TRAUMA MEDULLA SPINALIS KARYA TULIS ILMI

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA
PERIODE 2016/2017

Oleh
CHICI CAHYANTI
0120840049

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2017

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA
PERIODE 2016/2017

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran


Oleh
CHICI CAHYANTI
0120840049

Dosen Pembimbing :
1. dr. Herlambang Budi Mulyono, Sp.OT.
2. dr. Astrina R.I Sidabutar.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2017

i

LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima oleh Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura
Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Pada
Hari

:

Tanggal

:

MENGESAHKAN
Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Sarjana
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura
Ketua

Sekretaris

Tim Penguji
1.
dr. Ferdinant M. Djawa,
Sp.PA.

………………………………
1.

Venthy Angelika, S.Psi.,
M.A.

.....................................

NIP. …………………………
2. ………………………………

2.

.....................................

3.

.....................................

4.


.....................................

NIP. …………………………
3. ………………………………
NIP. …………………………
4. ………………………………
NIP. …………………………
HALAMAN PERSEMBAHAN

ii

“I can do all this through Him who gives me strength
Philippians 4:13 “

Untuk Tuhan Yesus Kristus, Papa, Mama, Kakak dan Adek, saudara & keluarga,
Semua sahabat-sahabat setia, serta rekan-rekan seperjuangan dalam pendidikan
serta teman-teman pengajar dan adek-adek ku tercinta di TBS yang selalu ada
disisiku.


iii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas
limpahan berkat, rahmat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul“TRAUMA MEDULLA SPINALIS” yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih. Dalam menyelesaikan karya
tulis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan berupa bimbingan, pengarahan,
maupun dukungan moral dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1.

Dr. Onesimus Sahuleka, SH, M. Hum selaku Rektor Universitas
Cenderawasih

2.

dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih


3.

dr. Herlambang B. Mulyono, Sp.OT selaku dosen pembimbing I yang
telah membimbing, mengarahkan, dan membekali penulis dengan
penuh kesabaran dan dengan pengetahuan dasar dalam menunjang
penulisan karya tulis ilmiah.

4.

dr. Astrina R.I. Sidabutar selaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing, mengarahkan, dan membekali dengan penuh kesabaran
dan dengan pengetahuan dasar dalam menunjang penulisan karya tulis
ilmiah.

5.

Kepada seluruh dosen dan staf yang ada di Fakultas Kedokteran
terimakasih atas dukungan, waktu serta kesempatan yang berikan


6.

Untuk kedua orang tua (Matius Padaya dan Nona Selvi), Bapak Tua
dan Mama Tua (Godlief Dolly Foih dan Helena Padaya) dan juga
adik-adik yang selalu memberikan semangat, memberikan dukungan
serta perhatian. Untuk kakak Hasriani Rayu yang selalu setia
mendampingi, menemani dan memberikan semangat selalu dalam
pembuatan Karya Tulis ini

7.

Teman-teman FK angkatan 11 (Tahun 2012) yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, rekan-rekan dari Kelas Inspirasi Jayapura dan
Papuan Youth Health, IPA 3 SMA N 1 SENTANI 2012, Gengs (Ana
Rumabar, Apri Jitmau, Indri Remetwa, Yulians Rumborias, Christian
Manoe), Efi Sumarni, Handayani Nurfitriana, Oryza Ayuni, Herold
Wilar, dan terlebih buat yang sudah berjuang bersama Irma makaba
dan Friska J.Kalay.

8.


Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini,
terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih banyak
kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna
penyempurnaan tulisan ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih dan semoga karya tulis
ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Jayapura, 10 Januari 2017
Penulis

v

DAFTAR ISI

HAL JUDUL…..............……….……………………………………..........................


i

HAL PENGESAHAN ………………………………………………………………..

ii

HAL PERSEMBAHAN.........……………………………………….………………..

iii

KATA PENGANTAR............…………………………………….…………………..

iv

DAFTAR ISI….………………………………………………………………………

vi

DAFTAR TABEL...........…………………………………….……………………....


viii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….

ix

DAFTAR SINGKATAN......……………………………………………………........... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................………………………………………………….

1

1.2 Rumusan Masalah..................………………………………………………….

3

1.3 Tujuan Penulisan............…….......…….……………………………………….

3


1.4 Manfaat Penulisan...............................………………………………………....

4

BAB II ISI
2.1 Definisi......…………………….......…………………………………………...

5

2.2 Epidemiologi..........……………….......………………………………………..

6

2.3 Etiologi...................………….....………………....……………………………

6

2.4 Penegakkan Diagnosis.................................…………………………………....

24

2.4.1 Anamnesis…..........…............…………………………………………….

24

2.4.2 Pemeriksaan Fisik................................….………………………………..

25

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang.....................................………………………….

29

2.5 Diagnosis Banding...…………………………………………………………...

32

2.6 Terapi …………………………………………………………………………..

34

2.6.1 Farmakoterapi...........……………………………………………………..

34

2.6.2 Non Farmakoterapi….……………………………………………………

35

2.7 Komplikasi……………………………………………………………………..

38

2.8 Rehabilitasi……………………………………………………………………..

39

2.9 Prognosis.....…………………………………………………………………....

39

2.10 Edukasi..........…………………………………………………………………

40

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………..

