Analisis SWOT

4. Pengembangan Pusat Riset Mangrove

a. Pengembangan Laboratorium Mangrove

b. Kawasan Kebun Botani Mangrove

c. Pendidikan Mangrove

d. Herbarium Mangrove

e. Penyediaan dan pengembangan pusat informasi mangrove (data, brosur, web site, pembuatan buku)

5. Nilai Ekonomis Mangrove

Fungsi hutan mangrove secara ekonomis di antaranya adalah hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, bahan makanan, tanin dan lain-lain, sumber bahan bakar (arang dan kayu bakar). Nilai kalori yang terdapat pada arang kayu Rhiaophera mucronata sebesar 7.300 kal/g. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue, et al., 1999 dalam Anwar dan Gunawan, 2006). Sementara itu di Sulawesi Selatan harga arang bakau satu kantong plastik (ukuran 35 x 45) cm mencapai Rp 15.000,00. Pengembangan bahan makanan, obat dan bahan komersial mangrove:

a. Eksplorasi bahan-bahan bermanfaat dari mangrove – Penelitian

b. Pengembangan bahan makanan dan minuman olahan dari mangrove

c. Pengembangan bahan obat dari mangrove

d. Eksplorasi kandungan kimia mangrove

6. Pengembangan Mangrove Secara Kearifan Lokal

prinsip kearifan lokal menjadi dasar bagi pengelolan dan pengembangan Mangrove yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Pola pengelolaan budidaya mangrove harus dilihat sebagai pola pengelolaan ekosistem secara utuh, karena pada hakekatnya di alam ada interaksi alamiah yang tidak terpisahkan satu sama lain, inilah yang disebut keseimbangan. Intensifikasi budidaya harus mampu memegang prinsip kesimbangan dan nilai-nilai lestari dengan mengadopsi prinsip-prinsip kearifan lokal. pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal memberikan wewenang, tanggungjawab dan prinsip kearifan lokal menjadi dasar bagi pengelolan dan pengembangan Mangrove yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Pola pengelolaan budidaya mangrove harus dilihat sebagai pola pengelolaan ekosistem secara utuh, karena pada hakekatnya di alam ada interaksi alamiah yang tidak terpisahkan satu sama lain, inilah yang disebut keseimbangan. Intensifikasi budidaya harus mampu memegang prinsip kesimbangan dan nilai-nilai lestari dengan mengadopsi prinsip-prinsip kearifan lokal. pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal memberikan wewenang, tanggungjawab dan

Masyarakat di sekitar hutan mangrove memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan berupa hasil hutan kayu dan hasil perikanan. Hasil kayu hanya digunakan masyarakat untuk kayu bakar, sebagai bahan bangunan dan untuk pembuatan bagan. Sedangkan hasil perikanan seperti : ikan, udang dan kepiting dijual dan sebagian dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian hasil hutan mangrove cukup memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan keluarga masyarakat di sekitar hutan mangrove.

Pelaksanaannya dapat juga dilibatkan LSM bersama perangkat desa, tokoh umat dan tokoh masyarakat/adat dan juga peneliti. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan direhabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat . Dengan demikian masyarakat merasa memiliki andil dalam kegiatan tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan hanya sebagai pekerja tetapi juga merasa memiliki (sense of belonging).

Terbukanya akses masyarakat pesisir lokal akan membuat masyarakat menyadari arti pentingnya pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Dalam melakukan pengelolaan lingkungan laut, Provinsi Aceh memilki tradisi lokal dengan adanya suatu kelembagaan adat Panglima Laot. Pangkima laot menerapkan nilai dan konsep kearifan lokal. Konsep kearifan lokal tersebut hingga kini masih tetap dipertahankan.

