Kelompok Umur Penderita TB Paru di beber

PERBEDAAN KEPATUHAN BEROBAT PADA
PENDERITA TB PARU YANG DIDAMPINGI PMO DAN
TIDAK DIDAMPINGI PMO DI WILAYAH PUSKESMAS
KABUPATEN BOYOLALI

Wiwik Natalya, Khairil Anwar1
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit kronis yang dapat
menyebabkan kematian dan banyak menyerang kelompok umur produktif
dan kelompok ekonomi lemah. Di Indonesia penyakit ini merupakan
penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan.
Di Kabupaten Boyolali penyakit TB Paru setiap tahunnya terjadi
peningkatan, untuk menanggukangi hal tersebut digunakan strategi DOTS,
tetapi ternyata dari 26 Puskesmas yang ada hanya 5 Puskesmas yang bias
menjalankan PMO, sedang yang selebihnya tidak terdapat PMO.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat
kepatuhan berobat pada penderita TB Paru yang didampingi PMO dan tidak
didampingi PMO di Wilayah Puskesmas Kabupaten Boyolali.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi Explanatory dengan
menggunakan metode survey melalui pendekatan Cross Sectional. Sampel
penelitian diambil dengan dua cara, yaitu untuk sampel puskesmas diambil
dengan cara Cluster Random Sampling dan sampel penderita diambil secara

keseluruhan atau total populasi dari masing-masing wilayah puskesmas
penelitian. Hasil penelitian dianalisa dengan uji statistic Chi-Square.

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kepatuhan
berobat antara penderita TB Paru yang didampingi PMO dan yang tidak
didampingi PMO.
Untuk meningkatkan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru sebaiknya
PMO diambil dari keluarga penderita atau kader dari mantan penderita yang
sudah sembuh yang sebelumnya sudah diberi penyuluhan atau pelatihan
oleh petugas puskesmas.

Kata kunci : TB Paru, kepatuhan berobat, PMO

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
WHO memperkirakan tredapat sepertiga penduduk dunia
yang terinfeksi TB Paru, setiap tahun 4 juta penderita baru dengan
BTA positif dan 4 juta lagi dengan BTA negatif. Prevalensi

penderita TB Paru dunia saat ini 20 juta orang dan terdapat 3 juta
penderita yang meninggal setiap tahunnya.
Hasil SKRT ( Survei Kesehatan Rumah Tangga ) tahun 1995
menunjukkan bahwa TB Paru merupakan penyakit kematian
nomor tiga setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernafasan. Pemutusan rantai penularan dilakukan dengan cara
penemuan penderita secara dini, diikuti dengan pengobatanyang
tepat, memberikan khemotherapi Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ).
Untuk

mencapai

kesembuhan

yang

diharapkan

diperlukan


keteraturan pemakaian obat dan jangka waktu yang panjang.
Pada terapi jangka panjang ( 12 – 18 bulan ) pengobatan
penderita TB Paru yang dulu pernah dilakukan di Indonesia,
kegagalan terapi dapat mencapai 50 %, hal ini disebabkan karena
kepatuhan penderita yang buruk akibat lamanya pengobatan. Untuk
hal tersebut telah ditetapkan kebijakan operasional antara lain
peningkatan mutu pelayanan dan pengguanaan obat yang rasional
untuk memutuska mata rantai penularan serta mencegah meluasnya
resistensi kuman Tuberculosis di masyarakat dengan cara
mengawasi menelan obat setiap hari oleh Pengawas Minum Obat (

PMO ) serta beberapa strategi yang diterapkan antara lain
pembentukan Kelompok Puskesmas Pelaksana ( KPP ) yang terdiri
dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis ( PRM ) dan di kelilingi oleh
3 – 4 Puskesmas Satelit.
Di Kabupaten Boyolali penderita TB Paru setiap tahunnya
terjadi peningkatan penemuan penderita, seperti pada tahun 1996
terdapat BTA postif 273 penderita, tahun 1997 sebanyak 289 dan
tahun 1998 sebanyak 304 penderitan ( Laporan Tahunan Program
P2M Kabupaten Boyolali ).

