Augustinus Dosa Asal docx 1

AUGUSTINUS DAN DOSA ASAL
Aurelius Augustinus, Augustine of Hippo atau Santo Augustinus (13
Nopember 354 – 28 Agustus 430) adalah salah satu tokoh paling penting dalam
perkembangan agama Kristen di Barat. Bagi para penganut Katholik Roma dan
Jemaat Anglican, ia seorang santo dan Dokter Gereja yang menonjol, dan panutan
ordo agama Augustinus. Banyak kalangan Protestan, terutama dari sekte Calvinis,
menganggapnya salah seorang sumber theologis ajaran Reformasi tentang
keselamatan dan kasih karunia. Ia juga dianggap santo oleh Gereja Ortodoks.
Lahir di Afrika sebagai putra sulung dari Santa Monica, ia menuntut ilmu di Roma
dan dibaptis di Milan. Tulisan-tulisannya – termasuk The Confessions, yang sering
disebut otobiografi Barat pertama – masih bisa dibaca di seluruh dunia.
Kehidupannya
Santo Augustinus lahir pada tahun 354 di Tagaste (sekarang bernama Souk Ahras,
Aljazair), sebuah kota di propinsi Roma di Afrika Utara. Ia besar dan masuk sekolah dasar di
Tagaste. Pada usia 11 tahun, Augustinus pergi sekolah ke Madauros, sebuah kota kecil
Numidian sekitar 19 mil sebelah utara Tagaste. Pada usia tujuh belas tahun ia pergi ke
Carthage untuk melanjutkan pendidikannya di bidang rhetorika. Ibunya yang dihormati,
Monica, adalah orang asli Berber dan penganut Katholik yang saleh, dan ayahnya, Patricius,
seorang penyembah berhala; tetapi Augustinus menganut agama Manichaean yang
kontroversial, yang sangat mengecewakan ibunya. Augustinus muda mempunyai gaya hidup
hedonistik dan, di Carthage, ia membina hubungan dengan seorang wanita muda yang kelak

menjadi gundiknya selama lima belas tahun. Selama kurun waktu tersebut ia memperoleh
seorang putera, Adeodatus, dengan seorang wanita muda. Pendidikan dan karir awalnya
adalah di bidang filsafat dan rhetorika, seni membujuk dan berbicara di depan umum. Ia
mengajar di Thagaste dan Carthage, tetapi ingin pergi ke Roma tempat di mana ia yakin para
ahli rhetorika terbaik dan paling cerdas berpraktek. Akan tetapi, Augustinus merasa kecewa
dengan sekolah-sekolah Roma, yang menurutnya bersikap apatis. Begitu tiba saatnya para
siswanya membayar ongkos mereka para siswa tersebut kabur. Teman-teman Manichaean
memperkenalkan dirinya dengan petinggi kota Roma, Symmachus, yang diminta
menyediakan dosen rhetorika untuk pengadilan kerajaan di Milan.
Orang udik memperoleh pekerjaan dan menuju ke utara untuk memegang jabatannya di
penghujung tahun 384. Pada usia tiga puluh tahun, Augustinus merebut kursi akademik
paling menonjol di dunia Latin, pada masa di mana jabatan sedemikian memberikan akses
mudah ke karir politik. Akan tetapi, ia merasakan ketegangan hidup di pengadilan kerajaan,
yang meratapi suatu hari saat ia sedang naik kereta kuda untuk menyampaikan pidato
didepan kaisar, seorang pengemis mabuk di jalan yang dilewatinya mempunyai penampilan
yang lebih rapi dari dirinya.

1

Ibunya, Monica, mendesaknya agar menjadi Katholik, tetapi uskup Milan, Ambrose, adalah

