PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN. pdf

URNA, Jurnal Seni Rupa merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. URNA berisikan artikel konseptual, resume penelitian, dan tinjauan buku. Bertujuan untuk mengembangkan dan
mengomunikasikan secara luas perkembangan seni rupa dan pendidikan seni rupa
baik yang sifatnya teoretis maupun pragmatis. Terbit dua kali setahun, tiap bulan
Juni dan Desember.

Penanggung Jawab

: Eko A.B. Oemar

Ketua Penyunting

: I Nyoman Lodra

Wakil Ketua Penyunting : Asy Syams Elya Ahmad
Penyunting Ahli

: Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)
Martadi (Universitas Negeri Surabaya)
Sofyan Salam (Universitas Negeri Makassar)
Tjetjep Rohendi Rohidi (Universitas Negeri Semarang)


Penyunting Pelaksana

: Salamun Kaulam
Asidigisianti Surya Patria
Muhajir Nadhiputro
Marsudi

Sekretaris

: Nova Kristiana

Administrasi

: Fera Ratyaningrum

Alamat Redaksi:
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya
Gedung T3 Lt. 2, Kampus Lidah Wetan Surabaya 64732
Telp/Fax. 031-7530865 | E-mail: urna.jurnalsenirupa@yahoo.co.id
urna.jurnalsenirupa@gmail.com | Website: htp://www.urna-jurnalsenirupa.org


ISSN 2301–8135
© 2012 Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya

Gambar sampul depan: Wajah. Lukisan karya Salamun Kaulam (2007).

ISSN 2301–8135
Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105

daftar isi
Artikel:
PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS DALAM
PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

1

Martadi (Universitas Negeri Surabaya)

PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN PRAKTIK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


11

I Nyoman Lodra (Universitas Negeri Surabaya)

NILAI ESTETIKA DALAM KOMODIFIKASI WADAH
DI MASYARAKAT HINDU BALI

21

I Ketut Side Arsa (Institut Seni Indonesia Denpasar)

PROSES APRESIASI DAN KREASI
DALAM TRITUNGGAL SENI

30

M. Sattar (Universitas Negeri Surabaya)

PENGGUNAAN UNSUR-UNSUR BUDAYA BALI

DALAM BOG-BOG BALI CARTOON MAGAZINE

42

I Wayan Swandi (Institut Seni Indonesia Denpasar)

CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA

50

Muhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)

MAKNA SIMBOLIS RAGAM HIAS
PENDAPA TERAS CANDI PANATARAN
Rustarmadi (Universitas Negeri Surabaya)

63

ISSN 2301–8135
Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105


Resume Penelitian:
PERSEPSI GENDER GAMBAR ILUSTRASI
DALAM BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK
PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH DASAR KELAS I – III

76

Asidigisianti Surya Patria (Universitas Negeri Surabaya)

PENGEMBANGAN MEDIA DIGITAL
KRIYA TOPENG MALANG UNTUK PEMBELAJARAN
SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

89

Marsudi (Universitas Negeri Surabaya)

Tinjauan Buku:

BUKU PENTING DI TENGAH
DUNIA SENI RUPA YANG GENTING
Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)

101

PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN PRAKTIK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI)

I Nyoman Lodra

Abstrak: Pola-pola bisnis yang dibangun di Bali sifatnya masih tradisional.
Berupa usaha-usaha yang bergerak berbasis ekonomi, dalam penyediaan
industri pariwisata, seperti: restoran, bungalow (penginapan), hiburan, toko
souvenir (art shop) dan industri kerajinan lainnya. Industri ini memperkerjakan
dengan cara kekeluargaan. Saat ini masih sebagai fenomena-fenomena tersebut
mulai mengarah pada sikap individual, materialistik, sekulerisasi dan bahkan
mungkin ke kapitalis diikuti hegemoni dan berimbas pada permasalahan Hak
Kekayaan Inteletual (HaKI) atau Hak Cipta terhadap produk budaya Bali.
Abstract: Business patern in Balinese culture is build traditionally. It can be seen

in economic tourism business such as: restaurant, hotel, entertainment, art shop and
other craft small industry. This industry employs family. Recently this phenomenon
has shifted into individualistic, materialistic, secularization even into capitalist and hegemony. It leads into copyright problems of local and traditional genius as the products
Balinese culture.
Kata kunci: pengetahuan tradisional, HaKI, hak cipta