Hasil cakupan kegiatan program TB Paru di Kabupaten
Boyolali pada tahun 1998 / 1999 dari 4.541 spesimen terdapat
BTA positif lebarnaya 287 ( 35,51% ) dengan angka kesembuhan
63%, putus berobat 16%, dab berobat tetapi tidak teratur 21%. Hal
ini dikarenakan kepatuhan penderita dalam berobat masih kurang.
Untuk mengatasi hal ini, Dinas Kabupaten Boyolali
melakukan upaya pendekatan dengan strategi DOTS ( Directly
Obsevered Treatment Short course ) yang mulai digalakkan pada
tahun 1998. DOTS ini mulai direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1995 / 1996 sebagai strategi dalam pemberantasan TB Paru
menjadi

meningkat,

sehingga

kasus

TB


Paru

menjadi

menurun.yang menjadi kendala pada kenyataannya dari 26
Puskesmas yang ada di Boyolali, hanya 19,2% yang ada PMO dan
sisanya ( 81,18% ) tidak ada PMO.

Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis melakukan
penelitian dengan judul perbedaan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB Paru yan didampingi PMO dan tidak didampingi
PMO di Wilayah Puskesmas Kabupaten Boyolali.

B. Perumusan Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB Paru yang didampingi PMO dan tidak didampingi
PMO di wilayah Puskesmas Kabupaten Boyolali
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan berobat pada penderita
TB Paru yang didampingi PMO di wilayah Puskesmas

Kabupaten Boyolali.
2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB Paru yang di dampingi PMO di wilayah
Puskesmas Kabupaten Boyolali

D. Manfaat Penelitian
Hasil peneliyian ini dapat dipergunakan sebagai masukan kepada
Dinas Kesehatan pada program pemberantasan penyakit TB Paru
terutama dalam pengendalian dan pengobatannya.

E. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan tingkat kepatuhan berobat pada TB paru yang
didampingi PMO dan tidak didampingi PMO di wilayah
Puskesmas Kabupaten Boyolali .

II.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi explanatory , metode yang
digunakan adalah metode survey dengan pendekatan Study Cross
Sectional, yaitu penelitian non ekperimental dimana pengumpulan
data variabel dependen maupun independen dilakukan bersamasama.

B. Populasi dan Sampel
Masih dalam pengobatan di wilayah Puskesmas Kabupaten
Boyolali, mulai bulan April sampai dengan bulan November 1999.
Dari 26 Puskesmas dalam Kabupaten Boyolali dipilih
dengan cara cluster random sampling yang dikelompokan menjadi
2 bagian, yaitu Puskesmas dengan PMO dan Puskesmas tanpa
PMO . Masing-masing kelompok dipilih dua puskesmas secara
random. Sedangkan untuk sampel penderita TB Paru diambil
secara total populasi atau keseluruhan penderita yang ada di
masing-masing penderita .

C. PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian dilakukan melalui empat tahap :
1. Survey awal, yaitu untuk mengamati permasalahan
kepatuhan


berobat

pada

penderita

TB

Paru

yang

didampingi PMO DI WILAYAH Puskesmas Kabupaten
Boyolali .
2. Pengumpulan data sekunder di Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Boyolali .
3. Uji coba kuesioner untuk penderita TB Paru dan PMO .
4. Penyebaran kuisioner .


D. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
Data yang telah di kumpulkan dan hasil kuesioner Diana;isa
dengan cara ;
1. Analisa diskriptif, yaitu menjelaskan hasil pengolahan data
dalam bentuk tabel dan narasi .
2. Analisa data untuk mengetahui perbedaan kepatuhan
berobat penderita TB Paru dengan PMO dan tanpa PMO,
menggunakan Uji Chi-square (Uji Kai Kuadrat) yaitu untuk
menguji signifikansi perbedaan antara dua variabel yang
endependen .

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan pemilihan sampel Puskesmas dengan
cara Cluster Random Smpling, diperoleh dua Puskesmas dengan
penderita TB Paru disertai PMO, yaitu Puskesmas Simo dan
Puskesmas Nogosari, dan dua Puskesmas yang menderita TB Paru

yang tidak disertai PMO yaitu Puskesmas Mojosongo dan
Puskesmas Boyolali II .
Jumlas sampel sebanyak 72 penderita TB Paru dengan
perincian : Puskesmas Simo 23 penderita, Puskesmas Nogosari 12
penderita, Puskesmas Mojosongo 21 penderita dan Puskesmas
Boyolali II 16 penderita . Adapun hasil penelitian didapatkan hasil
sebagai berikut :

1.

