Kontestasi Asas dan Norma Hukum Administ

Abstract

The giving of freies ermessen (discretionary power) to the government or the state administration has the determined consequence on legislation. Based on freies ermessen, the state administration has the authority to conduct various legal actions in order to realize the public prosperity. Based on it, the authority is given to the government to make the regulations (delegated legislation), the regulatory policies (beleidsregel), and the decisions (beschikking) as dynamic move of the state administrative action. Therefore, the norms and the principles of administrative law work as a 'Juridische Instrumentarium' in goverment legislation-making. The contestation of norms and principles of administrative law in goverment legislation comes to be important as efforts to create implementing order of public administration for the purpose of being avoided the acts of breaking the law (onrechtmatige overheidsdaad), the arbitrarinesses (willekeur bus de droit), and the abuses of authority (detournament de pouvoir).

Abstrak

Pemberian freies ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara mempunyai konsekuensi determinis dalam bidang legislasi. Dengan bersandar pada freies ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum. Berdasarkan rasionalisasi tersebut pemerintah diberikan kewenangan dalam membuat peraturan perundang-undangan (delegated legislation), peraturan kebijakan (beleidsregel), dan keputusan (beschikking) sebagai wujud gerak dinamis tindakan administrasi negara. Dalam nalar itulah,

or a da asas huku ad i istrasi egara erfu gsi se agai juridische

i stru e tariu ’ dalam pembentukan legislasi pemerintahan. Kontestasi norma dan asas hukum administrasi negara dalam legislasi pemerintah menjadi penting sebagai upaya menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi

1 M Wildan Humaidi, S.H.I, M.H, Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Magister Hukum di UII, sekarang mengajar sebagai dosen di IAIN Purwokerto,

Email: wildan.humaidiku@gmail.com.

pemerintahan, sehingga terhindar dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad), kesewenang-wenangan (willekeur bus de droit), dan penyalahgunaan kewenangan (detournament de pouvoir).

A. Pendahuluan

Konsepsi negara hukum bukanlah gagasan yang hidup dalam ruang hampa statis. Perjalanan dan perkembangan negara hukum senantiasa seiring dengan dinamika masyarakat sebagai entitas dari sebuah negara. Negara merupakan suatu gejala sosial yang menjadi perhatian manusia sejak berabad-abad lalu. Sebagai suatu organisasi, negara merupakan wadah bagi sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu tatanan yang terorganisasi. Karena sejak zaman dahulu, motivasi paling umum yang mendorong manusia untuk hidup berkelompok dalam suatu tatanan negara tiada lain adalah motivasi untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Oleh karenanya, pada tataran negara hukum sekalipun, perjalanan kehidupan manusia tidak bisa dinafikan.

Sejarah kelahiran negara hukum telah diperkenalkan oleh Plato, ketika ia menulis Nomoi. 2 Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik

ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku politica. Aristoteles mengemukakan bahwa negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan

berkedaulatan hukum. 3 Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan

umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang- wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan

2 Nomoi merupakan karya Plato sebagai penyempurna karya-karya sebelumnya yang menjelaskan problematika kenegaraan. Jauh sebelumnya Plato menulis dalam karyanya Politea

(the Republic), yang menegaskan bahwa para penguasa sudah seharusnya menguasai ilmu pemerintahan atau seorang filusuf. Sayangnya, ide tersebut hanya dalam alam ide. Dalam upayanya memperbaiki gagasannya, Plato menulis Politicos (the stateman), dalam gagasannya ini Plato sadar bahwa hukum merupakan sesuatu yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hanya saja Plato berpendapat bahwa hukum tidak berlaku bagi penguasa, karena menurutnya penguasa adalah seorang yang arif dan bijaksana (sebagai filusuf). Namun dalam kenyataannya, tidak semua penguasa mengerti hukum. Sehingga hal ini menuntut Plato untuk memperbaiki gagasannya kembali, dan dituangkan dalam bukunya Nomoi (the law). Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Jakarta, Erlangga: 2010), hlm. 10-15.

