Menuju Etnografi Visual Kolaboratif Suat

Bab 2 Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

Suatu Dinamika Hubungan Peneliti dan Subjek dalam Produksi dan Diseminasi Film Bisa Dèwèk

Rhino Arieiansyah

Where participant observation is involved, the researcher must ind some role in the ield being studied, and this is usually have to be done at least trough implicit, and probably also trough explicit negotiation with the people in the ield… relation will have to be established, and identities constructed. (Hammersley dan Atkinson, 2007:4)

Pendahuluan

Sebagai etnografer visual, saya pertama kali datang ke Desa Kalensari di Indramayu dengan ambisi bahwa suatu saat saya akan pergi dari tempat ini dengan sebuah karya video etnograi yang akan dipertontonkan kepada khalayak akademik di ruang-ruang kuliah ataupun ajang festival ilm etnograi. Kurang lebih satu tahun kemudian ambisi tersebut memudar. Interaksi yang intensif dengan petani dan referensi baru tentang pendekatan mutakhir dalam riset etnograi, membelokkan arah tujuan saya dalam membuat sebuah representasi visual. Saya kemudian tidak hanya tampil dalam berbagai forum akademik sebagai etnografer visual, tetapi juga hadir sebagai kawan seperjuangan dalam kegiatan kampanye ide kemandirian petani melalui forum layar tancap di kampung-kampung. Video dokumenter Bisa Dèwèk yang merupakan hasil dari kerja kolaboratif pun tidak sekedar menjadi representasi visual atas pengetahuan etnograi yang saya kumpulkan selama berada di lapangan. Film Bisa Dèwèk juga berfungsi sebagai alat advokasi untuk menyebarkan ide kemandirian petani melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Perubahan tersebut menandakan adanya sebuah dinamika relasi antara saya sebagai bagian dari tim peneliti dengan kelompok petani pemulia tanaman sebagai subjek penelitian. Dinamika tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari sebuah penelitian yang dirancang sebagai kerja kolaboratif dengan ilmuwan dan subjek bahu-membahu dalam menyusun sebuah representasi visual yang sekaligus dijadikan sebagai alat kampanye.

25 Sebagai sebuah proses kolaboratif, apa yang terjadi antara saya sebagai

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

peneliti dengan kelompok petani pemulia tanaman di Indramayu bukanlah hal yang baru. Luke Eric Lassiter mengatakan bahwa kolaboratif adalah unsur inhern dalam setiap penelitian etnograi (Lassiter, 2005). Lalu apa yang ingin saya bagi melalui tulisan ini? Ada dua hal yang ingin saya garis bawahi. Pertama, pengalaman membuat dan mendiseminasikan ilm Bisa Dèwèk tidak terlepas dari pergumulan teoretis dan praktis untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang hingga saat ini sering muncul dalam benak saya, yaitu: untuk tujuan apakah sebuah karya etnograi dibuat? Di manakah kita (sebagai antropolog) menempatkan diri di tengah konteks masyarakat yang kita teliti? Bagaimanakah kita (sebagai akademisi dan sesama umat manusia) sepatutnya memperlakukan orang-orang—yang dalam klasiikasi akademik—selama ini kita deinisikan sebagai subjek? Yang kedua, melalui tulisan ini saya ingin memaparkan rangkaian peristiwa yang saya alami selama terlibat dalam kegiatan pembuatan dan pendiseminasian ilm Bisa Dèwèk dengan memberikan penekanan pada dinamika identitas yang terjadi antara antropolog dengan subjek penelitiannya. Proses dinamika indentitas antara saya dan petani pemulia tanaman di Indramayu adalah rangkaian sejumlah peristiwa yang terdiri dari momen-momen perjumpaan dan momen-momen releksi. Melalui momen-momen perjumpaan dan releksi itulah saya sebagai the Self dan kelompok petani pemulia tanaman sebagai the Other membangun kesadaran atas dirinya masing-masing. Dengan kesadaran tersebut, masing- masing pihak mengambil posisi terhadap pihak lainnya dalam menyikapi setiap perubahan yang dihadapi untuk mencapai tujuan bersama.

Menuju Antropologi yang Releksif dan Kolaboratif: “Perspektif Baru” dalam Penciptaan Representasi Antropologis

Penggunaan media visual dalam antropologi bukanlah merupakan hal yang baru. Bahkan para etnolog yang hidup pada akhir abad ke-19 pun sudah menggunakan media film untuk merekam kehidupan suku bangsa yang menjadi kajiannya. 1 Penggunaan media

1 Pada tahun 1898—kurang lebih tiga tahun setelah pertama kali media ilm dipatenkan dan diperkenalkan ke publik oleh Auguste dan Louis Lumière—Alfred Cort Hoddon,

seorang Antropolog Inggris dari Universitas Cambridge memimpin sebuah misi eksplorasi ke Selat Torres di utara benua Australia. Sebagai bagian dari ekspedisi tersebut, pada tahun 1900 Hoddon mengajak rekannya Baldwin Spenser untuk bergabung dalam ekspedisi tersebut. Secara khusus Spenser ditugaskan untuk menggunakan kamera sebagai bagian dari alat penelitian. Apa yang dilakukan oleh Hoddon dan Baldwin menunjukkan bahwa penggunaan media visual dalam antropologi bukanlah sesuatu yang baru. Media ini sudah dipergunakan bahkan pada saat awal berkembangnya ilmu Antropologi modern dan awal perkembangan sinematograi (lebih jelas mengenai perkembangan penggunaan media visual dalam antropologi, lihat Grimshaw, 2001).

26 Rhino Arieiansyah

visual dalam antropologi kemudian berkembang seiring dengan perkembangan teknologi perekam visual, serta aspek epistemologi dan metodologi dalam ilmu antropologi itu sendiri. Di satu sisi, perkembangan teknologi perekam visual yang semakin murah dan mudah dioperasikan meningkatkan gairah yang semakin tinggi dari para antropolog untuk menggunakan media visual sebagai bagian dari proses perekaman dan penyampaian data penelitiannya. Di sisi lain, perkembangan ilmu antropologi yang didorong oleh semangat postmodernism semakin membuka kemungkinan untuk menjadikan media visual masuk dalam ranah metodologi, dan tidak hanya menjadi alat perekam saja.