Lembaga Panglima Laot berkedudukan di wilayah laut dan berfungsi mengatur pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut. Selain itu, Panglima Laot juga berfungsi membantu pemerintah daerah dalam mensukseskan pembangunan perikanan, melestarikan adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat nelayan. Dalam melaksanakan fungsinya, panglima laot mempunyai tugas, antara lain: memelihara dan mengawasi

Pemberdayaan Masyarakat pesisir lokal Dalam Konservasi Mangrove:

a. Pelatihan dan Penyuluhan Kepada Masyarakat secara berkelanjutan

b. Pemberian informasi-informasi melalui berbagai media

c. Melibatkan secara aktif masyarakat dalam menjaga mangrove

d. Pembuatan pos-pos pemantauan mangrove d. Pembuatan pos-pos pemantauan mangrove

f. Pembuatan Dermaga Hilir Mangrove

g. Peningkatan Pengolahan Produk dari Mangrove

7. Model Tambak Silvofishery Kawasan Mangrove

Mangrove merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia serta ikan pemakan plankton. Mangrove mempunyai peran penting bagi masyarakat dan kehidupan di daerah sekitar pantai. Daun dan ranting pohon mangrove yang gugur didekomposisi oleh mikroorganisme.

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.

Akar dan batang pohon serta ranting-ranting mangrove sebagai tempat berlindungnya benur dan nener yang pada saat air pasang oleh petani tambak didorong masuk ke dalam tambak, beberapa nelayan juga menangkapnya sebelum masuk tambak. Masyarakat juga memanfaatkan lahan di dalam hutan mangrove sebagai “tempat jebakan” dengan membuat kubangan di tanah yang berfungsi sebagai penjebak kepiting (Harahab, 2010).

konsep Silvofishery juga mampu mengintegrasikan potensi kelautan dan perikanan yang menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam (eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya.

V. Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Mangrove

Rantai nilai komoditas mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomis yang memliki peran dalam pembangunan berkelanjutan. Rantai nilai mangrove dapat berperan dari sisi bisnis untu pemasukan daerah dan menjaga keseimbangan lingkungan. Berikut ini analisis rantai nilai komoditas mangrove dengan berbagai vegetasi

Rantai nilai komoditas mangrove dengan berbagai pemanfaatan. Pengembangan mangrove dapat berdampak bagi lingkungan pesisir-laut yang berperan bagi budidaya perikanan (tambak) dan perikanan tangkap. Nilai ekonomis mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk bisnis makanan, obat-obatan, dan souvenir. Nilai kemanfaat secara berkelanjutan dapat memadukan konsep bisnis eco-tourism, kelestarian lingkungan, dan mencegah abrasi pantai. Beberapa negara berkembang mulai mengembangkan kawasan Rantai nilai komoditas mangrove dengan berbagai pemanfaatan. Pengembangan mangrove dapat berdampak bagi lingkungan pesisir-laut yang berperan bagi budidaya perikanan (tambak) dan perikanan tangkap. Nilai ekonomis mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk bisnis makanan, obat-obatan, dan souvenir. Nilai kemanfaat secara berkelanjutan dapat memadukan konsep bisnis eco-tourism, kelestarian lingkungan, dan mencegah abrasi pantai. Beberapa negara berkembang mulai mengembangkan kawasan

Gambar 10. Rantai Nilai Komoditas Mangrove

Jenis Non

Jenis Kayu

Serasah daun,akar dan ranting

abrasi&penyusupan laut ke daratan

Cangkang

Bahan Bakar Biota Laut

Eco Tourism

Makanan/Obat-

obatan

Fotositesis

Arang kayu laut

Kelenjar

Wisata

Kerajinan tangan garam

alam&Tempat

(fitoplankton

Berkumpul marga

kal/g

pemijahan/ Pulp&kertas

bertelur

Bahan (spawning alkohol

Aegiceras, Acanthus

Karbon, Nitrogen,

Hiasan dinding,

Detritus, sulfur,

souvenir, kancing

mineral

Unsur hara

pakaian

Jaringan sistem akar sumber makanan

penyuburan perairan&

nutrien larva.

Sampah

daun&ranting feeding ground.