orang yang paling berpengaruh pada Augustinus. Ambrose adalah master rhetorika sama
dengan Augustinus sendiri, tetapi lebih tua dan lebih berpengalaman. Didesak sebagian oleh
khotbah Ambrose, dan studi lainnya, termasuk pertemuan yang mengecewakan dengan
eksponen utama theologia Manichaean, Augustinus meninggalkan Manichaemisme; tetapi
alih-alih menjadi Katholik seperti Ambrose dan Monica, ia beralih menjadi penganut
pendekatan berhala Neoplatonik terhadap kebenaran, yang mengatakan bahwa untuk sekian
waktu ia mempunyai rasa mencapai kemajuan nyata dalam pencariannya, walaupun
akhirnya ia terperangkap ke dalam sikap skeptis.
Ibu Augustinus mengikutinya ke Milan dan Augustinus membiarkan ibunya merancang
perkawinan masyarakat, untuk mana ia meninggalkan gundiknya (walaupun ia harus
menunggu dua tahun sampai tunangannya cukup umur; dalam pada itu ia segera bersama
wanita lain). Selama kurun waktu itulah Augustinus dari Hippo mengucapkan doa
terkenalnya, “Berikanlah aku kesucian dan pemantangan diri, namun belum sekarang”[da
mihi castitatem et continentiam, sed noli modo] (Conf., VIII. Vii (17)).
Pada musim panas tahun 386, setelah membaca tulisan tentang kehidupan Santo Anthony
dari Desert yang sangat mengilhaminya, Augustinus mengalami krisis pribadi yang hebat dan
memutuskan beralih menjadi pemeluk agama Kristen, meninggalkan karirnya dalam
rhetorika, meninggalkan jabatannya sebagai dosen di Milan, membuang segala ide tentang
perkawinan, dan membaktinya dirinya seluruhnya untuk melayani Allah dan praktek
kependetaan, yang mencakup pembujangan. Kunci dalam perubahan ini adalah suara

seorang anak yang tak terlihat yang suatu waktu ia dengar berkata kepadanya dalam suara
nyanyian yang dinyanyikan untuk “tolle lege” (“mengambil dan membaca”) Alkitab, di mana
saat ia membuka Alkitab secara serampangan dan membuka surat Rasul Paulus kepada
Jemaat di Roma 13:13, yang berbunyi: ”Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang
hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu,
jangan dalam perselisihan dan iri hati”. Ia menguraikan secara rinci perjalanan rohaninya
dalam bukunya yang terkenal Confessions, yang menjadi karya agung literatur theologia
Kristen maupun dunia. Ambrose membaptis Augustinus, bersama-sama dengan puteranya,
Adeodatus, pada hari Paskah tahun 387 di Milan, dan segera sesudah itu tahun 388 ia
kembali ke Afrika. Di perjalanan menuju Afrika ibunya meninggal, dan tidak lama kemudian
menyusul puteranya, yang meninggalkannya relatip sendirian di dunia tanpa keluarga.
Begitu ia kembali ke Afrika utara ia membangun fondasi biarawan di Tagaste untuk dirinya
sendiri dan sekelompok teman-teman. Pada tahun 391 ia ditahbiskan menjadi pendeta di
Hippo Regius (sekarang Annaba, di Algeria). Ia menjadi pengkhotbah terkenal (lebih dari 350
khotbah yang terpelihara hingga saat ini diyakini asli), dan terkenal dalam memerangi bidah
Manichaean, di mana ia adalah bekas pemeluknya.
Pada tahun 396 ia diangkat menjadi pembantu uskup Hippo (pembantu dengan hak
menggantikan uskup apabila uskup saat ini meninggal dunia), dan tetap sebagai uskup di

2


Hippoo sampai ia wafat pada tahun 430. Ia meninggalkan biara, namun tetap menjalani
hidup biarawan di keuskupan. Ia meninggalkan Peraturan (bahasa Latin, Regula) untuk
biaranya yang menjadikan dirinya dinyatakan sebagai “teladan orang kudus Pendeta Biasa”,
yaitu, Pendeta yang hidup menurut peraturan biara.
Augustinus meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430, selama pengepungan Hippo oleh
orang-orang Vandal. Ia berusia 75 tahun. Ada yang mengatakan bahwa ia meninggal dunia
persis saat orang-orang Vandal meruntuhkan tembok kota Hippo. Ia disebut-sebut
mendorong para warga kota untuk menahan serangan, terutama atas dasar bahwa orangorang Vandal adalah penganut bidah Arian.
Pengaruh sebagai theolog dan pemikir
Augustinus tetap merupakan tokoh sentral, baik dalam agama Kristen maupun dalam sejarah
pemikiran Barat, dan dianggap ahli sejarah modern Thomas Cahlil sebagai orang abadpertengahan pertama dan orang klasik terakhir. Dalam pemikiran filosofis maupun
theologisnya, ia sangat dipengaruhi oleh Stoicisme, Platonisme dan Neoplatonisme,
terutama oleh tulisan Plotinus, penulis Enneads, mungkin melalui perantaraan Porphyry dan
Victorinus (seperti yang diajukan Pierre Hadot). Pandangannya yang umumnya mendukung
pemikiran Neoplatonik turut memberi kontribusi kepada “baptisan” pemikiran Yunani dan
jalan masuk mereka ke dalam agama Kristen dan selanjutnya tradisi intelektual Eropa.
Tulisannya yang pertama dan berpengaruh tentang keinginan manusia, topik sentral dalam
etika, akan menjadi fokus bagi para filsuf kemudian seperti Schopenhauer dan Nietzsche.
Selain itu, Augustinus dipengaruhi oleh tulisan Virgil (terkenal karena ajarannya tentang