Sarah Pink dalam beberapa publikasinya menuliskan bahwa perkembangan teknologi perekam visual dan pergeseran dalam paradigma penelitian sosial telah menciptakan perspektif baru dalam ranah kajian Antropologi Visual (Pink, 2004:1). Perspektif tersebut telah menempatkan unsur relexivity, collaborative, new approaches to ethics and new technology menjadi tema penting dalam teks-teks etnograi, khususnya teks etnograi visual (Pink, 2001, 2004). Secara teoretis, Pink menyatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari perdebatan mengenai persoalan otoritas dalam karya-karya etnograi yang pernah dilontarkan oleh James Cliford dan Marcus dalam Writing Culture (Cliford dan Marcus, 1986) . Perdebatan tersebut menurut Pink telah memperlihatkan hubungan erat antara riset sosial dengan persoalan reperesentasi dan otoritas dalam penciptaan karya etnograi. Tidak seperti penganut aliran esensialis, antropolog dengan perspektif baru memberikan porsi yang cukup besar bagi unsur relexivity dan kesadaran atas subjektivitas dalam penciptaaan karya-karya etnograi. “A relexive approaches recognizes the centrality of subjectivity of the researcher to the production and representation of ethnographic knowledge” (Pink, 2001:19).

Berangkat dari kesadaran atas subjektivitas itulah unsur relexivity mendorong pada pencarian bentuk-bentuk etnograi yang kolaboratif dengan mementingkan unsur partisipasi dalam proses penciptaan imaji-imaji, teks, ataupun bentuk-bentuk narasi etnograi lainnya. Hal tersebut dimungkinkan karena revlexivity mendorong pada terciptanya kesadaran dari seorang antropolog untuk memahami bahwa keberadaannya sebagai seorang peneliti sosial merupakan bagian dari realitas sosial yang ditelitinya (Hammersley dan Atkinson, 2007:16). Alih-alih mengisolasi data dan menciptakan pengetahuan etnograi yang steril dari subjektivitas peneliti dan subjek penelitian, relexivity mendorong pada bentuk penciptaan pengetahuan etnograis yang bersifat kolaboratif dan intersubjektif. Dalam hal ini subjek penelitian

27 justru dilibatkan dalam pembentukan pengetahuan etnografis.

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

Mengutip Banks (2001:119 dalam Pink, 2004:4), semua produksi imaji oleh peneliti-peneliti sosial di lapangan, bahkan semua penelitian sosial dalam segala jenis, haruslah (dilihat sebagai kerja) kolaboratif karena kehadiran peneliti di antara sekelompok orang merupakan hasil dari suatu rangkaian negosiasi sosial (lihat pula Winarto, Bab 1 buku ini).

Jika kita melihat dalam konteks yang lebih luas, isu kolaborasi dalam antropologi bukanlah hal baru. Walaupun istilah ‘collaborative ethnography’, baru dipublikasikan pada pertengahan tahun 2000-an, namun seperti dikemukakan oleh Luke Eric Lassiter, kolaborasi merupakan unsur inhern dari setiap kegiatan lapangan. Collaborative ethnography berusaha mengedepankan unsur kolaboratif dan menjadikannya sebagai tema utama dalam setiap tahap penelitian sosial.

Collaboration is inherent to all ieldwork practice. Collaborative ethnography both highlights and focuses this collaboration — speciically that between ethnographers and their interlocutors — and moves it to center stage. It seeks to make collaboration an explicit and deliberate part of not only ieldwork but also part of the writing process itself. (Lassiter, 2009; lihat Winarto, Bab 1 buku ini).

Mengacu pada Sunday dan juga Borofsky (Sunday, 1998 dan Borofsky, 2002 dalam Lassiter, 2005:1—2), Lassiter menyatakan bahwa etnograi yang kobaloratif lebih jauh merupakan bagian dari sebuah proyek besar yang bertujuan untuk mengintegrasikan “… theory and practice, research and training, the joining of academic and applied anthropologists.” Integrasi itu bertujuan untuk mewujudkan tanggung jawab dan kontribusi antropolog (sebagai akademisi sekaligus sebagai warga negara) terhadap kelompok- kelompok publik non-akademik yang telah memungkinkan studi-studi antropologi dilakukan. Dengan kata lain, collaborative ethnography tidak semata-mata merupakan jawaban atas kegelisahan etnografer akan persoalan-persoalan di seputar isu otoritas penulisan dalam sebuah karya etnograi; tidak juga berfungsi sebagai ‘pil penenang’ atas ketegangan yang disebabkan oleh kritik di seputar etika penelitian, tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya untuk re-engaging (mengaitkan kembali) antropologi dengan publik yang lebih luas.

Khusus dalam ranah kajian antropologi visual, isu kolaborasi dan otoritas penulisan bukanlah hal yang baru dalam produksi sebuah representasi visual (terutama ilm etnograi). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan ruang kepada subjek etnograi untuk menyuarakan apa yang disebut oleh Collier dan Collier sebagai ‘ inside view’ (Collier dan Collier, 1988:156—157). Mulai dari Jean Rouch, Timmoty Asch dan Linda Connor, David dan Judith McDougall hingga proyek lintasdisiplin A Buen Común (lihat Winarto, Bab 1)–dalam kadar tertentu—menempatkan

28 Rhino Arieiansyah

kegiatan kolaboratif sebagai bagian penting dalam proyek-proyek mereka. Merujuk pada dua proyek eksperimen Native Heritage Project (Leonard Kamerling dan Sarah Elder) dan hrough Navajo Eyes (John Adair dan Sol Worth), Collier dan Collier (1988:156—157) menunjukkan bahwa pada era tahun 1970-an berbagai upaya telah dimulai untuk mencari alternative models dalam penciptaan representasi visual melalui media ilm yang dirpoduksi oleh antropolog. Model-model alternatif tersebut menurut Collier dan Collier menunjukkan adanya usaha terorganisasi untuk menampilkan pandangan emik ( organized attempt to obtaining an inside view) yang melahirkan sebuah ilm sebagai bentuk dialog antara ilm makers dengan komunitas yang mencerminkan cara pandang kedua belah pihak (Collier dan Collier, 1988:157).

Bagaimanakah isu-isu mengenai otoritas penulisan dan subjektivitas ditempatkan dalam konteks penelitian antropologi visual saat ini dengan alat perekam visual sebagai bagian dari keseharian komunitas yang menjadi subjek penelitian? Maraknya penggunaan alat perekam visual oleh komunitas akademik maupun non-akademik memberikan kesempatan bagi etnografer untuk tidak sekedar menggunakan media visual sebagai sarana perekam data, tetapi juga sebagai media untuk memproduksi karya etnograi. Oleh sebab itu, perhatian tidak hanya diberikan pada hasil, tetapi juga pada proses interaksi yang terjadi antara peneliti dengan komunitas. Merujuk pada beberapa kasus video collaborative yang pernah dilakukan, Sarah Pink menunjukkan pentingnya memperhatikan apa yang disebutnya sebagai local visual culture dan cara pelaku local visual culture tersebut berinteraksi serta merespon kehadiran seorang peneliti yang datang ke lokasi penelitian dengan membawa kamera (lihat Pink, 2001: 85-87).