Keterangan: : Konsep Blue Economy The logis of ecosystem : Konsep Blue Economy Learning from Nature : Konsep Blue Economy Innovations : Mangrove

Gambar 11. Rantai Makanan Mangrove Terhadap Biota Laut (Anwar,2006)

5.1. Pengembangan Mangrove Berbasis Blue Economy

Blue economy memiliki potensi dalam paradigma pembangunan baru dengan menerapkan model pengembangan bisnis yang mengsinergikan antara pertumbuhan, pembangunan dan lingkungan, sehingga prinsip blue economy dinilai tepat dalam membantu dunia untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, ekosistem laut yang kian rentan terhadap dampak perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming). Prinsip blue economy perlu ditindaklanjuti melalui beberapa pendekatan, antara lain : mensinergikan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir dengan ketahanan pangan, strategi pembangunan ekonomi dan sosial, serta mendorong transisi ekonomi, pasar, industri dan masyarakat menuju pola yang lebih berkelanjutan terhadap penggunaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari waktu ke waktu.

VI. Tahapan-Tahapan Pembangunan Postur Ekonomi Wilayah Pesisir Bagi Pengembangan Mangrove

Kebijakan pembangunan prasanan wilaah pesisir perlu dilakukan dengan tiga pendekatan pokok, yaitu:

1. Pembangunan berbasis sumberdaya lokal (Local Resources Based Development) pengembangan mangrove yang strategis dan mempunyai nilai ekonomis penting, perlu diketahui stock assesment sehingga pemanfaatan sumberdayanya tidak melampaui daya dukung lingkungan.

2. Pembangunan berbasis masyarakat (Commonity Based Development). Masyarakat kawasan pesisir dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal, lestari dan berkelanjutan. Dalam community based lebih diarahkan pada kegiatan dan kemampuan untuk modal sosial pengembangan mangrove.

3. Pembangunan berbasis pasar (Market Based Devolepment) . Hasil dari pemanfaatan mangrove berdasarkan rantai nilai harus dioptimal, lestari dan berkelanjutan diarahkan untuk dapat dipasarkan keluar daerah maupun eksport melalui kerja sama dunia usaha untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat serta peningkatan pendapatan anggaran daerah dan devisa

Gambar 12. Tahapan Membangun Postur Daerah

Membangun klaster industri

Mengembangkan portofolio industri

Membangun kebijakan perdagangan

Mengembangkan kebijakan ekonomi makro

Mengembangkan prasarana

Mengembangkan kelembagaan

6.1. Membangunan Klaster Industri

Tahapan membangun postur strategis pengembangan mangrove harus diawali dengan perncanaan yang matang. Seperti dalam pembahasan di awal, pengembangan mangrove yang berkelanjutan memiliki nilai ekonomi yang prospektif, ramah lingkungan, dan menempat basis sosial-budaya masyarakat lokal sebagai modal pembangunan.

Membangun klaster industry untuk kawasan mangrove perlu dilakukan dengan pembagian wilayah-wilayah pengembangan komoditas. Selain potensi mangrove dalam rantai nilai bermanfaat untuk sektor perikanan, kelautan, dan lingkyangan, mangrove juga memiliki nilai ekonomi industrial yang tinggi serta berpotensi secara multiplier effect mengembangkan sektor pariwisata. Pengembangan industri dengan membagi dalam kluster- kluster wilayah dapat menjadikan pengembangan mangrove lebih terpadu, menyentuh berbagai sektor, dan integrasi pengembangan bisnis industri (vertikal-horizontal). Potensi mangrove sektor indusri dapat berperan untuk makanan, obata-obatan, perhiasan (souvenir), dan arang kayu. Manfaat membangun kluster industri mangrove antara lain:

1. Fokus pembangunan berkelanjutan: adanya pembagian kluster industri, dapat menfokuskan pengembangan mangrove wilayah pesisir sesuai potensi dan perencanaan strategis berdaasarkan ekonomi, sosial, lingkungan.