41

3.2 Saran...………………………………………………………………………….. 43
DAFTAR PUSTAKA....………………………………………………………………. 44

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Skala Frankle.……………….……………………………

26

Tabel 2

Skala Standar Neurologis ASIA..………………………..

28

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Sumsum Tulang Belakang, Medulla Spinalis dan Fungsi…………..…..

5

Gambar 2

Segmen Sumsum Tulang Belakang……………………………………... 8

Gambar 3

Anatomi Medulla Spinalis…....………………………………………...... 9

Gambar 4

Central Cord Syndrome…....…....…………………………………….........16

Gambar 5

Anterior Cord Syndrome…....……………………………………………...17

Gambar 6

Brown Sewuard Syndrome………………………………………………….18

Gambar 7

Kaskade Fase Primer dan Sekunder ……………………………………….21

Gambar 8

Scoring Neurologis SI …………………………………………………......27

Gambar 9

Dermatom Spinal dan Miotom …...……………………….……………….29

Gambar 10 Pemeriksaan X-Ray ……………………………………………………….30
Gambar 11

Pemeriksaan MRI…………………………………………………………31

Gambar 12

Servikal Collar Standar……………………………………………………36

ix

DAFTAR SINGKATAN

CKV : Cedera Kolumna Vertebralis
CNS : Central Nervous System
DVT : Deep Vein Thrombosis
EMG : elektromiografi
FDA : Food & Drug Administration
iPSCs : Induced Pluripotent Stem Cells
LMN : Lower Motor Neuron
NCV : Nerve Conduction Velocity
NTSCI : Non Traumatic Spinal Cord Injury
SSEP : Somato Senseric Evoked Potential
TMS : Trauma Medulla Spinalis
TSCI : Traumatic Spinal Cord Injury
UMN : Upper Motor Neuron

x

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma Medulla Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan
permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis (TMS) meliputi
kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang
mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik,
autonomik, dan reflex, baik komplet ataupun inkomplet (Gondowardaja and Purwata,
2014:567 ).
Trauma Medulla Spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di
berbagai belahan dunia. . Menurut Centers for Disease Control and Prevention Di
Amerika terdapat 12,000 sampai 20,000 kasus trauma medulla spinalis setiap
tahunnya, dan sekarang melebihi 200,000 warga Amerika yang hidup dengan trauma
medulla spinalis. Kebanyakan penyebab kasus trauma medulla spinalis adalah
kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan cidera saat berolahraga. Untuk orang yang umurnya
dibawah 65 tahun, penyebabnya adalah kecelakaan lalu lintas sedangkan untuk orang
diatas 65 tahun, trauma medulla spinalis kebanyakan karena jatuh (Wang and Pearse,
2015: 16849).
99% pasien dengan trauma medulla spinalis meninggalkan rumah sakit dengan
pemulihan saraf yang tidak sempurna (cacat), dan sebagian pasien yang sedang rawat
jalan juga membutuhkan perawatan medik (seperti rehabilitasi) bahkan dibutuhkan
pengawasan selama 12-24 jam setiap hari pada pasien dengan trauma medulla
spinalis. Individu dengan trauma dan defisit motorik seringkali tidak dapat
beraktivitas. Dari penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and

2

Prevention Di Amerika bahwa 10 tahun setelah terjadi trauma, hanya sekitar 28%
pasien yang dapat kembali menjadi pekerja. Apabila pengoabatan dan perubahan
gaya hidup pada pasien dengan trauma medulla spinalis tidak dapat dirubah dan
diperhatikan dengan baik maka pasien tersebut akan mengeluarkan biaya yang sangat
besar yaitu sekitar 4,5 juta dolar. Secara keseluruhan biaya trauma medulla spinalis
secara Nasional lebih dari 20 juta dolar biaya langsung dan tidak langsung. Saat ini
kemajuan pengobatan di zaman modern sangat berpengaruh terhadap peningkatan
keselamatan pada insiden trauma medulla spinalis, namun disayangkan bahwa saat
ini kualitas hidup dari individu pada pasien trauma medulla spinalis menurun drastis,
terjadi penurunan fungsi organ pernapasan dan disfungsi pada cabang upper
motorneuron, adanya paralisis penuh atau sebagian, nyeri neuropatik, serta perlunya
perawatan ekstensif (Doulames and Plant, 2016:1,2).
Trauma medulla spinalis merupakan kompetensi tingkat kemampuan 2 dalam
Standar Kompetensi Dokter Indonesia yaitu mendiagnosis dan merujuk, dimana
lulusan dokter diharapkan mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan (SKDI 2012).
Setiap orang dapat mengalami trauma medulla spinalis tanpa ketentuan umur
yang dapat dimulai dari cedera ringan seperti jatuh. Trauma medulla spinalis yang
berkepanjangan dan tidak dievaluasi dengan baik dan benar akan menyebabkan
kelumpuhan (paralisis) dan berdampak pada komplikasi-komplikasi yang dapat
terjadi. Oleh karena tidak sedikit pasien dengan trauma medulla spinalis yang dapat
sembuh dengan sempurna sehingga penulis merasa sangat penting untuk mengambil