Pertanyaan berikutnya pun muncul. Setelah berbagai “eksperimen” dilakukan dan ruang-ruang semakin terbuka untuk mencari apa yang disebut oleh Collier dan Collier sebagai alternative models, apa yang harus dilakukan oleh etnografer saat ini? Saya berpendapat bahwa di tengah semakin banyaknya penggunaan media visual oleh peneliti sosial dan komunitas-komunitas non-akademik, yang harus dilakukan oleh antropolog adalah tidak sekedar mengisi lubang- lubang kosong secara metodologis dan teoretis yang ditinggalkan oleh proyek-proyek kolaboratif yang sudah dilakukan sebelumnya. Seyogianya, antropolog mendiseminasikan pula penerapan kolaborasi yang pernah dilakukannya dalam sejumlah konteks penelitian yang spesiik. Hal tersebut penting untuk memperkaya bahan komparasi bagi pengembangan bentuk-bentuk penelitian antropologi yang lebih terbuka, melibatkan partisipasi subjek, dan bermanfaat bagi komunitas yang bersangkutan dalam memecahkan berbagai persoalan sosial yang dihadapi oleh subjek penelitian.

29 Apa yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah kisah

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

terjalinnya sebuah kerja kolaboratif antara sekelompok antropolog dengan petani dalam menyusun sebuah narasi visual yang berbentuk video dokumenter Bisa Dèwèk. Saya akan memberikan penekanan terhadap proses dinamika idenititas yang terjadi antara dua belah pihak. Penekanan dalam hal identitas ini menjadi penting untuk diutarakan dalam tulisan ini mengingat bahwa sebuah pengetahuan etnograis dibangun dari hasil interaksi antara dua belah pihak, yaitu sang etnografer dan sang subjek etnograi. Guna memahami dinamika yang terjadi di antara kedua belah pihak tersebut, saya akan menggunakan pendekatan identitas yang berbicara mengenai relasi antara the Self dan the Other.

Kisah yang saya sajikan dalam bab ini memfokus pada kolaborasi di antara sang etnografer dan sang subjek etnograi yang direpresentasikan dalam bentuk video. Mengapa media video yang dipilih? Bagaimanakah proses penciptaannya? Bagaimanakah video tersebut dimanfaatkan? Seperti apakah dinamika yang terwujud dalam proses pembuatan video dan pemanfaatannya?

Praktisi Antropolog Visual dan Petani Ilmuwan: Konstruksi Awal tentang ‘he Self ’ dan ‘he Other’

Konsep “identitas” dalam kajian antropologi kontemporer merujuk pada relasi antara satu pihak ( the Self) dan bagaimana berhubungan dengan pihak lain ( the Other) (Woodward, 1997:14). Konstruksi identitas seperti ini penting untuk dipahami dalam kerja etnograi, karena penelitian lapangan dan kegiatan menulis adalah sebuah proses konstruksi dan dekonstruksi identitas. Fase penelitian lapangan adalah momen saat peneliti sebagai the Self berhadapan dengan subjek penelitiannya sebagai the Other. Dalam fase penulisan dan releksi, the Self dan the Other berkesempatan untuk mengaji posisi masing-masing. Proses perjumpaan dan releksi itu terjadi dalam sebuah proses pemaknaan yang terus menerus berlangsung sepanjang penelitian. Prosesnya tidaklah ajeg. Akan tetapi proses itu diwarnai dengan dinamika: sebuah proses konstruksi dan dekonstruksi yang berkelanjutan.

Pada awalnya, relasi “the Self-the Other” antara saya dan sekelompok petani pemulia tanaman di Indramayu adalah relasi antara seorang ”praktisi antropologi visual” dengan ”petani pemulia tanaman”’. Seiring dengan dinamika dalam proses penelitian, relasi tersebut berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Pada masa-masa pembuatan ilm dokumenter misalnya, saya dan kelompok petani lebih menganggap satu sama lain sebagai mitra kerja. Sementara itu, pada

30 Rhino Arieiansyah

kegiatan ngamèn untuk memperoleh pengakuan dari berbagai pihak, saya lebih ditempatkan sebagai kawan seperjuangan. Bagaimanakah dinamika identitas tersebut terjadi?

Pertama kali saya datang ke Desa Kalensari di Kabupaten Indramayu dengan menyandang predikat sebagai “praktisi antropologi visual”. Konstruksi identitas sebagai “praktisi antropolog visual” saya sandang, karena setelah menamatkan kuliah di Departemen Antropologi, saya terlibat dalam beberapa proyek pelatihan dan pembuatan ilm dokumenter. Secara sederhana, saya adalah seorang sarjana antropologi dengan kamera. Saya senang merekam peristiwa- peristiwa kultural dengan media foto ataupun video. Kesenangan itulah yang membawa saya terlibat dalam proyek ini.

Perjumpaan pertama dengan “petani pemulia tanaman” terjadi ketika saya beserta Yunita Winarto dan Hestu Prahara datang ke Desa Kalensari pada bulan Juni 2006. Sebagai “praktisi visual antropologi” saya diajak Yunita Winarto untuk mendokumentasikan aktivitas petani alumni SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) dalam melakukan kegiatan pemuliaan tanaman. Walaupun gambaran mengenai sosok “petani ilmuwan” sudah saya dapat dari kuliah-kuliah yang diberikan oleh Yunita Winarto dan beberapa foto dokumentasinya, obrolan di kebun paré dengan War dan Mitro adalah interaksi pertama saya dengan sosok “petani ilmuwan”.

Pembicaraan di kebun paré sore itu di bulan Juni 2006 dimulai dengan perkenalan antara saya dengan War, Mitro, dan H. Roni. Pembicaraan kemudian berlanjut dengan topik mengenai praktik pemuliaan tanaman paré. Kebetulan saat itu War sedang bekerja di kebun paré kira-kira 100 meter dari rumahnya. Walaupun pembicaraan semakin menjurus pada hal-hal teknis mengenai proses pemuliaan tanaman sayuran, kehadiran saya untuk pertama kali di desa itu membuat suasana kental dengan atmosir perkenalan, atau lebih tepatnya penuturan cerita-cerita tentang identitas diri, siapa saya.

Hal yang menarik dari pembicaraan di kebun paré adalah penuturan War dan Mitro yang dapat dimaknai sebagai pernyataan atas identitas diri mereka sebagai “petani ilmuwan” yang berbeda dari kebanyakan petani lain. Dari penuturan Mitro dan War nampak bahwa mereka sangat menonjolkan identitasnya sebagai petani yang mandiri, percaya diri, menerapkan prinsip-prinsip ilmiah, dan tidak hanya berorientasi pada pencapaian ekonomi. Berikut adalah salah satu pernyataan Mitro tentang kelompok petani pemulia tanaman di Indramayu, tempatnya bergabung sebagai anggota.