Kemajuan teknologi mempercepat arus gelombang globalisasi yang menjadikan dunia ini seolah-olah kecil dan sempit dalam ruang aktivitas, hubungan antar
bangsa, negara, kelompok dan individu sangat mudah dan cepat. Bali boleh dikatakan sebagai daerah global, masyarakat membangun aktivitas kesehariannya yang
mendunia melalui kegiatan-kegiatan industri pariwisata. Dalam konteks pergulatan globalisasi ini telah berakses pada terjadinya perubahan-perubahan ideologi
dan sikap masyarakat Bali. Ideologi masyarakat Bali yang sosial religius, komunal,
dengan lebih mengedepankan kebersamaan kepemilikan, mengedepankan sifat
kespiritualan dalam kegiatan keseharian, dan sosial “ngayah” dalam membangun
hubungan antara sesama individu, masayarakat (gotong royong ). Pola-pola bisnis
yang dibangun masih sifatnya tradisional, di mana usaha-usaha yang bergerak berbasis ekonomi, misalnya dalam penyediaan industri pariwisata, seperti: restoran,

I Nyoman Lodra adalah Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Surabaya. e-mail: nyoman.unesa@yahoo.co.id

11


bungalow (penginapan), hiburan, toko sovenir (art shop) dan industri kerajinan
lainnya dikerjakan dengan cara kekeluargaan.
Globalisasi tidak saja menjadikan pergeseran, perubahan pada nilai-nilai budaya lokal, serta kemudahan, kenikmatan lahiriah, juga memberikan imbas pada
perubahan sistem nilai kemasyarakatan, yang mengarah pada konlik internal,
eksternal, yang bisa saja akan memusnahkan atau menenggelamkan identitas budaya, dan berujung pada penghacuran sebuah nilai etnik (Liliweri: 2005). Bali pada
saat ini sedang mengalami hal serius seperti apa yang disebutkan di atas.
Keterkaitan dengan kasus Hak Cipta yang cukup menggegerkan komunitas
perajin/desainer perak Bali. Pencermatan, pengkajian, analisis oleh para praktisi
hukum, budayawan, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat, kasus Hak
Cipta ini tidaklah sederhana, antara perajin dengan pengusaha pemilik sertiikat
Hak Cipta, tetapi masalah ini sangat kompleks, dan merambah pada wilayah budaya, dalam bentuk “penjajahan budaya” kolonialisme baru (Liliweri: 2005). Kasus
yang banyak diliput dan diakses oleh berbagai media lokal, nasional bahkan internasional, secara faktual telah terjadi pada tahun 2006. Dalam publikasi oleh media
nasional, Radar Bali, melalui kuasa hukum Ancient Modern Art LLC, Putu Kesuma
& Rekan, sangat jelas sekali sertiikat Hak Cipta, perlu dipertanyakan, jika dirunut
dengan sistem yang diacu oleh lembaga HaKI, materi-materi desain seperti bentuk,
motif, ornamen, tidak lagi mengacu pada UU HaKI, No. 19, pasal 10, ayat (1) dan
(2) karena materi yang tersajikan, masih mencerminkan wilayah pengetahuan tradisional (Radar Bali, 8 Agustus 2006).
Begitu juga kasus indikasi pelanggaran Hak Cipta, yang cukup menyita perhatian publik di Bali, yang juga banyak diakses serta menjadi sorotan dunia internasional, hal ini tidak terlepas dari aktor-aktor yang bermain antara digugat dan
yang menggugat, adalah pemeran perdagangan internasional melalui dunia maya
(internet). Seperti kasus I Ketut Dany Ariyasa desainer Lokal (Bali) yang digugat