3

pembahasan dari sumber acuan (buku) maupun jurnal tentang trauma medulla
spinalis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari trauma medulla spinalis?
2. Bagaimana epidemiologi dari trauma medulla spinalis?
3. Bagaimana etiologi dari trauma medulla spinalis?
4. Bagaimana cara penegakan diagnosis trauma medulla spinalis?
5. Apa diagnosis banding trauma medulla spinalis?
6. Bagaimana terapi trauma medulla spinalis?
7. Apa komplikasi dari trauma medulla spinalis?
8. Bagaimana cara rehabilitasi pasien dengan trauma medulla spinalis?
9. Bagaimana prognosis trauma medulla spinalis?
10. Bagaimana cara edukasi pasien dengan trauma medulla spinalis?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari trauma medulla spinalis.
2. Mengetahui epidemiologi dari trauma medulla spinalis.
3. Mengetahui etiologi dari trauma medulla spinalis.
4. Mengetahui cara penegakan diagnosis trauma medulla spinalis.
5. Mengetahui diagnosis banding trauma medulla spinalis.
6. Mengetahui terapi trauma medulla spinalis.
7. Mengetahui komplikasi dari trauma medulla spinalis.
8. Mengetahui cara rehabilitasi pasien dengan trauma medulla spinalis.
9. Mengetahui prognosis trauma medulla spinalis.
10. Mengetahui cara edukasi pasien dengan trauma medulla spinalis.

4

1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis untuk
mengembangkan dan menerapkan ilmu karya tulis kedokteran, sehingga
mampu menyusun karya tulis dan menyajikan hasilnya.
2. Bagi Institusi
Karya tulis ini diharapkan sebagai sumber bacaan untuk menambah
informasi tentang ilmu neurologi khususnya trauma medulla spinalis bagi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.
3. Bagi pembaca
Karya tulis ini diharapkan agar dapat menjadi sumber dan bahan tambahan
khususnya dalam ilmu saraf

BAB II
ISI
2.1 Definisi
Trauma Medulla Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan
kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis (TMS)
meliputi kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung
yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik,
autonomik, dan reflex, baik komplet ataupun inkomplet (Gondowadarja and
Puwarta, 2014:567 ).

Gambar 1. Gambaran Sumsum Tulang Belakang,Medulla Spinalis, dan
Fungsi Motorik/Sensorik dan Otonom dari Akar Saraf Tulang Belakang
(Dikutip dari : Rogers and Todd, 2015)

6

2.2 Epidemiologi
Trauma Medulla Spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius
di berbagai belahan dunia. Menurut Centers for Disease Control and Prevention
di Amerika terdapat dari 12,000 sampai 20,000 kasus trauma medulla spinalis
setiap tahunnya, dan sekarang melebihi 200,000 warga Amerika yang hidup
dengan trauma medulla spinalis. Kebanyakan penyebab kasus trauma medulla
spinalis adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, dan cidera saat berolahraga. Untuk
orang yang umurnya dibawah 65 tahun, penyebabnya adalah keelakaan
kendaraan. Untuk orang diatas 65 tahun, trauma medulla spinalis kebanyakan
karena jatuh (Wang and Pearse, 2015: 16849).
Bahrudin (2016: 442) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis
prevalensinya di USA kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000 orang
meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan trauma medulla spinalis.
Trauma medulla spinalis sering pada usia sekitar 15-30 tahun, 25% trauma
medulla spinalis terjadi pada anak-anak. Kausa trauma medulla spinalis biasanya
multipel dan bervariasi untuk tiap daerah, misalnya di daerah industri kecelakaan
motor sering sebagai penyebab trauma medulla spinalis. Cedera Kolumna
Vertebralis (CKV) menyebabkan cedera saraf atau medulla spinalis kira-kira 15%,
dan 55% dari CKV ialah cedera di cervicalis, 15% torakal, 15% torakolumbal dan
15% di daerah lumbo-sakral.
2.3 Etiologi
Bickenbach et all ( 2013:19-20) menyatakan bahwa berdasarkan keterangan
yang didapat pada etiologi trauma medulla spinalis oleh Word Health
Organization, trauma medulla spinalis dibagi menjadi TSCI (traumatic spinal

7

cord injury) dan NTSCI (non traumatic spinal cord injury). Tiga penyebab paling
umum yang terjadi pada TSCI (traumatic spinal cord injury) yaitu kecelakaan
lalulintas, jatuh, kekerasan (luka tembak dan terkena pukulan) dan juga olahraga
(terutama diving). Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama TSCI ( traumatic
spinal cord injury) akibat tidak menggunakan sabuk pengaman saaat berkendara
dan akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh merupakan penyebab kedua
pada TSCI ( traumatic spinal cord injury) seperti jatuh dari gedung yang tinggi,
jatuh saat berolahraga maupun saat beraktifitas. Penyebab ketiga dari TSCI
(traumatic spinal cord injury) adalah kekerasan (trauma akibat terkena pukulan
saat perkelahian atau luka tembak). Penyebab NTSCI (non traumatic spinal cord
injury) yang paling utama yaitu tumor neoplastik, kondisi degenerative pada
tulang belakang, gangguan vaskular dan gangguan autoimun.
2.3.1 Anatomi medulla spinalis
Medulla spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf
yang berjalan dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci)
dan garis tengah 2 cm dan terbentang dari vertebra C1 sampai L1 (Sherwood,
2011:185 , Baharudin, 2016:13). Pada saat lahir, konus medulla spinalis
mencapai L3 dan posisi terakhir maksimal pada usia 10 tahun (Baharudin,
2016:13).
Medulla spinalis berjalan melalui kanalis vertebralis dan dihubungkan
dengan nervus spinalis. Medulla spinalis, yang keluar melalui sebuah lubang
besar di dasar tengkorak, dibungkus oleh kolumna vertebralis protektif
sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis keluar
pasangan-pasangan nervus spinalis melalui ruang-ruang yang terbentuk antara