Karakteristik Penderita
a.

Umur
Tabel 1

Kelompok Umur Penderita TB Paru di beberapa Puskesmas

PUSKESMAS
Ada PMO


Tidak Ada PMO

JUMLAH

KLP. Umur
SIMO

NGSARI

MJSONGO

BYLALI

abslt %

abslt %

abslt %

abslt %

abslt

%

15 – 24

5

21.7

0

0.0

4

19.5

2

12.5 11

15.3

25 – 34

5

21.7

2

16.7 6

28.6

3

18.8 16

22.2

35 – 44

2

8.7

0

0.0

3

14.3

3

18.8 8

11.2

45 – 54

3

13.0

0

0.0

2

9.5

4

25.0 9

12.5

55 – 64

3

13.0

7

58.3 4

19.0

3

18.8 17

23.6

65 -74

4

17.4

2

16.7 2

9.5

1

6.3

9

12.5

>75

1

4.3

1

8.3

0

0.0

0

0.0

2

2.8

JUMLAH

23

100.0 12

100

21

100

16

100

72

100

Dilihat dari kelompok umur, ternyata penderita terbanyak
berusia 55-64 tahun dan berusia 25-34 tahun, serta
kelompok usia paling sedikit menderita TB adalah usia >
75 tahun ,

b. Pengetahuan
Tabel 2
Pengatuan Penderita Tentang Penyakit TB Paru
PUSKESMAS
Ada PMO

Tidak Ada PMO

JUMLAH

PENGETAHUAN
SIMO
abslt %
Baik

5

Sedang
Kurang

15

NGSARI
abslt %

MJSONGO
abslt %

BYLALI
abslt %

abslt %

21.7

3

25.0

2

12.5

0

0.0

10

65.2

5

41.7

9

56.3

7

43.8

36

13.0

4

33.3

10

62.5

9

56.3

26

23

50.0

36.1

3
JUMLAH

13.9

100

12

100

21

131.3

16

100

72

Dari data tersebut di atas diketahui bahwa pengetahuan
penderita tentang penyakitnya masih kurang, dari
sejumlah penderita yang benar-benar tau tentang
penyakitya hanya 13,9% yang tahu sebagian 50% dan
yang tidak tahu sama sekali 36,1%

100

c.

Kategori Pengobatan
Tabel 3
Penggolongan Penderita Berdasarkan Kategori
Pengobatan

PUSKESMAS
Ada PMO

KATEGORI
PENGOBATAN

SIMO
abslt %

Tidak Ada PMO

NGSARI
abslt %

MJSONGO
abslt %

JUMLAH

BYLALI
abslt %

abslt %

Kategori 1

21

9.3

7

58.3

10

47.6

9

56.4

47

65.3

Kategori 2

1

4.3

2

16.7

5

23.8

4

25.0

12

16.7

Kategori 3

1

4.3

3

25.0

6

28.6

3

18.8

13

18.1

JUMLAH

23

100

12

100

21

100

16

100

72

100

Di lihat dari kategori pengobatannya, terbanyak adalah
penderita dengan pengobatan kategori I (65,3%), kemudian
kategori II (16,7%)dan kategpri III (18%).

2. Kategori PMO
a. Pengetahuan Tentang TB Paru
Tabel 4
Pengetahuan PMO tentang penyakit TB Paru

Puskesmas

Baik %

Sedang %

Kurang %

Jumlah

Simo

18

78.3

5

21.7

-

-

23

Nogosari

14

33.3

7

58.3

1

4.5

12

JUMLAH

22

62.2

12

34.2

1

2.[9

35

Pengetahuan PMO tentang penyakit TB Paru sudah cukub
baik, yaitu PMO yang tahu tentang penyakit TB Paru sejumlah
62,9%, yang tahu sebagian 34,2% dan yang tidak tahu sama
sekali tentang Penyakit TB Paru hanya 2,9% .