3 Baca juga dalam Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2008), hlm. 23-29.

berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan/tekanan, yang dilaksanakan pemerintahan despotik. 4

Dalam perjalanan konstelasi negara hukum, teori negara hukum terus mengalami perubahan dinamis untuk menciptakan cita-cita rakyat. Ide negara hukum yang pertama lahir di benua Eropa adalah ide negara penjaga malam. Ide negara hukum penjaga malam dapat juga disebut negara hukum liberal atau negara hukum klasik. Sejalan dengan perkembangannya, ide negara hukum liberal telah dinilai gagal dalam mewujudkan kesejahetaraan bagi masyarakat dan digantikan dengan ide negara hukum formal. Ide negara hukum formal masih tetap mempertahankan unsur negara hukum klasik atau negara penjaga malam, tetapi dilengkapi dengan unsur-unsur lain. Penambahan unsur-unsur lain tersebut dimaksudkan untuk lebih dapat memberikan jaminan kebebasan dan perlindungan yang lebih baik kepada individu dari kemungkinan tindakan sewenang-sewenang penguasa sekaligus membuka peluang yang terbatas kepada pemerintah untuk turut campur dalam kehidupan individu. Campur tangan pemerintah secara terbatas dalam kehidupan individu dianggap perlu dalam rangka pemerataan pendapatan ekonomi supaya, paling tidak, kesejahteraan rakyat dapat diselenggarakan.

Ide negara hukum formal seperti dikemukakan di atas telah gagal dalam mengikuti perkembangan masyarakat yang berkembang dengan sangat cepat sebab ide negara hukum formal sesuai dengan asas legalitas yang sempit (wetmatig) sangat terikat kepada undang-undang. Untuk itu, perlu kehadiran negara hukum yang ideal, suatu bentuk negara hukum yang lebih luwes dan populis daripada negara hukum formal, meskipun tetap harus memberikan kepastian hukum secara relatif.

Negara ideal tersebut adalah negara hukum material. Negara hukum material atau negara hukum kesejahteraan juga disebut dengan negara hukum sosial (social service state). Kelahiran negara hukum material didorog oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Menurut E. Utrecht, sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi

kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). 5

4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara; edisi revisi, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm. 2.

5 Pergeseran tugas administrasi tersebut didorong oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi.

Pergeseran konsep tersebut sekaligus mengubah skema peran sosial pemerintah yang semula sekedar subordinat terhadap legislasi parlemen, menjadi berperan aktif melalui kebijakan operasional dan berbagai diskresi untuk mencegah menajamnya kesenjangan sosial. Baca dalam W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, cetakan ke-5 (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2012), hlm. 8.

Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu lazim dikenal dengan istilah freies ermessen atau discretionary power. 6

Pemberian freies ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi. Dengan bersandar pada freies ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum.

Menurut E. Utrecht, kekuasaan administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi; Pertama, kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat; kedua, kekuasaan administrasi negara untuk membuat peraturan atas dasar delegasi. Karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memerhatikan tiap-tiap soal yang timbul dan karena pembuat undang-undang hanya dapat menyelesaikan soal-soal yang bersangkutan dalam garis besarnya saja dan tidak dapat menyelesaikan tiap detail pergaulan sehari-hari, maka pemerintah diberi tugas menyesuaikan peraturan-peraturan yang diadakan pembuat undang- undang pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat; ketiga, droit fu tio , yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri berbagai peraturan, yang berisi administrasi negara berwenang

mengoreksi (corrigeren) hasil pekerjaan pembuat undang-undang. 7

Oleh karenanya, perlu pemetaan secara komprehensif mengenai kontestasi asas hukum administrasi negara dalam intsrumen legislasi negara (pemerintahan) atau peraturan perundang-undangan. Norma dan asas hukum administrasi negara merupakan conditio sin a quanon dalam proses pembentukan dan sekaligus pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Sebuah peraturan perundang-undangan yang menafikan kecermatan dalam mengimplemantasikan norma dan asas hukum administrasi negara hanya akan menghasilkan sebuah peraturan perundang-undangan yang cacat.

B. Kewenangan Legislasi Pemerintah

Tak pelak lagi bahwa dalam konsepsi negara kesejahteraan pemberian wewenang legislasi kepada pemerintah merupakan suatu keniscayaan. 8

6 Ridwan HR, Hukum Administrasi ..., (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm. 15. 7 Ibid., hlm. 16.

8 Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-

hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. Menurut Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham

Pemeberian kewajiban kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan umum (bestuurzorg), seiring dengan tuntutan negara kesejahteraan, tidak akan berjalan secara efektif dan efisien jika pemerintah hanya menunggu peraturan dari lembaga legislatif. Ditemukan banyak alasan baik secara teoritik maupun praktik mengapa kewenangan pembuatan peraturan itu bukan lagi monopoli lembaga legislatif. Hampir semua undang-undang memberikan wewenang kepada organ pemerintahan untuk membuat peraturan pelaksanaan atau peraturan hukum yang bersifat administrasi dalam rangka hubungan hukum dengan warga negara (delegated legislation). Pemberian kewena

ga legislasi kepada ad i istrasi i i dise ut de ga istilah terugtred van de wetgever ya g ke udia

elahirka pe etapa or a se ara

9 bertingkat 10 atau berangkai (gelede normstelling). Indroharto menyebutkan tiga sebab adanya terugtred van de wetgever

ini, yaitu: 11

1) Karena keseluruhan hukum tata usaha negara (TUN) itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat undang-undang untuk mengatur seluruhnya dalm undang-undang formal;

2) Norma-norma hukum TUN itu harus disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat undang-undang dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;

3) Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat undang-undang yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), dan sebagainya.

kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. Ibid., hlm. 94.