Kebanyakan kelompok-kelompok tani hanya merongrong uang-uang bantuan. Ada bantuan dia ribut, kalau nggak ada diam. Bahkan kalau

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

tidak ada bantuan tidak diterapkan semestinya, hanya cari duitnya aja gitu. Kalau kelompok saya kan, ada nggak ada uang tetep jalan, 11 kecamatan masih utuh. Walaupun dana tersendat-sendat, tetapi saya masih melakukan (kegiatan). Saya masih menanam 100 varietas, baik yang lokal, hasil persilangan, juga ada varietas dari Jepang dan Filipina.

Pembicaraan dengan War mengenai pengalaman menghadiri forum ilmiah bertaraf nasional juga merupakan pernyataan yang menguatkan betapa War sebagai petani ilmuwan, sudah menjadi bagian dari komunitas akademik (atau dalam bahsa yang sering dipakainya: “para ahli”), walaupun status itu dicapai dengan berbagai jerih payah dan juga penolakan.

War: “Waktu aku hadir dalam acara temu teknologi awal sekali dengan para ahli, aku tidak diakui. Tidak boleh masuk, seperti orang beriman (peminta-minta/ baggers). Padahal waktu itu aku ke sana mewakili pak Russ Dilts, waktu di Subang. Pak Russ, diundang untuk temu teknologi nasional, lalu aku diminta untuk menggantikan. Waktu dateng ke sana: undangannya kan bukan petani, tapi Pak Russ Dilts. Bukan ini orangnya. Mereka nggak mau terima. Kepala sidangnya aja nggak mau memimpin sesi itu, terus telpon ke Bandung. Hingga pimpinan sidang diambil alih oleh Pak Oka, dia pernah ke sini. Menurut dia, saya bukan petani sembarangan. Setelah ada yang bertanggung jawab, lalu saya presentasi selama sekian menit, sampai berlanjut dengan sesi pertanyaan. Alhamdulillah aku bisa menjawab semua pertanyaan dengan sempurna, diakui. Lalu gantian, aku yang bertanya, tiga pertanyaan, tidak ada yang bisa menjawab: tiga nol! Hahaha.”

Rhino: “Padahal yang datang ahli semua?” War: Iya, profesor, doktor. Lalu Pak Oka berkata: “Teman-teman

sebetulnya harus mawas diri semua, bagaimana kalau petani kita sudah kayak begini semua?” Itu kan untuk menggetok. Seharusnya tidak usah pusing, kita bisa bekerja samalah. Setelah itu banyak yang ajak saya makan snack, ajak ngobrol, lalu setelah itu saya pulang. Setelah itu sepi, karena sesi pertama sudah digebrak oleh kita-kita orang. Itulah pengalaman pertama saya menghadiri temu teknologi nasional dengan para ahli. Tahun berikutnya saya diundang, masuk televisi, sudah tiga kali saya diundang, untuk mewarnai para ahli mungkin.

Ada dua hal yang saya pelajari dari pertemuan pertama saya dengan War, Mitro, dan H. Roni. Pertama, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan War dan Mitro memperkaya skema pengetahuan saya tetang petani yang sebelumnya hanya saya peroleh dari pencitraan media dan bahan kuliah. Sebagai kontras, mereka adalah sosok petani yang sama sekali berbeda dari apa yang seringkali ditampilkan oleh media massa sebagai orang-orang yang lemah, tidak memiliki kemampuan analitis,

32 Rhino Arieiansyah

berwawasan lokal, dan tidak percaya diri. Yang kedua, cerita-cerita War dan Mitro juga saya maknai sebagai bentuk ekspresi identitas; sebuah pernyataan tentang diri untuk menegaskan siapa saya ( Who am I). Pertemuan dengan sosok petani ilmuwan adalah pengalaman baru bagi saya. Karena itu, konstruksi mengenai identitas “petani ilmuwan” merupakan konstruksi baru dalam skema pengetahuan saya. Bagi saya ini adalah sebuah hal yang sangat berharga.

Seperti sudah saya singgung sebelumnya, cerita War bagi saya adalah sebuah pernyataan atas identitas diri War sebagai “petani berilmu” yang tidak hanya diakui dalam lingkup lokal, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas akademik di skala nasional. Cerita mengenai penolakan komunitas akademik terhadap dirinya dapat dimaknai sebagai bentuk pernyataan bahwa identitas sebagai petani ilmuwan bukanlah sesutu yang dapat diterima oleh banyak kalangan.

Apa yang saya paparkan dalam sub bab ini menunjukkan konstruksi awal identitas saya sebagai praktisi antropologi visual dan identitas petani ilmuwan. Konstruksi ini pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang akan saya jabarkan pada bagian berikut dalam tulisan ini.

Kesepakatan untuk Berkolaborasi: Bertemunya Dua Kepentingan

Ide untuk membuat sebuah tayangan audiovisual tentang petani pemulia tanaman pertama kali mengemuka pada saat Yunita Winarto datang ke Desa Kalensari, lokasi yang pernah menjadi tempat penelitiannya pada tahun 1996. Di Kalensari, Yunita Winarto bertemu dengan H. Roni dan sejumlah petani pemulia. Melalui serangkaian disukusi antara kedua pihak, muncullah sebuah ide untuk membuat sebuah video tayangan audiovisual mengenai kegiatan pemuliaan tanaman. Berikut adalah catatan pertemuan antara Yunita Winarto dengan H. Roni seperti dikutip dari laporan kegiatan Proyek Bisa Dèwèk di bawah ini:

Pada saat pertemuan itu, Budi (asisten Ibu Yunita) mengutarakan bahwa dia berencana untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok petani dalam bentuk foto. Dia juga mengutarakan maksudnya agar dokumentasi kegiatan tersebut juga dapat dimuat di media masa.

Terpancing dengan penuturan tersebut kami bercerita lebih banyak lagi tentang apa yang kami lakukan di kelompok yang salah satunya adalah usaha menerbitkan media koran tani yang sudah kami lakukan.

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

Kami bercerita bahwa usaha penerbitan tersebut terbentur dengan kurangnya biaya dan minimnya kemampuan petani untuk menulis dan mengambil foto. Saya kemudian teringat dengan apa yang saya lakukan di kelompok tani Sri Jaya II Blok Bogor Desa Sukamelang Kecamatan Kroya. Dengan menggunakan kamera digital butut milik pribadi saya merekam kegiatan praktek persilangan benih padi dan merangkainya dalam bentuk slide show.

Menanggapi berbagai pengalaman dan kegiatan yang kami ceritakan tersebut Ibu Yunita kemudian mengajukan pertanyaan: “Sebetulnya apa kebutuhan yang sangat diperlukan oleh kelompok tani dengan melihat kegiatan yang dilakukan oleh kelompok sedemikian banyak?”

Berawal dari petanyaan tersebut kami mengajukan pemikiran bagaimana jika setumpuk kegiatan tersebut dikemas dalam sebuah media audio visual. Media tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan penyebaran informasi baik di kalangan petani itu sendiri lebih-lebih publikasi untuk pemerintah setempat karena selama ini kegiatan kelompok belum mendapat perhatian dukungan dan pengakuan secara serius oleh pemerintah.