2. Membuka sektor lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat pesisir: industri loka rumah tangga, pengumpul hasil, dan pemandu wisata,

3. pengembangan teknologi dan inovasi pada wilayah pesisir: masyarakat akan terberdayakan dalam pengembangan komoditas mangrove melalui teknologi dan inovasi. Selama ini mangrove hanya dimanfaatkan untuk biota laut dan mencegah abrasi pantai, adanya kluster industri akan meningkatkan industri rumah tangga wilayah pesisir.

4. Penciptaan industri pendukung di luar core industries: kluster industri wilayah pesisir akan ikut mengembangkan sektor pariwisata melalui konsep eco-tourism.

Gambar 13. Kluster Industri Mangrove Secara Vertikal

1. Kayu arang

1. Ecotorism pantai

2. Bahan alkohol

4. Yodium (garam)

3. Pulp dam kertas

Vertikal Relationship

Gambar 14. Kluster Industri Mangrove Secara Horizontal

Horizontal relationship

hiasan dinding kancing

6.2. Mengembangkan Portofolio Industri

Pada tahapan portofolio industri, daerah harus mampu mengidentifikasi potensi dari pengembangan industri dan menyusus stategi dengan tahapan-tahapan yang ingin di capai.

Gambar. 15 Portofolio Industri Mangrove

1. Potensi wilayah pesisir Aceh :panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km².

2. Potensis rantai komoditas mangrove untuk sektor industri belum tergarap

3. Adanya Program rehabilitasi mangrove pasca Gempa-Tsunami

1. Pengembagan Kawasan Minapolitan

2. Green economy dan blue economy

3 Industri rumah tangga mayarakat wilayah pesisir pantai

4. pariwisata berbasis eco tourism

1. Penyuluhan masyarakat wilayah pesisir dan

2 Diversifikasi komoditas mangrove untuk ekologi, budidaya tambak, dan industri.

3. Promosi souvenir

4. rantai tata niaga hasil industri

Berdasarkan bagan diatas, portoflio industri mangrove berpotensis besar untuk dikembangkan secara lebih luas. Nilai ekonomi yang didapatkan dari diversifikasi pengembangan komoditi mangrove dapat memperkuat persaingan. Untuk masuk dalam tahapan tersebut, Aceh perlu melakukan skala prioritas dari pengembangan mangrove. Potensi yang kaya akan hasil laut dan wilayah pesisir yang luas, menjadikan Aceh mampu dikategorikan sebagai provinsi yang memiliki kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan. Program rehabilitasi ekosistem mangrove sudah di kembangkan di beberapa wilayah pesisir dan harus teteap dilanjutkan dengan perawatan yang baik.

Potensi besar mangrove dapat memperkuat bergaining position sebagai kawasan minapolitan, pengembangan green economy, dan blue economy. Selama ini mangrove lebih di arahkan pada sektor perikanan budidaya dan perikana tangkap untuk biota laut. Potensi sektor industri bisa dikembangkan melalui industri rumah tangga untuk membangkitkan perekonomian masyrakat wilayah pesisir. Penguatan daya tarik industri dapat dilakukan dengan pengembangan sektor eco-tourism pantai. Kemampuan berkompesiti masih lemah karena masyarakat belum terbiasa dengan sektor industri rumah tangga mangrove dan belum mendapat pengetahuan yang memadai. Untuk itu kemampuan berkompetisi harus didorong melalui tahapan penyuluhan dan pelatihan industri rumah tangga.