8

lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang berdekatan. Nervus
spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis tempat keluarnya:
terdapat 8 pasang nervus servikalis (leher) (yaitu C1-C8), 12 pasang nervus
torakalis (dada), 5 pasang nervus lumbalis (perut), 5 pasang nervus sakralis
(panggul), dan 1 pasang nervus koksigeus (tulang ekor) (Sherwood,
2011:185)

Gambar 2. Sumsum Tulang Belakang (Segmen
Servikal,Torakal,Lumbal,dan Sacral, Vertebra Tulang Belakang, Saraf
Tulang Belakang dan Fungsi Utama dari Sumsum Tulang Belakang.
(Dikutip dari: Bickenbanch et all, 2013)
Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata diforamen
magnum (Fildes, 2008:158). Menurut Baharudin ( 2016:14) baik medulla
spinalis yang berada dalam kanalis spinalis (hingga level S2) dan filum
terminale dikelilingi oleh tabung tebal yang disebut duramater, yang

9

dipisahkan dari arakhnoid matter oleh rongga subdural. Rongga arakhnoid
dipisahkan dari piamater oleh rongga subarachnoid yang terdiri cairan
serebrospinal. Pada akhir medulla spinalis di L2 dan dural sac pada level S2
terdapat rongga yang lebih besar yang hanya terdiri atas akar saraf lumbal,
sakral dan coccygeal, yang semuanya membentuk cauda equina. Secara
klinis, jaras terpenting yang melewati medulla spinalis adalah kornu anterior
dan tiga traktus (jaras), yaitu :
a. Traktus kortikospinalis lateralis atau traktus piramidalis (membawa
impuls motorik).
b. Traktus spinotalamikus lateralis (membawa impuls nyeri,suhu) dan
traktus spinotalamikus anterior (membawa impuls raba).
c. Funikulus posterior atau dorsalis yang membawa impuls deep
sensibility maupun proprioseptive (membawa rasa posisi dan getar).

Gambar 3. Anatomi Medulla Spinalis
(Dikutip dari : Sherwood, 2011)

10

Gangguan pada traktus spinotalamikus menyebabkan kelainan yang
kontralateral, sedangkan gangguan pada funikulus posterior atau dorsalis
menyebabkan kelainan yang ipsilateral. Selain ketiga jaras tersebut didalam
medulla spinalis juga dilewati saraf otonom simpatis (torako lumbal). Pada
lesi medulla spinalis, letak lesi harus di bawah C2, dan gangguan biasanya
bilateral meskipun tidak simetris dan akan menimbulkan tiga gejala utama
yaitu gangguan motorik, sensorik dan otonom (sesuai dengan jaras yang lewat
di medulla spinalis) (Baharudin, 2016:15-16).
A. Vaskularisasi dan Inervasi Medulla Spinalis
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2
arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah
2/3 bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh
darah tersebut menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal,
spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi
nyeri dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis posterior
secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis. Kedua
arteri tersebut muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler
dari aorta torakalis dan abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi
medulla spinalis (Chin 2016:2).
Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medulla spinalis
melalui akar dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa
sinyal datang dari reseptor perifer masuk ke medulla spinalis melalui akar
dorsal. Badan sel untuk neuron afferent di masing-masing level berkumpul
menjadi satu membentuk ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk

11

neuron efferent berasal dari substansia grisea dan mengirim akson keluar
melalui akar ventral. Karena itu, serat-serat efferent yang membawa sinyal
ke otot dan kelenjar keluar melalui akar ventral. Akar dorsal dan ventral di
masing-masing level menyatu untuk membentuk nervus spinalis yang
keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah nervus spinalis mengandung baik
serat afferent dan efferent yang berjalan antara region tertentu tubuh dan
medulla spinalis (Sherwood, 2011:187).
2.3.2 Klasifikasi
Fildes (2008:162) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis
diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma
medulla spinalis.
A.

Berdasarkan Level

Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki
fungsi sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level
sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling
kaudal dari medulla spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik
juga didefenisikan hampir sama, sebagai fungsi motorik pada otot penanda
yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak 3/5. Pada cedera komplit,
bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau motorik dibawah segmen
normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi parsial.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada kedua
sisi sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan
dibawah T1. Cedera pada segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis
akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan

12

paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan
pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar
masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK
interactive (2011: 4-7) mengkategorikan trauma medulla spinalis ,
menjadi:
1) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia.
Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan
kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol
defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga
terganggu atau menurun.
2) Low Cervical Nerves (C5 – C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas
dan bicara normal seperti sebelumnya.
a) Trauma C5
Pasien

mampu

menggerakkan

tangan

meraih

siku,cenderung memiliki beberapa atau kelumpuhan total
dari pergelangan tangan, tangan, badan dan kaki. Mampu