Lebih jauh diskusi antara kelompok tani dengan Ibu Yunita dan Budi mengarah pada rencana penggunaan media audio-visual untuk menyosialisasikan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan oleh petani. Budi kemudian mengutarakan niatnya untuk mencoba menghubungi salah satu stasiun TV karena katanya dia punya teman yang bekerja di TV. Terus terang kami pada saat itu sebetulnya tidak terlalu banyak berharap karena tujuan kami hanya sederhana yaitu bagaimana memanfaatkan media audio-visual untuk menyebarkan berbagai pengetahuan dan kreativitas petani ke kelompok lain tanpa melakukan SL dan semacamnya karena hal itu memakan biaya yang cukup tinggi dan waktu yang lama. Audio-visual adalah salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk penyebaran kegiatan tersebut di tingkat petani dan menggugah kalangan pemerintah untuk dapat mengembangkan dan memfasilitasi dalam pelaksanaan SL pengembangan ke kelompok lain. Diskusi tersebut berakhir dengan masih membawa ide masing-masing dalam impian.

Catatan H. Roni pada saat pertemuan dengan Yunita Winarto yang berlangsung pada bulan Februari 2006 seperti dituliskan untuk laporan kegiatan Bisa Déwék, September 2007.

Laporan yang ditulis oleh H. Roni di atas merupakan sebuah gambaran mengenai adanya kebutuhan dari petani untuk menggandeng pihak lain dalam mengembangkan apa yang dinamakan sebagai “sains petani” atau yang secara lebih spesiik kegiatan pemuliaan tanaman padi dan sayuran. Bagi antropolog, hal itu adalah fenomena menarik dan penting untuk didokumentasikan, karena keahlian memuliakan tanaman tersebut merupakan wujud dari bertemunya domain

34 Rhino Arieiansyah

pengetahuan saintiik dengan domain pengetahuan lokal yang selama ini dianggap berseberangan. Namun demikian, karena berbagai faktor, pengembangan pengetahuan tersebut menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, seperti tertera dalam kutipan di atas, diperlukan sebuah media sebagai alat advokasi bagi petani pemulia tanaman guna memperoleh dukungan berbagai pihak, terutama pemerintah daerah Kabupaten Indramayu.

Dipilihnya media audio-visual bukan tanpa alasan. Bagi sebagian petani pemulia tanaman, kesadaran penggunaan media sudah muncul sebelum terjalinnya kerja sama dengan peneliti Antropologi UI. Menyerap berbagai pengalaman ketika bekerja sama dengan Yayasan FIELD Indonesia, beberapa petani melihat adanya kebutuhan untuk melakukan pendokumentasian kegiatan dalam bentuk audio-visual dan memublikasikannya. Oleh karena itu, jaringan petani pemulia yang terlibat dalam Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman pernah menerbitkan media cetak berbentuk newsletter ‘Bunga Padi’. Beberapa petani juga pernah mendapatkan pelatihan dokumentasi visual dengan menggunakan kamera foto atau yang biasa mereka sebut

dengan fotonovela 2 . Dari pengalaman-pengalaman tersebut beberapa orang petani pemandu kemudian berinisiatif untuk melakukan pendokumentasian kegiatan pemuliaan tanaman dalam bentuk foto atau video dengan alat yang mereka miliki (kamera digital dan mini dv camcorder).

Kesepakatan untuk membuat sebuah tayangan audio-visual berupa ilm dokumenter merupakan momen penting yang menandai awal dari sebuah kerja kolaboratif. Inilah titik awal dari rangkaian berbagai peristiwa berikutnya. Secara praktis kesepakatan untuk berkolaborasi ini mengakomodasi dua kepentingan. Kepentingan pertama adalah dari sisi akademik yaitu mendokumentasikan sebuah fenomena sosial budaya yang dianggap penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Kepentingan kedua adalah untuk memenuhi kebutuhan akan adanya sebuah media dokumentasi yang dapat dijadikan alat advokasi untuk mempromosikan ide kemandirian petani melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

Kesepakatan untuk melakukan sebuah kerja kolaboratif ini juga merupakan momen yang dapat diartikan sebagai bertemunya dua kultur visual (kultur visual akademisi dan kultur visual lokal). Pada momen inilah sekelompok antropolog mengawali langkahnya untuk berpartisipasi dalam kultur visual lokal atau secara lebih spesiik kultur video lokal ( local video culture). Bertemunya dua kultur visual dalam sebuah proyek video etnograis merupakan hal yang lumrah terjadi karena menurut Sarah Pink (Pink, 2002:85) sebuah proyek “… video etnographic may become interwoven with local video culture.” Satu hal

2 Yang dimaksud dengan fotonovela adalah rangkaian foto yang bercerita. Dalam bahasa yang lebih umum fotonovela dapat diidentikkan dengan istilah esai foto.

35 yang utama dari bertemunya dua kultur visual ini adalah dirumuskannya

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

jawaban atas pertanyaan penting “untuk apa sebuah representasi visual diciptakan?” Pertanyaan itu tidak hanya mengacu pada kepentingan akademik, tetapi juga pada kepentingan praktis.

Sebagai bagian dari proses negosiasi identitas yang dinamis, kesepakatan untuk melakukan kerja kolaboratif juga diwarnai dengan proses tawar-menawar. Awalnya, terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan video. Seperti tertuang dalam laporan yang ditulis oleh H. Roni, ilm yang akan dibuat diharapkan dapat menggantikan peran kegiatan Sekolah Lapangan yang memakan waktu lama dan tenaga yang besar, serta untuk memperoleh dukungan dari pihak pemerintah. Terkait dengan hal itu, tim UI kemudian menawarkan gagasan untuk mengerucutkan ide agar lebih terfokus karena sangat sulit membuat ilm yang memiliki lebih dari satu tujuan utama. Mengajarkan keahlian memuliakan tanaman bukanlah suatu hal yang sederhana. Selain itu, sebuah tayangan ilm akan dibatasi oleh durasi tayang.

Dalam sebuah diskusi di rumah H. Roni yang dihadiri oleh perwakilan petani dan peneliti di bulan Juni 2006, saya kemudian mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai ide ilm agar tidak terlalu melebar.

Bapak-bapak rasanya sulit jika kita membuat ilm yang bertujuan untuk meyakinkan orang sekaligus mengajarkan orang agar mampu memuliakan tanaman. Bagaimana kalau ilm ini difokuskan pada usaha untuk meyakinkan orang saja bahwa petani-petani di sini mampu melakukan pemuliaan tanaman?