Formulasi visi industri untuk tahap awal ialah pemanfaatan dan pengelolaan SDA, lokasi, dan SDM pada sektor rumah tangga (industri kecil). Pemberdayaan masyarakat pesisir menjadi kunci dalam pengembangan portofolio tahap awal. Setelah dilakukan pemberdayaan, masyarakat akan terdorong melakukan divesifikasi usaha mangrove. Pemerintah daerah harus mampu menggandeng sektor bisnis dan swasta untuk Promosi industri. Strategi promosi yang jitu akan mendorong investor untuk membuka industri menengah untuk membentuk rantai tata niaga pda sektor-sektor usaha. Rantai tata niaga akan dapat berguna untuk menambah value added dari industri mangrove dan pengembangan pada skala besar (market boundary). Strategi pendukung program pengembangan dapat dilakukan dengan Market simulation, yaitu penyediaan infrastruktur dan prasarana dan insentifif untuk industri rumah tangga pesisir

6.3. Mengembangkan Kebijakan Perdagangan

Kebijakan perdangan dibangun dengan melihat posisi kuadran daya saing-wealth dan orientasi pengembangan bisnis. Berdasarkan kuadran daya saing-wealth, Aceh berada dalam posisi kuadra II yaitu potensi kekayaan alam besar namun daya saing lemah. Orientasi kebijakan perdagangan dapat dilakukan dengan mix strategies orientasi keluar menuju Kebijakan perdangan dibangun dengan melihat posisi kuadran daya saing-wealth dan orientasi pengembangan bisnis. Berdasarkan kuadran daya saing-wealth, Aceh berada dalam posisi kuadra II yaitu potensi kekayaan alam besar namun daya saing lemah. Orientasi kebijakan perdagangan dapat dilakukan dengan mix strategies orientasi keluar menuju

St rat egi

• Inward Oriented • Outward Oriented

Program

• Rehabilitasi mangrove • penyuluhan • industri rumah tangga • Sarana-Prasanana • Ekspansi Bisnis

6.4. Mengembangkan Kebijakan Ekonomi Makro

6.4.1. Struktur Perekonomian

Sturktur perekonomian berdasarkan PDRB Harga konstan dapat melihat perubahan volume dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. melalui peranan/porsi 9 lapangan/sektor usaha (%) maka dapat dilakukan penilaian sektor mana yang paling berperan terhadap PDRB.

Tabel 3. Struktur Usaha Provinsi Aceh Berdasark PDRB Harga Konstan 2008-2009

Tahun

No. Sektor

27,32 27,03 Pertambangan dan

Sektor Primer

8,95 8,69 Listrik, Gas, dan Air

3 Industri Pengolahan

5 Kontruksi/Bangunan

Sektor Sekunder

Perdagangan, Hotel,

16,41 16,83 Pengangkutan dan

6 dan Restoran

10,64 11,19 Keuangan, Real estate, dan Jasa

Sektor Tersier

Sumber: BPS Provinsi Aceh (diolah) Berdasarkan tabel di atas, terjadi perubahan volume dalam kegiatan ekonomi, dimana

perubahan struktural porsi PDRB harga konstan Aceh dari 2008-2012 mengalami pergeseran dari sektor primer ke sektor tersier. Indikasinya adalah, sektor primer seperti perikanan dan kelautan mulai menurun porsinya dan peningkatan pada sektor perdagangan dan jasa-jasa. Industri pengolahan Aceh terus menurun yang berindikasi bahwa sektor industri belum berkembanga.

Kebijakan ekonomi makro sektor industri perlu ditingkatkan untuk menghasilkan value added komoditas pertanian. komoditas mangrove adala salah satu komoditas yang dapat meningkatkan sektor industri. Maka dari itu perlu adanya terobosan kebijakan ekonomi yang mendorong peningkatan sektor industri, yang dapat diawali dari tahapan industri rumah tangga.

