implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi perangkat birokrasi pusat

untuk menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian
daerah menjadi terhambat.

4

Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan
satu paket Undang-undang otonomi daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU N0. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 22 perlu dibarengi dengan
pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU
No. 25. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi
pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi (Ismail,
2002). Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari
(Kuncoro, 2004):
a)
b)
c)
d)


Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Perimbangan,
Pinjaman daerah dan
Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat).

Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu:
a) Pajak Daerah
b) Restribusi Daerah,
c) Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya
d) Lain-lain pendapatan yang sah.
Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO.
8 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undangundang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan
aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten
atau Kodya. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu
menjadi masalah, tetapi dalam sistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No.
25/1999, Undang-undang tahun 1997 tersebut menjadi tidak relevan lagi, karena
salah satu syarat terselenggaranya desentralisasi fiskal adalah ada kewenangan
pemerintah daerah yang cukup longgar dalam memungut pajak lokal. Oleh karana itu
tanpa ada revisi terhadap Undang-undang ini, peranan PAD di masa datang tetap akan

menjadi marginal seperti pada masa Orde Baru mengingat pajak-pajak potensial bagi
5

daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Tingkat II
hanya memiliki 6 sumber pendapatan asli daerah dimana sebagian besar dari padanya
dari pengalaman di masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif
kecil bagi kemandirian daerah (Ismail, 2002).
B. Derajat Desentralisasi dan Kemandirian
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan
otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut
memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar
yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam
menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan

daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan
daerah dapat digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah pusat dan
daerah, antara lain:
1) PAD
TPD
2) BHPBP
TPD
3) Sum
TPD
Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat
kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari
daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2001), antara lain:
6

4) PAD
TKD
5) PAD
KR
6) PAD+BHPBP
TKD

7) PAD+BHPBP
TKD
Dimana:
PAD
BHPBP
TPD
TKD
KR
Sum

= Pendapatan Asli Daerah
= Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
= Total penerimaan Daerah
= Total Pengeluaran Daerah
= Pengeluaran Rutin
= Sumbangan dari Pusat

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah
tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang

digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan
daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin
tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan
menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan
positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

C. Desentralisasi Fiskal
Secara harfiah istilah ini memberikan pengertian adanya pemisahan yang
semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan

7

pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran;
penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam Tax Policy. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan
Pasal 82 UU No. 27 tahun 1999 dan juga tercermin dari upaya untuk merubah UU
No. 18 Tahun 1997 agar tidak bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam
UU Pemerintahan Daerah dan juga UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, yakni adanya keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk
menggali potensi penerimaan melalui pajak ataupun retribusi.
Di sisi pengeluaran, daerah akan mendapat kewenangan penuh dalam
penggunaan dana perimbangan (dari bagi hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana
alokasi umum/DAU). Pada prinsipnya penggunaan kedua jenis dana perimbangan
tersebut ditentukan oleh daerah sendiri. Jadi tidak lagi ditetapkan penggunaannya
oleh pemerintah pusat seperti yang terjadi pada dana SDO (Subsidi Daerah Otonom)
dan Inpres di masa lalu.
Keleluasaan daerah yang semakin besar dalam memungut pajak dan
menentukan arah penggunaan dana perimbangan dapat menimbulkan implikasi
negatif dan positif terhadap iklim usaha di daerah. Pengaruh negatif akan muncul bila
ternyata respon daerah mengarah pada:
1) Semakin banyaknya jenis pajak/retribusi baru yang harus dibayar
masyarakat daerah,
2) Pengeluaran Pemda semakin tidak terarah untuk kepentingan publik,
seperti:
(a) pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana transportasi (jalan,
jembatan, dan lain-lain), (b) penyederhanaan prosedur perijinan usaha, dan (c)
peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pengaruh positif akan timbul bila respon daerah menuju pada upaya:
1) Intensifikasi pajak dan retribusi daerah yang telah ada. Membatasi
penambahan jenis pajak/retribusi baru. Peningkatan PAD melalui penerimaan nonax,
seperti perbaikan kinerja BUMD dan optimalisasi aset-aset Pemda, t
8

2) Pengeluaran Pemda secara efektif dikelola untuk meningkatkan
infrastruktur daerah, mengembangkan sistem dan prosedur perijinan yang efisien dan
keamanan/ketertiban masyarakat.
Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan
kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya
akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah
pusat3. Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini
sebagian besar Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di
Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui
pajak dan retribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas pengeluaran APBD.
Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Bagi sebagian
besar propinsi, masalah diatas merupakan agenda pokok yang perlu segera ditangani,
karena (i) jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan selama krisis ekonomi,
dan (ii) keberadaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas (terdidik dan
terlatih) di masa depan merupakan kebutuhan tak terhindarkan dalam menghadapi
persaingan global. Diperkirakan jumlah penduduk miskin akan meningkat sebanyak
13.8 juta jiwa atau meningkat sekitar 40 persen.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimulai sejak 1
Januari 2001, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata,
dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Daerah
sangat bergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat berupa bagi hasil
pajak, bagai hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD
sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek
9

pembangunan menjadi sangat berkurang. Kebijakan Pemerintah Pusat untuk
menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil yang berlaku surut terhitung mulai 1 Januari
2001, telah menyebabkan kota Surakarta mengalami defisit. Untuk pembiayaan
defisit tersebut kota Surakarta menerima dana kontinjensi dari pusat.
Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak, juga menyebabkan
Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan
daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari
dana perimbangan, terutama dana alokasi umum. Alternatif jangka pendek
peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari PAD. Pungutan
pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat meningkatkan
PAD, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang
pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya PAD.

BAB III
PENUTUP

10

Ada begitu banyak tulisan yang membahas mengenai desentralisasi fiskal, dan
hampir semuanya memiliki pendapat yang sama bahwa kapasitas fiskal daerah di
Indonesia sangat bervariasi bahkan cenderung menunjukkan adanya kesenjangan
kapasitas fiskal antar daerah. Awal pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana
pemerintah daerah diberikan keleluasaan yang lebih besar untuk menggali potensi
penerimaan asli daerah (PAD) melalui pajak ataupun retribusi daerah, belum
menunjukkan peningkatan penerimaan yang signifikan. Daerah lebih mengutamakan
kondusifitas iklim usaha, mengingat kondisi perekonomian yang belum pulih dari
krisis. Pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek
dapat meningkatkan PAD, namun dikhawatiran dalam jangka panjang dapat
menurunkan kegiatan perekonomian.
Selain itu, Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama
pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk membiayai belanja rutin, terutama
belanja pegawai akibat adanya pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan
Dokumen (P3D) dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah, sehingga
pengeluaran rutin untuk belanja pegawai dan belanja non pegawai menjadi
membengkak, Hal ini membawa konsekuensi pada ditundanya proyek-proyek
pembangunan. Kondisi ini menjadi semakin berat dengan adanya Kebijakan
Pemerintah Pusat untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil yang berlaku surut
terhitung mulai 1 Januari 2001.

11

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65