Sejarah pemikiran ekonomi aliran sejarah

ii

DAFTAR ISI

BAB I................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A.

Latar Belakang.......................................................................................... 1
Rumusan Masalah......................................................................................... 2

B.

BAB II.................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN................................................................................................... 3
A.

Al-Baqillani............................................................................................... 3

a.


Riwayat Hidup........................................................................................... 3

b.

Karya-Karya Al-Baqillani............................................................................3

c.

Berbagai Persoalan Tentang Tuhan...............................................................4

BAB III............................................................................................................... 31
PENUTUP........................................................................................................ 31
Kesimpulan.................................................................................................... 31
Implikasi....................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 32

ii

1


1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat ke atas secara vulgar
sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap pemikiran yang berembang
sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran ini tidak pernah memberikan label
nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para pengikutnyalah yang memberii narna dengan
menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.
Sekalipun pada awal kemunculannya, aliran ini mengesankan hanya sebagai kelompok
sempalan dari aliran Mu'tazilah, namun pada akhirnya dapat tampil sebagai sosok aliran
yang tegar dan eksis, bahkan menjadi.Aliran alternatif di antara aliran besar lainnya. Pada
lintasan sejarah pemikiran Islam, apabila kita melihat lebih dekat aliran al-Asy'ariyah ini,
maka akan terlihat jelas betapa aliran ini mengalami perkembangan pesat, bertahan lama,
didukung dan disebarkan oleh para ulama kenamaan di berbagai belahan dunia Islam.
Banyak ulama dari berbagai madzhab sempat berguru kepada Abu Hasan al-Asy'ari
tetap setia kepada aliran pemikiran teologi sang guru. Di antara mereka adalah Abu Ishaq
al-Isfarayani, Abu Bakar al-Qogfal, al-Hafidz al-Jurjani, Abu Muhammad al-Thobari, al-


1

2

Iraqi, dan lain-lain.Kemudian disusul generasi kedua seperti al-Sa'labi, al-Daroini, Abu
Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Furak dan al-Juaini. Disamping itu juga ada seorang

2

3

ulama besar yang merupakan pengikut Asy'ari terpenting dan terbesar pengaruhnya
pada umat Islam, khusunya dikalangan Ahlus Sunnah wa Al-Jamaa'ah, yakni Abu Hamid
al-Ghazali.
Mengingat luasnya cakupan wilayah pembahasan tentang Asy'ariyah ini, maka
dirasa perlu adanya pembatasan wilayah bahasan dalam tulisan ini.Yaitu sekedar mencoba
melakukan telaah kritis terhadap profil pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali,
melalui sudut pandang historis-theologis. Dengan kata lain tulisan ini akan mencoba
mencari jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana: Bagaimanakah pemikiran al-Baqillani,

al-Juwaini, dan al-Ghazali dalam perspektif historis-teologis.
B. Rumusan Masalah

Dengan analisis latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dalam makalah ini
diberikan rumusan dan batasan masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana riwayat hidup al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali ?

2.

Seperti apa peran dan pandangan al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali terhadap

pengembangan teologi Asy’ariyah ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Al-Baqillani

a. Riwayat Hidup
Nama aslinya al-Qadr Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn
Ja’bar ibn al-Qasim Abu Bakar al-Baqillani.Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan
yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan
masa pemerintahan ‘Adud al-Daulat al-Buwaihi (w. 372), maka diperkirakan ia lahir
setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah.
Semasa hidupnya al-Baqillani dikenal sebagai seorang yang bermadzhab Maliki. Ia
mempunyai beberapa orang murid, diantaranya ialah Abu Muhammad ‘Abd al-Wahhab ibn
Nasr al- Maliki, ‘Ali ibn Muhammad al-Harbi, Abu ‘Umar ibn Said dan Abu Imran al-Fasi.
Al-Baqillani wafat pada hari Sabtu, tanggal 21 Zulqa’idah 403 Hijriyah bertepatan
dengan tanggal 6 Juni 1913 Masehi.Jenazahnya disahalatkan oleh anaknya al-Hasan dan
dikebumikan di daerah Majusi.Kemudian dipindahkan ke pemakaman korban perang. 1
b. Karya-Karya Al-Baqillani
Al-Baqillani banyak meniggalkan tulisan.diantara karya-karyanya yang masih
dapat ditemukan sampai sekarang antara lain:

1.
1

I’jaz Al-Qur’an


Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997, hal. 13-15

5

Tersimpan di museum Inggris.Kitab tersebut juga diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Misriyyat,
Kairo, sebanyak dua kali, dan pernah juga diterbitkan di Berlin pada bulan Oktober 1436.
2.

Al-Tahmid

Tersimpan di Ayashofia Istambul dan museum Paris.2
Dalam kitab tersebut ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki
ilmu, antara lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom), arad, cara pembuktian.

3

c. Berbagai Persoalan Tentang Tuhan
1.


Sifat-Sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti ‘ilmu, hayyat,
sama’, dan basr.Sifat-sifat tersebut bukanlah zat-Nya.Menurutnya Allah mempunyai ilmu
karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan
yang mempunyai ilmu.Demikian pula, menurutnya Allah mempunyai qudrat, hayat, dan
sebagainya. Dalam memperkuat pendapatnya ia mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an,
diantaranya:



“ (mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al
Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikatmalaikat pun menjadi saksi (pula).cukuplah Allah yang mengakuinya.” (QS.An-Nisa:166)

Menurut Al-Asy’ari ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Allah mengetahui dengan
ilmu.Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah zat-Nya.jika Allah mengetahui dengan zat-Nya,
2
3

Ibid., hal. 19


Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), PT.Bulan Bintang. h.70-71

6

maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-’ilm (pengetahuan) merupakan
‘alim (Yang Mengetahui), atau al-‘alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘alim
(pengetahuan), atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil Allah
merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri.
Dengan demikian, menurut al-Asy’ari Allah mengetahui dengan ilmu. Ilmu-Nya bukanlah zatNya.demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti hayat, qudrat, sama , basr, dan semua sifatsifat-Nya.
Berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah yang memandang sifat-sifat Tuhan
sebagai zat-Nya sebagai disebut oleh Abu Huzail, bahwa Allah mengetahui dengan ilmu
dan ilmu-Nya adalah zat-Nya.Ia berkuasa dengan qudrat dan qudrat-Nya adalah zat-Nya.
Allah hidup dengan hayat dan hayat-Nya adalah zat-Nya.
Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan, bahwa Allah mempunyai wajah, tagan, dan
mata yang tidak akan hancur.Berkaitan dengan masalah ini, Al-Baqilani mengatakan Allah
mempunyai wajah dan tangan sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai ayat alqur’an,
seperti dalam QS.Ar-Rahman:27:


“dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”


Allah juga mempunyai tangan sebagaimana dalam firman-Nya:

..…
“….tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia
kehendaki….” (Q.S.Al-Maidah:64)

7

Allah juga mempunyai mata tanpa harus dipertanyakan bagaimana bentuk mata-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya:

…
“ yang berlayar dengan pengawasan mata kami…” (Q.S. Al-Qamar:14)

Allah juga mempunyai kekuasaan sebagaimana dalam Firman-Nya:

…

“… dan Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar

kekuatan-Nya daripada mereka? dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami.”
(Q.S.Fussilat:15)

Al-Baqillani mengatakan bahwa sifat bukanlah hal tetapi sesuatu yang maujud.Ia
menolak mengatakan sifat Allah hal tampaknya adalah jika yang dimaksud dengan hal itu
sebagai suatu yang berubah-ubah. Tampaknya ia setuju dengan kaum Mu’tazilah begitu
Abu Hasyim menyebut sifat sebagai hal bertujuan untuk menetapkan keesaan dan
keqadiman Allah.Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Tidak
ada perbedaan diantara ahli bahasa, bahwa sifat adalah yang menempel pada nama-nama.
Sifat-sifat Tuhan dalam pandangan Al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada di
luar zat-Nya atau sesuatu yang menempel pada zat-Nya. Sifat disamakanya dengan nama
sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.

8

Al-Baqillnai karena memandang sifat-sifat Tuhan adalah zat-Nya, bukan sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri diluar zat-Nya, maka pendapatnya terhindar dari kesan adanya
beberapa yang qadim selain Tuhan.Dengan demikian, dalam masalah sifat-sifat Tuhan AlBaqillani berbeda dengan Al-Asy’ari dan dekat kepada Mu’tazilah. 4
2. Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia dan

paham kekuasaan mutlak Tuhan. 5Persoalan keadilan Tuhan berkaitan dengan perbuatanNya.Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan dikatakan tidak adil karena semua
perbuatanya baik.Ia wajib berbuat baik, tidak berbuat yang buruk dan tidak mengambil hak
orang lain.6hal tersebut karena kaum Mu’tazilah percaya pada kekuatan akal dan
kemerdekaan serta kebebasan manusia. Memang dalam paham Mu’tazilah semua makhluk
lainya diciptakan untuk manusia sebagai makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka
kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia. 7
Al-Asy’ari berpegang teguh pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.Ia
berpandangan, bahwa Allah yang menjadikan orang berbuat baik maupun jahat, beriman
atau kafir. dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.
Menurut Al-Baqillani, Allah memakmurkan orang yang dicintai-Nya dan
melindungi orang yang mentaati-Nya. Ia tidak memberi pertolongan terhadap pelaku

4

Ilhamuddin,.Op.Cit.,h.43-60
R.A Nicholson, Tasawuf Cinta, Mizan, Bandung, 2003, hal. 123

5
6
7

Ilhamuddin, Op Cit., hal. 60
R.A Nicholson, Op Cit., hal. 124

9

maksiat. Ia memberikan kebaikan, keburukan, keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan
dan kesehatan kepada semua hamba-Nya sebagai keadilan-Nya.
Dalam masalah pahala dan siksa, Al-Baqillani masih terikat pada konsep kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan.Al-Baqillani mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini
adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan.Berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang
memandang Allah hanya menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan
maksiat terjadi bukan atas kehendak-Nya.
Bagi Al-Baqillani keadilan Tuhan tidak diukur berdasarkan kepentingan
manusia.Semua perbuatanya adalah keadilan-Nya.Baginya Tuhan tidak lazim dalam
menghukum orang yang berbuat jahat karena meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan
syirik, atas kehendak-Nya tetapi perbuatan-perbuatan jahat tersebut tidak disukai-Nya dan
tidak memberikan perintah untuk melakukanya.Berbeda dengan Al-Asy’ari dalam
memahami keadilan Tuhan. Al-Asy’ari menemukan jalan buntu karena ia hanya berpegang
pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga pandanganya tentang
keadilan Tuhan membawa kesan bahwa Allah zalim dalam menghukum orang yang berbuat
jahat.[8]
3. Melihat Tuhan
Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan
mata (al-absar) di Akhirat, tetapi hanya akan diketahui lewat hati.Al-Asy’ari dan AlBaqillani sependapat bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala. Oleh karena itu,

10

mereka menolak pandangan Mu’tazilah di atas karena menurut mereka pandangan tersebut
bertentangan dengan ayat :


“ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”(QS.Al-Qiyamah:22-23)

4.

Kalam Tuhan
al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat dengan memandang kalam Allah sebagai
sifat bagi-Nya. Tetapi sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah yang telah
dikemukakan terdahulu, tentu antara al-Asy’ari dengan al-Baqillani ada perbedaan. Bagi alAsy’ari kalam merupakan sifat yang berdiri sendiri, sementara bagi al-Baqillani kalam
Allah adalah sifat bagi zat-Nya ada karena zat-Nya, bukan karena yang lain. Namun
demikian, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani mengatakan bahwa secara hakiki kalam
Allah itu adalah apa yang dapat dihafal dalam hati, diucapkan dan dibaca dengan lisan,
ditulis di dalam kitab bukan dalam arti kiasan, dan bukan merupakan hal yang terjadi pada
suatu selain Tuhan karena jika merupakan hal yang terjadi pada selain-Nya berarti Dia tidak
berkata-kata, tidak memerintah, tidak melarang, dan tidak memberi penjelasan dengan
kalam-Nya.

D.

Manusia dan Kehidupan Akhirat

1.

Perbuatan Manusia

11

Kebebasan dan ikhtiar manusia dalam berbuat dan bertindak merupakan perdebatan yang panjang
dalam bidang teologi. Kebesaran dan keagungan Allah sudah pasti diyakini oleh setiap muslim,
namun sejauh manakah kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan umat manusia. Aliranaliran teologi dalam Islam masih mempertanyakan hal tersebut, benarkah manusia punya hak untuk
memilih dan menentukan perbuatanya sendiri, ataukah manusia hanya mengikuti Tuhan. 8
Kalangan

Mu’tazilah

berpendapat

bahwa

manusia

menciptakan

sendiri

perbuatanya, karena apabila Tuhan yang menciptakanya manusia tidak berhak memperoleh
pahala dan siksa.Disamping itu, apabila semua perbuatan manusia terjadi berdasarkan qada’
dan qadar Tuhan, berarti Dia meridhoi orang kafir menjadi kafir.
Kaum Asy’ariyah menolak pandangan kaum Mu’tazilah diatas, sebab menurut alAsy’ari yang demikian bertentangan dengan ayat

“ Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki (Qs
11:107). Tampaknya bagi al-Asy’ari manusia tidak mempunyai pilihan di dalam
perbuatanya karena semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan.Baginya
Tuhan merupakan pencipta perbuatan manusia.Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut alBaqillani ada perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada perbuatan yang
manusia terpaksa melakukanya.

8

Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hal. 145

12

Pandangan diatas menunjukan bahwa al-Baqillani telah pergi lebih jauh dari alAsy’ari, baginya manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatanya.Sebaliknya menurut
al-Asy’ari manusia tidak mempunyai kebebasan. 9Yang dimaksud Tuhan adalah gerak yang
terdapat dalam diri manusia.Adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh
manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk,
duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Gerak sebagai Genus (jenis) adalah
ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes (new’).Dari
gerak adalah perbuatan manusia dan Allah lah yang menciptakan itu, bagi Asy’ari daya
manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mepunyai efek. 10
2.

Fungsi Akal dan Wahyu
Masalah kedudukan dan fungsi akal banyak dibicarakan dalam masalah teologi
Islam.Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui
perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui pemikiran yang
mendalam.Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat baik
muda atau pun tua berkewajiban mengetahui Tuhan.
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban sebelum turunya wahyu.Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan
keburukan.Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi
yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan akal.

9

Ilhamuddin, Op Cit., hal. 101-106
10
http://wikiberita.net/news/167435-tokoh-aliran-al-asy-ariah.html

13

Al-Baqillani juga menolak pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa yang
menentukan baik dan buruk adalah wahyu, bukan akal.Perbuatan dipandang baik jika
diperintahkan Allah untuk melakukanya. Sebaliknya perbuatan dipandang buruk jika Ia
melarang melakukanya. Akal manusia saja tidak dapat menentukan baik atau buruknya
perbuatan.
Kaum Asy’ariyah sepakat, akal tidak mampu dapat menentukan setiap masalah
yang berkaitan dengan pahala dan siksa karena yang demikian berhubungan dengan
perintah dan larangan Tuhan.Tetapi dalam masalah-masalah yang tidak ada hubunganya
dengan pahala dan siksa akal tetap berperan.Namun, karena pandangan tentang akal dan
wahyu erat kaitanya dengan pandangan tentang perbuatan manusia tentu porsi yang
diberikan kaum Asy’ariyah terhadap akal berbeda.Al-Asy’ari, karena tetap berpegang pada
konsep kehendak dan kekuasaanya mutlak Tuhan, fungsi akal baginya sangat kecil. Fungsi
akal bagi al-Asy’ari diletakkan di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri
sendiri, akal bukanlah hakim yang mengadili. Tetapi bagi Al-Baqillani yang memandang
manusia bebas dalam menentukan kehendak dan perbuatannya tentu dalam pandanganya
fungsi akal sangat besar.11
3.

Janji dan Ancaman Tuhan

Kaum Mu’tzilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah pasti tejadi.Dia wajib memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di
Akhirat jika tidak bertaubat. Hal tersebut erat hubunganya dengan keadilan. Tuhan bersifat tidak

Al-Asy’ari, Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Erlangga, Jakarta, 2000, hal.
91
11

14

adil jika Ia tidak menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik dan jika tidak
menjalankan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang jahat.
Bagi kaum Asy’ariyah, paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan melakukan ancaman.[18]
Al-Asy’ari dan al-Baqillani membedakan antara syirik dan perbuatan-perbuatan maksiat
lainya.Menurut mereka Allah mengampuni semua perbuatan maksiat kecuali syirik. Mereka
memperkuat pendapat tersebut dengan mengemukakan ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 116:



“ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”

Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik tolak dari pertimbangan akal, al-Asy’ari
maupun al-Baqillani berpandangan bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari
Allah, dan orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman.
Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa pelaku dosa besar meskipun akan
mendapat pengampunan dari Allah SWT. Di Akhirat namun mereka tetap menerima
hukuman (hudud) di dunia, sebab hukuman di dunia bukanlah siksaan (‘iqab) tetapi hanya
merupakan ujian dan berlaku bagi orang-orang yang bertaubat.
4.

Konsep Iman dan Hari Akhirat

15

Iman adalah al-tasdiq bi allah, yaitu mengetahui dan membenarkan dalam hati
bahwa Allah itu ada.Pendapat Al-Baqillani mengatakan bahwa mukmin yang tidak berdosa
tidak mendapat syafaat, menurutnya orang yang tidak berdosa tidak memerlukan syafaat.
Syafaat diberikan kepada orang yang berdosa saja, yaitu pelaku dosa kecil dan pelaku dosa
besar bagi yang bertaubat.Sementara kaum Mu’tazilah menolak adanya syafaat.Dalam
masalah iman dan hari Akhirat al-Asy’ari tidak berbeda pendapat dengan alBaqillani.Mereka sama-sama memandang bahwa amal hanya cabang dari iman, karenanya
amal tidak masuk dalam iman.12
II. AL-JUWAINI

A. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad bin Abdullah bin Haywiyah al-Juwaini. Lahir pada tanggal 18
Muharram 419 H (17 Pebruari 1028 M) dan wafat di Bisytinqan pada tanggal 25
Rabi al-Akhir 478 H (19 Agustus 1058 M). (Badawi, 1971: 679 dan 689; Ad-Daib,
1981: 27-29)Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai waktu kelahiran Imam
Al-Haramain Al-Juwaini, akan tetapi mereka sepakat tentang waktu wafatnya. Ibnu
Atsir berpendapat bahwa Al-Juwaini lahir pada tahun 410 H, sedangkan Ibnu AlJauzi mengatakan Al-Juwaini lahir pada tahun 417 H dan riwayat ini dianggap lebih

12

Ibid., hal. 126-128

16

baik daripada sebelumnya mengingat bahwa masaAl-Jauzi dan Al-Juwaini saling
berdekatan. Al-Juwaini merupakan salahseorang guru langsung Al-Jauzi.13
Al-Juwaini hidup dan dibesarkan dalam lingkungan kaum intelektual di
Nisabur dimana ayah dan kakeknya adalah tokoh-tokoh yang ahli dalam
agama.Oleh karena itu tidak mustahil kalau sosok al-Juwaini pun tampil sebagai
intelektual yang ahli dalam agama.
Sewaktu dinasti Buwaihi digulingkan oleh dinasti Saljuk (tahun 445 H/1055
M) terjadi kesukaran-kesukaran bagi golongan al-Asy’ariyah.Hal ini disebabkan
karena perdana menteri kerajaan Saljuk yaitu al-Kunduri yang berpaham Mu’tazilah
mempengaruhi Sultan untuk membenci orang-orang yang mempunyai akidah yang
dianggap

salah

yaitu

al-Asy’ariyah

hingga

tokoh-tokoh

pimpinannya

ditangkap.Dalam hal ini al-Juwaini melarikan diri.Ia pergi ke beberapa tempat
seperti Baghdad, Hijaz, Makkah serta Madinah. Ia pernah mengajar dan memberi
fatwa dengan mazhabnya di Makkah dan Madinah selama empat tahun, hingga ia
digelari dengan Imam al-Haramain. Ia kembali lagi ke Nisabur setelah sultan Tugril
Bek wafat dan digantikan oleh Ali Arselan yang kemudian menggantikan
kedudukan al-Kunduri dengan Nizam al-Mulk. Ia kemudian mengajar di madrasah
Nizamiyah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk.

13

Pendapat Al-Jauzi ini dikuatkan oleh Ibnu Tughri dalam kitabnya Al-Nujum Al-Zahirah, juz 5,

h.121.

17

Karya-karya al-Juwaini meliputi tulisan-tulisan dalam bidang ilmu kalam
dan ilmu fiqh. Adapun kitab-kitabnya dalam bidang ilmu kalam adalah: Al-Irsyad
Ila Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad 14 Luma al-Adillah fi Qawa’id Aqaid Ahl
al-Sunnah 15 al Aqidah al Nizamiyyah 16dan al Syamil fi Usul al Din. 17
B. Pemikiran-pemikiran

Adapun pendapat-pendapat terpenting yang dikemukakan oleh al Juwaini adalah:
1. Sifat-sifat Tuhan
Dalam membahas masalah sifat-sifat Tuhan al-Juwaini mengemukakan teori
tentang ahwal. Menurutnya meskipun ahwal itu merupakan sifat yang melekat pada
sesuatu yang ada, tetapi ia tidak menyifati sesuatu itu bersamaan sesuatu itu ada
atau tidak. Dalam hal ini ia membagi sesuatu kepada: maujud, ma’dum, dan
wasatah. Wasatah inilah yang disebut hal, yaitu sesuatu yang ada dalam nafs (zat)
nya dan ada di otak ketika mengamati-nya.Dari pendapat tenang hal ini al-Juwaini
mengemukakan adanya sifat-sifat ma’nawiyah yaitu sifat yang berdiri dengan zat
Allah yang ada pada nafsNya dan tidak dapat dilihat.
Dalam penggunaan ta’wil al-Juwaini menerapkannya pada zahir Kitab dan Sunnah,
begitu pula pada ayat-ayat antropomorphisme. Mengenai perbuatan manusia ia beranjak
14

(Terdapat di Leiden, Museum Britania, Escorial, Dar al-Kutub al-Misriyyah, Badawi, Ibid: 691),
(Terdapat di Berlin, Dar al Kutub al Misriyyah., ibid: . 693),
16
(Terdapat di Escorial; ibid: 695),
17
(Terdapat di Dar al- Kutub al Misriyyah,ibid).
15

18

dari pendapat al-Asy’ari tentang kasb, namun ia mengemukakan teori yang lebih luas lagi
yaitu bahwa kasb manusia bersifat efektif. Efek itu baru ada ketika dilakukannya usaha/
kasb, dan wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada padanya, dan wujud
daya itu tergantung pula kepada sebab yang lain, dan wujud sebab ini tergantung pula sebab
yang lain. Begitulah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan.Berdasarkan pendapatnya ini al-Juwaini lebih dekat kepada faham Mu’tazilah
tentang hukum kausalitas dari pada pendapat al-Asy’ari yang mengatakan bahwa kasb
manusia tidak punya efek terhadap perbuatannya.
Dalam masalah kalam Allah al-Juwaini menjelaskan bahwa kalam Allah
adalah perkataan yang berdiri pada nafs, kalam yang seperti inilah yang bersifat
qadim, sedangkan kalam ibarat yang bersuara dan berhuruf bersifat baharu.
(Badawi, ibid) Dengan pendapatnya tentang kalam Allah ini al-Juwaini telah
menemukan suatu kompromi dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan kalam
Allah itu makhluk.
Pendapatnya yang lain adalah tentang wajibnya ma’rifah (mengenal) Allah dengan
analisa dan argumentasi. Menurutnya kewajiban ini didapati dari kewajiban-kewajiban
syari’at, sementara akal tidak dapat menemukan kewajiban-kewajiban taklif.
2. Tentang Akal Manusia

19

Kewajiban primer setiap muslim dewasa adalah melakukan kontemplasi
sehingga dapat mendatangkan suatu keyakinan bahwa alam ini adalah baharu,
artinya semula tidak ada. Kalau kemudian alam ini ada, berarti ada yang
mengadakannya. Dan yang mengadakan itu tidak lainadalah Allah/Tuhan. Unsur
dominan dalam suatu kontemplasi adalah akal.Dalam pandangan al-Juwaini, suatu
aqidah yang benar senantiasa berdasar atas akal dan naqal, serta memadukan
keduanya.Akal sebagai cahaya fitriyah anugrah Allah kepada manusia, sebagai
sarana untuk mengetahui sesuatu.Sedang Naqliyah merupakan persoalan sima'iyah
yang wajib diyakini dan diakui kebenarannya, tanpa memerlukan pembuktian akli
atasnya.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa al-Juwaini membagi dalil menjadi
dua, yaitu dalil akli dan dalil naqli. Dalil akli diperoleh secara fitrawi dari Allah,
sedang naqli bersumber pada al-Kitab dan as-Sunnah, karena di dalamnya terdapat
kebenaran yang wajib diikuti

dan larangan yang wajib dihindari. Akal dapat

memilah sesuatu yang baik dari yang buruk, tapi tidak dapat mengenalinya secara
mutlak.Di sinilah letak perlunya naqal sebagai penentu baik dan buruk (salah)
secara mutlak.
3. Tentang Perbuatan Manusia
Tentang perbuatan manusia ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan alAsy'ari dan al-Baqillani.Menurut Asy'ari perbuatan manusia diciptakan Tuhan

20

seluruhnya.Al-Baqillani melihat, ada sumbangan manusia dalam mewujudkan
perbuatan.Sedang, al-Juwaini mengatakan, daya yang ada pada manusia selalu
memiliki efek, yang serupa dengan efek sebab-musabbab.Wujud perbuatan
tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya tersebut bergantung pula
pada sebab lain, demikianlah seterusnya, sehingga sampai pada sebab dari segala
sebab yaitu Tuhan.
4.

Tentang Jisim Tuhan
Dalam masalah 'tajassum' atau antropomorisme, al-Juwaini juga berbeda
pendapat dengan al-Asy'ari.Menurut Asy'ari Tuhan mempunyai muka, tangan, mata,
dan sebagainya, dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kayfa) yaitu dengan tidak
mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wala yuhadd).Sedang menurut alJuwaini, tangan Tuhan harus diartikan dengan ta'wil sebagai kekuatan Tuhan, rnata
Tuhan diartikan dengan penglihatan Tuhan, dan wajah Tuhan diartikan dengan
wujud Tuhan.

5. Pemikiran Ushul Fiqih
Kitab ushul fiqih paling tua yang sampai kepada kita adalah Al-Mu’tamad
karya Abi Hasan Al-Mu’tazili (340 H), Al-Burhan dan Al-Waraqat karya Imam AlHaramain Al-Juwaini (478 H), Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali (505 H) dan
Taqwim Al-Adillah karya Ad-Dabusi (430 H).Karya-karya Imam Al-Haramain AlJuwaini dalam bidang ushulfiqih, khususnya Al-Burhan, adalah kitab ushul fiqih

21

pertama yang beraliranahl as-sunnah wa al-jama’ah dari kalangan mutakallimin
setelah kitab Ar-Risalah. Dapat dikatakan bahwa Al-Burhan merupakan kitab ushul
fiqihpertama dalam sejarah ilmu ushul.5Naskahnya tersebar di beebagai penjuru,
diantaranya di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah,perpustakaan Alexandria, Aya Shofia,
Az-Zahiriyah di Damaskus, Ahmad III di Turki.Imam Al-Haramain Al-Juwaini
termasuk ulama yang menulis dalamtiga objek bahasan, yaitu ; ilmu ushul fiqih,
ilmu khilaf, dan ilmu jidal.Beberapa kitab karangan Imam Al-Haramain Al-Juwaini
dalam bidang ushulfiqih antara lain: Risalah fi At-Taqlid wa Al-Ijtihad 18¸ Kitab AlMujtahidin, Al-Waraqat fi AL-Ushul19, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, yang
merupakan kitabpaling penting dalam ushul fiqih karya Imam Al-Haramain AlJuwaini.
III. AL-GHAZALI (450-505/1058-1111)
A.Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad alGhazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din al-Syarif, Thusiy dan
dipanggil dengan Abu Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup dalam

18

Naskahnya terdapat di perpustakaan Ashifiyah di Haidarabad dalam kategori artikel nomor 1720.
Lihat Al-Kafiyah fi Al-Jidal, h. 14.
19
Kitab ini dicetak dalam banyak versi dan judul beserta dengan komentar, penjelasan dan syarah
beberapa ulama. Seperti contohnya cetakan Percetakan Musthafa Bab Al-Halabi, Mesir dengan
judul Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, yang didalamnya memuat penjelasan Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad Al-Mahalli Asy-Syafi’i.

22

keluarga yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam, 20 Dari
seorang ayah penenun wool (ghazzal) sehinga dijuluki Al-Ghazali. 21
Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu
pengetahuan dan pengandrug mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa
duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Untaian kata-kata berikut
ini melukiskan keadaan pribadinya:22
“kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu sebagai habit dan
favorit saya dari sejak kecil dan masa mudaku merupakan isnting dan bakat yang
dicampakkan Allah swt. Pada tempramen saya, bukan merupakan usaha atau
rekaan saja.”

Pada usia 19 sembilan belas tahun ia pergi ke Nisabur (sekitar 50 mil ke
arah barat Tus) dan belajar di perguruan Nizamiyyah pimpinan al-Juwaini.
Meskipun studi utamanya tentang hukum al-Juwaini juga mengenalkannya dengan
teologi al-Asy-ari dan [mungkin] filsafat al- Farabi dan Ibn Sina.Ia juga belajar
lebih lanjut tentang teori dan praktek pada seorang sahabat ahayhnya yang
menerima wasiat untuk mendidiknya bersama saudaranya, Ahmad al-Ghazali.23
Sang sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Dia begitu serius
20

nama aslinya hanya Muhammad. Nama Abu Hamid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra
bernama Hamid yang meninggal ketika masih bayi. Ali Issa Othman, manusia menurut al-Ghazali, terj.john
smith (Bandung:pustaka, 1987) hal.20
21
Khudori Soleh, Filsafat Islam (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,cet.I, 2013) hal.134
22
Abudiin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan islam (Jakarta:PT.RajaGrafindo persada, Cet.I,
2000) Hal.82
23
Ahmad Badawi Thabanah, “muqaddimah Al-Ghazali wa ihya Ulum Ad-Din” dalam ihya’Ulum AdDin, juz I, (Jakarta:Maktabah Daru Ihya’I Al-Kutub Al-Arabiyyah) hal.8

23

memperhatikan kepentingan pendidikan dan moralitas kedua anak temannya ini,
sampai peninggalan harta benda dari ayahnya habis. Ketika sang sufi merasa tidak
mampu lagi membiayai kehidupan kedua anak itu ia berkata kepada Al-Ghazali dan
saudaranya, Ahmad “ketahuilah bahwa saya telah membiayai kalian sesuai dengan
harta kalian berdua yang dititipkan kepada saya.24
Dari Thus beliau mulai belajar dari salah seorang ulama besar Thus yaitu alIman Ahmad bin Muhammad al-Razkani, kemudian beliau merantau ke Jurjan, di
sini beliau belajar dari Nashr al-Ismaili. Kemudian beliau kembali ke Thus dan
menetap selama tiga tahun, merenung, berpikir, dan menghafal apa yang telah
diperolehnya dari Thus. Di Thus, ia mendirikan madrasah dan sebuah khanaqah
bagi para sufi25. Kemudian beliau ke Naisabur dan berguru pada Imam al-Haramain.
Sepeninggal al-Imam al-Haramain, al-Ghazali berangkat ke Askar menemui
al-wazir Nizham al-Mulk. Wazir ini sangat menghormatinya lalu memberikan
kepercayaan pada beliau untuk mengajar di sekolahnya di Baghdad pada tahun 484
H. beliau mengajar sampai tahun 488 H. Mulai bulan Rajab tahun 488 H kehidupan
rohani beliau mulai bergejolak, dan ini berlangsung selama enam bulan atau sampai
pada awal tahun 489 H. Dari sinilah kehidupan sufi mulai dijalaninya dengan
beribadah, kehidupan sufi ini beliau jalani dengan alasan yang sangat logis,
sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya al-Munqiz min al-Dhalal.
24

Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, (Bandung:CV.Pustaka Setia, cet.I 2009) hal.143
Khudori Soleh,Op.Cit. hal.135

25

24

Al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin 14 Jumadil akhir 505 H 26. dan
dimakamkan di Zhahir al-Thabaran salah satu tempat di Thus berdampingan dengan
makam Harun al-Rasyid.
B. Karya-Karya
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang
sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi
pembesar Negara di Mu’askar maupun ketika sebagai professor di Baghdad, baik
sewaktu skeptis di Naisabur27maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari
kebenaran dari apa yang dimiliknya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali
berusaha menulis dan mengarang.28
Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:29
a. Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama

dan berisi masalah-masalah filsafat
b. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau

berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali
mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
c. Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu)

26

Abuddin Nata, Op.cit hal.85
Sebagai diketahui Al-Ghazali pernah mengalami masa skeptis di tempat ini, ketika ia sangat
meragukan semua ilmu pengetahuan yang diterimanya, tetapi masa ini hanya berjalan sekitar dua bulan saja.
28
Dedi Supriyadi, Op.Cit, hal.151
29
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 79
27

25

d. Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan
karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindahpindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih,
tasawuf, dan filsafat;
e. Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan;
f. Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional);
g. Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang
akhlak dan tasawuf;
h. Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
i. Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah);
j. Ayyuha al-Walad;
k. Al-Mustashfa;
l. Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
m. Mizan al-‘Amal.
n. Mahakk al-Nazhar.

C. Pemikiran
1. Filsafat di mata Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai
filsafat, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai
salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang di

26

anggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun disisi lain beliau menulis
buku Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat
untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Seiring orang memahami filsafat Al-Ghazali dengan kaca mata kuda bahwa
Al-Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang filsafat. Tudingan ini perlu
dikaji secara mendetail apa yang sebenarnya dimaksud filsafat oleh Al-Ghazali dan
filsafat apa yang boleh dan tidak boleh. Kajian ini perlu diungkap supaya mudah
memetakan Al-Ghazali sebagai filsuf dan sufi juga sebagai fuqaha.
Kerangka

berfikir

memandang

Al-Ghazali

perlu

ditelusuri

secara

komprehensif. Pertama-tama, karena berfilsafat itu menggunakan logika dengan
kajian analisisnya maka apa yang dimaksud dengan akal dan bagaimana posisi akal.
Inilah titik tolak Al-Ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Pada prinsipnya, Al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat
dalam pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau
adalah seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Kritik terhadap para filsuf yang
dilakukan oleh Al-Ghazali di dasarkan pada alasan berikut:
Pertama. Al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat, kecuali
setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak
disebut sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyatannya
dalam Al-Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak

27

akan bisa membongkar kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai bukti penguasaan AlGhazali terhadap filsafat adalah buku Maqashid Al-Falsafah (Maksud-maksud Para
Filsuf) yang oleh Al-Ghazali dimaksudkan sebagai pengantar terhadap Tahafut, di
samping buku-buku yang lain.
Kedua, beliau mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak
menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang
menurutnya (bisa) membahayakan Islam. Musuh Al-Ghazali yang lain adalah aliran
kebatinan. Untuk menghadapi mereka, Al-Ghazali menulis lebih dari satu kitab di
antaranya adalah Fadhaih Al-Bathiniyah (Keburukan-keburukan Aliran Kebatinan), dan
Mawahim Al-Bathiniyah (Prasangka-prasangka Kebathinan). Aliran ini lebih berbahaya
daripada filsafat karena mereka –sebagaimana disitir Al-Ghazali dan Ibnul Jauzi—
menggunakan Islam sebagai.
2. Kalam

Sebagai salah satu tokoh Al-Asy’ariyah pada generasi kelima, Al-Ghazali
berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk
berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi. 30
Qadim alam yang dikemukakan oleh para filosof merupakan salah satu masalah
yang sangat ditentang oleh Al-Ghazali, bahkan beliau mengkafirkan para filosof karena
menganggap alam qadim. Menurut Al-Ghazali, kalau alam qadim berarti tidak ada arti
30

129.

M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi – Ilmu Kalam), Amzah : Jakarta, 2012, hal

28

Tuhan mencipta karena Tuhan dan alam semesta sama qadim. Lagi pula, kalau alam
hanya dipahami lewat sebab akibat, Tuhan sebagai pencipta tidak dapat dibuktikan.
Teori emanasi, demikian Al-Ghazali memberi kesan bahwa alam terus berproses tanpa
henti-hentinya. Hal ini akan mengakibatkan bahwa materi itu sudah ada sejak qadim.
Padahal, menurut Al-Ghazali, alam diciptakan Tuhan dari tidak ada pada waktu yang
lalu secara terbatas, baik dalam bentuk maupun materi. 31
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawah kewajibankewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu.
Demikian juga halnya dengan masalah mana yang baik dan mana yang buruk menurut
Al-Ghazali akal tidak dapat 32 mengetahuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu
perbuatan baik kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk
kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah akhirat
yang hanya diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya diketahui
melalui wahyu.32
3. Moral / Akhlak

Al-Ghazali memberikan sebuah definisi terhadap akhlak / moral
sebagaimana berikut, “Akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam
jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu
kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang
31
32

Ibid., hal 214
Ibid., hal 229.

29

baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik.
Dan ika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak
yang buruk.” Dalam satu karya masa awalnya, Mizan al-‘Amal, akhlak merupakan
bahan pemikiran utama.33
Al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan moral yang utama adalah
dengan cara berperilaku baik. Artinya, membawah manusia pada tindakan-tindakan
yang baik. Al-Ghazali menetapkan bahwa mencari moral dengan perantaraan
bertingkah laku moral merupakan korelasi yang menakjubkan antara kalbu dengan
anggota tubuh. Untuk itu al-Ghazali menyusun argumentasi sebagai berikut:34
“Setiap sifat yang nampak pada kalbu akan memancarkan pengaruhnya ke dalam semua
anggota tubuh, Sehingga anggota tubuh tidak bisa bergerak”.
kecuali harus sesuai dengan pengaruh tersebut. Dan setiap aksi harus
berjalan pada anggota tubuh yang daripadanya suatu pengaruh naik ke kalbu.
Sebagai bukti, ialah bahwa orang yang hendak menjadikan kecerdikan menulis
sebagai sifat psikologis bagi dirinya maka dia harus membimbing tangan seperti
yang dilakukan oleh seorang penulis yang genius dan mengkontinyukannya dalam
waktu yang lama, menirukan tulisan yang baik hingga menjadi sifat yang mesti bagi
dirinya, setelah pada mulanya dia rasakan sulit.”
Penggerak utama dalam sebuah tindakan dalam pandangan Imam AlGhazali memang nampak pada sebuah hati terlebih dahulu, yang artinya apabila
33
34

Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hal.87
Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran Al Ghazali,………. hal 95.

30

segumpal daging itu baik maka baiklah semuanya. Sebagaimana seorang remaja
saat ini yang seharusnya mendapatkan bimbingan hati mulai dari kecil tampaknya
tidaklah didapatkan dalam dirinya.
Al-Ghazali membagai dalam sebuah tiga teori penting mengenai tujuan
mempelajari akhlak, yaitu:35
a. Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri
kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilaku orang yang
mempelajarinya.
b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
c. Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha
menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus
terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak
menjadi subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Moralitas yang jelek, menurut Al-Ghazali adalah penyakit kalbu. Jika ignorasi
diobati dengan cara belajar, sakit bakhil diobati dengan cara berlapang dada, maka
moral yang jelek harus diobati dengan kesungguhan. 25 Itulah atensi yang mengagumkan
dari Al-Ghazali. Sebab, setiap jiwa punya kondisi dan tempramen khusus. Jika dalam
mendidik jiwa tidak menjaga situasi, tempramen dan kesiapan psikologis, maka sang
pendidik tidak akan berhasil mencapai tujuannya. Demikian pula para propagandis
moral tidak akan berhasil mencapai cita-citanya.
35

Hasyimsyah Nasution, Op.cit, hal.87

31

Dewasa ini pengertian kenakalan remaja berkembang lebih luas lagi, yakni meliputi pengertian
yuridis, sosiologis, moral, dan susila. Perbuatan-perbuatan tersebut menyalahi undang-undang
yang berlaku sebagai
4. Jiwa
Manusia menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah swt sebaai makhluk yang terdiri
dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spritual
rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyyah). Jiwa bagi Al-Ghazali adalah
suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada
dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa
berada di alam spiritual sedangkan jasad di alam materi. 36
Jiwa merupakan inti hakikat manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk
mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus
dirawat baik-baik.
“Jiwa itulah yang mengetahui Allah, mendekati-Nya, berbuat untuk-Nya, berjalan
menuju-Nya dan menyingkapkan apa yang ada pada dan dihadapan-Nya, dan sesungguhnya
anggota tubuh merupakan pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan dan digunakan oleh
jiwa bagaikan seorang tuan menggunakan sahayanya, seumpama gembala memakai
dombanya dan seorang tukang dengan alatnya. Jiwa itulah yang diterima oleh Allah., ia
yang terselubung dari-Nya., jiwa itu yang dicari, ia yang tegas dan digugat. Jiwa itu yang
merasa gembira..dan berhasil..jiwalah yang memperoleh kecewa dan sengsara.”

Semua yang ada pada jasad merupakan pembantu jiwa. Sebagian dari
pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki, dan bagian-bagian tubuh luar dan
dalam yang lain. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda,
36

Ibid.hal.89

32

keduanya saling memperngaruhi dan menentukan jalannya masing-masing, karena
itu bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni
membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara memberi pegaruh
yang baik pada jiwa.37

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Ghaznawi yang didirikan Sabuktigin yang berpusat di Ghazna
(Afganistan) telah mencapai kemajuan sewaktu putranya memegang tampuk
pemerintahan, yaitu Sultan Mahmûd ibn Sabuktigin. Dinasti ini mencapai kemajuan
dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan,
dan teknologi.
Implikasi
Kelemahan utama dinasti Ghaznawi sebenarnya terletak pada ambisi
kekuasaan para pengganti Sultan Mahmûd, tetapi tidak diiringi dengan kecakapan
dalam memerintah. Kondisi ini mempengaruhi kebijakan politik dan kesatuan

37

Ibid, hal.90

33

wilayah, yang pada akhirnya mereka tidak mampu menahan serangan musuh,
seperti serangan dinasti Saljuk, suku Ghuzz dan suku Ghûr.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad., Tarikh al-Madzahib a-Islamiyyah, Juz 1, ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.

34

Badawi, Abdurrahman., Mazahib al-Islamiyyin, Juz I, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1971.

Ad-Daib, Abd.Azhim., Abu al-Ma’ali Abd. Malik B. Abd. Allah Al-Juwaini, Hayatuhu Wa
Ashruhu Atsaruhu Wa Fikruhu, Kuwait: Dar al-Qalam, 1981.

Edwards, Paul (ed)., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing
Company, 1972.

Al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalal, Beirut: Al-Maktabah as-Sa’diyyah, tt.

——, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad Kairo: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladuh,
1962.

Ibn Khaldun, Kitab al-‘Ibar, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Al-Juwaini, asy-Syamil fi Ushul ad-Din, Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969).
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 87

Abuddin nata, pemikiran para tokoh pendidikan islam ,PT Raja Grafindo persada:jakarta .2000
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, pustaka nasional PTE LTD: Singapura. 1998 cet IV jilid 1
Lewis CH. Pellat, B., J. Schacht, The Encyclopedia of Islam, Vol. 2, Leiden: E.J. Brill, 1968.

Nasution, Harun., Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, Vol. I, Wiesbaden: Ottoharrassowitz, 1963.

35

Al-Subki, Tajuddin., Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Juz III, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Tibanah, Badawi Ahmad., Muqaddimah Ihya Ulum ad-Din, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah,
1957.

Watt, W. Montgomery., Islamic Theology and Philosophy, terjemahan Umar Basalim: Jakarta:
P3M, 1987.