dengan objek perkara desain motif kulit crocodile oleh, PT Karya Tangan Indah
(KTI) dengan desain motif batu kali (Fajar Bali, 29 April 2008), tidak perlu terjadi
jika para pemerannya berkerja secara profesional. Yang menarik dari kasus HaKI
ini adalah, di mana seorang desainer asing memanfaatkan keunggulan motif, bentuk, ornamen etnis Bali yang dijadikan objek desain. Apakah itu dilakukan dengan
pendekatan adaptif, stilisasi, kolaborasi, modiikasi, maupun secara eklektif, hasil
kerja dekonstruksi desainer dan mendapatkan legalitas Hak Cipta, yang kemudian
Hak Cipta ini diperjual belikan, di kalangan pengusaha asing.
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi pada tahun 1985, berawal dari Desak
Nyoman Suarti, seorang pengusaha perak yang tinggal di desa Pengosekan Ubud,
Bali, Indonesia dan tinggal di Amerika, digugat oleh pengusaha asing yang bernama Rois Hill di Pengadilan Negeri Amerika, dengan objek gugatan desain motif
“Anyaman”. Perkara gugatan ini berawal dari Desak Suarti yang menjual kerajinan
perak dengan motif jenis anyaman, kelabang mantri, kelakat, tikar, bedeng kepada Rois

12 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 11–20

Hill (pengusaha asal Amerika) yang bermarkas di Bali. Oleh pengusaha asing, secara diam-diam konsep desain kerajinan anyaman ini didaftarkan di Amerika dan
mendapatkan Hak Cipta, atas nama pengusaha asing tersebut. Desain kerajinan
perak dengan konsep ayaman itu pun telah menjadi milik warga asing dengan
dilindungi sertiikat HaKI.
Masih di wilayah negara Amerika, Suarti yang masih kental dengan perilaku

budaya Bali, juga menjual kerajinan peraknya, kepada pengusaha asing lainnya,
dengan konsep yang sama. Di sinilah awal mulainya terjadi persengketaan antara
Suarti dengan Rois Hill sebagai pemilik sah atas sertiikat Hak Cipta motif “Anyaman”. Kejadian di mana pada saat transaksi penjualan, Suarti dikejar-kejar seperti
pedagang kaki lima oleh pihak keamanan di Amerika, karena dilaporkan dan dituduh melanggar Hak Cipta. Suarti seorang perempuan Bali, yang ada di Negeri
Amerika, digelandang dan diadili, dengan kasus pelanggaran Hak Cipta. Di sidang
pengadilan Suarti digugat oleh pengusaha asing tersebut dengan tuduhan pelanggaran HaKI, yaitu penjiplakan desain kerajinan perak dengan konsep “Anyaman”.
Mersasa sama-sama memiliki hak atas konsep desain anyaman, perseteruan
antara Suarti (pengusaha lokal) dengan oknum pengusaha asing, yang bermarkas
di Bali tak terhindarkan. Pengusaha asing yang merasa berhak atas desain konsep
ayaman, diperkuat dengan sertiikat Hak Cipta, sedangkan Desak Nyoman Suarti
dengan paham bahwa konsep anyaman itu adalah milik leluhur masyarakat Bali,
dan siapun berhak memakainya. Perkara tuduhan pelanggaran Hak Cipta menjadi
istimewa, dan menjadi isu dunia internasional lantaran sidang gugatan terjadi di
pengadilan Negeri Amerika, sedangkan yang digugat hanya seorang perempuan
desa dari Bali, dengan profesi perajin.
Suarti merasa yakin bahwa karya desain kerajinan peraknya adalah murni
kreasi kreativitasnya sendiri yang berlandaskan pada konsep “anyaman“ (bambu,
tikar, kelakat, kelabang mantri). Dengan penuh keyakinan bahwa anyaman yang
diperkarakan, adalah nilai-nilai budaya tradisional, sebagai warisan nenek moyang
orang Bali, dan bisa dimanfaatkan oleh siapapun, dan tidak boleh diklaim sebagai