Terkait dengan apa yang saya sampaikan, Yunita Winarto juga memberikan penjelasan bahwa sebaiknya ilm ini tidak terlalu panjang karena alasan keterbatasan waktu jika ingin memutar ilm ini di kelas

dan forum-forum akademik lainnya.

Film ini tidak boleh terlalu panjang karena nanti kalau mau diputar di ruang-ruang kelas akan sangat sulit. Karena biasanya kegiatan kelas itu terbatas waktunya.

Kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk mengerucutkan tujuan dari pembuatan ilm. Film akan difokuskan untuk meyakinkan berbagai pihak guna mendukung kegiatan pemuliaan tanaman. Petani pun kemudian menyadari bahwa ketrampilan menyilangkan tanaman akan sulit diajarkan hanya melalui ilm. Dalam diskusi yang sama, H. Roni mengutarakan,

Saya rasa memang sulit untuk mengajarkan orang mengenai pemuliaan tanaman hanya melalui ilm. Karena itu ilm ini tidak akan membuat orang menjadi paham bagaimana melakukan pemuliaan tanaman,

36 Rhino Arieiansyah

namun ingin mengajak dan menggugah orang-orang untuk mendukung kegiatan ini. Yang penting dari video ini adalah menunjukkan kemandirian petani, bahwa kita bisa memenuhi kebutuhan benih sendiri dan tidak harus tergantung dari benih yang dijual di toko.

Di sisi lain, kepentingan agar ilm ini juga dapat dijadikan bahan pengajaran dalam lingkungan akademik juga menjadi perhatian dari antropolog. Hal ini seperti tercermin dalam ungkapan Yunita Winarto.

Harapan kami adalah bahwa ilm ini juga akan dipertontonkan di kelas-kelas bahkan di forum-forum akademik di dalam dan luar negeri karena itu ilm ini tidak boleh terlalu lama dan tidak hanya menampilkan teknis pemuliaan tanaman, namun juga harus memperlihatkan konteks sejarah dari munculnya keahlian yang bapak-bapak kuasai.

Pernyataan-pernyataan di atas memperlihatkan bahwa apa yang terjadi pada awal kesepakatan pembuatan film ini tidaklah terlepas dari negosiasi kepentingan. Baik petani dan ilmuwan masing-masing mengutarakan kepentingannya terhadap film yang akan dibuat. Karena itu, untuk mengakomodasi dua kepentingan tersebut naskah film disusun bersama-sama. Masing-masing pihak memberikan masukan mengenai hal-hal apa yang harus masuk dalam film dan hal-hal apa yang tidak perlu. Terjadilah proses negosiasi antara Tim UI dan Tim Indramayu. Masing-masing pihak mengutarakan kepentingan berdasarkan identitas yang disandangnya.

Dari diskusi di atas nampak bahwa walaupun telah terbentuk local video culture dalam komunitas petani melalui sejumlah interaksi dengan lembaga yang mendampingi, para petani belum memperhatikan faktor-faktor teknis yang harus dikuasai dalam memproduksi sebuah tayangan audio-visual. Pada saat itu, petani belum memahami bahwa sebuah tayangan audio-visual memiliki keterbatasan durasi tayang. Mereka ingin semua kegiatan dapat direkam dan dimasukkan menjadi bagian dari film. Dalam hal inilah kultur video akademik yang lebih sistematik dan berorientasi pada hasil memengaruhi kultur video lokal yang belum tersistematis dan berorientasi ‘hanya’ untuk kepentingan dokumentasi.

Produksi Film Bisa Dèwèk sebagai sebuah Proses Penciptaan Karya Etnograi yang Kolaboratif

Menyusun Naskah Film, Mencari Judul, dan Membagi Peran

Seperti layaknya sebuah tahapan dalam pembuatan ilm dokumenter, tahap awal dari proses pembuatan ilm Bisa Dèwèk dimulai dengan penyusunan

37 naskah ilm. Dengan semangat kolaborasi, disusunlah sebuah naskah ilm

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

dokumenter yang terdiri dari butur-butir cerita yang akan menjadi bagian dari ilm. Dua pihak (peneliti dan petani) bersama-sama menentukan rangkaian cerita yang akan menjadi shooting script (naskah/panduan pengambilan gambar). Pembuatan alur cerita merupakan sebuah proses yang biasa dilakukan pada tahap pra-produksi ilm dokumenter. Yang unik dari kegiatan ini adalah bahwa petani dan peneliti secara bersama-sama melakukan penyusunan draf alur cerita dalam sebuah diskusi. Sebagai pihak yang paling memahami kegiatan pemuliaan tanaman, petani-petani yang terlibat dalam kegiatan ini memberikan gambaran mengenai aktivitas apa saja yang harus direkam untuk dapat menggambarkan kegiatan pemuliaan tanaman, khususnya tanaman padi.

Gambar 2.1 Tim UI bersama-sama petani merancang naskah ilm di kediaman H. Roni (Foto oleh Tim Bisa Dèwèk)

Malam hari setelah pembicaraan di lahan èmès dan paré, di bulan Juni 2006, Tim UI mengadakan diskusi dengan H. Roni, Mitro, War, Tori dan Aman untuk membahas mengenai rencana pembuatan ilm tentang kegiatan pemuliaan tanaman. Ada beberapa hal penting yang diputuskan dalam diskusi tersebut, yakni:

• Film yang akan diproduksi adalah ilm dokumenter dan bukan ilm tutorial yang mengajarkan mengenai keahlian membuat benih,

membuat pupuk organik, atau ketrampilan pertanian lainnya.

38 Rhino Arieiansyah • Film yang akan dibuat bertujuan untuk menyebarkan semangat

kemandirian dalam memenuhi kebutuhan petani membudidayakan tanaman. Setelah menonton ilm ini, diharapkan beberapa pihak tergugah untuk mendukung dan menerapkan berbagai kegiatan pertanian yang tangguh, ramah lingkungan, dan tidak terlalu tergantung pada asupan dari luar.

• Film yang akan diproduksi tidak hanya memaparkan kreativitas

petani saat ini, tetapi juga memasukkan dimensi sejarah untuk menjelaskan cara kreativitas petani itu muncul. Oleh karena itu, akan ada satu bagian dalam ilm yang menceritakan tentang kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) dan ARF (Aksi Riset Fasilitasi) serta situasi pertanian pada masa Revolusi Hijau. Setelah tercapai kesepakatan mengenai ide dan tujuan pembuatan

ilm, pembahasan dilanjutkan untuk menentukan alur cerita yang dapat mengakomodasi ide dan tujuan ilm. Pada pembahasan itu, ditentukan pula kegiatan yang perlu direkam, informan-informan, lokasi, dan waktu pengambilan gambar. Lihat tabel 1 Lampiran I tentang alur cerita ilm, informasi yang akan ditampilkan, datar nama informan, serta waktu pengambilan gambar.