bahasa) dan Cicero (terkenal karena ajarannya tentang argumen).
Konsep Augustinus tentang dosa asal dibahas dalam tulisannya menentang ajaran Pelagian.
Akan tetapi, kalangan theolog Ortodoks Timur, walaupun mereka yakin semua manusia
dirusak oleh dosa asal Adam dan Hawa, mempunyai perselisihan utama dengan Augustinus
tentang ajaran ini, dan dengan demikian pandangan ini merupakan sumber utama
perpecahan antara Timur dan Barat.
Tulisan Augustinus membantu merumuskan teori perang yang adil. Ia juga menganjurkan
penggunaan kekuatan melawan kalangan Donatist, yang bertanya “Mengapa… Gereja tidak
menggunakan kekuatan dalam memaksa anak-anaknya yang hilang untuk kembali, jika
anak-anak yang hilang memaksa orang lain menuju kehancuran mereka?” (The Correction of
the Donatitsts, 22-24).
St. Thomas Aquinas banyak mengambil hikmah dari theologia Augustinus sewaktu
menciptakan sintesanya yang unik atas pemikiran Yunani dan Kristen setelah ditemukannya
kembali tulisan Aristoteles.
Walaupun ajaran Augustinus tentang takdir ilahi tidak akan pernah dilupakan sama sekali di
dalam Gereja Katholik Roma, dengan menemukan ungkapan yang mengesankan dalam

3

tulisan Bernard dari Clairvaux, kalangan theolog Reformasi seperti Martin Luther dan John

Calvin berpaling kepadanya sebagai inspirasi atas pergumulan yang mereka akui dengan Injil
Alkitab. Uskup John Fisher dari Rochester, penentang utama Luther, menegaskan
pandangan Augustinus tentang kasih karunia dan keselamatan sesuai dengan doktrin
Gereja, yang dengan demikian merangkul baik soteriologi Augustinus maupun ajarannya
tentang otoritas dari dan kepatuhan terhadap Gereja Katholik. Belakangan, di dalam Gereja
Katholik Roma, tulisan Cornelius Jansen, yang mengaku sangat dipengaruhi Augustinus,
akan menjadi landasan gerakan yang dikenal sebagai Jansenisme; sebagian pengikut
gerakan Jansenisme jatuh ke dalam schisme dan membentuk gereja sendiri.
Augustinus dijadikan canon oleh sambutan populer, dan belakangan diakui sebagai Doktor
Gereja pada tahun 1303 oleh Paus Boniface VIII. Hari perayaannya adalah tanggal 28
Augustus, yaitu hari wafatnya. Ia dianggap teladan orang kudus para tukang anggur, tukang
cetak, theolog, penderita sakit mata dan sejumlah kota dan dioces.
Bagian akhir dari tulisan Augustinus Confessions terdiri dari meditasi panjang lebar tentang
sifat waktu. Kalangan theolog Katholik umumnya menerima keyakinan Augustinus bahwa
Allah ada di luar waktu dalam “kehadiran kekal”; waktu tersebut hanya ada di dalam alam
semesta yang diciptakan karena hanya di angkasalah waktu tampak dengan jelas melalui
gerakan dan perubahan.
Meditasi Augustinus tentang sifat waktu terkait erat dengan kajiannya tentang kemampuan
ingatan manusia. Frances Yates dalam studinya tahun 1966, The Art of Memory mengajukan
bahwa nas singkat dari Confessions, X.8.12, di mana Augustinus menulis tentang berjalan

menaiki tangga dan memasuki medan ingatan yang luas jelas mengindikasikan bahwa
bangsa Romawi kuno mengetahui bagaimana menggunakan metafora ruang dan arsitektural
eksplisit sebagai teknik mengingat untuk menata informasi dalam jumlah besar. Beberapa
filsuf Perancis mengajukan bahwa teknik ini bisa dipandang sebagai nenek moyang
konseptual dari paradigma interface pemakai realitas maya.
Menurut Leo Ruickbie, alasan Augustinus menentang sihir, yang membedakannya dari
keajaiban, sangat penting dalam perang Gereja yang pertama menentang penyembahan
berhala dan menjadi tesis sentral dalam pembasmian sihir dan tukang sihir di waktu
kemudian.
Menurut Professor Deepak Lal, visi Augustinus tentang kota sorgawi mempengaruhi
keyakinan sekuler tentang Pencerahan, Marxisme, Freudianisme dan Eco-fundamentalisme.