9 Menurut Indroharto, dalam suasana hukum tata negara kita mengahadapi bertingkat- tingkatnya norma-norma hukum yang harus kita perhatikan. Lebih lanjut Indroharto

menyebutkan bahw keseluruhan hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkat dari yang sangat umum dan sampai pada norma yang paling individual dan konkret. Kemudian pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dala masyarakat tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang dan badan-badan peradilan saja melainkan juga oleh pemerintah yang menjabat sebagai tata usaha negara. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 140.

10 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hlm. 62-63.

11 Indriharto, Usaha Memahami Undang-Undang ..., (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 140.

Pemberian kewenangan kepada administrasi ini tidak dapat dihindarkan, dan akan memberikan keuntungan yang lebih besar untuk waktu yang tidak terbatas yang dapat dijangkau oleh pembuat undang-undang. Keterbatasan waktu dan sumber daya badan legislatif, prosedur formal yang berat dan lamban, perkembangan dinamis kehidupan sosial yang menuntut kesegeraan pelayanan pemerintah, semakin memperkuat alasan pemberian kewenangan legislasi kepada administrasi. Dengan kata lain, delegasi pembuatan peraturan peundang- undangan terjadi bukan karena pembuat undang-undang formal tidak mampu menetapkan sendiri peraturan terperinci yang diperlukan, tetapi karena alasan sifat pragmatis memerlukan agar hal ini diserahkan kepada organ administrasi. Pendeknya, bersamaan dengan pemberian kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan umum kepada pemerintah, maka kewenangan legislasi merupakan

kewenangan inheren bagi administrasi (regelend daad van de administraie). 12 Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan tersebut, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara,

Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht . Ke e a ga ya g di dala ya terka du g hak da

kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:

Het er oge tot het erri hte a epaalde re htsha deli ge (handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertor strekken

dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te

erri hte of a te late .

[kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.]

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga

12 Ibid.

cara yaitu atribusi, delegasi, mandat. 13 Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. 14 Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang

kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan antara:

a. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara Indonesia di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah.

b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.

Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang.

Implementasi kewenangan legislasi bagi pemerintah atau administrasi tersebut untuk selanjutnya ada yang bersifat mandiri (de autonomic van het bestuursbevoegdheid), dalam arti peraturan perundang-undangan itu dibuat oleh administrasi sendiri tanpa keterlibatan lembaga lain, dan ada yang tidak mandiri, yakni dibuat bersama-sama lembaga legislatif (kolegial). Dalam sistem hukum di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang bersifat kolegial ini adalah

13 Senada dengan Donner yang menjelaskan bahwa Pemberian tugas pembuatan peraturan (perundang- u da ga di erika erdasarka delegasi atau peli paha tugas

kepada ad i istrasi egara ya g iasa dise ut de ga delegasi perundang-u da ga (delegatie van wetgeving). Menurut pendapat Utrecht terdapat kewenangan administrasi negara dalam bidang perundang-undangan melalui kewenangan atas inisiatifnya sendiri atau melalui delegasi perundang-undangan. Kewenangan inisiatif ini dapat melahirkan peraturan yang

setingkat UU yaitu Perpu, sedangkan kewenangan atas delegasi dapat melahirkan peraturan yang derajatnya dibawah undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah. Dasar dari kewenangan administrasi negara untuk membuat peraturan atas inisiatif-nya sendiri (menurut Donner kewenangan atas delegasi itu) untuk Indonesia adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi

e etapka peratura pemerintah sebagai pengganti undang-und a g. “ela jut ya Perpu ya g di uat oleh Preside tersebut harus diberi bentuk UU dengan dimintakan persetujuan DPR pada sidang berikutnya. Jika DPR tidak menyetujui untuk dijadikan UU maka Perpu itu harus dicabut. Lihat S. F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I (Yogyakarta: FH UII Press, 2012), hlm. 152-153. Lihat juga pengaturan perihal kewenangan dalam UU No. 30 Tahun 2014 dalam ketentuan norma Pasal 11.