13

berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
b) Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi
trauma pada level ini menyebabkan gangguan pada
kemampuan ekstensi siku. Mampu berbicara menggunakan
diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
c) Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu,
dengan gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari
tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat
sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
d) Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan
objek yang digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol
atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
3) Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf

pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot

abdominal, dan otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level
ini jarang menyebabkan gangguan ekstremitas atas.
4) Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung
tergantung dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma

14

menyebabkan keluhan paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas
dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan
kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu
batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat
kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
5) Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul
dan kaki. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki,
pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk berjalan.
6) Sacral Nerves ( S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul
dan kaki. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit
kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Pasien mampu
berjalan cukup baik.
B. Berdasarkan beratnya defisit neurologis
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi
4, yaitu :
1) Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2) Paraplegia komplit (torakal komplit)
3) Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
4) Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)

15

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi
dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik
dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tandatanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter
di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi perianal),
kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter.
Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak
termasuk dalam sacral sparing.
C. Berdasarkan sindrom medulla spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa.
1) Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik
lebih banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan
ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik yang bervariasi.
Biasanya

sindrom

ini

terjadi

setelah

adanya

trauma

hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis
servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi
dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.

16

Gambar 4. Central Cord Syndrome
(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)
2) Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan
sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu.
Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam)
tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan
infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri
spinalis

anterior.

Prognosis

sindrom

ini

paling

buruk

dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi
nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.

17

Gambar 5. Anterior Cord Syndrome
(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)
3) Brown Sequard Syndrome
Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis,
biasanya akibat luka tembus. Namun variasi gambaran klasik
tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari
kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis)
dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai
dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai
satu

atau

dua

level

di

bawah

level

trauma

(traktus

spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin
untuk terjadi perbaikan (Fildes, 2008:162-163).

18

Gambar 6. Brown Sequard Syndrome
(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)
2.3.3

Patofisiologi

A. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Menurut Gondowardaja and Purwata (2014:567 ) trauma medula
spinalis dapat menyebabkan

komosio, kontusio, laserasi, atau

kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa
rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden.
Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam
waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam
waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus
panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas. Medula
spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis,
dan hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat

19

kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang
B. Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder
Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis
dibagi menjadi dua fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer dapat terjadi secara cepat dan langsung disebabkan oleh
trauma fisik ke medulla spinalis, terdapat empat kategori utama pada
cedera primer yaitu dampak ditambah kompresi terus-menerus,
dampak tersendiri dengan kompresi sementara, gangguan dan laserasi
atau transeksi.

Pada saat cedera primer jaringan medulla spinalis

secara mekanik terganggu karena mengalami pergeseran dan tekanan
yang kuat baik secara langsung atau tidak terkontrolnya pergerakan
pada tulang belakang. Permulaan trauma ini mengarah pada trauma
mekanik, gangguan vaskuler, gangguan pernapasan, syok neurogenik,
peradangan, gangguan jaringan membran, perubahan ion dan
neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke dua pada trauma
(Doulames and Plant, 2016:2). Pada mekanisme kerusakan primer sel

20

neuron akan

rusak dan kekacauan

proses intraseluler akan turut

berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis;
transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek
massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia
grisea akan

ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma,

sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam
setelah trauma (Gondowardaja and Purwata, 2014:567 ).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat
fungsi neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan
excitotoxicity. Terdapat sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun
hanya beberapa yang dapat menentukan manifestasi cedera. Kaskade
biokimia ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah ke gangguan
neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu,
dapat terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan,
dan apoptosis neuronal juga dapat terjadi.Pada trauma medulla spinalis
terjadi nekrosis pada lokasi cedera, yang mengarah ke kavitasi cystic,
menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan mencegah

komunikasi

dengan pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS) ke otak.
Akson dalam sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi setelah
cedera dan kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti menutup
dekat perbatasan cedera lesi. Secara keseluruhan hal ini meyebabkan
perubahan fungsi normal motorik, sensorik, dan fungsi otonom
tergantung pada lokasi trauma. Pada manusia, luka pada daerah
servikal atas sebagian besar dapat meyebabkan paralisis penuh pada

21

respirasi, berbicara, dan mengganggu fungsi usus besar. Pada daerah
servikal bawah meyebabkan paralisis sebagian dan penurunan fungsi
pada respirasi, usus,dan lengan tangan. Trauma thoraks tergantung
pada level dengan trauma level tinggi primer menurunkan fungsi
tungkai atas dan kaki serta pada level bawah menurunkan fungsi usus
dan kaki. Trauma pada lumbosakral meyebabkan penurunan fungsi
usus besar dan penurunan sebagian fungsi pinggul dan kaki, tetapi
pasien terkadang mengalami keterbatasan dalam berjalan atau
kemampuan berjalan sepenuhnya (Doulames and Plant, 2016:2).

