kebijakan candu di Hindia Belanda dari

Nama : M. Ichsan Budi P
NIM : 14407141038
Prodi : Ilmu Sejarah (A)

Kebijakan Candu Pemerintah Hindia-Belanda dari masa VOC
Hingga Awal abad ke 20 ( 1667- 1943)
Abstak
Candu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi sejarah perkembangan
Hindia-Belanda. Awalnya candu hadir sebagai suatu komoditas dagang biasa, namun,
dengan segala pesonanya candu terus hadir dan memiliki sisi menarik dalam sejarah
Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda tidak dapat dilepaskan dari peran dan
pengaruhnya dalam masalah candu mulai dari perdagangan monopoli dan kebijakan
politik. Hal tersebut terus berubah seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan
politik dan ekonomi yang ada. Peran masyarakat Tionghoa sebagai pedagang yang
berperan penting dalam perdagangan candu. Hubungan antara keduanya
menghasilkan hal yang menarik seperti kosporasi dan berbagai kecurangan. Namun
pada dasarnya setiap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam candu selalu
menghasilkan dampak yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bagi
seluruh masyarakat Hindia-Belanda.
Kata Kunci : Candu, Kebijakan, Pemerintah Hindia-Belanda


A. Pendahuluan
Candu (Papaversomniferum Papaveraceae) adalah sebuah tanaman yang
berasal dari wilayah Asia Barat tepatnya di India, Pakistan dan sekitarnya. Tanaman
yang menghasilkan candu disebut juga Opium. Candu setelah diolah berbentuk pasta
yang merupakan olahan dari getah opium yang telah di extraksi tersebut dikonsumsi
dengan cara yang beragam. Di Jawa pasta candu tersebut di hisap dengan Bong1 lalu
dibakar di sebuah lampu minyak kecil dan asap dari bakaran tersebut dihisap oleh
sang penikmat candu. Candu memiliki berbagai efek bagi pemakainya seperti
penghilang rasa sakit, anti depresan, dan tentunya menimbulkan kecanduan bagi para
pemakainya. Di Jawa saja awal abad ke-16 hingga awal abad ke-20 candu digunakan
oleh semua kalangan dan etnis dalam masyarakat dan perdagangan juga
industrialisasinya tidak lepas dari peran VOC hingga Pemerintah Hindia-Belanda
juga peran etnis Tionghoa di dalam peredarannya.
Berbagai metode digunakan untuk memasarkan candu. Pada awalnya, candu
dijual secara langsung oleh VOC setelah Indonesia beralih ke tangan Pemerintah
Hindia-Belanda. Berbagai kebijakan mengenai candu terus mengalami perubahan
mulai dari monopoli sepihak Pemerintah Hindia Benda juga keterlibatan etnis
Tionghoa sebagai pengecer hingga candu terpengaruh kebijakan ekonomi liberal yang
berkembang di akhir abad ke-192.
Perdagangan dan Industrialisasi candu di Jawa selalu memberikan pengaruh

berbagai perubahan sosial dan ekonomi di Jawa. Artikel ini ditulis agar kita dapat
mengetahui bagaimana candu sebagai suatu komoditas dagang tidak pernah lepas dari
kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda baik secara politis, ekonomi dan
sosial. Dalam setiap perkembangannya candu selalu membawa perubahan sosial dan
ekonomi pada masyarakat Jawa.
1Bong merupakan sebuah alat berbentuk pipa hisap sepanjang kurang lebih 25
cm yang terbuat dari bambu, kayu, ataupun gading.
2 Robert Cribbdan Audrey Kahim, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012), hlm. 93.

B. Candu masuk ke Jawa dari masalah politik Mataram menjadi keuntungan
VOC
Masyarakat Jawa telah mengenal candu sejak lama diperkirakan sejak orang
Tionghoa mulai memperdagangkannya di Indonesia pada abad ke-16 terbukti dengan
salah satu falsafah yang diajarkan oleh para wali yang melarang untuk mengkonsumsi
madat atau disebut juga candu dalam konsep Malima. Namun, secara jelas alur
perdagangan candu di Jawa mulai menjadi bagian penting baru setelah masa VOC
memasuki

Mataram.


Akibat

kemenangan

Amangkurat

II

yang

melawan

pemberontakan Trunajoyo dengan bantuan VOC maka Amangkurat II member
konsensi bagi VOC dengan diberinya hak monopoli atas benang tenun dan candu di
wilayah Mataram, dengan demikian hanya VOC saja yang berhak memasarkan candu
dan menjadi distributor candu di Mataram3. Candu pada mulanya dijual dalam jumlah
sedikit pada para pedagang Tionghoa yang memiliki lisensi saja. Penjualan candu
terus menunjukkan peningkatan dari beberapa dekade ke depan bahkan candu
menjadi salah satu komoditas impor yang mendatangkan keuntungan besar bagi VOC

selain itu juga mendatangkan keuntungan bagi para pedagang Tionghoa sebagai
pemegang lisensi candu. Candu didatangkan dari Benggala dan wilayah India yang
menjadi kekuasaan VOC4.
C. Dibentuknya Yayasan Societeit van den Amphioen Handel oleh VOC
Diterimanya usul Van Imhoff, maka dibentuklah yayasan yang mengatur
perdagangan candu oleh VOC. Yayasan itu bernama Societeit van den Amphioen
Handel atau disebut juga Yayasan Amfium. Yayasan ini bergerak khusus dalam
perdagangan candu di Jawa yang menangani impor candu dari Benggala dan
mengawasi peredarannya dan pemberian lisensinya di Jawa.
Capt. R.P, Suyono.Seks dan Kekertasan pada Zaman Kolonial, (Jakarta:
Grasindo, 2007), hlm. 78.
4 Ibid.,hlm. 79.
3

Yayasan Amfium akan membeli candu dari VOC dalam jumlah 1200 peti atau
setara dengan 73.000 kologram pertahunnya. Dengan harga tetap sebesar 450 ringgit
per petinya dengan berat 61 kilogram franko Belanda per peti nya 5. Sesuai akta
pendiriannya ditetapkan bahwa yang berhak menjadi direktur adalah pemegang 10%
saham. Sebenarnya Amfium juga merupakan anak perusahaan VOC, jadi setiap
keuntungan yang didapatkan oleh Amfium juga menjadi keuntungan untuk VOC.

Dengan cara mengedarkan candu kepada pada priayi dan orang-orang kaya baik
pribumi maupun orang Tionghoa sehingga dapat meningkatkan permintaan candu dan
tentunya penjualannya. Candu sebagai komoditas yang menerima keuntungan bagi
VOC tidak pernah menunjukkan penurunan harga maupun permintaan bahkan candu
tetap menjadi komoditas yang menguntungkan bagi VOC

hingga masa

pembubarannya. Kebijakan mengenai candu terus berlanjut sampai VOC dibubarkan
dan digantikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

D. Candu di bawah Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Politik dalam
Perdagangan Candu
Setalah VOC dinyatakan bubar oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun
1799 maka segala urusan VOC mulai dari perjanjian dan juga perdagangan berada di
tangan Pemerintah Hindia-Belanda. Tidak terkecuali candu, di bawah penguasaan
yang baru maka monopoli perdagangan candu berkembang lebih luas lagi karena
berada di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1808 Dendeles
menghapuskan Amfioen Dorectie6 dan menggantikannya dengan Pachtstelsel7.
Sedangkan sistem pemborangnya disebut Opiumpacht.

Ibid., hlm. 82.
Amfioem Directie adalah keorganisasian Societeit van den Amphioen Handel
yang kemudian dibubarkan oleh Dendeles karena dianggap masih berkaitan dengan
VOC
7Pachtstelsel adalah sistem pemborongan yang dengan begitu Pemerintah
Hindia-Belanda memiliki hak memborong opium dan memperdagangkan dalam
sistem yang sama yang disebut.
5
6

Pada tahun 1809, sistem Opimumpacht mulai dilaksanakan di Jawa dan Madura
yang dibagi tiap daerah dan menetapkan jumlah candu untuk tiap daerah 8. Namun
setelah kekalahan Napoleon Boneparte di Eropa dan Jawa jatuh ke tangan Inggris,
kebijakan candu tidak mengalami perubahan yang signifikan pada masa Raffles.
Pemborongan candu diubah menjadi perdagangan bebas. Namun, sebenarnya Raffles
mengetahui dari dampak buruk opium bagi masyarakat Jawa9. Pada tahun 1815,
Raffles mencoba menghapuskan perdagangan candu di Jawa namun usulan tersebut
gagal karena tidak disetujui atasannya di Calcutta. Usaha Raffles dianggap merugikan
kepentingan dagang Pemerintah Inggris. Sebagai jalan lain setelah Pemerintah
Hindia-Belanda berkuasa kembali maka pada tahun 1824 oleh Raja Willem I 10

didirikan sebuah perusahan yang berbentuk perseroan terbatas yang bernama
Nedeelandsche Handeles Maatchappij atau biasa di singkat NHM. NHM didirikan
dengan modal 37 juta Gulden, dimana Raja Willem I secara pribadi menanamkan
modal terbesar sebesar 4 juta Gulden. Raja Willem I juga menjamin para pemegang
saham akan dibagi diven tahunan sebesar 4,5%. Raja secara pribadi menjadi pendiri
dan pemegang saham utama di NHM dan penjamin perusahaan tersebut. Sehingga
dengan demikian kepentingan Nasional Belanda akan jatuh bersama kepentingan
Raja. Bahkan Presiden Direktur diangkat langsung oleh Raja Willem. Selanjutnya
NHM memegang segala urusan ekonomi Pemerintah Hindia-Belanda sebagai
perusahaan swasta. NHM juga memegang hak atas monopoli perdagangan candu dan
berbagai regulasinya.

8 Asmi

Rahayu, Perdagangan Candu Di JawaAkhir Abad XIX awal abad
XX.Skripsi, (Yogyakarta: FIS UNY, 2002), hlm 23-24.
9 Y.P Jokosuyona, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, (Yogyakarta
:Kanisius, 1980), hlm. 35.
10 Raja Willem I adalah Raja Belanda yang bernama asli Willem Oranje. Dia
menjadi Raja Belanda pertama yang dinobatkan setelah Belanda merdeka dari

Prancis.

E. Oppiumpacht Antara Pedagang Tionghoa dan Pemerintah Hindia-Belanda
Keberadaan HNM sebagai pemegang otoritas perdagangan candu otomatis telah
menjadikan HNM sebagai Bandar sekaligus pemberi lisensi untuk para pengecer
candu selanjutnya maka diterapkanlah oppiumpacht yang telah dimulai di Jawa dan
Madura sejak tahun 1809. Dalam hal ini peran Pemerintah Hindia-Belanda dan para
pemegang lisensi candu yang didominasi oleh para pedagang Tionghoa sangatlah
dominan. Banyak terjadi pertentangan dan juga kerja sama antara keduanya yang
terjadi di berbagai tempat dan berbagai perkara. Masa oppiumpacht adalah masa
terlama suatu kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda mengenai candu dari awal abad
ke-19 hingga awal abad ke-20, meski tiap-tiap undang-undang dalam kebijakan
tersebut sering mengalami perubahan yang cukup dinamis tetapi secara garis besar
kebijakan oppiumpacht tidak berubah yaitu pemerintah sebagai bandar candu dan
penjualan candu selanjutnya diserahkan secara bebas pada para pedagang. Kebijakan
ini juga mendatangkan keuntungan yang besar bagi Pemerintah Hindia-Belanda dan
para perdagang candu.
Alur dari sistem ini dimulai dari Pemerintah Hinda-Belanda, dimulai dari
sebuah pelelangan hak lisensi candu. Hak lisensi disebut oppiumpacht dan para
pemegang lisensi disebut Paachater namun lebih familiar disebut dengan Pak-pak

candu. Para Pak-pak candu didominasi oleh para penguasa Tionghoa. Dalam sebuah
pelelangan seorang Pak-pak candu yang telah memenangkan pelelangan akan
mendapat hak membeli candu pemerintah dan menjualnya kembali di suatu wilayah
karesidenan, hak ini berlaku selama satu tahun. Seorang Pak akan mendapat kontrak
resmi penyewaan sebagai berikut :
1) Pokok kontrak yaitu hak eksklusif untuk menjual opium secara eceran di
wilayah yang telah ditentukan dengan jelas.
2) Masa berlakunya kontrak yaitu satu atau tiga tahun.
3) Harga yaitu pajak Pak ditambah pembelian opium resmi dari pemerintah11.

11 James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. (Jakarta: L Komunitas Bambu, 1012),
hlm. 53.
Dari isi kontrak tersebut kita dapat melihat bahwa pemerintah mengatur dengan

ketat perdagangan candu mulai dari proses pemberian hak lisensi perdagangan candu
melalui lelang pemerintah hingga candu ke tangan konsumen melalui para pengecer
yang mendapat candu resmi dari pemerintah. Namun pada dekade berikutnya terjadi
perubahan pada wilayah penjualan dan waktu penjualan. Wilayah yang semula
terbatas pada satu karesidenan ditambah menjadi tiga karesidenan dan waktu
penyewaan yang semula minimal satu tahun menjadi tiga tahun. Di sini mulai tampak

adanya unsur-unsur kepentingan dalam perubahan kebijakan tersebut. Keuntungan
perdagangan candu yang menggiurkan mengundang potensi kecurangan dan usaha
pengambilan keuntungan sebesar-besarnya oleh para pedagang. Para pedagang
Tionghoa membujuk pemerintah membuat kebijakan untuk memperlama masa sewa
dan memperluas wilayah penjualan. Para Pak opium juga kerap kali berkomplot
untuk menjaga agar harga pelelangan tetap rendah, atau jika hasil lelang tidak
memuaskan karena alasan lain, pihak Belanda akan melaksanakan lelang kedua atau
memberi tawaran-tawaran rahasia12. Seperti yang terjadi pada tahun 1886, 12 dari 20
Pak opium justru dimenangkan di luar pemberi penawaran tertinggi yang seharusnya
menang. Diulangnya penetapan-penetapan itu mencerminkan kekecewaan pihak
Pemerintah Hindia-Belanda atas hasil financial dari beberapa lelang, di samping
keraguan pasca lelang tentang kemampuan-kemampuan managerial dan kepercayaan
berbagai kongsi pemenang lelang.
Kecurangan dan masalah-masalah dalam oppiumpach tidak hanya terjadi di
ranah perdagangan namun juga terjadi di ranah hukum. Sebagaimana sebuah kasus,
sebuah kongsi yang dipimpin oleh seorang Tionghoa Batavia bernama Tan Tjhomh
Hoay mengumpulkan deficit sebesar f722.418,80. Pada awalnya pihak Belanda
menyetujui penyelesaian masalah dengan setiap kongsi berjanji membayar hingga
lunas dengan cara mencicil bulanan.


Ibid., hlm. 50.
Namun, ketika para kongsi justru mempertentangkan mengenai hak kewajiban
12

pembayarannya justru pihak Belanda mengajukan tuntutan ke pengadilan. Akibatnya
para anggota kongsi ditahan termasuk Tan dan berkewajiban membayar sebesar
f600.0013. Hal ini menunjukkan betapa beresikonya sebuah kongsi dan bagaimana
cara Pemerintah Hindia-Belanda menangani kerugian yang ditimbulkan melalui jalur
hukum.
Akan tetapi, kejadian dapat juga berbalik sepeti yang terjadi pada kasus Liem
Kie Soen, seorang Pak opium Surabaya pada tahun 1817 yang berhasil menuntut
Pemerintah Hindia-Belanda atas kerugian-kerugian yang dideritanya ketika terpaksa
menutup took opiumnya selama dua hari karena gudang pemerintah tidak bisa
memasok opium padanya. Hal tersebut dinilai melanggar kontrak dan pihak
pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar f150.0014. Hal ini kembali
menunjukkan bahwa kesuksesan oppiumpach tidak sepenuhnya berjalan lancar dari
sisi kebijakan maupun keuntungannya. Tetapi memang pada masa ini Pemerintah
Hindia-Belanda dalam bisnis opiumnya mengalami masa kejayaannya juga para
pedagang Tionghoa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin parahnya
korupsi dan penyelewengan maka pada awal abad ke-20 Pemerintah Hindia-Belanda
beralih ke sistem opiumregie di mana Pemerintah Hindia-Belanda menjadi satu–
satunya pusat penjualan candu tanpa adanya pihak perantara.
13 Ibid.,
14 Ibid

F.

hlm. 53.

Nederland Hendeles Maatschappij (NHM) Semakin Kuatnya Monopoli
Candu Pemerintah Hindia-Belanda
Oppiumpachat atau hak candu, pada mulanya adalah hak orang Cina saja.

Tetapi sejak 1 Januari 1827, kontrak candu di Jawa dan Madura dipegang langsung
oleh NHM yang telah berdiri sejak 1824. Dengan demikian perusahaan NHM bebas
mengimpor candu dari luar negeri tanpa ada prosedur terlebih dahulu melalui

Pemerintah Hindia-Belanda dan juga NHM dapat mengambil keuntungan langsung
melalui perdagangan kecil yang dapat dilakukan mereka sendiri. Tetapi biasanya hal
tersebut dilimpahkan kepada pedagang eceran Cina yang telah mendapat hak khusus
dengan harga dan jumlah yang telah ditentukan oleh NHM.
Dalam tiga tahun pertama, perusahaan NHM berhasil menjual 1.725 peti candu
dengan berat 16,18 kilogram per petinya. Dengan berat keseluruhan 105 ton candu.
Dalam waktu yang sesingkat itu secara keseluruhan NHM telah mendapat
keuntungan sebesar 8 juta Gulden15.
Dan dalam catatan Pemerintah Hindia-Belanda sepanjang sejarah pun belum
ada suatu komoditas impor yang memiliki pertumbuhan keuntungan secepat candu.
Candu yang didatangkan NHM dari Syamara dan Turki terlebih dahulu di tempatkan
di Belanda kemudian baru dikirim ke Hindia. Dari alaur ini saja NHM telah
mendapatkan keuntungan sebesar 16% di luar biaya operasional yang terhitung
seluruhnya.
Jadi tiap tahun rata-rata NHM mendapat keuntungan lebih dari tiga juta gulden.
Bila seluruh anak perusahaan NHM yang beroperasi di seluruh wilayah HindiaBelanda mengalami kerugian sebesar 440.000 gulden tetapi karena oppiumpacht
mereka mendapat keuntungan seperempat juta gulden di tahun yang sama.

15 Capt.

R.P. Suyono. Op.cit., hlm. 85.

Pendapatan dan Pengeluaran
Pemerintah Hindia-Belanda Tahun 1848-1866 (dalam jutaan gulden)

Penerimaan
1. Penjualan Hasil Produk di Negeri Belanda
Penjualan Hasil Produk di Hinda-Belanda
Jumlah

970,6
125,8

2. Pendapatan dari candu
3. Jenis monopoli lain

176,9
100,5

1.096,4

Jumlah

277,4

4. Sewa Tanah

191,64

Cukai

140,35

Lain-lain

192,1

Jumlah

524,09

Total (dimana 927 gulden dari Hindia)

1.897,89

Pengeluaran
1. Biaya Produksi
2. Biaya Pemerintahan
3. Biaya untuk garam dan candu

477,9
488,8
349,2

Total
Dari jumlah 1.371,4 juta gulden,

1.371,4
128,9 juta gulden di tanggung negeri

Belanda dan 1.242,5 menjadi tanggungan Hindia

Sumber : Seks dan kekerasan pada Zaman Kolonial (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm 90
Dari table di atas kita dapat mengetahui candu menjadi komoditas yang
perhitungannya disendirikan dan sebagai komoditas tunggal memiliki nilai yang
cukup besar dibanding komoditas lain dan juga candu masuk dalam perhitungan

pengeluaran serta digunakan sebagai kebutuhan yang penting disetarakan dengan
garam sebagai kebutuhan pokok.
G. Opium Ragie Pemerintah Hindia-Belanda Menjadi Penguasa Mutlak Candu
Pada tahun 1894, dilakukan percobaan suatu kebijakan yang dinamakan Opium
Ragie atau pajak langsung opium. Hal ini diterapkan di Madura. Di bagian ini candu
dalam bentuk langsung atau “Candu Hisap” dijual langsung oleh pemerintah melalui
para pegawai yang ditentukan pegawai tersebut setara dengan pegawai pos. Namun
sebelum kebijakan Opium Ragie diterapkan di seluruh wilayah Hindia-Belanda
terlebih dahulu pemerintah Hindia-Belanda mengutus seorang anggota dewan HindiaBelanda yang bernama W.P Groeneveldt untuk mempelajari kebijakan serupa yang
diterapkan Prancis di wilayah jajahannya di Indo Cina16.
Baru pada 1 Oktober tahun 1920 Opium Ragie diterapkan di seluruh wilayah
jajahan Hindia-Belanda. Sebagai langkah pertama pemerintah Hindia-Belanda
melakukan pemborongan atas candu para Pak Opium yang mendapat candu dari
kebijakan sebelumnya. Kemudian candu tersebut disimpan di gudang resmi milik
pemerintah dan diberi tulisan “Candu Negara dijual di sini” dalam bahasa Belanda,
Cina dan bahasa daerah setempat17.
Mulai dari masa inilah pemerintah menjadi pemilik sekaligus penjual tunggal
candu di seluruh Hindia-Belanda. Gubernur Jenderal menetapkan dan mengatur
ketentuan mulai dari pemasokan, pembungkusan dan pendistribusian hingga
penjualan candu di daerah yang ditentukan. Kebijakan ini ditunjang juga dengan
dibuatnya pabrik candu di Hindia-Belanda oleh pemerintah. Pabrik candu pertama
beroperasi di daerah Kramat Batavia sejak tahun 1893 yang pada tahun 1901 di
dimodernisasi dengan dipasangnya alat-alat pengolahan candu yang lebih besar
bertenagakan uap, untuk menaikkan produktifitas candu18 berton-ton candu mentah
yang diimpor dari Benggala dan diolah di pabrik tersebut. Keberadaan pabrik ini
menjadi penunjang kebijakan Opium Ragie Pemerintah Hindia-Belanda dengan

memproduksi candu sendiri akan meningkatkan keuntungan penjualan candu
pemerintah.
Candu yang dijual pemerintah terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama adalah
candu Regie, yaitu candu siap pakai yang berbentuk pasta. Selanjutnya adalah Jicing
atau lebih sering disebut Tike, jenis candu ini berupa residu pembakaran candu yang
dicampur dengan daun awar-awar yang sebelumnya telah dikeringkan terlebih
dahulu. Tike merupakan candu yang paling umum digunakan di Jawa karena dinilai
baik dan harganya lebih murah dari pada candu Regie. Yang terakhir adalah Jicingko
disebut juga dengan Kletet, candu ini merupakan residu dari Jicing yang telah di
campur dengan air. Jenis candu ini merupakan yang pamiagran dan biasanya untuk
saran pengobatan ataupun campuran bagi para konsumen candu kelas rendah.
Untuk membungkus candu pemerintah membungkusnya dalam sebuah tube/
kaleng, pada kaleng tersebut tertera bulan dan tanggal pengisian candu juga logo
pemerintah sebagai merk dagang. Selanjutnya tube tersebut dimasukkan dalam
kardus lalu dimasukkan lagi dalam peti kayu untuk didistribusikan. Candu yang dijual
pemerintah menggunakan satuan ukur yang disebut Mata namun orang Jawa lebih
sering menyebutnya dengan Umpling. Tabel ukuran candu adalah sebagai berikut:
Kode
A

Mata
1/2

Berat (Gram)
193

B
C

1
2

386
772

D
E
F

5
12 ,5
25

1 gram 930
4 gram 825
9 gram 650

Sumber :Encyclopedie Van Nederlansch-Indie
Setelah melalui proses pembungkusan candu akan di distribusikan ke depotdepot ragie dari pusat sampai daerah. Melalui suatu dinas yang dibantu pemerintah
bernama Dinas Opium Ragie. Dinas ini berada di bawah departemen keuangan
Pemerintah Hindia-Belanda. Struktur dinas ini adalah kolektor menjadi pimpinan

dinas di suatu karesidenan di bawahnya adalah asisten kolektor yang membawahi
beberapa depot yang diatur oleh mantra dan asistennya.
Untuk menentukan pembuatan depot penjualan candu maka Kepala Daerah
setempat dengan persetujuan Residen dan Kepala Dinas Opium Ragie menentukan
tempat yang akan dibangun sebagai tempat penjualan candu dan biaya perawatan
serta pembangunannya ditanggung oleh pemerintah. Sebuah tempat penjualan candu
wajib memasang daftar harga candu agar pembeli dapat mengetahui harga candu
dengan jelas. Secara umum harga candu ditentukan pemerintah daerah setempat
dengan persetujuan Dinas Opium Ragie. Hal tersebut disebabkan karena tingkat daya
beli dan jenis candu yang diminati konsumen berbeda pada setiap daerahnya. Seorang
pemilik warung candu akan mendapat surat perjanjian yang berisi sebagai berikut:
1. Nama pemilik.
2. Bangunan atau bagian bangunan yang digunakan sebagai warung.
3. Jumlah Jicing terbanyak yang disediakan di sebuah pipa.
4. Orang yang minta izin memakai candu harus memberikan orang yang
diangkat sebagai wakil atau pelayan dari warung candu19.
Kemudahan dalam mendirikan warung candu dan mendapatkan candu dari
pemerintah menjadikan semakin berkembag pesatnya warung candu di berbagai
tempat hingga daerah perkebunan dan pasar-pasar di pedesaan. Di perkebunan candu
banyak disediakan oleh para pengelola yang bekerjasama dengan depot untuk
mendirikan warung candu bagi para buruh perkebunan. Sedangkan di pasar
konsumen candu di dominasi oleh para kuli angkut pasar.
Kebijakan Opium Ragie terus bertahan dan tidak mengalami perubahan hingga
Pemerintah Hindia-Belanda meninggalkan Indonesia. Kebijakan ini tetap menjadi
pendukung penting dalam perekonomian Pemerintah Hindia-Belanda dengan
keuntungannya yang begitu besar. Pada kebijakan ini juga candu semakin
menyebarluas ke berbagai daerah hingga pedalaman. Peran para pedagang Tionghoa

juga tidak hilang begitu saja namun mereka justru memberi modal pada para depot
untuk membuka warung candu sesuai dengan keinginan mereka.
H. Kesimpulan
Sebagai suatu komoditas perdagangan yang memberi keuntungan yang besar,
candu selalu menjadi “perebutan” antara kepentingan Pemerintah Hinda-Belanda dan
para pedagang. Di sini yang dimaksud adalah para pedagang Tionghoa. Pemerintah
meski membuat berbagai kebijakan mengenai candu mulai dari perdagangan,
pendistribusian hingga produksi tetap tidak akan lepas dari peran pada pedagang
Tionghoa. Masa kejayaan candu sendiri terjadi saat diterpakannya kebijakan
Opiumpacat dimana pemerintah menarik hak-hak perdagangan candu para pedagang
Tionghoa, pada masa ini candu semakin luas menyebar ke seluruh Jawa dengan
jaringan dagang yang luas dan kuat. Para Pak-pak candu Tionghoa menguasai hampir
seluruh Karesidean di Jawa.
Dengan hal tersebut dapat dipastikan bahwa setiap Karesidenan tersebut
terdapat tempat percanduaan. Namun, kebijakan ini mengundang berbagai
kecurangan seperti korupsi dan kolusi dalam pelaksanaannya. Para Pak-pak candu
sering melakukan suap pada para pejabat kolonial demi keuntungan bisnis candunya.
Setelah berjalan lama, sistem Opiumpacat akhirnya dihapuskan dan diganti
dengan sistem Opiumregie. Pada sistem ini peran Pemerintah Hindia-Belanda
semakin kuat. Pemerintah berperan sebagai pedagang tunggal. Candu dibeli langsung
dari pemerintah tanpa perantara pihak kedua. Namun pada sistem ini peran pedagang
Tionghoa tidak hilang, mereka menjadi pemilik tempat percanduan dan tetap
menguasai pengorganisasiannya.
Dari berbagai kabijakan tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial selalu berkaitan dengan sebab ekonomi
demi keuntungan pemerintah. Di masalah candu ini Pemerintah Hindia-Belanda
memperleh keuntungan yang besar tanpa memperhatikan keadaan bangsa Indonesia
sendiri.

Darftar Pustaka
Buku
James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Cribb, Robert dkk. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.
Capt. R.P. Suyono. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial. Jakarta: Grasindo,
2007.
Tim Nasional Penulisan Sejarah. Sejarah Nasional Indonesia jilid 2. Jakarta: Balai
Pustaka, 2009.
Skripsi
Asmi Rahayu. “Perdagangan Candu di Jawa Akhir Abad XIX Awal Abad XX”.
Yogyakarta: Skripsi S-I Universitas Negeri Yogyakarta, 2002.
Oryza Aditama. “Alur Perdagangan Opium di Karesidenan Semarang Pada Akhir
Abad XIX”. Yogyakarta: Skripsi S-I Universtas Negeri Yogyakarta,
2009.