milik pribadi/kelompok. Walaupun Suarti sangat buta dan tidak tahu tentang apa
yang tercamtum dalam UU HaKI, yang telah direvisi menjadi UU HaKI, No. 19,
tentang Hak Cipta, pada pasal 10, ayat (1) dan (2) tahun 2002. Suarti oleh orang
asing dijuluki sebagai “Srikandi” dari Bali, dengan gagah berani menantang dan
melawan Rois Hill, pengusaha asing yang bermaksud mengangkangi nilai-nilai
tradisional Bali tersebut. Perlawanan sengit “Srikandi Bali” di Pengadilan Negeri
Amerika akhirnya dimemenangkan oleh Suarti. Sidang pengadilan negeri di Amerika, memutuskan bahwa desain konsep anyaman sepenuhnya milik msayarakat
Bali dan tidak bisa diklaim sebagai milik individu/kelompok. Sertiikat HaKI atas
nama pengusaha asing tersebut dibatalkan demi hukum, dan Desak Nyoman Suarti (pengusaha dari Bali) dibebaskan dari segala tuntutan hukum (wawancara, 16
Juni 2008, di Ketewel, Bali).

I NYOMAN LODRA, Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan… •

13

Kasus-kasus pelanggaran HaKI tersebut di atas, oleh Agus Sarjono (2006)
merupakan suatu releksi dari ilsafat hidup, di mana negara-negara maju yang
mengusung HaKI punya pemikiran bahwa pengetahuan tradisional sebagai public
domain, sehingga siapa saja bebas untuk mengeksploitasi dan mengkomersilkan
untuk kepentingan pribadi, dengan mengedepankan individualisme dan kapitalisme, kemudian mewujudkan gagasan untuk melindungi sebagai hak individu.
Sedangkan di Bali, mengusung nilai-nilai kebersamaan dan tidak berorientasikan
nilai materialistis semata-mata, melainkan juga spritualisme, dengan gagasan hidup
bersama, dengan demikian pengetahuan tradisional sebagai milik masyarakat,
yang tidak boleh diklaim oleh individu/kelompok.
Dalam konvensi World Intelectual Property Organization (WIPO) pada tanggal
2–3 Desember 2008, diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia yang dihadiri
oleh bebera delegasi dari masing-masing negara yang masuk dalam organisasi ini.
Negara maju diwakili oleh Sally Basser, dari Camberra Australia, Luoyong, dari
Beijing Cina dan dari negara berkembang (delegasi Indonesia) diwakili oleh Edi
Sedyawati, Safron Rasyidi, Gunarsa, Ibu Abin. Ada masalah yang masih mempertanyakan tentang pandangan terhadap Pengetahuan Tradisonal dan Ekspresi
Budaya Tradsional, masih menjadi bahan perdebatan dengan perbedaan paham,
ada yang menganggap sebagai Comunal Right dan sebagaian menganggap sebagai
Individual Right. Dalam perdebatan tentang pengakuan pemahanan pengetahuan
tradisional (PT) dan Ekpresi Budaya Tradisional (EBT). Dari delegasi negara maju
tetap tidak menghiraukan tentang, hak sebagai comunal right, yang tercamtum dalam UU Hak Cipta, pasal 10 ayat (1) dan (2).
Pertimbangan lain, perbedaan budaya menjadikan masalah yang perlu menjadikan rujukan, seperti tereleksi dalam cara pandang masyarakat terhadap HaKI,
semestinya menjadikan bahan kajian yang sepatutnya dicermati oleh lembaga
terkait termasuk HaKI dalam memutuskan dan menerbitkan sertiikat Hak Cipta.
Kesalahan oleh lembaga terkait dalam peng-Hak Ciptaan akan berdampak buruk
pada kehidupan pengerajin, desainer dan kelestarian budaya.
Bila dikorelasikan antara kebiasan pemahaman masyarakat Nasional, Internasional, tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, Kasus Suarti, I Ketut Dany Ariyasa, sangat wajar terjadi, karena tidak ada ketegasan
(konvesi) dan kesamaan pemahaman. Dari data-data empirik, pada masa mendatang pengerajin-pengerajin, desainer kerajinan perak menunggu antrian digugat
(analisis arsip desain, yang telah tersertiikat). Ini suatu bukti sebagai dampak dari
kurang cermatnya lembaga terkait dalam pemahaman UU HaKI, No 19, tahun 2002,
tentang Hak Cipta. Bila sampai terjadi, Ini sebagai musibah besar bagi pengerajin/
desainer, karena tidak ada lagi kebebasan dalam berkreasi kreatif, sebagai konsekuensi penghormatan pada hak cipta orang lain.
Pengetahuan tradisional sebagai kekayaan dan aset daerah yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tertuang dalam UU Hak Cipta, pada