Dala hal ikh al kege ti ga ya g

e aksa preside erhak

14 Rumusan norma Ketentuan Umum di dalam Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan atribusi sebagai pemberina kewenangan kepada

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau undang-undang.

undang-undang atau peraturan daerah, yakni produk hukum tingkat Pusat yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR, dan Produk hukum tingkat daerah yang dibuat oleh Kepala Daerah bersama-sama DPRD. Karaketeristik peraturan perundang-undangan dicirikan dengan sifat umum yang ditandai dengan empat hal yaitu ruang lingkup, waktu, kenyataan hukum, dan subyek

hukum. Keempat hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 15

a. Ruang lingkup berlakunya; jika wilayah luas peraturan hukum, sifat umumnya berarti bahwa peraturan itu berlaku di mana-mana;

b. Lingkup waktu; sifat umumnya berarti bahwa peraturan hukum itu selalu berlaku (seperti juga hukum tidak dapat berubah atau hilang);

c. Kenyataan hukum; peraturan hukum mengikat akibat hukum tertentu. Kenyataan hukum ini harus senantiasa berulang dan dapat terjadi di mana-mana;

d. Subjek hukum; berarti subjek terhadap siapa hukum itu ditujukan. Sifat umum ini berarti bahwa peraturan itu menetapkan sesuatu tentang perilaku dari semua manusia, seperti juga semua manusia tunduk kepada hukum alam.

Undang-undang (wet) dan peraturan daerah (verordening) sebagai suatu peraturan perundang-undangan memiliki sifat umum dengan norma yang abstrak sehingga untuk penerapannya diperlukan instrumen hukum lain berupa peraturan pelaksanaan. Atas dasar itu, terjadilah delegated legislation atau delegatie van wetgeving kepada pemerintah atau administrasi untuk membuat

dan menetapkan instrumen-instrumen hukum. 16

C. Tindakan dan Instrumen Pemerintah dalam Legislasi

Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subjek hukum, sebagai drager van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan, baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindaka- tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan tindakan hukum menurut R.J.H.M Huisman, tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan

aki at huku terte tu, atau Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten of plichten , Ti daka huku adalah ti daka ya g di aksudka u tuk

menciptakan hak dan kewajiban). Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht), yang kemudian digunakan dalam hukum Administrasi Negara, sehingga dikenal tindakan hukum admininstrasi (administratieve

15 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum ..., (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hlm hlm.64-65. 16 Ibid.

rechtshandeling). 17 Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum adalah akibat- akibat yang memilki relevansi dengan hukum, seperti penciptaan hubungan

hukum baru, perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada). Dengan kata lain, akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen) itu dapat berupa hal-hal sebagai

berikut; 18

a. Indien er een verandering optreedt in de bestaande rechten, verplichtingen of bevoegdheid van sommigen; (jika menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban, atau kewenangan yang ada).

b. Wanner en verandering optreedt in juridische status van een persoon of (van) object; bilamana menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek yang ada).

c. Wanner het bestaan van zekere rechten, verplichtingen, bevoeghdheden of status bindend wordt vastgesteld; (bilamana terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang ditetapkan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintah atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintah atau administrasi negara. Berdasarkan pengertian ini tampak ada beberapa unsur yang terdapat di dalamnya. Muchsan menyebutkan

unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut: 19

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (besturrsorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara;

4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

17 Me urut H.J. ‘o eij , Een administratieve rechtshandeling is dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een administrtief orgaan, gericht op het in het leven roepen

a ee re htsge olg op het ge eid a ad i istratief re ht. (Tindakan hukum adminstrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ adminstrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum Administrasi Negara.) H.J. Romeijn, Adminstratiefrecht, Hand en Leerboek, Noor a s Periodieke Pers . ., Dee Haag, 1934), hlm. 29. Sebagaimana dikutip Ridwan, HR, Hukum ..., (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 110.

18 Ibid, hlm. 111. 19 Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan

Administrasi Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 18-19. Sebagaimana dikutip Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, 113.

Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah, terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan asas legalitas atau wetmatigheid van bestuur, yaitu perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada pertauran perundang-undangan yang berlaku,

Administratiefrechtelijke rechts handelingen kunnen in principe allen verricht worden in de gevallen waarin en op de wijze waaop een wettelijk voorschrift dat heeft voorzien of toelaat pada pri sipnya, tindakan hukum administrasi hanya dapat dilakukan dalam hal dan dengan cara yang telah diatur dan diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan). Tanpa dasar peraturan perundang- undangan, tindakan hukum pemerintah akan dikategorikan sebagai tindakan

hukum tanpa kewenangan (onbevoegd). 20 Menurut E.Utrecht tindakan pemerintah dapat dilakukan dengan berbagai

cara, yaitu:

1. Yang bertindak adalah administrasi negara itu sendiri;

2. Yang bertindak adalah subyek hukum/badan hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara, dan dilakukan berdasarkan sesuatu hubungan istimewa, seperti badan hukum yang diberi monopoli;

3. Yang bertindak adalah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang menjalankan pekerjaan berdasarkan suatu konsesi/izin dari pemerintah. Artinya pekerjaan tersebut diserahkan oleh pemerintah kepada badan swasta untuk menyelenggarakan kepentingan umum, seperti Damri, Pelni, Shell, Caltec, dan sebagainya;

4. Yang bertindak adalah subyek hukum lain yang idak termasuk administrasi negara yang diberi subsidi oleh pemerintah, seperti yayasan-yayasan pendidikan;

5. Yang bertindak adalah pemerintah bersama-sama dengan subyek hukum lain yang bukan administrasi negara di mana kedua belah pihak tergabung dalam kerjasama, seperti Bank Industri Niaga (dimana pemerintah bukan pemegang saham tetapi di dalam dewan direksinya ada wakil-wakil pemerintah;

6. Yang bertindak adalah yayasan yang didirikan/diawasi oleh Pemerintah, seperti yayasan Supersemar, yayasan veteran, dan sebagainya;

7. Yang bertindak adalah koperasi yang didirikan/diawasi oleh pemerintah;

8. Yang bertindak adalah Perusahaan Negara seperti PLN. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam tindakan pemerintah yang merupakan tindakan hukum dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu:

1. Dengan membebankan kewajiban pada organ-organ itu untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

20 Ridwan, Hukum Administrasi negara ..., (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.113.

2. Dengan mengeluarkan undang-undang yang bersifat melarang atau yang ditujukan pada tiap-tiap warganegara untuk melakukan perbuatan (tingkah laku) yang perlu demi kepentingan umum.

3. Memberikan perintah-perintah atau ketetapan-ketetapan yang bersifat memberikan beban.

4. Memberikan subsidi-subsidi atau bantuan kepada swasta.

5. Memberikan kedudukan hukum (rechtstatus) kepada seseorang sesuai dengan keinginannya, sehingga orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban.

6. Melakukan pengawasan terhadap pekerjaan swasta.

7. Bekerjasama dengan perusahaan lain dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh kepentingan umum.

8. Mengadakan perjanjian dengan warganegara berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi negara melakukan berbagai tindakan hukum, dengan menggunakan berbagai sarana atau instrumen. Instrumen pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya. Instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan tindakan pemerintahan tersebut mempunyai keterkaitan erat dengan struktur norma dalam hukum administrasi negara.

Berkenaan dengan struktur norma hukum administrasi negara tersebut,

H.D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt menjelaskan bahwa hukum materiil mengatur perbuatan manusia. Peraturan, norma, di dalam Hukum Administrasi Negara, memiliki struktur yang berbeda dibandingkan dengan struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau pidana, kita menemukan secara langsung norma mengenai [apa yang diatur dalam hukum tertulis] dalam undang-undang. Dalam Hukum Administrasi Negara struktur norma ditemukan pada berbagai tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan; di sana kita harus menemukan norma pada tingkatan-tingkatan peraturan hukum

itu). 21 Indriharto menyebutkan bahwa;

1. Keseluruhan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkat dari yang sangat umum yang dikandung dalam TAP MPR, UU, dan seterusnya sampai pada norma yang paling individual dan konkret yang dikandung dalam penetapan tertulis

21 Het materiele recht geeft voorschriften voor het mensenlijk handelen. Deze voorschriften, normen, hebben in het administratieve recht meestal een andere structuur dan in

het privaatrecht en in het strafrecht. Daar vindt men (wat het geschreven recht betreft) de norm doorga s re htstreeks i de et .

aar i het estuursre ht i dt de or stelli g heel aak plaats in twee of meer fasen; men moet een samenstel van rechtsregels raadplegen om er achter

te ko e aar e aa toes is . Sebagaimana dikutip dan telah diterjemahkan Ridwan HR, Hukum Administrasi..., (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 126.

(beschikking); jadi suatu penetapan tertulis itu juga dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan yang bersifat umum.

2. Pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha negara.

Philipus M. Hadjon membuat kualifikasi norma. Berdasarkan adressaat, dikelompokkan empat macam sifat norma hukum, yaitu:

1. Norma umum abstrak misalnya undang-undang;

2. Norma individual konkret misalnya keputusan tata usaha negara;

3. Norma umum konkret misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang di tempat tertentu (rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan, namun hanya berlaku untuk tempat itu);

4. Norma individual abstrak misalnya izin gangguan. Kualifikasi norma hukum yang hampir sama dikemukakan pula oleh H.D. Van Wijk/ William Konijnenbelt, yakni sebagai berikut;

1. Umum-abstrak: peraturan umum, contohnya peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan (Peraturan pemerintah di bidang lalu lintas), peraturan bangunan;

2. Umum-konkret: keputusan tentang larangan parkir pada jalan tertentu, pernyataan tidak dapat didiaminya satu rumah (larangan mendirikan rumah pada wilayah tertentu)

3. Individual-abstrak; izin yang disertai syarat-syarat yang bersifat mengatur dan abstrak serta berlaku secara permanen, contohnya izin berdasarkan undang-undang pengelolaaan lingkungan.

4. Individual-konkret: surat keputusan pajak, pemberian subsidi untuk suatu kegiatan, keputusan mengenai pelaksanaan paksaan pemerintahan.

D. Implementasi Norma Hukum Administrasi Negara dalam Legislasi Pemerintahan

Pemerintah dalam arti administrasi negara telah mempunyai tugas untuk melakukan pemenuhan atas kebutuhan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara, sebagaimana diuraikan di atas. Dalam rangka untuk menjalankan tugas dan kewajibannya tersebut, administrasi negara senantiasa melakukan sikap-tindak, yaitu suatu tindakan baik yang bersifat aktif maupun pasif yang

tidak lepas dari kekuasaan yang melekat padanya. 22 Sikap tindak hukum administrasi negara ini, menurut Sjahran Basah

mempunyai tiga fungsi, yaitu:

22 A shari “etia Nugraha, Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Administrasi Negara dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press,

2001), hlm. 167.

1. Membentuk peraturan undang-undang dalam arti materiil pada satu pihak dan pada lain pihak membuat ketetapan (beschikking). Yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil dimaksud adalah ketentuan-ketentuan yang bentuknya bukan undang-undang dan tingkatan derajatnya pun di bawahnya. Meskipun demikian, ketentuan-jketentuan itu mempunyai daya ikat umum dan abstrak sifatnya.

2. Menjalankan pemerintahan dalam kehidupan bernegara dalam rangka mencapai tujuannya.

3. Menjalankan fungsi peradilan. Dalam menakar implementasi norma dan asas hukum administrasi negara dalam legislasi pemerintah, dapat diklasifikasikan berdasar kewenangan pembentukannya dan kualifikasi norma yang menjadi rumusan pengaturan dalam jenis peraturan perundang-undangannya. Klasifikasi tersebut terdiri dari Peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan (beleidsregel), dan Keputusan Pemerintah (beschikking).

I. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan adalah hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general . “e ara teoritik, istilah peru da g-u da ga (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu; pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah. 23 Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa- peristiwa yang akan datang yang akan belum jelas bentuk

23 Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peratura peru da g-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat

secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, aik di ti gkat pusat aupu di ti gkat daerah, ya g juga e gikat u u . “eda gka dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- U da ga dise utka ah a Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan

tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan .

konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengetasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencentumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Berdasarkan kualifikasi norma hukum yang bersifat umum-abstrak, dapat dicirikan sebagai berikut:

1. Tjid (een regel geldt niet slechts op een moment); Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu);

2. Plaats (een regel geldt niet slechts op een plaats): Tempat (tidak hanya berlaku pada tempat tertentu;

3. Persoon (een regel geldt niet slechts voor bepaalde persoon); Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu); dan

4. Rechtsfeit (een regel geldt niet voor een enkel rechtsfeit, maar voor rechtsfeiten die herhaalbaar zjin, dat wil zeggen zich telkens voor kunnen doen). Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk perbuatan yang berulang-ulang).

Di sisi lain, diberikannya kewenangan legislasi bagi pemerintah yaitu berkenaan dengan sifat dari norma Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Administrasi Negara, yakni bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract). Untuk menghadapi peristiwa konkret, norma yang bersifat umum abstrak tersebut membutuhkan instrumen yuridis yang bersifat konkret individual.

Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau administrasi negara itu ada yang bersifat mandiri dan ada yang tidak mandiri (kolegial). Kewenangan legislasi yang tidak mandiri, dalam arti dibuat bersama-sama pihak lain, berwujud undang-undang atau peraturan daerah. Secara formal, semua produk hukum yang dibuat secara kolegial oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR/DPRD disebut undang-undang atau Peraturan Daerah. Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang dibuat bersama-sama oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan

DPR/DPRD ini dikenal dengan istilah UU dalam arti formal (wet in formele zin). 24

24 Menurut seorang sarjana Jerman bernama Paul Laband, undang-undang dapat diartikan secara formil dan materiil (wet in formele zin dan wet in materiele zin). Undang-undang

dalam arti formil (wet in formele zin) adalah setiap peraturan (keputusan pemerintah) yang dikatakan dengan cara terjadinya atau cara pembentukannya. Di Indonesia pengertian undang- undang dalam arti formil adalah setiap produk hukum yang dibuat oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan undang-undang dalam arti materiil adalah suatu penetapan kaidah hukum dengan tegas sehingga kaidah hukum itu mempunyai sifat mengikat. Menurut Paul Laband, untuk mengikatnya suatu aturan hukum harus ada dua unsur secara bersama bagi aturan hukum itu, yakni penetapan secara tegas (anordnung) dan peraturan atau isi hukumnya itu sendiri (rechtstaats). S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, (Yogyakarta: FH UII Pers, 2012), hlm. 165-166. Maria Farida, sejalan dengan Hamid S.Attamimi berpendapat bahwa pemakaian kedua istilah (wet in formele zin dan wet in materiele zin) bagi negara Indonesia adalah tidak

Sedangkan peraturan perundang-undangan yang dibuat secara mandiri oleh pemerintah atau administrasi lebih tepat disebut dengan istilah regulasi (regulation) sebagai wujud dari delegated legislation atau gedelgeerde wetgeving, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan secara spesifik digunakan untuk menunjuk pada produk hukum dari legislator murni (original legislator). Atas dasar itu, yang tergolong peraturan perundang-undangan adalah undang-undang dan peraturan daerah. Namun, pemilahan dan penggunaan istilah tersebut tidak dianut dalam nomenklatur legislasi di Indonesia, sehingga semua jenis ketentuan tertulis yang mengikat atau ditujukan untuk umum (algemeen verbindende voorschriften) disebut peraturan perundang-undangan, tanpa mempersoalkan siapa pun atau lembaga apa pun yang membuatnya. Tanpa ada pemilahan antara produk legislation dengan delegated legislation akan menimbulkan persoalan terutama dalam kaitannya dengan sistem hirarki peraturan. Tanpa pemilahan itu akan sulit mengkualifikasikan peraturan yang lebih tinggi, Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah dalam rangka otonomi. Dalam praktik, Peraturan Daerah yang merupakan produk legislation sering

dikalahka de ga Peratura Me teri ya g ya g erupaka delegated legislation. Peraturan perundang-perundangan yang dibuat dan ditetapkan oleh

administrasi itu selain mengatur administrasi dalam arti institusi (bestuur als orgaan), juga mengatur administrasi dalam arti fungsi (bestuur als functie). Di samping itu, sebagai dasar legitimasi perbuatan hukum pemerintahan, termasuk dalam pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan administrasi (beschikkingen van het administratie).

Kewenangan DPR/DPRD di atas yang dijalankan bersama-sama dengan Pemerintah untuk membentuk perundang-undangan adalah perwujudan asas demokrasi dalam negara hukum. Asas demokrasi merupakan akar bagi negara hukum dan Hukum Administrasi Negara, karena secara substansial asas demokrasi meletakkan dan menjunjung tinggi superioritas kedaulatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi dan Hukum Administrasi Negara sebagai pelaksana cita-cita Pemerintah yang diperintah, akan menimbulkan konsekuensi bagi badan atau pejabat administrasi negara, di mana setiap ti daka ada atau peja at ad i istrasi egara harus terle ih dahulu memperoleh persetujuan dari yang diperintah (rakyat).

Persetujuan dari rakyat tersebut dalam negara modern dilakukan melalui wakil-wakilnya di Parlemen (DPR) yang dituangkan dalam bentuk undang- undang, sehingga melahirkan asas legalitas. Secara tegas dapat disimpulkan bahwa asas demokrasi dan asas legalitas menjadi dasar kewenangan atau

tepat, oleh karena menurut UUD 1945 dan sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal istilah undang- u da g saja, ya g dapat dipersa aka de ga wet yaitu for ele et , sebagai suatu keputusan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atau setelah amandemen UUD 1945 dibentuk DPR dengan persetujuan Presiden. Baca lebih lanjut dalam Maria Farida Indrati S, ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:Kanisius, 2007), hlm. 51-54.