6.4.2. Pengelolaan Inflasi.

Inflasi menggambarkan kondisi stabilitas harga barang suaru daerah, berikuti ini laju inflasi Aceh berdasarkan Indeks Harga Impilisit

Tabel 4 Laju Inflasi Provinsi Aceh TAHUN 2003-2012

Tahun Laju Inflasi Aceh

Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2012

Rata-rata laju inflasi Aceh selama 2008-2012 adalah 4,97%, inflasi Aceh pernah sangat tinggi pada tahun 2004-2005 34,88 % dan tahun 2009 11,93% (BPS, 2012). Inflasi menunjukkan kenaikan harga barang umum secara terus menerus (stabilitas harga barang). Kebijakan pengelolaan inflasi dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, namun harus di imbangin dengaan kapasitas produksi yang baik. Industri produk-produk dari komoditas mangrove akan menurunkan inflasi manakala pemerintah Aceh melakukan diversifikasi produk mangrove yang memperluas pilihan, memajukan industri makan dan minuman, menguatkan daya beli masyarakat, menurunkan suku bunga kredit usaha, dan melakukan kebijakan inward oriented.

6.4.3. Pengangguran

Teori dalam kurva Phillip menyatakan bahwa dalam jangka pendek ada imbang batas/korban dari menekan laju inflasi, yaitu penambahan sektor pengangguran. Pengangguran Aceh tergolong tinggi secara regional yang digambarkan pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Aceh

Tahun

Tingkat Pengangguran

Sumber: BPS Provinsi Aceh 2012

Pengangguran terjadi karena minimnya sektor lapang perkerjaan dan kesempatan kerja yang rendah. Masyarakat pesisir khusus nelayan biasanya menggantungka hidupnya dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pengembangan komoditaas mangrove dapat membuka sektor lapangan pekerjaan baru dengan adanya pengembangan industri rumah dan pariwisata. Pengembangan tersebut berdampak pada terbukanya sektor lapangan pekerjaan dan kewirausahaan. Pengembangan komoditas perikanan-industri dengan konsep blue economy akan membuka lapangan pekerjaan baru dan menurunkan pengangguran.

6.5. Mengembangkan Prasarana

Pengembangan prasarana sangat penting dalam perekonomian sektoral daerah, sarana-prasana dapat menunjang kegiatan perekonomian dan memberikan multiplier effect bagi aktivitas perekonomian lain. Pembaangunan sarana prasarana dapat dibagi dalam beberapa kelompok berikut ini:

A. Jaringan Prasarana Jalan Raya

1. Jalan Bebas Hambatan (Highway)

2. Jalan Lintas Timur

3. Jalan Lintas Barat

4. Jalan Lintas Tengah Semua Jalan tersebut akan mengkoneksi wilayah Aceh yang tediri atas ruans-ruas

jalan sebagai berikut:

1. Bireuen – Takengon

2. Simpang Peut – Jeuram – Genting Gerbang

3. Singkil – Lipat Kajang

4. Peureulak – Lokop – Blangkejeren

5. Beureunuen – Keumala

6. Meulaboh – Tutut – Geumpang

7. Jantho – Lamno

8. Takengon – Bintang – Kebayakan

9. Krueng Geukueh – Simpang Kebayakan

10. Gelombang – Sp.Lawe Deski

11. Keliling Pulau Weh Sabang

12. Sinabang – Lasikin

B. Jaringan Jalur Kereta Api

Rencana pengembangan jaringan jalur kereta api di wilayah Aceh mengacu kepada RTRWN, yang menetapkan untuk wilayah Aceh ada 2 jaringan yang masing-masing terletak di pesisir timur dan pesisir barat, yaitu

1. Revitalisasi jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh ke Besitang di Provinsi Sumatera Utara, yaitu dengan menghidupkan kembali jaringan jalur kereta api yang pernah ada pada pesisir timur tersebut.

2. Pengembangan jaringan jalur kereta api baru di pesisir barat, yang menghubungkan Banda Aceh ke Sibolga di Provinsi Sumatera Utara.

C. Prasarana Angkutan Di Perairan (Pelabuhan)

Untuk masing-masing pelabuhan yang ditetapkan tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut ini.

1. Pelabuhan Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani angkutan laut luar negeri (internasional), sehingga dikenal juga sebagai Pelabuhan Internasional. Pengembangan pelabuhan utama Sabang ini sangat terkait dengan rencana pengembangan pelabuhan bebas Sabang dan kawasan perdagangan bebas Sabang.