14 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 11–20

pasal 10, ayat (1) dan (2) (Riswandi, 2005). Untuk meminimalisir permasalahan
HaKI, sangat segera dibutuhkan formulasinya, mengingat dari sedikit rekap data
tentang kajian konsep desain kerajinan perak Bali, tampaknya tidak sedikit yang
masuk dalam wilayah pelanggaran Hak Cipta. Dengan demikian pada tahuntahun mendatang nampaknya kasus gugat-menggugat masih berpotensi mewarnai kehidupan masyarakat pengerajin perak di Bali. Jika permasalahan HaKI ini
dibiarkan terjun bebas baik oleh pemerintah, lembaga terkait, maupun masyarakat
Bali itu sendiri, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi marjinalisasi pengerajinpengerajin Bali. Meskipun sudah ada Udang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, untuk menghindari perlakuan yang sama terhadap pengetahuan
tradisional Bali, lembaga-lembaga terkait perlu mencarikan solusi atau alternatif
perlindungan pengetahuan tradisional.
PRAKTIK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI)
Lembaga profesional yang berhak untuk memutuskan boleh dan tidaknya
pendaftaran Hak Cipta adalah lembaga HaKI, yang ada di masing-masing daerah,
dan perguruan tinggi, seperti di Dinas Perdagangan Kabupaten, Dinas Perdagangan Provinsi dan di Sentral HaKI UNUD, ini sebagai kepanjangan tangan Lembaga
Dirjen HaKI di Jakarta. Mulai dari sistem proses pendaftaran, inventori data yang
dipakai untuk mengevaluasi akurasi data yang masuk (menerima/menggugurkan)
tidak ada. Begitu juga dalam lembaga HaKI yang ada di Dinas Perdagangan Kabupaten Gianyar, sama sekali tidak ada inventorisasi data-data yang nantinya dipakai
untuk meloloskan/menggurkan pendaftar Hak Cipta (Wawancara dengan Kepala
Dinas Perdagangan Kab. Gianyar: Bapak Suamba, pada tgl 29 Nov 2008). Tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada Dinas Perdagangan Provinsi
Bali, karena data biasa didistribusikan dari masing-masing daerah Kabupaten. Jika
lembaga-lembaga yang berkompeten tentang HaKI, seperti hal tersebut diatas,
tidak ada data yang akurat untuk mengevaluasi pendaftar Hak Cipta, sudah jelas
sertiikat yang dikeluarkan penuh kontroversi.
Ketidaksiapan lembaga HaKI ini jelas memunculkan pergolakan dan pergulatan yang berkaitan dengan masalah adanya indikasi pelanggaran hukum oleh
masyarakat pengerajin Bali, khususnya pengerajin perak, pada tahun-tahun mendatang akan terjadi lebih banyak dan kompleks. Karena ada indikasi kecenderungan pengusaha, desainer asing berlomba memanfaatkan kelemahan-kelemahan
lembaga ini dan pada masyarakat pengerajin, yang tidak peduli dengan hak cipta.
Mungkin masyarakat pengerajin belum banyak tahu dalam pemahaman tentang
HaKI, atau mungkin karena disebabkan hal seperti banyak biaya, sistem birokrasi
yang panjang dan berbelit. Di samping itu yang juga menjadi sebuah kelemahan
dari lembaga adalah mungkin minimnya data-data yang bisa dipakai rujukan (inventarisasi data), dalam mengambil keputusan, sehingga apa yang menjadi keputusan menyangkut penerbitan sebuah sertiikat menjadi kontroversial.