Gambar 7. Kaskade trauma medulla spinalis fase primer dan
sekunder yang menyebabkan iskemia, peradangan dan spesies
oksigen eaktif (ROS) yang didasari oleh excitotoxicity.
(Dikutip dari Doulames and Plant, 2016)

1) Regenerasi dan Plastisitas

22

Menurut Doulames and Plant (2016:3-5) penelitian sebelumnya
meyatakan bahwa mamalia sistem saraf pusat (CNS) dewasa tidak
mengalami regenerasi, terutama karena ketidakmampuan neuron untuk
meregenerasi akson karena lingkungan yang tidak memungkinkan akibat
bekas luka pada glial dan lesi cedera sumsum tulang belakang. Meskipun
demikian, beberapa derajat pemulihan fungsional sering terlihat,
kemungkinan dikarenakan reorganisasi, hal ini tergantung pada hubungan
axonal pada lesi dan keutuhan serabut-serabut saraf. Bukti percobaan telah
menunjukkan bahwa regenerasi aksonal dan pengembalian fungsi dapat
dilakukan dengan terapi sinergis seperti penambahan neurotrophic growth
factors, menghilangkan faktor inhibitor terkait dengan lesi, dan rejimen
rehabilitasi

dan

aktivitas

fisik. Meskipun demikian,

kemampuan

regeneratif bawaan dari system saraf pusat sulit terjadi oleh karena luasnya
luka dan perlakuan sangat mempengaruhi.
Kerusakan yang besar diikuti oleh hasil trauma medulla spinalis
mengakibatkan heterogenitas patofisiologi dan karena itu membutuhkan
intervensi terapi yang kompleks yang direkayasa untuk mengatasi masingmasing komponen masalah. Terapi transplantasi sel praklinis dan klinis
dapat memberikan solusi dengan mencari untuk memperbaiki kerusakan
yang ada dan mencegah eksaserbasi lebih lanjut dengan meningkatkan
kapasitas regeneratif bawaan, menyediakan perancah untuk menjembatani
bagian lesi dan dengan mengganti trauma medulla spinalis, hilangnya
neuron dan glial melalui transplantasi intraspinal. Tujuan dari pendekatan
yang terakhir ini adalah untuk memperbaiki konektivitas sepanjang sistem

23

saraf pusat dengan mengatasi pembentukan bekas luka glial sehingga
berfungsi sebagai sistem relay selular atau dengan mempromosikan
regenerasi neurite. Dalam beberapa decade terakhir, kemampuan terapis
untuk menggantikan neuron dan glia dengan transplantasi intraspinal
memperoleh kepentingan yang signifikan dan beberapa telah terlaksana
untuk di uji klinis.
Sejumlah

eksperimen

pra-klinis

telah

dikembangkan

termasuk

jembatan saraf perifer, sel Schwann, olfactory glia,mesenchymal stem cells
dan neural stem cells. Awalnya, embrio jaringan saraf dicangkokkan ke
bagian lesi trauma medulla spinalis yang membantu restorasi anatomi dan
fungsi. Heterogenitas dan sumber jaringan diimplant dan dibuat langsung
“bench to bedside” translatability dari pendekatan ini sulit dan tidak
mungkin untuk mendapatkan persetujuan FDA untuk dijadikan sebagai
pengobatan

klinis. Embrio neural progenitor sel menyediakan sarana

alternatif untuk mengatasi hilangnya sel dan dukunganterhadap trauma
medulla spinalis, namun juga menambahkan penghalang etika tambahan
yang dapat membahayakan penerapannya sebagai pengobatan klinis yang
layak. Terapi yang berasal dari induced pluripotent stem cells (iPSCs)
masih tahap awal, tetapi mampu mengatasi banyak halangan pada tingkat
seluler.

2.4 Penegakan Diagnosis

24

Sebuah diagnosis dapat ditegakkan dengan baik apabila adanya Anamnesa,
Pemeriksaan Fisik serta Pemeriksaan Penunjang yang memberikan hasil yang
optimal.
2.4.1 Anamnesis
Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medulla spinalis membutuhkan
penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma
lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer.
Pada observasi primer, ABC (Airway,Breathing,Circulation) dinilai
terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian
status neurologis baru dilaksanakan. Dugaan terhadap adanya trauma medulla
spinalis didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai
mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah
spinal (umumnya nyeri) dan adanya deficit motorik atau sensorik. (Chin
2016:1). Meunurut World Health Organization berdasarkan anamnesis, gejala
dan keluhan yang sering muncul adalah :
a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf
yang terkena
b. Paraplegia
c. Paralisis sensorik motorik total
d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung
kemih)
e. Penurunan fungsi pernapasan
f. Gagal nafas
2.4.2 Pemeriksaan Fisik

25

Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level
trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom
dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang
tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya
flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level
trauma (Gondowardaja and Purwata, 2014:569 ).
Menurut Bahrudin (2016:16) pada pasien dengan kelumpuhan pada kedua
tungkai (paraplegi) atau keempat ekstermitas (tetraplegi) yang pertama kali
kita pikirkan adalah apakah tipe kelumpuhan itu Upper motor neuron (UMN)
atau Lower motor neuron (LMN). Untuk menentukan tipe kelumpuhan ini
kita tetapkan dengan pemeriksaan neurologis reflex fisiologis, reflex
patologis, tonus otot . Pemeriksaan neurologis lain pada trauma medulla
spinalis menurut Middendorp et all (2011:2) yaitu dengan menggunakan
skala Frankel, 5-titik skala kerusakan, telah banyak digunakan untuk
menentukan keparahan dari trauma medulla spinalis (Tabel 1). Pasien
diklasifikasikan sebagai lengkap (Kelas A), sensorik saja (kelas B), motorik
berfungsi (Kelas C), motorik berfungsi (kelas D), atau tidak ada defisit
neurologis atau pemulihan lengkap (kelas E).