2. Pelabuhan Balohan di Kota Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dan dalam negeri dalam provinsi.

D. Prasarana Angkutan Udara

Prasana bandar udara dapat dijelaskan sebagai berikut ini :

1. Bandara Sultan Iskandar Muda, melayani penerbangan internasional, dan merupakan bandara pengumpul dari beberapa bandara lainnya di Aceh dan provinsi lainnya.

Bandara Sultan Iskandar Muda ini terletak di Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Blang Bintang).

2. Bandara Malikussale Lhokseumawe, yang melayani penerbangan domestik. Bandara Malikussaleh ini terletak di Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Muara Batu).

3. Bandara Cut Nyak Dhien Meulaboh, yang melayani penerbangan domestik. Bandara Cut Nyak Dhien ini terletak di Kabupaten Nagan Raya, sehingga mendukung juga PKL Jeuram-Suka Makmue.

4. Bandara Maimun Saleh Sabang, yang akan melayani penerbangan domestik

5. Bandara Rembele Takengon, yang akan melayani penerbangan domestik. Bandara Rembele ini terletak di Kabupaten Bener Meriah

Beberapa bandara yang sedang dalam tahap perencanaan antara lain:

1. Bandara Lasikin Sinabang,

2. Bandara Teuku Cut Ali Tapaktuan

3. Bandara Kuala Batu Blangpidie

4. Bandara Hamzah Fansyuri Singkil

5. Bandara “Point A”, yang merupakan bandara khusus untuk perusahaan penambangan migas, yang berdekatan dengan PKL Lhok Sukon

E. Prasarana Energi

Pengembangan sistem prasarana energi listrik di Aceh terutama dengan sistem interkoneksi Sumatera Bagian Utara yang didukung dengan sistem setempat (isolated) pada lokasi-lokasi yang sulit dijangkau sistem interkoneksi. sistem interkoneksi tersebut di Aceh dikembangkan pembangkit tenaga listrik yang meliputi:

1. PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), yang potensial dikembangkan di pesisir barat;

2. PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas), yang potensial dikembangkan di pesisir timur dan Banda Aceh dan sekitarnya;

3. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), yang potensial dikembangkan di Sabang dan Aceh Besar; dan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), yang potensial dikembangkan di DAS

Peusangan, Bendungan Jambo Aye di Aceh Utara, dan Waduk Tampur di Aceh Tamiang.

F. Prasarana Telekomunikasi

Pengembangan prasarana telekomunikasi terdiri atas pengembangan sistem jaringan kabel telekomunikasi/telepon dan pengembangan sistem telepon seluler atau mobile Pengembangan prasarana telekomunikasi terdiri atas pengembangan sistem jaringan kabel telekomunikasi/telepon dan pengembangan sistem telepon seluler atau mobile

1. menara melalui SID-SITAC,

2. sistem komunikasi dengan dasar BWA (Broadband Wireless Access),

3. VSAT (Very Small Aperture Terminal) di 23 kabupaten/kota.

G. Prasarana Permukiman Lintas Kabupaten/Kota

Prasarana permukiman perkotaan lintas kabupaten/kota perlu diidentifikasi sehubungan dengan adanya peranan/fungsi Pemerintah Aceh untuk mengkoordinasikan pengembangan prasarana permukiman lintas kabupaten/kota. Prasarana permukiman perkotaan yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi:

4. prasarana jaringan air bersih perpipaan,

5. prasarana pengolahan sampah.