Kutipan berpengaruh dari tulisan-tulisan Augustinus
“Mengasihi orang berdosa dan membenci dosa” (Cum dilectione hominum et odio
vitiorum) (Operasi Omnia, vol II, col. 962, surat 211), secara harfiah “Mengasihi manusia
dan membenci dosa-dosa”.

“Hati berbicara kepada hati” (Mycorrhizae ad mycorrhizae loquitur).

4


















“Tiada yang tertinggi selain kebenaran dan kemenangan kebenaran adalah kasih”
(Victoria veritatis est caritas).
“Bernyanyi satu kali sama dengan berdoa dua kali” (Qui cantat, bis orat) secara harfiah
“siapa yang bernyanyi, ia sudah berdoa dua kali”.
“Tuhan, engkau telah membujuk aku dan aku membiarkan diriku dibujuk” (dikutip dari
nabi Yeremia, 20:7-9).
“Mengasihi, dan lakukan apa yang anda inginkan” (Dilige et quod vis fac) (Khotbah
tentang 1 Yohanes 7,8).
“Berilah saya kesucian dan pemantangan, namun belum sekarang” (da mihi castitatem
et continentian, sed noli modo) (Conf., VIII. Vii (17)).
“Allah, oh Tuhan, berilah saya kekuatan untuk mengatasi dosa. Karena dosalah yang
Engkau berikan kepada kami ketika Engkau memberikan kebebasan memilih yang kami
inginkan untuk kami. Jikalau aku salah memilih, maka aku akan dihukum dengan adil
karenanya. Bukankah itu benar, Tuhanku, dari siapa aku berterima kasih atas
keberadaan waktuku. Terima kasih, Tuhan, karena memberiku kekuatan untuk tidak
berkehendak melakukan dosa. (Free Choice of Will, Buku Satu)”.
“Kristus adalah guru di dalam diri kita”.
“Dengarlah sisi lain” (Audi partem alteram) De Duabus Animabus, XIV ii.
“Roma berbicara; kasus menyimpulkan” (Roma locuta esi; causa finita esi) (Khotbah,
Buku I).

“Ambillah dan Bacalah” (Tolle, lege) Confessions, Buku VIII, Bab 12.
“Tidak ada keselamatan di luar jemaat” (Salus extra ecclesiam non esi) (De Bapt. IV,
cxvii.24).
“Bagi banyak orang, pemantangan total lebih mudah daripada sikap takberlihan
sempurna”. (Multi quidem facilius se abstinent ut non utantur, quam temperent ut bene
utantur). (Tentang Kebaikan Pernikahan).
“Kita jadikan diri kita tangga dari sifat buruk kita jika kita menginjak-injak sifat buruk
tersebut di bawah kaki kita” (iii. De Ascensione).

Ilmu pengetahuan alam dan penafsiran alkitabiah
Augustinus mempunyai pandangan bahwa teks Alkitab tidak boleh ditafsirkan secara harfiah
jika kontradiksi dengan apa yang kita ketahui dari ilmu pasti dan alasan yang diberikan Allah
kita. Dalam nas penting tentang “Penafsiran Harfiah Kejadian” (awal abad ke-5), St.
Augustinus menulis:
Bukan tidak sering terjadi bahwa sesuatu tentang bumi, tentang langit, tentang unsurunsur lainnya dari dunia ini, tentang gerakan dan putaran atau bahkan besarnya dan
jarak bintang-bintang, tentang gerhana total matahari dan bulan, tentang perjalanan
tahun dan musim, tentang sifat binatang, buah-buahan, batu dan hal-hal sedemikian
lainnya, bisa diketahui dengan kepastian terbesar dengan pertimbangan atau dengan
pengalaman, bahkan oleh orang yang bukan Kristen. Namun, terlalu memalukan dan
menghancurkan dan harus dihindari, bahwa ia [non-Kristen] harus mendengar orang