b. Hubungan dengan Penderita
Tabel 5
Status Hubungan PMO dengan Penderita TB Paru

Hubungan dengan penderita
Petugas

Puskesmas

Kader

Keluarga

Masyarakat

kesehatan
abslt %

abslt

%

Simo

-

-

7

Nogosari

-

-

Jumlah

-

-

abslt

%

abslt

%

30.4 16

69,6

-

-

-

-

12

100

-

-

7

20

28

80

-

-

Dari data di atas menunjukan bahwa sebagian besar PMO
masih ada hubungan keluarga dengan TB Paru (80%) dan yang
20% adalah kader PMO yang sudah di bina .

3. Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru
a. Kepatuhan Berobat Menurut Fase Pengobatan 2006

Tabel 6
Tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru
Berdasarkan fase interaktif
Puskesmas

Fase intensif
patuh

Jumlah
Patuh

tidak Tidak patuh

penuh
absld

%

absl

%

absld

%

absld

%

d
Ada PMO
Simo

21

91,3

2

8,7

-

-

23

100

Nogosari

8

66,7

3

25

1

8,3

12

100

Jumlah

29

82,9

3

25

1

2,9

35

100

Mojosongo

6

12

12

57,1

3

14,3

21

100

Boyolali

4

8

8

50

4

25

16

100

Jumlah

10

20

20

54,1

7

18,9

37

100

Tanpa
Pmo

Uji Chi Square
Status PMO Status kepatuhan
patuh

%

Patuh
tidak

%

Tidak
Patuh

%

Total

%

penuh
Ada PMO

29

Tidak Ada 10

82,9

5

14,2

1

2,9

35

100

27

20

54,1

7

18,9

37

100

54,2

25

34,7

8

11,1

71

100

PMO
Total

39

X² hitung + 20,9 X² tabel untuk d.b.2 (pada α : 0,01) =9,21
X² hitung > X² tabel , jadi Ho di tolak
Kesimpulan : ada perbedaan kepatuhan berobat penderita yang didampingi PMO
dan tidak didampingi PMO.
Tabel 7
Kepatuhan berobat
Penderita TB Paru berdasarkan fase intermintten

Puskesmas

Fase intensif
Patuh

Jumlah
Patuh

tidak Tidak patuh

penuh
absld

%

absl

%

absld

%

absld

%

d
Ada PMO
Simo

22

100

-

-

-

-

22

100

Nogosari

5

71,4

2

28,6

-

-

7

100

Jumlah

27

93,1

2

6,9

-

-

29

100

Mojosongo

8

53,3

7

46,7

-

-

15

100

Boyolali

5

45,5

6

54,5

-

-

11

100

Jumlah

13

50

13

50

-

-

26

100

Tanpa
Pmo

Uji Chi Square
Status PMO Status kepatuhan
patuh

%

Patuh

%

tidak

Tidak

%

Total

%

Patuh

penuh
Ada PMO

27

Tidak Ada 13

93,1

2

6,9

-

-

29

100

50

13

50

-

-

26

100

72,7

15

27,3

-

-

55

100

PMO
Total

40

X² hitung + 11 X² tabel untuk d.b.2 (pada α : 0,01) =6,64
X² hitung > X² tabel , jadi Ho di tolak
Kesimpulan : ada perbedaan kepatuhan berobat penderita yang didampingi PMO
dan tidak didampingi PMO.
b. Kepatuhan Berobat Menurut Kategori Pengobatan
Tabel 8
Kepatuhan berobat pada kategori I
Puskesmas

Fase intensif
Patuh

Jumlah
Patuh

tidak Tidak patuh

penuh
absld

%

absl

%

absld

%

absld

%

d
Ada PMO
Simo

19

90,5

2

9,5

-

-

21

100

Nogosari

4

57,1

2

28,6

1

14,3

7

100

Jumlah

23

82,1

4

14,3

1

3,6

28

100

Mojosongo

3

30

5

50

2

20

10

100

Boyolali

2

22,2

5

55,6

2

22,2

9

100

Jumlah

5

26,3

10

52,6

4

21,2

19

100

Tanpa
Pmo

Dari uji square di dapatkan :
X² hitung = 13,4
X²tabel d,b,2. Pada α : 0,01 = 9,21
X² hitung > X2 tabel
Kesimpulan : ada perbedaan kepatuhan berobat penderita TB paru yang
didampingi PMO dengan penderita yang tidak didampingi PMO.
Tabel 9
Kepatuhan berobat pada kategori II
Puskesmas

Fase intensif
Patuh

Jumlah
Patuh

tidak Tidak patuh

penuh
absld

%

absl

%

absld

%

absld

%

d
Ada PMO
Simo

1

100

-

-

-

-

1

100

Nogosari

1

50

1

50

-

-

2

100

Jumlah

2

66,7

1

33,3

-

-

3

100

Mojosongo

2

40

2

40

1

20

5

100

Boyolali

2

50

1

25

1

25

4

100

Tanpa
Pmo

Jumlah

4

90

3

33,3

2

45

9

100

Pada kategori II ada perbedaan kepatuhan berobat antara penderita yang
didampingiPMO dan tanpa didampingi PMO. Pada penderita yang didampingi
PMO presentase lebih besar (66,7 %) sedangkan enderita yang tidak didampigi
PMO presentase lebih kecil (44,5 %) . disamping itu terdapat penderita drop out
Tabel 10
Kepatuhan beroba pada kategiri III
Puskesmas

Fase intensif
Patuh

Jumlah
Patuh

tidak Tidak patuh

penuh
absld

%

absl

%

absld

%

absld

%

d
Ada PMO
Simo

1

100

-

-

-

-

1

100

Nogosari

3

100

-

-

-

-

3

100

Jumlah

4

100

-

-

-

-

4

100

Mojosongo

3

50

3

50

-

-

6

100

Boyolali

2

66,7

-

-

1

33,3

3

100

Jumlah

5

55,6

3

33,3

1

11,1

9

100

Tanpa
Pmo

Pada kategoei III ternyata banyak penderita yang lebih patuh dibandingkan
dengan penderita yang tidak patuh , walaupun tetap ada perbedaan presentase
kepatuhan berobat pada penderita yang didampngi PMO dan penderita yang tidak
didampingi PMO

B. Pembahasan
Dilihat dari karakteristik penderita TB paru diwilyah
puskesmas simo ,nogosari , mojosongo, dan boyolali II , sebagian
sedang berusia antara 25 – 64 tahun atau tidak termasuk dalam usia
produktif ditemukan , hal ini bias dikatakan bahwa penderita TB
paru lebih banyak menyerang pada usia produktif , sesuai pendapat
prihatini dalam makalah yang berjudul epidemiologi penyakit TB
parumasalah dunia.
Penderita TB paru dari hasil penelitian sebagian besar
termasuk dalam pengobatan kategori I terutama diwilayah simo ,
karena diwilayah tersebut secara rutin dilakukan pengambilan
terhadap penderita yang diduga penderita TB paru untuk dilakukan
pemeriksaan BTA dipuskesmas tersebut, sedangkan di kategori III
lebih banyak terdapat di derah mojosongo. Penemuan penderita
untuk kategori III ini dengan cara penderita dengan spasme BTA
nya negative ,maka disuruh periksa ronten dirumah sakit terdekat.
Kemudian jika hasilnya positif TB paru maka dilakukan
pengobatan di puskesmas tersebut.

Pengobatan dengan kategori II terbesar diwilayah boyolali
II (25%). Penderita yang termasuk kategori II biasanya
dikarenakan drop out dari rumah sakit atau dari pelayanan
kesehatan lain.
Dari hasil survey terhadap penderita TB paru diperoleh
hasil adanya perbedaan yang nyata dari kepatuhan berobat
penderita yang didampingi PMO dan ang tidak didampingi PMO.
Penderita yang didampingi PMO terdapat 82,9 % patuh pada fase
intensif 93% patuh pada fase intermitten, penderita yang lalai
berobat atau setengah patuh rata – rata terjadi pada fase intensif
(14,2%), dengan alas an kadang – kadang timbul rasa bosan saat
minum obat dan pasien merasa sudah sembuh , sebagaimana
pendapat parasasmita yang mengatakan bahwa pada pengobatan 12 gejala TB paru akan berkurang atau ahkan hilang sehinga pasien
seolah – olah sembuh. Hal inilah yang menyebabkan pasien tidak
patuh bahkan menghentikan pengobatan nya biasanya penderita
yang tidak teratur minum obat pada fase intensif maka pada fase
intermitten lebih tidak teratur lagi dalam minum obat . tetapi
kenyataan nya penderita yang masih dalam fase intermitten lebih
patuh dibandingkan pada fase intensitf , hal Ini dikarenakan
penderita tidak lagi jenuh minum obat karena hanya # kali
seminggu dalam minum obatnya.
Sedangkan penderita yang tidak didampingi PMO
terdapat 54% setengah patuh dan 26% tidak patuh (drop

out) pada fase intensif, dan pada fase intermitten terdapat
50% yang setengah patuh,. Kegagalan pengobatan ini
karena kurangnya pengawasan dari petugas kesehatan
maupun dari keluarga pada saat pasien minum obat.
Ketidakpatuhan berobat pada fase intensif dikarenakan
pasien merasa bosan dan mual pada saat minum obat dan
setiap harinya, ada juga yang member alas an bahwa
dirinya sudah merasa sembuh.
IV.

KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Karakteristik penderita diliht dari kelompok umur sebagian
besar Penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Simo,
Nogosari, Mojosongo dan Boyolali II tergolong usia
produktif yaitu usia antara 16 – 64 tahun. Sebagian besar
rata-rata pendidikan dan pengetahuan penderita terhadap
penyakit TB Paru mesih kurang.
2. Karakteristik PMO dilihat dari hubungan nya dengan
penderita sebagian besar adalah keluarga dan rata-rata
mempunyai pengetahuan yang cukup aik tentang penyakit
TB Paru. Sangat sedikit PMO yang tidak memahami
pengetahuan tentang Penyakit TB Paru.
3. Ada perbedaan kepatuhan tingkat berobat pada penderits
TB Paru yang didampigi PMO dan yang tidak didampingi
PMO di wilayah Puaskesmas.

4. Kabupaten Boyolali. Pada penderita yang didampingi PMO
tingkat kepatuhannya lebih tinggi disbanding dengan
penderita yang tidak didampingi PMO.

B. Saran
1. Untuk meningkatkan kepatuahan penderita sebaiknya setiap
puskesmas melaksanakan strategi DOTS yang disertai
PMO, agar dapat membantu pengawasan pada saat minum
obat sehingga dapat mengurangi terjadinya lalai berobat
atau drop out.
2. Agar pelaksanaan PMO lebih efektif, sebaiknya PMO
diambilkan dari salah satu anggota keluarga penderita
sehingga lebih mudah mengawasi penderita pada saat
menelan obatnya
3. Sebaiknya dilakukan penyuluhan atau pelatihan singkat
terhadap PMO sehingga dapat meningkatkan pengetahuan
tentang penyakit TB Paru, terutama cara pencegahan,
pengobatan dan pemakaian OAT.

DAFTAR PUSTAKA

WHO.1993. Tb global emergency. The Magazine of the United health
organization, July – Agustus 1993.

Depkes RI, 1999. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan penyehatan lingkungan
pemukiman

Cuneo, W.D. and Snider, D.E.1989. Enhancing Patient Compliancewith
Tuberculosis Theraphy. Clinics in Chest Medicine, 3,375-378.

Profil Kesehatan Boyolali, 1998

Mangun negoro,H. dan Jaelani,P. 1985. Penanganan Kasus-kasus
Kegagalan Pengobatan Tuberkulosis. Jakarta : FKUI

Prihartini, S. 1995. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Masalah Dunia.
Naskah lengkap komperensi Kerja Nasional VII Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia 6-7 juli 1995, Bandung – Indonesia

Partasasmita, I. 1986. Lalai Berobat dan Putus Berobat Pada Penderita TB paru.
Naskah lengkap simposium bebrapa Masalah Pengelolaan Rasional Tuberkulosis
Paru; Bandung – Indonesia