6.6. Mengembangkan Kelembagaan

Pengembangan ekonomi kelembagaan berperan dalam mengatasi masalan bounded rationalty dalam pasar yang diangga sempurna. Kelembagaan menjadi rule of the game dalam aktivitas perekonomian. Kelembagaan wilayah pesisir perlu dibangun dalam pengembangan mangrove yang terdiri dari:

1. Perlindungan properti. Wilayah pesisir berciri khas sebagai wilayah property right yang harus dilindungi berkaitan dengan sumber daya dan asset daerah

2. Regulasi industry. Adanya kemudahan dalam memulai bisnis baru sektor industri, tidak berbelit, dan mencegah pungutan-pungutan liar. Regulasi industri juga berperan penting dalam mengatasi persoalan persaingan usaha tidak sehat dan monopoli

3. Privatisasi. transfer fungsi, kegiatan atau organisasi dari publik ke swasta. Kelembagaan industri yang tidak efisien harus dilakukan privatisasi sesuai dengan perundang-undangan

4. Hubungan industry. Adanya kerja sama antar pihak dalam kebijakan-kebijakan yang mendukung eksistensi industri dalam suatu rantai tata niaga.

5. Kebijakan redistribusi hasil pembangunan. Berperan dalam alokasi sektor pajak pembangunan dan mencegah terjadinya penumpukan kekayaan negara/daerah

6. Peningkatan akses utk wanita. Isu gender dalam pembangunan menempatkan wanita untuk berparan dalam sector pembangunan dan mencegah diskriminasi. Nelayan- 6. Peningkatan akses utk wanita. Isu gender dalam pembangunan menempatkan wanita untuk berparan dalam sector pembangunan dan mencegah diskriminasi. Nelayan-

7. Kebijakan integrasi social. Pembangunan yang memperkuat kerja sama etnis/golongan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

VII. Rekomendasi

Pengembangan ekosistem komoditas Mangrove yang sangat potensia di Aceh sudah dipaparkan dalam posisi kuadaran daya saing-wealth, analisis SWOT, Strategi pengembangan, program/kebijakan, rantai nilai komoditas, dan tahapan postur ekonomi daerah maka dapat diberikan beberapa rekomendasi:

1. Posisi kuadran daya saing-wealth menunjukkan posisi pengembangan mangrove Aceh berada pada kuadran II yang memiliki potensi kekayaan alam tinggi dan daya saing masih kurang. Strategi pengembangan yang direkomendasikan adalah revitalisasi sektor komoditas mangrove dengan potensi kekayan sebagai sisi kekuatan dan mereput kesempatan peluang pasar komoditas melalui promosi.

2. Program pengambangan mangrove harus dijalankan dengan perencanaan yang strategis dan berkelanjutan yang mempertimbangkan konsep ekologi, ekonomi, dan masyarat.

3. Hasil analisis rantai nilai komoditas menunjukkan bahwa mangrove dapat dikembangkan untuk perikanan budidaya dan tangkap, makanan, obat-obatan, souvenir bahan bakar, dan eco tourism yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan nilai ekologis. Rantai nilai dapat masukkan dalam blue economy dengan pemanfaatan berbasis zero waste

4. Perlu segera dibuat kebijakan dalam bentuk regulasi (Qanun/Perda) lingkungan, tata Ruang Wilayah Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terintegrasi serta kepentingan masyarakat masyarakat pesisir yang berdimensi ekonomi, ekologis, dan sosial budaya.

5. Pentapan kawasan konservasi mangrove dengan tinjauang lokasi sektoran dengan pengelolaan oleh gabungan SKPD (Dinas Kelautan dan perikanan, Dinas Pariwitasa, Dinas Kehutanan) yang menempatkan peran serta masyarakat pesisir.

6. Perlu segera dibuat kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tentang sistem pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu yang berwawasan lingkungan pendekatan berbasis masyarakat (community based management).

7. Tahapan postur ekonomi daerah harus mempertimbangkan sektor industri komoditas mangrove berbasis industri rumah tangga. Untuk memperkuat postur ekonomi daerah secara sektoral perlu dikembangkan kebijakan industri yang sustainable, perdagangan, kebijakan ekonomi makro, perbaikan prasanana, dan membangun ekonomi kelembagaan daerah yang kuat.