I NYOMAN LODRA, Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan… •

15

Dari hasil pengamatan, pengkajian dan pemahaman terhadap beberapa desain kerajinan perak yang telah dipublikasikan sebagai pemegang sertiikat Hak
Cipta, akan banyak memunculkan masalah yang ujung-ujungnya akan tetap merugikan masyarakat pengerajin Bali. Dalam kajian sebuah desain, tidak bisa dilihat
secara parsial, harus dilihat secara utuh, mulai dari elemen dasar (garis, tone, ruang,
warna, balance), bagaiamana latar belakang konsep penciptaan, wujud visual dan
aplikasinya.
Untuk membedah dan mengkaji suatu desain apalagi telah dilindungi hak
cipta, harus ada pisau pembedah, siapa pembedahnya, dan bagaimana membedahnya. Seperti beberapa desain kerajinan perak yang diklaim sebagai milik perusahan
asing pada penguasaan motif, bentuk, ornamen yang masih sangat kental dengan
karakteristik dari salah satu nilai-nilai budaya tradisional. Untuk menjernihkan
permasalahan desain tersebut, ahli bedahnya harus seorang yang profesional dan
netral, dilihat mulai dari bagaimana konsep ilosoi desain, bagaimana bentuk visual dari sebuah desain, bagaimana kajian: motif, bentuk, dan ornamennya. Dari
hasil kajian-kajian desain yang utuh akan ditemukan jati diri dari sebuah desain,
apakah hasil ciptaan ini original atau jiplakan akan kelihatan jelas.
Keteledoran dan kurang cermatnya lembaga terkait dalam keputusan menerbitkan sertiikat Hak Cipta, menjadikan masalah bagaimana kelanjutan dari sebuah
identitas budaya, etnisitas dan akan berujung pada sebuah kemusnahan budaya
(Ardika: 1999). Tidak cukup pada masalah kehilangan identitas budaya etnik atau
kemusnahan budaya, ketidakcermatan penerbitan sertiikat Hak cipta, memunculkan permasalah baru bagi pengerajin Bali, yang ujung-ujungnya bisa menyeret
mereka ke ranah pelanggaran Hak Cipta dan tidak tertutup kemungkinan terseret
ke meja pengadilan.
Peng-Hak Cipta-an motif, bentuk, ornamen tradisional tidak sejalan dengan
konsep pemikiran Mantra (1996) tentang kreativitas. Meminjam konsep pemikiran
Mantra: untuk menjadi manusia maju dan dihormati bila bisa menunjukkan kreativitas budaya yang tinggi, dan menganjurkan nilai tradisional diacu sebagai landasan dasar kreasi kreatif. Konsep pemikiran ini bermakna mengajak masyarakat
untuk berlomba berbuat sesuatu yang baru dan menghindari budaya plagiat, dengan demikian konsep pelestarian, pengembangan budaya tradisional akan berjalan
dengan baik. Praktik peng-Hak Cipta-an desain kerajinan perak oleh orang asing
seperti tersebut di atas yang lebih banyak merugikan masyarakat pengerajin Bali,
yang masih kental dengan konsep “menyama braya”.
Konsep pemikiran “menyama braya” ini pun masih relevan dengan isi dari
UU Hak Cipta, sebagaimana yang dituangkan dalam ketentuan pasal 10 ayat (1)
dan (2) yang menyatakan: (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan
prasejarah,sejarah dan budaya nasional lainnya; (2) Negara memegang hak cipta
atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadikan miliki bersama seperti
ceritra, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan dan karya seni

16 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 11–20

an hukum dalam bentuk Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Perlindungan hukum
pengetahuan tradisional di Indonesia sangatlah penting dan harus dilaksanakan,
dengan alasan: (1) adanya potensi keuntungan ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional, (2) keadilan dalam sistem perdagangan dunia,
dan (3) perlunya perlindungan hak masyarakat lokal.
Bali sebagai daerah lintas global, kaya dengan khasanah budaya lokal perlu
dan wajib untuk ikut sistem perdagangan dunia dengan payung perlindungan hukum HaKI. Melihat permainan sistem perdagangan dunia (WTO), lembaga HaKI
Bali menjadi organisasi yang menempati posisi sangat penting. Maka dari itu lembaga ini harus memiliki kapabilitas yang mumpuni, profesional dan punya sistem
jaringan data baik material maupun non material.
Adanya banyak kasus tentang Peng-HaKI-an pengetahuan tradisional seperti
yang dijelaskan di atas, berpeluang memunculkan masalah baru bagi masyarakat
pengerajin, pengusaha dan pelaku budaya Bali. Di era globalisasi, kita tidak mungkin menolak aturan perdagangan internasional, dengan peyertaan HaKI, untuk itu
perlu adanya pemilahan yang jelas tentang pengetahuan tradisional, seperti apa
yang terjabarkan pada Undang-undang Hak Cipta. Nampaknya masih ada kelemahan pada perlindungan pengetahuan tradisional, sehingga dimanfaatkan oleh oknum pencari HaKI. Sebaiknya agar lebih amannya perlu dilengkapi dengan aturan
lain, sejenis: Perda/Peraturan Pemerintah (PP). Atau mungkin sejenis rekomendasi
bersama dari lembaga terkait, seperti dari Dinas Industri dan Perdagangan, Dinas
Kebudayaan dan Kejaksaan, yang diketahui oleh pemerintahan kabupaten/kota.
DAMPAK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI)
Konsekuensi penerapan praktik Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk
masyarakat pengerajin, pengusaha, bisa menjadi sebuah wujud kenyamanan
(positif) dan bisa juga memunculkan kegelisahan dan malapetaka (negatif). Dalam
perdagangan dunia, Indonesia khususnya Bali, patut mengikuti sistem yang disepakati oleh negara-negara yang menjadi anggota World Trade Organization (WTO),
yang dimotori oleh negara-negara maju. Di mana setiap produk dilengkapi dengan
sertiikat Hak Cipta yang dikeluarkan oleh lembaga HaKI, sebagai bentuk nyata
yang tidak bisa ditawar-tawar, jika mau aman dan mendapat perlindungan hukum
internasional. Dampak lain dari perlindungan hak cipta adalah pengerajin, pengusaha lebih nyaman dan tidak ada kekhawatiran terjadinya plagiarisme.
Kesalahan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga terkait, seperti HaKI,
dalam proses peng-Hak Cipta-an akan berdampak langsung pada kehidupan dan
masa depan pengerajin, desainer, pengusaha dan kebudayaan Bali, karena masa
ikatan Hak Cipta sampai 50 tahun. Bercermin pada kasus digugatnya Desak Nyoman Suarti, I Ketut Deny Ariyasa, dan beberapa bentuk desain yang telah memiliki
sertiikat hak cipta, seperti yang telah diuraikan diatas, menunjukan masih ada
celah kelemahan lembaga terkait yang mengeluarkan sertiikat.

