Identifikasi Penyakit Karang di Pulau

PROSIDING
Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut,
dan Pulau-Pulau Kecil
"Kontribusi IPTEK dalam pengelolaan surnberdaya
pesisir, laut, dun pulau-pulau hecil"

Bogor, 18 Nopember 2010

Editor:
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,DEA
Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si
Citra Sa-trya Utama Dewi, S.Pi

ISBN: 978-979-19034-4-8
Kredit:
Desain sampul: Pasus Legowo
Tata letak:
Pasus Legowo, Dharmawan I Pratama, Femi Zumaritha

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya jua Simposium Nasional Pengelolaan

Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dapat terselenggara dengan baik, dan seluruh
rangkaian acara dan makalah-makalah yang terkait dengan simposium ini dapat
disampaikan dalam laporan kegiatan ini.
Sebagai Negara megabiodiversity laut terbesar dengan semua ekosistem laut tropis
produktif yang melingkupi wilayah pesisir kepulauan nusantara, Indonesia memiliki
kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar sebagai aset Nasional. Namun
tidak dapat pula dipungkiri bahwa kekayaan laut yang sedemikian besar ternyata di
satu sisi belum sepenuhnya dioptimalkan dan di sisi lain sedang merrgalami
kerusakan yang cukup mengkhawatirkan.
Karena itu bagaimana kekayaan laut yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa secara
berkelanjutan, serta kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki dan dipulihkan,
seyogyanya suatu pendekatan pengelolaan berbasis iptek menjadi urgen untuk
diterapkan bagi keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia. Untuk itulah
Simposium dengan tema "Kontribusi IPTEK dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil", yang dirancang sebagai kelanjutan kegiatan
KONAS VII di Ambon diharapkan dapat mendesiminasikan hasil-hasil penelitian dan
kajian, menjalin komunikasi serta berbagi informasi dan pengalaman mengenai
pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berbasis iptek di
Indonesia.

Simposium Nasional ini hanya dapat terlaksana berkat kerjasama antara Himpunan
Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) dan Fakultas Perikanan dan llmu
Kelautan IPB, dengan dukungan dana dari Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan Nasional RI. Tak kalah pentingnya bahwa keberhasilan Simposium ini
sangat ditentukan oleh para pembicara panel, moderator, notulen, pemakalah,
peserta, serta para panitia yang telah berkontribusi menyukseskan simposium ini.
Akhirnya, semoga prosiding simposium yang berisikan kumpulan makalahlartikel ini
dapat memberikan informasi ilmiah yang esensial tentang peran iptek dalam
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di
Indonesia.
Bogor, April 2011
Ketua Panitia PelaksanaISekjen HAPPI,
Prof.Dr.lr. Dietriech G. Bengen, DEA

DAFTAR IS1

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................
. .


i

DAFTAR IS1....................................... .................................................................

ii

I. TOPlK 1: IPTEK dalam Optimalisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
1. Estimasi daya dukung sosial dalam pengelolaan ekowisata pulaupulau kecil di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan
Togean (Penulis: Alimudin Laapo) .....................................................
2. Strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional

3.

4.

5.

6.


7.

8.

9.

10.

pelintas batas di Rote-Ndao (Penulis : Anna Fatchiya) ........................
Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tongkol (Euthynnus
afinis) di perairan Pantai Selatan Yogyakarta (Penulis : Ati
Rahadiati dan lrmadi Nahib) ................................................................
ldentifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
(Penulis: Beginer Subhan, Dondy Arafat, Fadhilah'Rahmawati,
Mochamad Luqmanul Hakim, Dedi Soedharma) .
Aktivitas antibakteri ekstrak rnetanol Sinularia dura yang
difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
(Penulis : Mujizat Kawaroe, Dedi Soedharma, Hefni Effendi, Tati
Nurhayati, Safrina Dyah Hardiningtyas, W~ndhikaPriyatmoko) .........
~ a i kelapa

n
dan daun sukun sebagai bahan alfernatif pengganti
terumbu karang dalam pengoperasian bubu tambun (Penulis :
Diniah, Wawan Rowandi, Ari Nado Syahrur Ramadan) ......................
Analisis perubahan luas dan kerapatan tutupan mangrove
menggunakan citra Landsat ETM Multitemporal di pesisir utara
Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung
(Penulis : Irma Akhrianti, Franto, Eddy Nurtjahya, lndra Ambalika) .....
Ekstrak ascidian Didemnum molle sebagai alternatif sumber
antibakteri dari hewan asosiasi terumbu karang (penulis : lrma
Shita Arlyza) .........................................................................................
Analisis. ekonomi keterkaitan perubahan hutan mangrove dan
udang di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam (Penulis :
Irmadi Nahib).........................................................................................
Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk Saleh, Sumbawa:
Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman ikan
karang (Penulis : Isa Nagib Edrus, Syahrul Arief, dan lwan Erik
Setyawan) ...................... ..:.............................................................

I- 1

1 -5

I - 13
1 - 20

I - 26
I - 31

I - 37

I - 46

I - 54

I - 60

Morfologi gugusan pulau kecil (archipelagic islands) di Kabupaten
(Penulis :Joyce Christian
Kepulauan Siau Tagulandang dan ~ i a r o
Kumaat) ...............................................................................................

Kontribusi peta dan citra inderaja dalam kajian optimalisasi
penggunaan lahan marginal studi kasus pesisir kecamatan Kubu Karangasem - Bali (Penulis : Kris Sunarto, Drs. M.Si.) ......................
Bio-ekologis kepiting bakau pada kawasan konservasi desa Passo
Teluk Ambon (Penulis : Laura Siahainenia) .......................................
Potensi kekerangan abalon Sulawesi Selatan, prospek dan
tantarlgan pengelolaan (Penulis : Magdalena Litaay, Rosana Agus,
Rusmidin, st. Ferawati).........................................................................
Estimasi potensi ekonomi rumput laut berdasarkan daya dukung
perairan di Kepulauan Salabangka Kabupaten Morowali Sulawesi
Tengah(Penu1is :Marhawati Mappatoba, Eka Rosyida, Alimudin
Laapo) .................................................................................................

Analisis awal pengelolaan pesisir untuk kegiatan wisata pantai
(studi kasus Pantai Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat)
(Penulis :Muhammad Bakhtiar, Octavianus A. Mainasy, Zikri
Sudrajat, Hafidz Fauzi) .........................................................................
Teknologi tepat guna dalam pemberdayaan masyarakat pesisir
berbasis sumberdaya perikanan (Penulis :Mulyono S. Baskoro dan
lvonne M. Radjawane)..........................................................................
Penatakelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove melalui

optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (s. serafa) di
Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur (Penulis :
Nirmalasari ldha Wijaya, Fredinan Yulianda, Mennofatria Boer dan
Sri juwana). ...... .:...................................................................................
Aspek bioteknik dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan di
perairan Teluk Banten (Penulis :Roza Yusfiandayani, M.P. Sobari) ...
Analisis daya dukung pulau kecil untuk ekowisata bahari dengan
pendekatan eccological footprint (studi kasus Pulau Matakus, kab.
Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku) (Penulis :Salvinus
Solarbesain, Luky Adrianto, Santoso Rahardjo)...................................
Deteksi gemmbolan bandeng (Chanos chanos) berbeda ukuran
berdasarkan fase pantulan gelombang akustik (Penulis :septian T.
Pratomo, sri pujiyati, dan Arman D. Diponegom) ................................
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan
terumbu karang di pulau kecil terluar studi kasus :Pulau Larat,
Provinsi Maluku Tenggara Barat (Penulis :Suseno Wangsit
Wijaya, Yoniar Hufan Ramadhani, Rahmatia Susanti).........................
Pola spasial kedalaman perairan di teluk bungus, Kota Padang
(Penulis :Yulius, Hari Prihatno dan Ifan Ridlo Suhelmi) .........................


II. TOPlK 2:

IP'TEK dalam Pengelolaan dan Pengembangan
Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut
1. Perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses
keragaman hayati di .Pulau Sapudi-Sumenep (Penulis: Romadhon
A, Kurniawan F, Hidayat WA) ...............................................................
Peran swasta dalam pengelolaan pesisir Ujungpangkah,
Kabupaten Gresik (Penulis : Angela Ika Y Mariendrasari dan Prof.
Dietrich G Bengen) ..............................................................................
Merbau (intsia bijuga (colebr.) o. Kuntze) di Taman Nasional Ujung
Kulon Banten (Penulis : Dodo dan Mujahidin) .....................................
Potensi anggrek sebagai sumberdaya non kayu di kawasan hutan
mangrove Pantai Maligano - Pulau Buton, Sulawesi Tenggara
(Penulis : Eka Martha Della Rahayu, Izu Andry Fijridianto dan R.
Hendrian).............................................................................................
lnventarisasi data luas kerapatan hutan mangrove di Taman
Nasional Bali Barat sebagai potensi Kawasan Konservasi Laut
dalam pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecii
dengan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis

menggunakan satelit ALOS (Penulis : Firman Setiawan, Rama
Wijaya dan Noir P. Poerba) .................................................................
Disain rehabilitasi ekosistem mangrove untuk pengelolaan
konservasi di daerah penyangga Pulau Dua, Kota Serang, Banten
(Penulis : Fredinan Yulianda dan Nyoto Santoso) ...............................
Sebaran lokasi wisata laut dan budaya di Kabupaten Wakatobi
Provinsi Sulawesi Tenggara (Penulis : Helman) .................................
Pengelompokan Jenis Tumbuhan Berdasarkan Kandungan Hara di
Hutan Dataran Rendah, Pulau Wawonii - Sulawesi Tenggara
(Penulis: Joeni Setijo Rahajoe dan Edi Mirmanto)
lmplementasi metode blue heart ocean sebagai langkah strategis
konservasi terumbu karang dalam wacana jakarta water front city
berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Utara Jakarta
(Penulis : Nugroho W~ratamadan Nidhom Fahmi) ..............................
Biodiversitas ikan karang di Kepulauan Padaido, Kabupaten BiakNumfor, Papua (Penulis : Pustika Ratnawati, Muhammad Hafiz,
Sukmaraharja,Tia Sulistiani, Hedra Akhrari) ........................................
Kajian potensi ekologis dan isu-isu strategis ekosistem karst cagar
alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Penulis : Rosniati A. Risna dan
Tata M. Syaid) .....................................................................................
Pulau Wawonii: keanekaragaman, potensi dan permasalahannya

(Penulis : Rugayah, M. Rahayu & S. Sunarti) ....................................

II - 1

11 - 8
II - 14

I1- 18

II - 22
II - 27
II - 33

II - 37

II

- 43

I\ - 49

II - 53
II - 60

13. Flora langka di pulau kecil Batudaka, Sulawesi Tengah (Penulis:
Sri Hartini) ............................................................................................
14. Jenis-jenis vegetasi unik dan perlu dilindungi di Pulau Waigeo,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (Penulis :
Sudarmono) .........................................................................................
15. Penentuan kondisi dan potensi konservasi ekosistem mangrove di
pesisir selatan Kabupaten Bangkalan berbasis teknologi SIG dan
penginderaan jauh (Penulis : Wahyu A'idin Hidayat, Zulkarnaen
Fahmi) ................................................................................................

Ill. TOPlK 3: IPTEK dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak
Perubahan lklim terhadap Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
1. Pemodelan luas genangan di semarang akibat pasang surut
(Penulis : Didik Hartadi, dan lvonne M.R..............................................
2. Perubahan status lahan dan tutupan lahan kawasan Pulau Moti,
Ternate Maluku Utara (Penulis : H.I.P. Utaminingrum, M.Ridwan,
dan Roemantyo) ..................................................................................
3. Distribusi spasial oil spill montara di Celah Timor dari satelit dan
dampaknya terhadap sumberdaya hayati laut (Penulis : Jonson
Lumban Gaol) ......................................................................................
4. Penentuan parameter paling dominan berpengaruh terhadap
pertumbuhan populasi fitoplankton pada musim kemarau di
perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan (Penulis : Rahmadi
Tambaru, Enan M. Adiwilaga, lsmudi Muchsin, dan Ario Damar) .......
5. Pemanfaatan pengideraanjauh dalam pemantauan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut di pantai Utara Jawa Barat (Penulis :
Riny Novianty dan Anggraeni Nurmartha Vina) ...................................
6. Strategi pemberdayaan nelayan berbasis keunikan Agroekosistem
dan kelembagaan lokal (Penulis : Siti Amanah) ...................................
7. Teknologi geospasial untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terpencil
(studi kasus di kepulauan Karimunjawa - Jawa Tengah) (Penulis :
Yatin Suwamo dan Sri Lestari Munajati) .............................................

8. ldentifikasi potensi jenis ikan ekonomis penting dengan analisis
kenrangan dan hidroakustik di Kep. Tagalaya, Halmahera Utara
(Penulis : Zulkarnaen Fahmi, Frensly D Hukom, Wahyu A'idin
Hidayat, Jefry Bemba ...........................................................................

II -70

11 - 75

II - 79

ESTlMASl DAYA DUKUNG SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOWISATA PULAUPULAU KEClL Dl GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN
Oleh:
Alimudin Laapo
Fakultas Pertanian UNTAD Kampus Bumi Tadulako, Tondo Palu, Telp: (0451) 4907340;
E-mail: alimudin/3@yahoo.com

'

'

ABSTRAK
Peningkatan kunjungan turis dan jumlah penduduk lokal setiap tahun di gugus pulau Togean
berpotensi merubah perilaku, norma dan budaya masyarakat lokal. Penelitian ini bertujuan
untuk mengestimasi daya dukung sosial kawasan wisata Pulau Togean dalam
mendukung kegiatan ekowisata PPK berkelanjutan. Metode analisis data menggunakan
pendekatan Saveriades yang menghasilkan rasio optimal antara seorang turis dengan
beberapa penduduk lokal. Hasil penetitian menunjukkan bahwa kedatangan turfs
mancanegara ditanggapi dengan biasa saja dan belum secara nyata merubah perilaku
masyarakat lokal (respon 68%). Rasio host-tourist yakni I : 20 (persepsi 64%), dengan
jumtah daya dukung sosiat yakni 492 kunjungan turis per hari. Diperlukan distribusi dan
pengaturan jumlah turis ke lokasi wisata gugus Pulau Togean terutama pada musim
puncak kunjungan turis.
Kata Kunci: daya dukung sosial, ekowisata, gugus Pulau Togean
Pendahuluan

Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki potensi
sumberdaya PPK yang cukup besar,
umumnya berada di Kepulauan Togean
(221 pulau). Sesuai dengan daya tarik
obyek wisata, kegiatan pariwisata di
wilayah ini mengandalkan pariwisata
bahari (wisata selam dan snorkling,
pancing, jelajah hutan alam (trecking)
dan hutan mangrove). Kunjungan
wisatawan
didaerah
ini
telah
berlangsung sejak 20 tahun terakhir.
Diperkirakan 8.000 wisman atau 665
orang per bulan di tahun 1999
mengunjungi kawasan ini. Penurunan
jumlah wisman terjadi antara tahun
2000-2003, dimana. hanya terdapat 20
wisman perbulannya. Arus kunjungan
wisatawan mengalami peningkatan pada
tahun 2004 yang diperkiraan mencapai
10.000 wisatawan mancanegara (80%)
dan
domestik
(20%)
(Disbudpar
Kabupaten Tojo Una-Una 2006).
Selain
dapat
mengancam
keberadaan
dan
kelangsungan
ekosistem dan sumberdaya PPK,
peningkatan
jumlah
kunjungan
wisatawan mancanegara berpotensi
merubah tatanan kehidupan masyarakat
lokal (host), baik dalam nilai sosial dan

budaya, maupun
kualitas hidup
masyarakat.
Keprihatinan
dalam
perubahan tatanan nilai dan budaya
masyarakat PPK akibat pembangunan
yang bertumpu pada aspek ekonomi
semata,
melahirkan
paradigma
pembangunan
Yang
secara
komprehensif guna memahami prinsipprinsip pengelolaan pariwisata yang
berkelanjutan (Marvel1 and Watkins
2005). Ekowisata merupakan konsep
pariwisata alternatif yang secara konsisten
mengedepankan nilai-nilai alam, sosial
dan masyarakat yang memungkinkan
adanya interaksi positif diantara para
pelakunya. Secara ekologis dan dalam
kawasan PPK yang terbatas, kegiatan
ekowisata PPK yang diselenggarakan oleh
pihak swasta mampu menjaga kelestarian
ekosistem tenrmbu karang dan mangrove
(Zamani dkk. 2007). Di sisi lain, kegiatan
wisata yang dikelola pengusaha wisata
kurang melibatkan masyarakat lokal
sehingga belum mampu meningkatkan
kualitas
hidup
mereka.
Hal
ini
menyebabkan terjadinya konflik horisontal
antara masyarakat lokal dengan pihak
pengusaha wisata dalam pemanfaatan
wilayah perairan PPK.

Berdasarkan permasalahan tersebut,
maka kebijakan pengelolaan ekowisata
di gugus
Pulau Togean harus
mempertimbangkan
keberlanjutan
ekosistem PPK dan nilai budaya
masyarakat lokal. Untuk itu, pelaksanaan
penelitian ini ditujukan untuk mengkaji
besarnya daya dukung sosial kawasan
wisata Pulau Togean dalam mendukung
kegiatan ekowisata PPK berkelanjutan.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di wilayah
administratif Kabupaten Tojo Una-Una
Provinsi Sulawesi Tengah (Gambar 1).
Penentuan lokasi pengambilan contoh
(stasiun) mempertimbangkan posisi obyek
wisata (letak kawasan terumbu karang,
kawasan mangrove dan pantai berpasir),
keberadaan
usaha
wisata
bahari,
pemukiman penduduk dan aksesibilitas
masyarakat
dalam
pemanfaatan
sumberdava ~ulau.

Gambar 1. Lokasi Penelitian
Jenis data yang akan dikumpulkan
dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi data cross section dan data time
series. Data cross section bersumber dari
data primer yakni data yang dikumpulkan
melalui metode survei terhadap wisatawan
dan masyarakat lokal. Jenis data yang
dikumpulkan meliputi: trend dan distribusi
kunjungan turis, jumlah penduduk lokal,
persepsi
masyarakat
dan
turis
(mancanegara maupun domestik) tentang
nilai
budaya
lokal,
kenyamanan
beraktivitas, respon masyarakat lokal
terhadap kedatangan turis, dan rasio
optimal antara turis dengan masyarakat
lokal.

Perhitungan daya dukung sosial
menggunakan pendekatan Saveriades
(2000), dimana bertambahnya waktu dan
jumlah manusia maka kebutuhan manusia,
interaksi dan kompetisi antar manusia
dalam menempati ruang juga semakin
meningkat,
sehingga
menimbulkan
ketidaknyamanan
beraktivitas
dan
perasaan
terganggu
(unsustainable).
Metode yang digunakan dalam mengkaji
daya dukung ini yakni analisis deskriptif,
kesepakatan
dan
situatif
yang
menghasilkan rasio turis dan masyarakat
atau host-tourist ratio (Saveriades 2000).
Karakteristik Kunjungan Turis
Kedatangan wisatawan mancanegara
(wisman) ke Kepulauan Togean telah
dilakukan sejak lebih dari 10 tahun lalu,
dan makin berkembang pada pertengahan
tahun 1990-an. Wisman yang berkunjung
ke kawasan wisata Togean umumnya
bertujuan untuk menikmati keindahan
bawah laut. Sebaliknya, kedatangan
wisatawan domestik umumnya untuk
tujuan
berusahalwiraswasta
dan
kunjungan kerja (instansi pemerintah).
Karakteristik kunjungan turis di lokasi
ekowisata gugus Pulau Togean disajikan
pada Gambar 2.
Kunjungan wisman berfluktuasi dalam
setahun, puncak kedatangan biasanya
terjadi pada bulan Agustus dan terendah
pada bulan Desember. Kunjungan wisman
ke Kepulauan Togean dalam kurun waktu
tahun 2000-2007 jumlahnya berfluktuasi,
tertinggi pada tahun 2001 (186 %) dan
menurun sampai 38 % pada 2002.
Penurunan kunjungan disebabkan oleh
te rjadinya kerusuhan Poso pada tahun
2000.
Namun karena daya tarik
lingkungan wisata yang sangat alami, pada
2003 jumlah kunjungan kembali meningkat
mencapai angka 3.122 wisman.

31
S

Ibjmgo Tons p&Tahon 7.W
,Y)

- .;,j:

n
a
a
n
n
n
).
rji
if,
19
at

=a

1

ra
rh
u,
an
19
ia
an
an
~k
an
1)-

rsi
an
Im
Ya
ah
an
rtu
si,
an
12.
eh
un
rik
da
cat

-

----

-

I

>
- 3 ' .

;
(

.

,

.

.
A___--

I

'

OKI

hW

ES

JW

Pill

UAR M L

W

J.X

,

-----F
a

Tab

Gambar 2. Distribusi Kunjungan Turis per
Bulan dan Trend Kunjungan Wisman pada
tahun 2000-2007
Tabel 1. Persepsi dan Respon Penduduk
Lokal terhadap kegiatan Wisata di Gugus
Pulau Togean
r

2

unlan
uterangan
~um~anpenatmult~om~
(~iwa)
9 839
Pereepalekonomlmasyamltataengan Mengumungltan=28 %; Tlaak
neteraaaan wisamwan
aaapengarunz 72%.
Memlken=O%

5

6
7

Pembahasan

N3I PI7

Buh

No

per km2). Umumnya tingkat pengetahuan
dan pemahaman masyarakat tentang
ekowisata masih rendah.
Selain itu,
keberadaan usaha wisata bahari dan
wisatawan yang berkunjung ke kawasan
wisata Togean
belum memberikan
kontribusi dan pengaruh yang nyata
terhadap kualitas hidup masyarakat lokal.

91kapmaeyaraltataengan
ltsaalenganturre
Pembahanpenlanumaeyaraltat
aenganaaanyatur~s
Rae10 Msmawanaenuanmasyaraltat

Sumber: Data Primer (2009) dan BPS (.2008).

Persepsi dan Respon Penduduk
Lokal
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah
. penduduk di Kecamatan Togean pada
tahun 2007 adalah berjumlah 9.839 jiwa
yang tesebar di 14 Desa dengan
kepadatan rata-rata 43 jiwa per km2.
Jumlah kepadatan tertinggi berada di Desa
Tongkabo (222 jiwa per km2 ) dan yang
terendah berada di Desa Benteng (14 jiwa

Gambar 2 menuniukkan bahwa
penurunan kunjungan pads September
sampai Mei selain disebabkan oleh akhir
dari periode liburan, juga disebabkan oleh
cuaca yang kurang baik di wilayah
Kepulauan Togean pada umumnya seperti
masuknya musim hujan, badai dan ombak
yang tinggi. Wisman yang berkunjung ke
Togean umumnya berasal dari negaranegara Benua Eropa, terbanyak dari
Jerman (12,OO %), selanjutnya Perancis
dan Spanyol masing-masing 10,OO %.
Dinamika kunjungan wisatawan dan
kegiatan wisata bahari di kawasan wisata
PPK tropis umumnya ditentukan kondisi
iklim (hujan dan matahari) dan perubahan
faktor hidrooseanografi (Dodds 2007),
kondisi sumberdaya 'laut (terumbu karang,
mangrove dan biota lainnya), dan pantai
berpasir (Scott et a/. 2004).
Potensi sumberdaya gugus Pulau
Togean .seperti terumbu karang dan pantai
berpasir serta budaya lokal merupakan
daya
tarik
utama
meningkatnya
kedatangan wisman di kawasan wisata ini.
Namun demikian, kunjungan wisman bagi
masyarakat lokal masih diqnggap biasa
saja atau belum mempengaruhi secara
nyata budaya lokal. Keberadaan wisman
relatif menguntungkan jika dilihat dari sisi
upaya peningkatkan pengetahuan mereka
(belajar langsung dengan turis) terhadap
bahasa umum yang digunakan untuk
berkomunikasi
dengan
wisatawan.
Sementara untuk peningkatan kualitas
hidup (kesejahteraan) masyarakat lokal
dirasakan masih rendah.
Keberadaan wisatawan juga tidak
memberikan pengaruh yang
nyata
terhadap pola dan gaya hidup masyarakat
lokal. Hal ini disebabkan oleh antara lokasi
usaha
wisata
dengan
pemukiman

masyarakat lokal relatif jauh, sehingga
tingkat pembauran antara turis dengan
penduduk rendah dan pengetahuan
masyarakat secara mendalam tentang pola
hidup wisatawan asing juga sangat
terbatas.
Terkait dengan kenyamanan
masyarakat lokal dengan keberadaan
wisatawan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa beragam pendapat maupun
penilaian masyarakat lokal dan wisatawan
tentang rasio yang optimum antara
wisatawan dengan masyarakat lokal.
Umumnya masyarakat lokal menyatakan
bahwa selain karena pertambahan jumlah
kunjungan wisatawan, ketidaknyamanan
masyarakat dapat terganggu terutama
disebabkan
oleh
cara
berpakaian
wisatawan dan interaksi sosial. Nilai daya
dukung sosial kawasan wisata Togean
sebanyak 492 orang per hari masih lebih
kecil dari daya dukung ekologi yakni 692
orang (Laapo 2010). Hal ini sesuai dengan
Saveriades
(2000),
bahwa
ketidaknyamanan
seseorang
dapat
membatasi penerimaannya ketika orang
lain masuk untuk berinteraksi (Social
Carrying Capacity), wala~~punsecara
ekologi (Biological Carrying Capacity)
masih tersedia relung untuk orang tersebut
masuk berinteraksi. Kehadiran wisman
dalam jumlah besar (melebihi daya
dukung) berpotensi merubah nilai-nilai
sosial budaya (cultural identity) masyarakat
lokal (Orams
1999). Sebaliknya,
keragaman produk wisata termasuk
ekowisata budaya dan pangsa pasar dapat
meningkatkan nilai ekonomi dan jika
dimanfaatkan secara optimal akan
meningkatkan kontribusi ekonomi daerah
(Iftekhar and lslam 2004).

Pustaka
BPS (2008) Kecamatan Togean dalam
angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tojo Una-Una, Ampana.
Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una
(2006) Rencana induk pengembangan
pariwisata daerah Kabupaten Tojo UnaUna. Pemda Tojo Una-Una, Ampana, Hal:
267.
Dodds R (2007) Malta's tourism policy:
standing still or advancing towards
sustainability? Island Studies J. 2(1): 4766.
lftekhar MS, lslam MR (2004) Managing
mangroves in Bangladesh: A strategy
analysis. J. of Coast Consen/. 10: 139-146.
Laapo A (2010) Optimasi Pengelolaan
Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus
Gugus Pulau Togean Taman Nasional
Kepulauan . Togean).
Disertasi
Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor,
Bogor. Hal: 214.
Marvell A, Watkins C (2005) Marine
tourism: a case study of sustainable
marine tourism in the Maldives. Geog
Matters 8 (1):6-9.
Orams M (1999) Marine tourism,
development, impacts and management.
Routledge, London, 124p.
Saveriades A (2000) Establishing the
social tourism carrying capacity for the
tourist resorts of the east coast of the
Republic of Cyprus. J. of Tourism Manag
21: 147-156.

Ucapan Terima Kasih
Terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis hatu~kankepada Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia yang telah
memberikan bantuan dana penelitian
Hibah Doktor dan saranlmasukan dari
komisi pembimbing atas penulisan
makalah ini. Terima kasih pula kami
ucapkan kepada HAPPI.

Scott DG, McBoyle, Schwartzentruber M
(2004) Climate change and the distribution
of climatic resources for tourism in North
America. Climate Res. 27: 105-1 17.
Zamani NP, Gaol JL, Madduppa H, Arhatin
RE, Putra KS, Khazali M, Anwar K, Zulkah
L (2007) Profil sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Togean.
CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Tojo
Una-Una, Hal: 91.

na
an
laal:

m,
nt.

STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
PELINTAS BATAS Dl ROTE-NDAO
Oleh :
Anna Fatchiya
Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, lnstitut Pertanian Bogor
Email : annafafchiya@yahoo.com
ABSTRAK
Banyak nelayan dari Pulau Rote, N l T yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
tentorial Australia, yaitu di kawasan Pulau Ashmore (Pulau Pasir). Melalui moratorium
perjanjian kedua negara tahun 1974 atau yang dikenal dengan MOU Box 1974
dimungkinkan nelayan tradisional dari lndonesia menangkap biota laut di kawasan tersebut
dengan batasan-batasan tertentu. Namun, pada kenyataannya muncul pelanggaranpelanggaran aturan yang telah disepakati. Keadaan ini terus berulang terjadi yang
merugikan kedua belah pihak. Pendekatan secara legal formal semata tidak mampu
menghentikan permasalahan tersebut. Oleh karenafiya perlu dilakukan pendekatan yang
bersifat sosiokultural. Diharapkan dengan pendekatan ini permasalahan dapat bersifat
komprehensif. Penelitian ini ditujukan untuk melihat akar permasalahan yang timbul dengan
mengkaji aspek pranata sosial dan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional di
Rote dan menganalisis pilihan strategi pemberdayaan yang mengacu pada potensi,
kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Penelitian
dilakukan Oktober 2010 di dua desa yang menjadi komunitas nelayan tradisional pelintas
batas di Kabupaten Rote Ndao. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, observasi,
dan indepth interview pada nelayan pelaku dan tokoh masyarakat setempat. Selanjutnya
data dideskripsikan dan diulas secara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kehidupan masyarakat nelayan tradisional yang menangkap biota laut ke wilayah Australia
sudah terpola turun temurun sejak nenek moyangnya. Pasar merupakan faktor eksternal
yang kuat yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, karena hasil tangkapan nelayan
yang utama yaitu teripang dan sirip ikan hiu bemilai komersial tinggi di pasar internasional.
Strategi pemberdayaan pada masyarakat ini didasarkan pada aspek peralihan mata
pencaharian yang tetap berbasis pada sumberdaya pesisir dan laut, atau memfasilitasi
nelayan tradisional menangkap di MOU Box. Mata pencaharian alternatif dapat diarahkan
pada, usaha budidaya laut seperti n~mputlaut dan ikan-ikan karang, dan peningktan
intensitas penangkapan di perairan sekitar Rote. Menfasilitasi nelayan di MOU Box dengan
cara memberikan jaminan atas keselamatan melaut, sistem asuransi, dan jaminan hukum.
Kata kunci: pemberdayaan, nelayan tradisional, sosiokultural, pelintas batas
Pendahuluan

M
on
rth

tin
ah
an
an.
sjo

Pulau Rote terletak di ujung selatan
negara lndonesia yang berbatasan dengan
Australia. Banyak nelayan dari pulau ini
yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah kedaulatan Australia, yaitu di
kawasan Ashmore Reef ( ~ u l a u Pasir).
Dalam menangani ha1 tersebut pihak
keamanan Australia menangkap dan
menahan nelayan pelintas batas ini. Hal ini
seringkali
menimbulkan
ketegangan
hubungan antara kedua negara lndonesia
dan Australia.

Moratorium kesepahaman antara
kedua negara telah dibuat sejak tahun
1974, yaitu
tentang pengoperasian
penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
di zona penangkapan di Australia yang
dikenal dengan MOU Box 1974. Substansi
perjanjian ini adalah jaminan atas hak
perikanan tradisional nelayan Indonesia.
Selanjutnya tahun 1981 dan 1989
dibangun kesepakatan untuk memperkuat
kembali MOU Box tersebut.
Kesepakatan yang dibuat di level atas
tersebut, belum sepenuhnya tersosialisasi
dengan baik di level masyarakat nelayan

tradisional.
Belum semua nelayan
mengetahui ataupun menyadari laranganlarangan yang ditetapkan dalam MOU Box,
misalnya tidak boleh menggunakan perahu
bermesin dan alat tangkap modern, serta
menangkap di area-area tertentu sebagai
kawasan konservasi. Di sisi lain nelayan
menangkap ikan di Pulau Pasir sudah
menjadi mata pencaharian sejak nenek
moyangnya dahulu, dan ada nelayan ini
berarrggapan bahwa Pulau Pasir adalah
milik mereka, terbukti dari kuburan dan
pohon kelapa yang ditanam oleh nenek
moyangnya.
Penyelesaian masalah perbatasan ini
tidak dapat diselesaikan hanya dari sisi
legal formal.
Oleh karenanya perlu
dilakukan pendekatan yang bersifat
sosiokultural yaitu dengan meiihat sistem
sosial dan budaya masyarakat nelayan
pelintas batas. Diharapkan dengan
pendekatan' ini permasalahan dapat
bersifat komprehensif dan tidak bersifat
sesaat saja. Penelitian ini ditujukan untuk
melihat akar permasalahan yang timbul
dengan mengkaji aspek pranata sosial dan
kelembagaan
ekonomi
masyarakat
nelayan tradisional di
Rote dan
menganalisis
pilihan
strategi
pemberdayaan yang mengacu pada
potensi, kebutuhan, dan permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat tersebut.

Metodologi
Penelitian dilakukan di Kabupaten
Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, sebagai
wilayah lndonesia yang berbatasan
dengan Australia.
Selanjutnya dipilih
lokasi konsentrasi nelayan tradisional yang
menangkap ikan di Pulau Pasir (Ashmore
Reef), yaitu Kampung Papela di Desa
Londalusi dan Desa Oelua. Pengumpulan
data dengan cara wawancara terstruktur
menggunakan
kuisoner,
wawancara
mendalam (indepth interview), dan
observasi lapang. Selanjutnya data yarrg
terkumpul dianalisis secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan
Area Penangkapan Biota Laut di
Ashmore Reef
Area penangkapan nelayan tradisional
lintas batas dari Rote Ndao berada di
Ashmore Reef atau oleh nelayan setempat

disebut Pulau Pasir. Ashmore merupakan
pulau karang dalam satu gugusan lima
pulau pulau karang yang lain. Gugusan
pulau karang ini berada Zona Eksklusif
Ekonomi (ZEE) Australia dengan luas
50.000 km2(Gambar 1). Wilayah perairan
ini sebagai kawasan MOU Box, dimana
nelayan
tradisional
Indonesia
diperbolehkan menangkap biota laut
dengan syarat menggunakan perahu layar
dan alat tangkap tradisional berupa jaring.
Ashmore Reef oleh Australia
ditetapkan sebagai kawasan konservasi,
namun
nelayan
tradisional
masih
diperbolehkan menangkap biota laut di
kawasan ini dengan batasan-betasan
tertentu. Sejak 1 Maret 1988 dipertegas
kembali bahwa larangan penggunaan
perahu dan alat tangkap bermesin, hanya
perahu dayung atau perahu layar dan alat
tangkap pancing (lines) dan jaring (nets)
yang boleh digunakan, hak mendarat
hanya berlaku di perairan antara antara
East dan Middle Islets jika perahu rusak
dan di West Island untuk mengambil air
tawar, larangan menangkap di luar 12 mil
dari pulau kecuali di Ashmore Reef, dan
larangan
menangkap
di
kawasan
konservasi.

Pengorganisasian Penangkapan,
Pranata Sosial, dan Kelembagaan
Ekonomi
Kehidupan menangkap ikan bagi
nelayan tidak semata-mata sebagai
sumber mata pencaharian (livelihood),
namun juga lebih jauh sebagai way of life
(Satria 2001). Orientasi nilai-nilai budaya
dan kelembagaan atau pranata sosial yang
tumbuh dalam masyarakat nelayan telah
beradaptasi dengan kondisi ekologis
kelautan. Adaptasi ini merupakan tindakan
Yang
strategis
dalam
UPaYa
memaksimalkan kesempatan hidup (live
chance). Perilaku adaptif tersebut tumbuh
dalam rentang waktu yang cukup lama dan
selanjutnya mentradisi dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Kehidupan
yang spesifik
yang bersandar pada
sumberdaya laut dan pesisir menciptakan
sistem sosial dan kebudayaan yang juga
spesifik yang berbeda dengan sistem
sosial yang lain seperti pertanian di
wilayah daratan.

an
la
an
sif
9s
an
la
;ia
lut
'ar
I.

lia
si,
;ih
di
an
as
an
Ya
lat
ts)
rat
rra
iak
air
mil
an
'an

agi
gai
)d),
life
1Ya
"'g
lah
lgis
ran
3Ya
vfie
~uh
Yan
>an
>an
ada
tan
Jga
:em
di

Berbeda dengan sumberdaya lahan di
darat, laut bersifat tidak terkontrol. Nelayan
dihadapkan pada kondisi alam yang
bergejolak, ombak yang besar, badai, dan
ketidakpastian
perolehan
hasil
penangkapan. Nelayan tradisional Rote
yang menangkap ikan di Pulau Pasir,
Australia tidak lepas dari ancaman
ganasnya alam tersebut.
Pada saat
perjalanan menuju lokasi tangkapan
maupun pulangnya bisa terjadi cuaca
buruk dan badai besar yang mengancam
nyawa nelayan. Akses informasi cuaca
tidak diperoleh nelayan, mereka hanya
mengandalkan instuisi tentang kondisi
cuaca yang d i h a w i .
Namun, hal ini
sering meleset, cuaca cerah dan ombak
kecil bisa berubah drastis menjadi ganas
dan netayan tidak dapat mengontrol
perahunya. Tahun 2004 terjadi musibah
laut, nelayan yang hilang dari Papela
sebanyak 34 orarrg. Ancaman lain yang
dihadapi nelayan juga terjadi pada saat
proses menangkap teripang di area
tangkap di pulau-pulau karang. Pada saat
lepas jangkar bisa secara tiba-tiba arus
kencang, tali jangkar putus dan perahu
terhempas ke ka~angdan hancur. Badai
juga menyebabkan perahu nelayan jauh
menyimpang dari arah yang dituju,
sehingga nelayan bisa "tersesat" jauh dan
tidak bisa kembali pulang. Teknologi yang
digunakan oleh sebagian besar nelayan
masih berupa kompas yang tidak dapat
dengan tepat menunjukkan arah yang
dituju.
Sebenamya GPS yang bisa
menunjukkan titik ordinat diijinkan oleh
pemerintah Australia untuk digunakan
nelayan tradisional, tetapi harganya
dirasakan nelayan mahal, meskipun
harganya kurang dari dua juta rupiah.
Hubungan komunikasi melalui telepon
genggam antar nelayan tidak dapat
dilakukan di laut lepas, karena tidak ada
qinyal.
Nelayan yang akan menuju Pulau
Pasir bertitik tolak dari Papela yang berada
di sebelah timur laut Pulau Rote. lzin
berlayar didapatkan dari sahbandar yang
ada di Papela. Jarak yang ditempuh untuk
menuju Pulau Pasir sekitar 120 mil dari
Papela dengan waktu tempuh sekitar 2024 jam dengan perahu layar, dan jika dari
Oesaba sekitar satu setengah hari.

Lama melaut sekitar enam hingga
delapan minggu. Dalam satu tahun
nelayan melaut satu atau dua kali
bergantung pada tersedianya modal
melaut dan tenaga kerja (anak buah
kapal). Nelayan dari Oesaba berangkat
melaut bulan April hingga Juni, atau Juli
hingga September. Jumlah perahu yang
berlayar ke Pulau Pasir cukup banyak dari
Oelaba tercatat 40 buah perahu, 3-4
diantaranya berasal dari Alor.
Perahu yang digunakan nelayan
metaut berukuran 7 hingga 10 GT
berbahan kayu. Perahu tidak dilengkapi
mesin, sehingga sebagi pendorongnya
digunakan layar. Harga perahu untuk
ukuran 7 GT sebesar 25 juta rupiah dan
10 GT berharga 50 juta. lndustri
pembuatan perahu tradisional berskala
kecil ada di Papela. Pengerjaan perahu ini
hanya dilakukan apabila ada pesanan.
Alat tangkap berupa pancing (tines)
yang digunakan untuk menangkap hiu.
Gillnet dengan istilah setempat sebagai
pukat mono atau senar dan pukat multi
(polyethylen) digunakan untuk menangkap
ikan lain sebagai tangkapan tambahan
atau \auk pauk di perahu. Penangkapan
teripang tidak menggunakan alat tangkap,
karena langsung diambil di dasar laut
dengan penyelaman.
Jumlah ABK dalam satu perahu ratarata 7 orang. Satu orang diantaranya
bertindak
sebagai
nahkoda
yang
bertanggungjawab atas pengoperasian
perahu. Satu orang sebagai penjaga kapal
pada saat kapal ditambatkan dan sekaligus
sebagai juru masak.
Sisanya adalah
penyelam yang menangkap teripang di
dasar laut. Tim penyelam dikomando oleh
seorang kepala pencari yang bertugas
menentukan area pencarian teripang.
Kedalaman penyelaman 3-5 meter. Selain
dengan menyelam pencarian teripang
dengan
"meting"
atau
menyuluh
menggunakan lampu petromak.
Perbedaan
kelas
dalam
pengorganisasian produksi penangkapan
ini menunjukkan adanya sistem stratifikasi
sosial di masyarakat nelayan, dengan
srtata paling atas adalah pemilik kapal,
nahkoda, dan awak kapal lainnya. Sistem
pelapisan sosial yang terjadi juga terkait
dengan
sistem
kompensasi
yang

didapatkan yaitu berupa bagi hasil.
Semakin tinggi struktur dalam organisasi
kerja tersebut maka akan memperoleh
bagian yang lebih banyak. Menurut Nadjib
(1998) pola bagi hasil dalam masyarakat
nelayan dipilih karena sikap spekulatif
yang mengakar kuat dalam kehidupan
nelayan dan hasil tangkapan yang tidak
menentu, berbeda dengan di daratan
dengan sistem upah.
Sistem bagi hasil yang berlaku umum
di masyarakat nelayan tradisional Rote
adalah 1:2, artinya satu bagian untuk
pemilik perahu dan dua bagian untuk ABK,
dan khusus untuk nahkoda ditambah 10
persen.
Bagi hasil ini lebih baik
dibandingkan bagi hasil di Lampung
dengan pola 0,5:0,5 (Nadjib 1998) atau di
Pasuruan 62.5% : 37.5% (Putwanti et at,
1995) antara pemilik dan ABK.
Hasil
tangkapan yang dibagikan ini adalah hasil
dari pengurangan nilai tangkapan dikurangi
"ongkos tengah" atau modal melaut. Modal
melaut berupa minyak tanah, lentera,
garam, korek, kayu bakar, drum, dan
ransum (rokok, obat-obatan, dan beras).
Secara lebih terinci jenis dan nilai modal
melaut yang dibutuhkan ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rincian Jenis dan Nilai Modal
Melaut

Teripang yang terkumpul selanjutnya
diolah di atas perahu.
Pengolahan
dilakukan secara tradisional, tanpa
menggunakan bahan tambahan buatan
atau teknologi modern. Langkah pertama
teripang dibelah untuk dikeluarkan isi
perutnya, selanjutnya dilumuri garam.
Berikutnya teripang direbus selama satu
hingga dua jam bergantung pada besar
Rebusan teripang
kecilnya teripang.
kemudian dijemur di atas para-para.
Teripang dijemur selama 2 hari jika cuaca
panas dan 4-5 hari jika cuaca mendung
dan hujan. Setelah kering, teripang
dimasukkan
dalam
karung-karung
berukuran 50 kg. Jumlah teripang kering
yang dihasilkan rata-rata antara 200-600

kg per perahu. Berbeda dengan teripang,
hasil tangkapan hiu tidak diolah melainkan
dibawa dalam keadaan segar atau cukup
diambil siripnya saja. Proses penjemuran
dilanjutkan di darat.
Harga teripang berbeda untuk setiap
jenisnya, dan besar kecilnya ukuran tidak
menentukan. Setiap k~logram teripang
susu dihargai Rp 300 ribu, gamma bintik
polos Rp 75 ribu-Rp 80 ribu, dan cerra
talengkung hitam maupun coklat Rp 35
ribu.
Pendapatan rata-rata yang diperoleh
nelayan melaut ke Pulau Pasir tidaklah
sebanding dengan resiko yang dihadapi.
Dengan perhitungan hasil tangkapan
teripang rata-rata 400 kg, harga Rp 100
ribulkg serta modal melaut Rp 4 juta, maka
diperoleh keuntungan Rp 36 juta. Nillai ini
dibagi untuk pemilik Rp 12 juta dan ABK
Rp 24 juta. Jika jumlah ABK sebanyak 7
orang, maka masing-masing ABK akan
mendapatkan sekitar Rp 3,4 juta. Nilai ini
relatif kecil untuk dapat menghidupi
keluarganya, karena hanya didapatkan
selama satu atau dua kali setahun.
Hasil tarlgkapan dijual ke tengkulak
yang datang ke desa nelayan. Posisi
tawar nelayan sangat rendah, harga
sepenuhnya ditentukan oleh tengkulak
tersebut. Harga yang ditawarkan antar
tengkulak ke nelayan sama, sehingga tidak
ada pilihan lain bagi nelayan untuk menjual
ke pembeli lain. Alternatif lain adalah
menjual langsung ke Sulawesi Tenggara,
tetapi kenyataannya keuntungan tidak
lebih tinggi bahkan merugi, karena harga
ditawar rendah oleh pembeli tersebut dan
nelayan terpaksa melepasnya daripada
barang dibawa kembali dan nelayan
merugi dari bahan bakar yang dikeluarkan
untuk pulang pergi ke Sulawesi Tenggara.

Strategi Pemberdayaan Ekonomi
Nelayan
Strategi
pemberdayaan
ekonomi
nelayan tradisional Rote yang menangkap
ikan di wilayah MOU Box dityjukan untuk
meningkatkan kesejahteraan kehidupan
nelayan tersebut. Sama halnya dengan
kehidupan nelayan lain di Indonesia yang
miskin( Mubyarto et a/. 1994), nelayan
Rote hidup dalam kemiskinan. Pendapatan
yang diperoleh dari menangkap ikan di laut

aP
ak
ng
~tik
rra
35
eh
lah
)pi.
ban
00
~ka
ini
BK