Selain pembahasan mengenai ide cerita dan rancangan kegiatan pengambilan gambar, diskusi juga membahas tentang judul ilm. Pada awalnya petani menginginkan judul film yang yang dapat memperlihatkan kemandirian petani. War mengusulkan judul ilm “Revolusi Petani Mandiri” untuk mengontraskan situasi petani saat ini dengan kondisi pertanian pada masa Revolusi Hijau. War mengemukakan argumentasinya:

Dulu ketika jaman Revolusi Hijau kan petani selalu tergantung kepada pihak lain, bibit harus beli, pupuk juga beli, nah sekarang kan petani sudah bisa bikin bibit sendiri, sudah membuat pupuk sendiri. Karena itu judulnya harus bisa memperlihatkan kemandirian petani.

Menanggapi argumen War, saya kemudian mengusulkan agar judul jangan berisikan jargon-jargon yang terlalu bombastis. Lalu saya bertanya pada peserta diskusi “Apakah ada frasa atau kata dalam bahasa lokal yang bisa mewakili situasi kemandirian?” Menjawab pertanyaan itu Mitro kemudian muncul dengan frasa “ Bisa Dèwèk”. “Kemandirian itu dalam bahasa Indramayu ya itu Bisa Dèwèk bisa sendiri kan? Mandiri,” ungkap Mitro. Itulah pertama kali istilah Bisa Dèwèk muncul. Selanjutnya. istilah Bisa Dèwèk atau yang secara haraiah berarti “Bisa Sendiri”, disepakati oleh kedua belah pihak sebagai judul ilm.

39 Sebagai sebuah kolaborasi, dua tim juga sepakat atas pembagian

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

kerja sebagai berikut: pengambilan gambar sebagian besar akan dilakukan oleh tim UI. Namun demikian, tim Indramayu juga dapat melakukan pengambilan gambar jika sewaktu-waktu ada peristiwa penting dan Tim UI tidak dapat hadir. Hal itu disepakati dengan pertimbangan bahwa Tim Indramayu akan lebih berkonsentrasi pada hal-hal terkait dengan isi ilm seperti menentukan informan, mengatur jadwal, dan memilih lokasi shooting. Tim Indramayu juga menganggap bahwa mereka akan sulit untuk berkonsentrasi jika kegiatan pengambilan gambar dilakukan bersamaan dengan proses belajar memegang kamera.

Ada dua hal yang dapat saya simpulkan dari kegiatan diskusi di atas. Pertama, kegiatan ini memperlihatkan sebuah awal dari proses penciptaan representasi antropologis yang kolaboratif. Naskah ilm yang disusun dapat dilihat sebagai hasil negosiasi sekaligus dialog intersubjektivitas antara peneliti dengan subjek penelitian. Tidak seperti pada proses pembuatan ilm dokumenter yang konvensional, dalam hal ini peneliti memberikan kesempatan bagi subjek penelitian untuk turut berperan dalam menentukan cara mereka, sebagai subjek, direpresentasikan dalam sebuah pencitraan visual. Yang kedua, kesepakatan untuk membagi peran merupakan perwujudan dari negosiasi identitas sekaligus penegasan posisi masing-masing pihak, yang dilandasi pula oleh kesadaran masing-masing untuk dapat memahami kapasitas pihak lainnya.

Walaupun dua belah pihak berangkat dari latar belakang visual culture yang berbeda, kesepakatan dapat terwujud karena kedua pihak mengakomodasi kepentingan masing-masing. Pada awalnya, petani banyak menekankan pada aspek-aspek teknis dari tahapan kegiatan pemuliaan tanaman padi. Petani ingin seluruh tahapan kegiatan pemuliaan tanaman masuk ke dalam alur cerita ilm. Terkait dengan hal ini peneliti memberikan penjelasan bahwa ilm memiliki keterbatasan durasi waktu tayang. Oleh karena itu, tidak mungkin seluruh aspek teknis masuk menjadi bagian dari ilm. Penajaman ide ilm yang lebih menekankan pada proses terciptanya pengetahuan mengenai pemuliaan tanaman muncul karena ide ilm seperti inilah yang dianggap dapat mengakomodasi dua kepentingan, kepentingan akademik dan kepentingan advokasi.

Tahap Produksi dan Pasca Produksi

Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada tahap persiapan, masing-masing tim berkonsentrasi untuk menjalankan tugasnya. Tim UI memfokus pada hal-hal yang terkait dengan teknis pengambilan

40 Rhino Arieiansyah

gambar seperti menyiapkan kamera, kaset, dan melakukan pengambilan gambar itu sendiri. Tim Indramayu menyiapkan jadwal dan melakukan kontak dengan narasumber yang dianggap layak untuk menuturkan salah satu bagian dari cerita.

Pada saat kunjungan kedua tim UI di bulan Juli 2006, petani membawa saya dan anggota tim UI ke Desa Jengkok di Kecamatan Kertasemaya. Di sana sudah siap beberapa orang anggota kelompok ‘Karya Peduli Tani’ yang merupakan salah satu kelompok peserta Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman (SLPT). Sesuai dengan rencana, kunjungan ke Desa Jengkok bertujuan untuk mendokumentasikan kegiatan pengebirian dan persilangan bunga padi. Kegiatan pengebirian dan persilangan bunga padi merupakan salah satu bagian penting dari proses pemuliaan tanaman. Pada tahap inilah dua varietas padi yang dianggap memiliki sifat-sifat unggul disilangkan untuk menghasilkan persilangan yang disebut bastar. Bastar, atau hasil persilangan itulah yang akan ditanam dan diseleksi selama beberapa musim ke depan.

Di Desa Jengkok sudah menunggu Ariin, ketua kelompok ‘Karya Peduli Tani’ dan beberapa orang anggotanya yang sudah bersiap-siap mempraktikkan tata cara pengebirian dan persilangan tanaman padi. Kami pun dibawa ke salah satu lahan milik anggota kelompok untuk mengambil “ indukan” yaitu rumpun padi yang akan dikebiri. Setelah mengambil “ indukan”, proses pengebirian pun dilakukan di depan rumah Ariin. Sore hari sebetulnya bukan waktu yang ideal untuk melakukan pengebirian, namun untuk kepentingan pengambilan gambar, proses pengebirian tetap dilakukan. Perekaman gambar dari proses pengebirian itu sendiri berlangsung selama kurang lebih satu jam. Secara bergantian, Ariin dan Kamad mempraktikkan tatacara melakukan pengebirian pada indukan padi. Ariin secara interaktif memberikan penjelasan mengenai proses pengebirian sambil mempraktikkannya:

Padi itu termasuk bunga satu rumah, atau sempurna, jadi jantan dan betinanya ada dalam satu biji. Maka kalau kita mau menyilangkan padi terlebih dahulu melakukan pengebirian. Yaitu pembuangan bunga jantannya dulu.