18 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 11–20

Seperti kita ketahui salah satu pilar tumpuan ekonomi masyarakat Bali adalah
Pariwisata, pilar ini akan selalu dibarengi oleh pemodal-pemodal yang bisa mempermainkan arah kebijakan, yang oleh Karl Marx disebut dengan kaum kapitalis
(Barker, 2008: 62 ). Pengerajin-pengerajin sebagai tenaga upahan, sebagai pekerja
yang tidak memiliki kekuatan, menolak apa yang menjadi kebijakan kaum pemodal. Nilai tawar pengerajin-pengerajin Bali sangat rendah di hadapan para pemodal yang telah mengangkangi kekayaan budaya milik nenek moyang orang Bali,
dengan kemasan Hak Cipta. Gramsci (dalam Barker, 2008: 14) mengatakan bahwa
kaum kapitalis akan selalu diikuti oleh binatang “hegomoni”, pengerajin tidak
punya kekuatan apa-apa untuk menolak, terjadi subordinat melalui kekuatan dan
persetujuan. Kekuatan kaum kapitalis ini selain bermodalkan pada inansial yang
besar juga pada sertiikat Hak Cipta, yang prosesnya masih perlu dipertanyakan.
Konsep pengerajin dan desainer Bali berkreasi kreatif secara umum berlandaskan pada nilai-nilai budaya tradisional. Sedangkan yang menjadi objek kreasi
para pengerajin dan desainer terindetiikasi telah banyak diikat oleh hak cipta, dengan konsekuensi pada hukum, maka sangat tidak mungkin konsep ini akan bisa
berlanjut. Hal ini sudah sangat gawat dan darurat, pemerintah, lembaga terkait,
dan masyarakat pengerajin, harus duduk bersama sesegera mungkin untuk menemukan, solusinya. Kalau tidak segera ditindak lanjuti, Bali akan kehilangan
nilai-nilai budaya tradisional, yang merupakan jati diri orang Bali. Dengan begitu,
kaum kapitalis akan semakin berkuasa dan berjaya, dan masyakat pengerajin akan
semakin terhegomoni dan termarjinalkan di kampungnya sendiri. Keterikatan dan
ketergantungan masayakat pengerajin Bali dalam proses kreasi kreatif terhadap
kaum kapitalis sebagai pemegang hak cipta nilai-nilai tradisional budaya Bali,
menjadikan kita sebagai masayakat terjajah atau bisa dikatakan sebagai bentuk
“penjajahan budaya” (newcolonial ).
Pemaparan uraian di atas, beberapa rumusan permasalahan yang muncul
berkaitan dengan “Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Praktik Hak Kekayaan Intelektual” seperti pemahaman masyarakat Internasional, Nasional dan
Regional tentang Pengetahuan Tadisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, masih
sangat bias, dan cendrung diabaikan. Lembaga-lembaga HaKI, terkesan kurang
siap, tidak ada inventorisasi data untuk mendukung sebagai alat mengevaluasi setiap pendaftar Hak Cipta. Produk-produk HaKI, berupa hak cipta, khusunya pada
kerajinan perak Bali, sangat kontrovesial dan mengundang permasalahn hukum.
Dari semiloka di LPM UNUD, berhasil mengidentiikasi permasalahan masyarakat
pengerajin dan seminar di Kabupaten Gianyar, yaitu dihasilkan model perlindungan pengetahuan tradisional dan ekpresi budaya tradisional, sejenis Perda/PP,
yang dikeluarkan besama lembaga terkait.
KESIMPULAN
Perlindungan pengetahuan tradisional dan praktek Hak Kekayaan Intelektual

I NYOMAN LODRA, Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan… •

19

(HaKI) dan permasalahan produk-produk HaKI di Bali, banyak mengundang kontroversial masyarakat, khusunya pengerajin dan desainer perak Bali, bisa ditarik
suatu kesimpulan bahwa masyarakat (perajin) masih sangat awam mengenai arti
penting hak cipta sebuah desain. Lembaga terkait dalam hal ini mungkin lembaga
HaKI, Perdagangan, Kebudayaan, Perindustrian perlu membentuk suatu sistem
jaringan sehingga proses percepatan pemahaman masyarakat tentang HaKI,
bisa terealisasi. Perlu adanya penjabaran lebih konkrit dan pembuatan peraturan
daerah (Perda) yang berkaitan dengan materi yang termuat pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pengetahuan tradisional. Permasalahan hak cipta ini muncul
karena akibat dari penerbitan sertiikat hak cipta yang kurang transparan. Dampak
dari kasus-kasus pelanggaran hak cipta sangat meresahkan dan menakutkan
masyarakat pengerajin perak Bali, yang pada ujungnya produktivitas kerajinan
perak Bali menjadi terganggu.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika,Wayan. 1989. Dinamisme Kebudayaan Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies. Yoyakarta: Kreasi Wacana.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konlik. Yoyakarta: LKiS.
Mantra, IB. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Sardjono, Agus. 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: PT
Alumni.
Riswandi, Agus Budi. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT Raja
Graindo.
Bali Post (2008, 29 April). Sidang Pelanggaran Hak Cipta Jangan Korbankan Desainer Lokal.
Fajar Bali (2008, 29 April). Kantongi Sertiikat Hak Cipta, Malah Didakwa Melanggar.
Radar Bali (2006, 8 Agustus). Pengumuman dan Peringatan Hak Cipta dan Desain Industri.
Wawancara dengan Suamba. Gianyar, 29-11-2008.
Wawancara dengan Suarti. Ketewel, 16-6-2008.

20 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 11–20