legitimasi bagi badan atau pejabat administrasi negara dalam bertindak (atributif), utamanya tindakan-tindakan hukum yang sifatnya membebankan

sesuatu kepada seseorang atau masyarakat. 25 Asas legalitas mempunyai arti penting dan menempati kedudukan yang

tingggi dalam hukum administrasinya yang diwujudkan dalam asas wetmatigheid van bestuur. Asas legalitas mengandung makna bahwa setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara harus berdasarkan undang-undang formal (hukum tertulis). Dari asas legalitas inilah kemudian lahir pengertian administrasi negara dalam arti yuridis, yakni sebagai pelaksana atau penyelanggara undang-

undang dalam arti luas (wet in ruine zin). 26 Asas legalitas dapat melahirkan konsekuensi positif dan negatif bagi badan

atau pejabat administrasi negara. Konsekuensi positif berarti akan melahirkan setiap tindakan dari badan atau pejabat administrasi negara selalu berdasarkan hukum (tertulis). Berdasarkan hukum tertulis (undang-undang formal) berarti tindakan badan atau pejabat administrasi negara merupakan manifestasi dari asas negara hukum dan asas demokrasi yang melahirkan asas negara hukum demokratis.

Konsekuensi negatif dari asas legalitas berarti apabila tindakan badan atau pejabat administrasi negara tidak berdasarkan atas peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka badan atau pejabat administrasi tidak memiliki dasar wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, sehingga tindakan badan atau pejabat administrasi negara tidak boleh melakukan suatu tindakan yang bersifat mengikat secara umum, tanpa memiliki dasar wewenang

yang diperoleh dari undang-undang formal (atribusi). 27 Asas legalitas sebagai dasar kewenangan atau keabsahan dalam

penyelenggaraan pemerintah dapat terjadi karena; diberikan oleh badan legislatif kepada administrasi negara melalui atribusi, atau diberikan oleh administrasi negara kepada administrasi negara lainnya melalui perundang- undangan dengan cara delegasi.

25 S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, (Yogyakarta: FH UII Press, 2012), 64. Tindakan-tindakan hukum yang sifatnya membebankan sesuatu kepada orang atau masyarakat

misalnya adalah pajak. Dalam hukum pajak telah lama dikenal adagium yang maknanya merujuk pada kepada asas legalitas, misalnya di Inggris ditemukan adagium yang berbunyi: No taxtation without representation. Di A erika adagiu le ih keras lagi Taxtation without representation is robbery . Oleh kare a ya e urut pe ulis, ah a represe tasi rakyat ya g ter akili dala lembaga perwakilan adalah sebagai perwujudan asas demokrasi dalam pembuatan dan pelaksanaan undang-undang. Lihat Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, edisi revisi (Jakarta, Rajawali Pers, 2010), hlm. 6.

26 S.F. Marbun, Hukum Administrasi..., (Yogyakarta: FH UII Press, 2012), hlm. 66. Di Indonesia secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukan ketentuannya dalam Pasal

a gka UU No. Tahu Te ta g Peradila Ad i istrasi. Badan atau pejabat tata usaha negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang be rlaku .

27 Ibid., hlm. 67.

I. Peraturan Kebijakan (Beleidsregel)

Sebagaimana dijelaskan terlebih dahulu, bahwa prinsip yang berlaku dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan adalah legalitas (legaliteitbeginsel), yakni setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi berdasarkan prinsip ini menimbulkan masalah. Sering kali terjadi kesenjangan antara perubahan masyarakat yang cepat dengan peraturan perundang-undangan tertentu. Seringkali pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat, sementara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

tindakan pemerintah tersebut belum atau tidak ada. 28 Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu dapat terjadi kontradiksi internal

bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang berkembang pesat, di sisi lain pemerintah dalam melakukan tindakan pelayanan itu harus memiliki dasar hukum, yang tidak selalu peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan dasar tindakan itu telah ada. Artinya terdapat kesenjangan antara asas legalitas dengan realitas yang dihadapi pemerintah.

Untuk menghadapi kesenjangan tersebut, pemerintah diberikan freies ermessem. Dalam konsepsi negara hukum modern, freies ermessen ini melekat pada pemerintah (inherent aan bestuur), sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah terhadap kehidupan sosial

ekonomi para warga yang kian komplek. 29 Freies ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan

ruang bergerak pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya oleh undang-undang, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Freies ermessen digunakan terutama karena; Pertama, kondisi darurat yang tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya namun redaksinya sama atau multitafsir (vague; note clearly expressed, inexplicit. Ambigouos;open