Tabel 1. Skala Frankle untuk cedera tulang belakang yang
mengklasifikasikan sejauh mana tingkat neurologis/ membagi lima
tingkatan sesuai fungsi defisit.
Skala Frankel

26

A

Lengkap

B

Hanya Sensorik

C
D
E

Motorik berfungsi
Motorik berfungsi
Pemulihan

Tidak ada fungsi motorik atau sensorik dibawah
tingkat lesi
Tidak ada fungsi motorik, tetapi beberapa sensasi
diamankan dibawah tingkat lesi
Beberapa fungsi motorik tanpa aplikasi praktis
Fungsi motorik berguna dibawah tingkat lesi
Fungsi motorik dan sensorik normal, mungkin
memiliki kelainan reflex

(Dikutip dari : Middendorp et all,2011:2)
Serta penilaian fungsi motorik dan sensorik dengan Standar Internasional
yang digunakan yaitu pengujian miotom dan dermatom yang merupakan
komponen kunci (Gambar 8). Dermatom adalah segmen kulit yang
memperoleh persarafan sensorik melalui satu akar belakang saraf spinal,
sedangkan miotom merupakan sekelompok otot yang disarafi oleh satu
segmen spinal (Dorlan: 2010). Pengujian fungsi motorik menurut Standar
Internasional meliputi 10 miotom terlebih khusus untuk C5 , T1, L2 dan S1,
sesuai dengan lima keymuscles masing-masing pada lengan kiri dan kanan
serta kaki. Pengujian skor kunci motorik

otot dinilai pada skala 5-point

diadaptasi dari Themedical Dewan Riset Scale. Pemeriksaan sensorik
berdasarkan pada pengujian yang dikenal sebagai titik kunci dalam setiap 28
dermatom pada kedua sisi kiri dan sisi kanan tubuh . Fungsi sensorik dinilai
sebagai berikut : Nomal =2, ada gangguan atau terdistorsi =1, absen =0 dan
tidak diuji =NT dan berdasarkan skor sensorimotor, tingkat dan keparahan dari
SCI dapat ditentukan berdasarkan skala yang paling umum digunakan untuk
mengklasifikasikan tingkat keparahan cedera yaitu Asia Impairment Scale
(Tabel 2). Tentukan tingkat sensorik dan motorik untuk sisi kanan dan kiri,
tentukan tingkat neurologis cedera dan tentukan apakah cedera tersebut
lengkap atau tidak lengkap (Middendorp et all, 2011:2).

27

Gambar 8. Bentuk scoring dari Standar Internasional untuk Neurologis
dan Klasifikasi Fungsional Pasien Trauma Medulla Spinalis.
(Dikutip dari : Middendorp et all,2011)

28

Pemeriksaan neurologis lain yang digunakan yaitu Amerika Asosiasi
Cedera Spinal (ASIA) atau International Spinal Cord Masyarakat (ISCoS)
atau skala standar neurologis (AIS). (Middendorp et all, 2011:2)
Tabel 2. The American Spinal Injury Association/International Spinal Cord
Society Neurological Standard Scale
(Better known as the “ASIA Impairment Scale”)
(Dikutip dari: Middendorp et all,2011)
ASIA Impairment Scale
Lesi
A

Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5

Kompleks

B

Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai
segmen sakral S4-S5
Fungsi motorik terganggu dibawah level tapi otot-otot
motorik utama masih mempunyai kekuatan 3

Tidak Kompleks

Fungsi motorik dan sensorik normal

Normal

C
D
E

Tidak Kompleks
Tidak Kompleks

Menurut Bahrudin (2016:16) bila pada pemeriksaan kita dapatkan tandatanda lesi UMN (reflex fisiologis, tonus otot yang meningkat dan reflex
patologis positif), maka kelainan atau topis pada medulla spinalis. Bila
tetraplegi lesinya pada medulla spinalis setinggi servikal dan bila paraplegi
maka lesinya pada medulla spinalis setinggi torakal. Karena pada medulla
spinalis panjang mulai dari C1-L1 maka bila didapatkan lesi pada medulla
spinalis harus ditetapkan beberapa hal:
a. Kelainan sensibilitas
Sensibilitas harus diperiksa secara teliti terutama eksteroseptif
(nyeri,suhu, dan raba). Harus dibandingkan antara daerah yang normal dan
daerah yang sakit . Batas atas lesi menentukan letak segmen mielum .
Apakah batas atas tajam ( garis ) atau tidak jelas dan untuk mengetahui ini
kita harus mengerti tentang dermatoma.

29

Gambar 9. Poin Kunci Sensorik dengan Dermatom Spinal dan Miotom
(Dikutip dari Fildes J, 2008)
b. Kelainan motoris

30

Biasanya mengganggu traktus piramidalis sehingga kelumpuhannya
tipe spastic/ UMN, misalnya kelainan dari otot bisep, berarti C5-6
terganggu.
c. Kelainan susunan saraf Otonom
Apakah ada gangguan kandung seni. Bila perlu di kerjakan tes
perspirasi / tes keringat.
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Chin (2016:1) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan yaitu :
A. Radiologis
1. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada
permulaan dan akhir gambaran vertebra oleh karena itu,
radiografi harus memadai menggambarkan semua vertebra.