5

Kristen berbicara begitu bodoh tentang hal-hal ini, dan seakan-akan sejalan dengan
tulisan-tulisan Kristen, bahwa ia mungkin berkata bahwa ia jarang bisa menahan tawa
bila ia melihat betapa salahnya mereka. Dari sudut pandang ini dan dengan tetap
mencamkannya sewaktu mengkaji kitab Kejadian, saya, sepanjang saya mampu,
menjelaskan secara rinci dan mengajukan kajian tentang arti dari nas-nas yang tidak
jelas, dengan hati-hati jangan sampai terburu-buru menegaskan satu arti untuk
merugikan arti penjelasan lain dan mungkin lebih baik”. (The Literal Interpretation of
Genesis 1:19-20, Bab 19 [408]). Dengan kitab suci, itu adalah soal iman. Karena alasan
tersebut, seperti yang telah berulang kali saya catat, jika ada orang, tanpa memahami
cara kefasihan lidah ilahi, menemukan sesuatu tentang hal-hal ini [tentang alam semesta
fisik] dalam buku-buku kita, atau mendengar hal yang sama dari buku-buku tersebut,
tentang yang sedemikian yang tampaknya berbeda dengan persepsi tentang pemikiran
rasional kita, biarlah dia yakin bahwa hal-hal yang lain ini bagaimanapun juga tidak perlu
untuk peringatan atau ulasan atau prediksi tentang kitab suci. Singkatnya, haruslah
dikatakan bahwa penulis-penulis kita mengetahui kebenaran tentang sifat angkasa,
tetapi tidak mengetahui maksud Roh Allah, yang berbicara melalui angkasa tersebut,
untuk mengajarkan kepada manusia sesuatu yang tidak akan berguna bagi mereka demi
keselamatan mereka” (ibid, 2:9).
Perbedaan yang lebih jelas antara “metaforik” dan “harfiah” dalam teks sastera muncul
dengan kebangkitan Revolusi Ilmiah, walaupun sumbernya bisa ditemukan dalam tulisantulisan sebelumnya, seperti tulisan Herodotus (abad ke-5 SM). Bahkan dianggap tindakan
murtad menafsirkan Alkitab secara hafiah pada masa itu (bandingkan Origen, St. Jerome).
Penciptaan
Dalam “The Literal Interpretation of Genesis” Augustinus mempunyai pandangan bahwa
segala sesuatunya di alam semesta diciptakan sekaligus oleh Allah, dan bukan dalam tujuh
hari kalender seperti yang diharuskan kajian biasa tentang Kejadian. Ia mengajukan bahwa
struktur enam-hari penciptaan yang dipresentasikan dalam kitab Kejadian merupakan suatu
kerangka logika, dan bukan perjalanan waktu dengan cara fisika – itu mengandung arti
rohani, bukan arti fisika, yang tidak begitu harfiah. Augustinus juga tidak memandang dosa
asal sebagai asal-muasal perubahan struktural di alam semesta, dan bahkan mengajukan
bahwa tubuh Adam dan Hawa sudah diciptakan tidak kekal sebelum Kejatuhan ke dalam
dosa. Terlepas dari pandangan spesifiknya, Augustinus mengakui bahwa penafsiran tentang
kisah penciptaan sulit, dan mencatat bahwa kita harus mau mengubah pikiran kita tentang
kisah tersebut seiring munculnya informasi baru.
Dalam “The City of God”, Augustinus juga membela apa yang akan disebut dewasa ini
sebagai kreasionisme Bumi muda. Dalam nas spesifik, Augustinus menolak kekekalan umat
manusia yang diajukan penyembah berhala, dan ide tentang zaman pada masa itu (seperti
orang-orang Yunani dan Mesir tertentu) yang berbeda dari tulisan suci Gereja:

6

Lalu, mari kita hilangkan perkiraan manusia yang tidak tahu apa yang ia katakan, ketika
mereka berbicara tentang sifat dan asal-muasal umat manusia. Karena ada yang
mempunyai pendapat yang sama tentang manusia dengan pendapat mereka tentang
dunia itu sendiri, bahwa mereka selalu… Mereka juga terperdaya oleh dokumendokumen yang sangat menipu yang mengaku memberikan sejarah ribuan tahun, namun
dengan berdasarkan tulisan-tulisan suci, kita menemukan bahwa belum 6000 tahun
berlalu”. (Augustinus, Of the Falseness of the History Which Allots Many Thousand Years
to the World’s Past, The City of God, Buku 12: Bab 10 [419]).
Doktrin tentang Dosa asal
Pandangan theologis Augustinus di awal abad pertengahan memang revolusioner, mungkin
tidak ada rumusan jelas doktrin tentang Dosa asal yang begitu mempengaruhi theologia
Katholik.
Idenya tentang takdir dilandasi pernyataan yang tegas bahwa Allah telah meramalkan, dari
zaman dahulu, segala pilihan yang akan diambil setiap orang yang pernah hidup di bumi, dan
apakah mereka akan bekerjasama dengan sang Kasih atau tidak. Jumlah orang yang
diketahui Allah akan diselamatkan adalah orang-orang terpilih, jumlah orang yang diketahui
Allah tidak akan diselamatkan adalah orang-orang jahat. Allah telah memilih orang-orang
terpilih dengan pasti dan serampangan, tanpa adanya kebaikan (ante merita) dari pihak
mereka.
Namun Augustinus juga menegaskan dengan keras bahwa Allah berkehendak
menyelamatkan semua manusia. Allah tidak menghancurkan kebebasan dan pilihan bebas
manusia, tetapi membiarkannya, sehingga orang-orang terpilih, berpotensi, akan memiliki
kekuatan penuh untuk dihukum dan orang-orang yang tak terpilih berkekuatan penuh untuk
diselamatkan.
Menurut Augustinus, Allah, dalam keputusan penciptaan-Nya, dengan tegas
mengesampingkan segala tatanan apa saja di mana kasih karunia akan menghilangkan
kebebasan manusia, setiap situasi di mana manusia tidak akan berkekuatan menolak dosa,
dan dengan demikian Augustinus menghilangkan ajaran takdir yang melekat pada dirinya.
Dengarkanlah ia sewaktu berbicara tentang Manichaean: “Semuanya bisa diselamatkan
kalau mereka mau”; dan dalam tulisannya “Retractations” (I, x), jauh dari memperbaiki
pernyataan tegasnya, ia menegaskannya dengan penuh empati: “Memang benar, sangat
benar, bahwa semua manusia bisa, kalau saja mereka mau”. Tetapi ia selalu berpaling pada
persiapan yang sudah ditakdirkan. Dalam khotbah-khotbahnya ia berkata kepada semua
orang: “Tergantung kepadaanda agar anda terpilih” (Dalam Ps. Cxx, n.11, dll.); “Siapa yang
terpilih? Anda, jika anda mau” (Dalam Ps. Lxxiii, n.5). Tetapi, anda akan berkata, menurut
Augustinus, daftar orang-orang terpilih dan yang tidak terpilih sudah ditutup. Sekarang jika
yang tidak terpilih bisa naik ke sorga, jika semua orang terpilih bisa hilang, mengapa tidak
ada yang bisa beralih dari satu daftar ke daftar lainnya? Anda lupa penjelasan terkenal
Augustinus: Ketika Allah menyusun rencana-Nya, Ia tahu tanpa ada kesalahan, sebelum

7

pilihan-Nya, bagaimana nantinya respon kemauan manusia terhadap kasih karunia-Nya.
Lalu,, jika daftar sudah pasti, jika tidak ada orang yang lolos dari satu rangkaian ke rangkaian
lainnya, itu bukan karena tidak ada yang tidak bisa (sebaliknya, semuanya bisa), itu karena
Allah tahu dengan pengetahuan yang tidak akan ada kesalahan bahwa tidak ada yang
menginginkannya. Dengan demikian saya tidak dapat mempengaruhi agar Allah
mentakdirkan saya ke rangkaian kasih karunia lain selain dari yang telah Ia tetapkan, tetapi
dengan kasih karunia-Nya, jika saya tidak menyelamatkan diri saya itu bukan karena saya
tidak bisa, melainkan karena saya tidak ingin bisa.
Teori takdir Augustinus disalahpahami oleh Semipelagianis dan John Calvin sebagai
mengajarkan takdir dobel, yaitu bahwa Allah telah memutuskan dengan tegas siapa yang
akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum dan telah mentakdirkan mereka untuk
takdir ini, dengan cara yang tidak menyisakan ruang bagi kehendak bebas, pilihan pribadi
dan kerjasama dengan yang Mahakasih.
Dalam menentang Pellagian Augustinus juga menegaskan dengan kuat pentingnya baptisan
bayi. Ia yakin bahwa tidak ada yang akan diselamatkan kecuali mereka menerima baptisan
agar disucikan dari Dosa asal. Ia juga berpendapat bahwa anak-anak yang tidak dibaptis
akan masuk Neraka, tetapi pandangan ini ditolak oleh Gereja Katholik Roma.
Augustinus dan nafsu birahi
Augustinus bergumul dengan nafsu birahi sepanjang hidupnya. Ia mengkaitkan daya dorong
seksual dengan dosa Adam, dan yakin bahwa itu tetap menimbulkan dosa, sekalipun
Kejatuhan telah menjadikannya bagian dari sifat manusia. Seperti yang ditulis Bertrand
Russell, “Perlunya nafsu birahi dalam berhubungan seksual adalah hukuman atas dosa
Adam, tetapi untuk mana seks bisa dipisahkan dari kenikmatan”.
Dalam Confessions, Augustinus menguraikan pergumulannya dengan istilah-istilah yang
gamblang: “Tetapi aku, bergumul, sebagian besar bergumul, sejak awal masa mudaku, untuk
memohon kesucian dari Engkau, dan berkata, “Berilah aku kesucian dan pemantangan,
namun belum sekarang”. Pada usia enam belas tahun Augustinus pindah ke Carthage
tempat di mana ia kembali ternoda oleh “dosa yang digumulinya” ini.
Di sekitar saya penuh dengan cinta yang tak kenal hukum. Aku belum dicintai, namun aku
ingin mencintai, dan dari keinginan yang paling dalam, aku benci diriku sendiri karena tidak
menginginkannya. Aku mencari apa yang dapat kucintai, dalam cinta dengan mencintai, dan
aku benci keselamatan… Lalu untuk mencintai, dan untuk dicintai, adalah manis bagiku;
tetapi lebih daripada itu, manakala aku ternyata menyukai orang yang kucintai. Karena itu,
aku mengotori mata air persahabatan dengan noda keasyikan, dan aku mengaburkan
kecerahannya dengan neraka nafsu birahi.
Bagi Augustinus, kejahatan bukan dalam tindakan seksual itu sendiri, melainkan dalam
emosi yang biasa menyertainya. Bagi perawan-perawan yang saleh yang diperkosa selama

8

perampokan Roma, ia menulis, “Kebenaran, nafsu lain tidak bisa mencemari engkau”.
Kesucian adalah “kelebihan pikiran, dan tidak hilang dengan perkosaan, tetapi hilang dengan
maksud dosa, sekalipun itu tidak dilaksanakan”.
Singkatnya, pengalaman hidup Augustinus menyebabkannya menganggap nafsu birahi
merupakan salah satu dosa paling menyedihkan, dan rintangan yang serius menuju hidup
yang benar.
Augustinus dan bangsa Yahudi
Terhadap gerakan Kristen tertentu yang menolak penggunaan Kitab Suci Ibrani, Augustinus
menentangnya dengan mengatakan bahwa Allah telah memilih bangsa Yahudi sebagai
bangsa khusus, namun ia juga menganggap penyebaran orang-orang Yahudi oleh
kekaisaran Romawi sebagai penggenapan nubuat. Augustinus menulis:
“Bangsa Yahudi yang membunuh-Nya, dan tidak akan percaya kepada-Nya, karena
melihat-Nya mati dan bangkit kembali, namun lebih menyedihkan lagi disiasiakan bangsa
Romawi, dan bersumber dari kerajaan mereka, di mana orang-orang asing telah
memerintah mereka, dan tersebar di seluruh negeri (sehingga jelas tidak ada tempat di
mana mereka tidak ada), dan karenanya dengan Kitab Suci mereka memberi kesaksian
bagi kita bahwa kita tidak melupakan nubuat tentang Kristus.”
Augustinus juga mengutip sebagian dari nubuat yang sama yang berkata “Janganlah
membinasakan mereka, agar supaya mereka tidak melupakan hukum Tuhan”. Augustinus
mengajukan bahwa Allah membiarkan bangsa Yahudi tetap selamat dari ketersebaran
mereka sebagai peringatan kepada orang-orang Kristen, yang dengan demikian mereka
dibolehkan tinggal di negara-negara Kristen. Augustinus mengajukan lebih lanjut bahwa
bangsa Yahudi akan berubah di akhir zaman.

9