Ini padi yang seperti ini yang besok siap kawin. Nanti kita buang yang atasnya, kita ambil yang tengah, yang bawah kita buang. Ini kita buka dulu semuanya, kita keluarkan malainya. Kemudian kita potong yang atasnya. (lihat film Bisa Dèwék, 2007, Lampiran II)

Begitulah kira-kira penjelasan Arifin tentang kegiatan pengebirian “ indukan” padi yang disampaikannya di sela-sela persiapan dan kegiatan pengebirian. Dengan antusias dan sungguh-sungguh Ariin mempraktikkan proses pengebirian padi sambil direkam dan disaksikan oleh anggota kelompok yang lain.

41 Selain melakukan perekaman gambar kegiatan pengebirian, hari itu

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?

juga tim UI melakukan wawancara dengan Ariin. Wawancara dilakukan untuk menggali aspek-aspek non-teknis dari kegiatan pemuliaan tanaman seperti motivasi Ariin untuk melakukan pemuliaan tanaman.

Pemilihan Arifin dan kelompok ‘Karya Peduli Tani’ sebagai narasumber dilakukan karena dua alasan. Berdasarkan keterangan dari

H. Roni dan War, Ariin dan kelompoknya dipilih karena mewakili kelompok yang beranggotakan generasi muda. Dimotori oleh anggota kelompok yang rata-rata berusia lebih muda daripada anggota kelompok lain, kelompok ini terkenal sebgai salah satu kelompok peserta yang aktif dalam melakukan kegiatan pemuliaan tanaman. Selain itu, alasan pemilihan kelompok ini juga didasarkan pada ketersediaan bahan baku alat praktik pengebirian dan persilangan padi. Saat tim UI datang di bulan Juli 2006 sebagian besar lahan kelompok peserta Sekolah Lapangan sudah memasuki masa panen, artinya sudah tidak ada lagi bahan baku padi untuk dikebiri dan disilangkan. Oleh karena itu, ketika melakukan penyusunan jadwal kegiatan, H. Roni dan War dengan sigap menelpon kelompok-kelompok peserta SLPT untuk menanyakan jadwal panen di kelompok masing-masing. Hasilnya Kelompok ‘Karya Peduli Tani’lah yang memiliki jadwal panen yang lebih lambat daripada kelompok- kelompok lain. Hal itu berarti masih ada bahan baku padi untuk dikebiri dan disilangkan. Sebagai gambaran, waktu yang ideal untuk melakukan

pengebirian padi ialah setelah padi mratak 3 , atau keluar malai. Sore hari kira-kira pukul 17.30 di bulan Juli 2006, kegiatan pengambilan gambar di Desa Jengkok pun berakhir. Seiring dengan tenggelamnya matahari, tim UI kembali ke basecamp di Desa Kalensari. Tim berencana untuk kembali esok hari ke Desa Jengkok untuk merekam kegiatan penyilangan padi yang sudah dikebiri guna melengkapi perekaman gambar salah satu tahapan penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman padi.

Bagi saya, pengalaman melakukan perekaman gambar di Desa Jengkok menunjukkan mulai berjalannya skema kolaborasi antara kedua tim yang terlibat dalam kegiatan ini. Hampir tidak mungkin jika tim UI harus bekerja sendirian dan mengambil keputusan-keputusan penting seperti penentuan kelompok dan pemilihan waktu yang tepat untuk merekam gambar pada kegiatan-kegiatan tertentu. Keterlibatan tim Indramayu juga mempermudah tim UI dalam memperoleh akses terhadap individu-individu yang dianggap tepat untuk tampil dalam ilm. Dalam hal ini, proses pembangunan rapport antara tim UI dengan subjek-subjek yang muncul dalam ilm amatlah terbantu dengan adanya keterlibatan tim Indramayu.

3 Padi mratak ialah saat keluarnya malai padi pada masa primordia.

42 Rhino Arieiansyah

Dari proses ini nampak bahwa pengetahuan etnograis yang diperoleh peneliti amat dipengaruhi oleh subjektivitas anggota tim Indramayu. Anggota tim Indramayulah yang menentukan siapa yang dianggap layak dan siapa yang dianggap tidak layak diwawancarai dan direkam kegiatannya. Di sisi lain, subjektivitas dalam pembuatan ilm itu juga dipengaruhi keberadaan anggota tim peneliti lain selain saya sebagai pembuat ilm. Tim UI terdiri dari satu peneliti utama, satu asisten peneliti, tiga mahasiswa, dan seorang administratur yang juga berperan sebagai fotografer. Kesulitan bekerja dengan tim peneliti terutama disebabkan banyaknyai kepentingan yang harus dimodiikasi. Pertanyaan-pertanyaan wawancara pun sebagian besar meluas karena masing-masing peneliti memiliki ketertarikan tersendiri terhadap masalah-masalah tertentu dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Kesulitan terbesar bekerja dengan tim peneliti adalah dilakukannya wawancara tidak hanya untuk kepentingan ilm, tetapi juga untuk pengumpulan data etnograi. Seringkali topik wawancara pun melebar. Saya pun memetik pelajaran berharga sebagai etnografer visual bahwa melakukan kegiatan produksi ilm yang berbarengan dengan pengumpulan data etnograi tidaklah mudah. Walau demikian, terdapat pula sisi positif dari pola kerja semacam ini. Pengetahuan saya mengenai berbagai aspek dalam pemuliaan tanaman menjadi sangat luas, sehingga saya memperoleh informasi yang begitu kaya mengenai berbagai aspek dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Dari pengetahuan itulah saya menjadi yakin dengan misi ilm, yaitu sebagai alat untuk meyakinkan berbagai pihak terhadap pentingnya mendukung kegiatan pemuliaan tanaman oleh petani.

Dalam berbagai wawancara, saya sengaja memberikan kesempatan kepada masing-masing anggota tim untuk mengajukan pertanyaan sesuai dengan minatnya masing-masing. Keputusan itu saya tempuh dengan pertimbangan bahwa suatu saat nanti, data berupa rekaman wawancara tersebut dapat menjadi data penelitian, baik untuk kepentingan ilm berikutnya ataupun sebagai sumber data dalam penulisan laporan penelitian.

Review setelah Shooting dan Proses Editing

Proses pengambilan gambar terus berlangsung selama kurang lebih dua musim tanam dari akhir musim kemarau hingga akhir musim hujan (2006−2007). Lamanya kegiatan pengambilan gambar disebabkan oleh banyaknya informan dan aktivitas yang harus diwawancarai dan direkam. Selain melakukan pengambilan gambar, pada tahap produksi, tim UI dan tim Indramayu juga melakukan kegiatan review. Review dilakukan hampir setiap malam setelah pengambilan gambar. Kegiatan ini bertujuan

43 untuk mendiskusikan apakah gambar-gambar yang direkam dianggap

Menuju Etnograi Visual Kolaboratif?