Gambar 10. X-ray Menunjukkan Cedera Tulang Belakang
Bagian Servikal
(Dikutip dari: Solomon, L et all, 2010)
2. Computed Tomography (CT) scanning - Dicadangkan untuk
menggambarkan kelainan tulang atau fraktur; dapat digunakan

31

ketika radiografi polos tidak memadai atau gagal untuk
memvisualisasikan segmen kerangka aksial
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Digunakan untuk
mencurigai lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera
jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas pencitraan ini harus
digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti
hematoma tulang belakang ekstradural; abses atau tumor; disk
yang pecah; dan perdarahan pada sumsum tulang belakang,
memar, dan / atau edema.

Gambar 11. Foto MRI Sagital T2-Weighted Bagian
Servikal Pada Pasien Dengan Cedera Traumatik
Tulang Belakang.
(Dikutip dari: Middendorp, V.J.J et all, 2016)

B. Laboratorium

32

Bahrudin

(2016:447)

menyatakan

bahwa

pemeriksaan

laboratorium yang dapat dilakukan yaitu :
1. Darah perifer lengkap
2. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
C. Neurofisiologi Klinik
Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat
dilakukan yaitu EMG (Elektromiografi) merupakan teknik yang
digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara
menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal,
NCV (Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang
digunakan untuk melihat bagaimana sinyal-sinyal listrik cepat
bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato Senseric Evoked
Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih
proksimal, sepanjang jaras somato-sensorik (tidak terjangkau
dengan EMG).
2.5 Diagnosis Banding
Chin, (2016:1) menyatakan bahwa diagnosis banding pada trauma
medulla spinalis yaitu :
1. Diseksi Aorta
Diseksi aorta merupakan sebuah kegawatdaruratan, karena risiko
komplikasi yang berbahaya dan bahkan kematian dapat terjadi dengan
cepat. umumnya dideskripsikan sebagai nyeri hebat, onset-nya mendadak,
dengan intensitas maksimum saat awal timbulnya. Gambaran klinis lain

33

berhubungan dengan komplikasi, sindrom malperfusi dapat memberikan
gambaran infark miokard (jika mengenai arteri koroner), stroke (arteri
karotis), iskemia organ viseral (arteri mesenterika), gagal ginjal (arteri
renalis), hilang pulsasi di ekstremitas (arteri brakiosefalika atau arteri
subklavia kiri), ketidakmampuan menggerakan anggota badan atau
paraparesis (iskemi medulla spinalis).
2. Infeksi Epidural dan Subdural
Infeksi epidural dan subdural merupakan salah satu klasifikasi infeksi
susunan saraf pusat golongan infeksi bacterial. Berbeda dengan jaringan
tubuh lainnya, susunan saraf pusat tidak mempunyai sel-sel yang membuat
“antibody”. Apabila blood-brain barrier rusak karena infeksi, protein
plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medulla spinalis. Dengan
demikian proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang
disusunan saraf pusat. Manifestasi klinis seperti sakit kepala, nyeri
retroorbital, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri oto-otot, pusing,
parestesia, fotofobia, letargia, dan delirium.
3. Infeksi tulang belakang
Infeksi tulang belakang terjadi akibat bakteri yang masuk kedalam
tulang melalui aliran darah ketika seseorang cedera, dapat juga terjadi pada
orang yang baru saja mengalami patah tulang, baru menjalani operasi
tulang, maupun orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Gejala dari infeksi tulang belakang salah satunya yaitu rasa sakit dan nyeri
yang terjadi di daerah tulang yang terkena serta kesulitan bergerak
4. Sifilis

34

Sifilis merupakan salah satu infeksi spiroketal yang mengganggu
susunan saraf secara menyeluruh ialah infeksi spiroketa jenis treponema
palidum (penyebab sifilis). Apabila penyebab manifestasi sifilis tahap
kedua tidak dikenal, maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan
tanpa halangan sehingga susunan saraf pusat juga akan mengalami invasi
kuman tersebut. Infeksi spenyakit sifilis disebut sebagai syphilitic
myelopathy bentuk dari neurosifilis dengan gejala gangguan berjalan (gait
ataxia), kehilangan keseimbangan dan reflex sampai kelemahan otot-otot
anggota gerak.
5. Fraktur Vertebra
Pada fraktur, yang patah bisa lamina, pedikel, prosesus transverses,
diskus intervertebralis bahkan korpus vertebranya. Bersama-sama dengan
fraktur tulang belakang, ligamentum longitudinal posterior dan dura bisa
terobek, bahkan kepingan tulang belakang bisa menusuk ke dalam kanalis
vertebralis. Arteri yang memperdarahi medulla spinalis serta vena-vena
yang mengiringinya bisa ikut terputus. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi seperti jatuh terduduk yang
dikenal sebagai “whiplash” ialah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
2.6 Terapi
2.6.1 Farmakoterapi
Menurut Bahrudin (2016:448-449) terapi farmako yang dapat diberikan
yaitu:

35

a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15
menit, 45 menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam.
Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder
asam arakidonat
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan ;
1) Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
2) Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
1) Analgetika
2) Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
3) Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila

terjadi

hipertensi

akibat

gangguan

saraf

otonom

(tensi

>180/100mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi
(Bahrudin , 2016: 448-449).
2.6.2 Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata ( 2014:569 ) menyatakan bahwa tatalaksana
awal yang dapat dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan
sekunder serta terapi kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)

36

Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering
menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma
dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningk