MAKNA KEBHINEKAAN UNGKAPAN TERIMA KASIH

MAKNA KEBHINEKAAN UNGKAPAN TERIMA KASIH
DALAM DIMENSI FENOMENOLOGI BUDAYA
DI INDONESIA

MAKALAH
SEMINAR INTERNASIONAL
KEBHINEKAAN DAN BUDAYA INDONESIA FIB UI
10-11 Desember 2013

Oleh:
TURITA INDAH SETYANI

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA

MAKNA KEBHINEKAAN UNGKAPAN TERIMA KASIH
DALAM DIMENSI FENOMENOLOGI BUDAYA DI INDONESIA1
Turita Indah Setyani
turita.indah@gmail.com
Abstrak
Kajian ini bermaksud menukik makna ungkapan terima kasih sebagai gejala budaya yang

telah berakar dalam kehidupan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Bangsa Indonesia dengan kebhinekaan sukunya, memiliki ungkapan rasa terima kasih
sesuai dengan bahasa etnisnya, sehingga muncullah kebhinekaan ungkapan terima kasih.
Tujuan kajian ini untuk menguraikan bagaimana makna kebhinekaan ungkapan terima
kasih dalam dimensi fenomenologi budaya di Indonesia? Ungkapan terima kasih tersebut
akan dikaji berdasarkan teori fenomenologi dengan metode fenomenologi budaya. Dalam
kehidupan sehari-hari, kebhinekaan ungkapan terima kasih memberi dua nuansa makna,
pertama sekadar nuansa rasa budaya atas segala pemberian yang diterima seseorang dari
orang lain. Ungkapan tersebut secara tidak langsung merupakan doksologi bagi manusia
atas berkah yang diterimanya sebagai rasa hormat dan rasa syukur kepada sang pemberi.
Kedua nuansa yang merasuk pada rasa batin yang terdalam.
Kata kunci: kebhinekaan, ungkapan terima kasih, fenomenologi, budaya Indonesia

Pendahuluan
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi
dengan keberagaman etnis dan bahasa yang berbeda, sehingga etnis-etnis tersebut
memiliki budaya lokal dengan kekhasannya masing-masing. Akan tetapi
perbedaan budaya lokal tersebut justru memperkaya identitas kebudayaan
Indonesia dalam kebhinekaannya. Dengn kata lain, meskipun kebhinekaan budaya
mencerminkan keberagaman namun sekaligus memberi ciri khas dan menguatkan

keadiluhungan budaya bangsa Indonesia. Bangsa menurut Ernest Gellner
(1998:46) adalah kondisi tempat sebuah komunitas atau perkumpulan yang
memiliki budaya, sistem ide, simbol, cara bertingkah laku dan berkomunikasi
yang sama, serta mengakui bahwa mereka terikat persaudaraan atas dasar
kebangsaan.
Salah satu ciri khas budaya bangsa Indonesia dengan sistem ide, simbol,
cara bertingkah laku dan komunikasi yang sama sehingga disebut sebagai bangsa
1

Makalah yang dibacakan pada Seminar Internasional Kebhinekaan dan Budaya Indonesia di FIB
UI, 10-11 Desember 2013.

2

yang santun adalah dikenalnya ungkapan kata terima kasih. Dasar dari ungkapan
tersebut merupakan kesadaran masyarakat bahwa mereka terikat persaudaraan
atas dasar kebangsaan yang hidup secara bersama dalam suatu lingkungan dan
saling bantu dalam menghadapi segala sesuatu. Bahkan keterikatan antarmanusia
yang terjadi dalam kehidupan berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu dalam
interaksi mereka sangatlah tinggi. Secara tidak langsung dalam interaksi tersebut

terdapat pula semacam aturan bersama untuk menjalankan kehidupan, manusia
saling memberi dan saling menerima terhadap segala hal, agar lebih terstruktur
dan terarah.
Akan tetapi bersamaan dengan itu pula bagi manusia yang menerima
seringkali lebih dituntut untuk mengucapkan rasa terima kasihnya bahwa telah
menerima sesuatu dari seseorang yang memberi sesuatu dibandingkan yang
memberi tersebut. Hal itu sering terdengar dari ucapan-ucapan

yang

mengingatkan seseorang seperti: “Sudahkah mengucapkan terima kasih kepada
orang yang telah membantu atau memberikan sesuatu kepadamu?” Atau sebuah
kalimat yang menyerukan: “Janganlah lupa menyampaikan syukur dengan cara
mengucapkan terima kasih pada seseorang yang telah memberikan sesuatu
terhadap kita.” Bahkan sejak masa kecil setiap orang tua mengajarkan untuk
mengucapkan terima kasih bila tangannya menerima sesuatu dari orang lain,
sehingga kata terima kasih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila kata tersebut terlupa diucapkan oleh penerima
pemberian/bantuan, maka banyak orang menyindir atau orang tua menyeringai
anaknya dengan kata-kata: “dasar orang/anak tidak tahu adat”. Menghadapi hal

ini, muncul pertanyaan, telah pudarkah budaya terima kasih, yang terkait pula
dengan budaya sopan santun itu?
Memperhatikan fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang yang
menerima dianggap mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan orang
yang memberi, sehingga ia dianggap perlu—atau dapat dikatakan lebih wajib—
mengucapkan rasa terima kasihnya dibandingkan pemberi. Hal itu dianggap wajar
karena secara umum pemberi dianggap pula sebagai orang yang memiliki
kelebihan dibandingkan penerima pemberian. Sehingga ungkapan terima kasih
lebih dianggap penting diucapkan oleh penerima kepada pemberi. Seperti contoh

3

dalam cuplikan tulisan berikut yang telah membahas tentang pentingnya ucapan
kata terima kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Terima kasih, singkat namun penuh makna. Demikian arti dari ucapan
terima kasih yang sering kita ucapkan setiapkali tangan kita menerima
sesuatu dari orang lain. Kata ini juga bermakna sebagai ungkapan
syukur atas sesuatu yang kita terima. Kalau saja sejak kecil ucapan
terima kasih ini sudah dibiasakan untuk hal-hal kecil dan kepada siapa
pun, maka betapa indahnya dunia, karena berisi oleh orang-orang yang

saling menghargai. 2
Akan tetapi sudahkah orang tua menanamkan nilai luhur yang terdapat
dalam makna ungkapan terima kasih tersebut? Bisa jadi bagian keluhuran nilai di
balik kata terima kasih tidak tersampaikan secara baik. Kadang orang tua hanya
mendidik anak-anaknya agar mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang
telah memberi “sesuatu” tanpa memberi pengetahuan yang cukup mengapa kata
tersebut harus diucapkan. Kalau pun disampaikan sebatas untuk menghormati dan
menghargai orang yang telah menolong atau memberi sesuatu. Atau dengan
alasan klasik seperti telah diungkap sebelumnya, yaitu untuk sopan santun, agar
tidak dianggap tidak tahu adat. Paling tinggi adalah sebagai bentuk rasa syukur
atas seseuatu yang telah diterima, baik bantuan maupun pemberian dari orang
lain. Inilah hal penting yang sering terlupakan karena terkesan sepele sehingga
boleh jadi ungkapan terima kasih tidak meresap dan menyatu dalam keseharian.
Pertanyaannya adalah apakah bagi yang mengeluarkan pemberian atau
disebut pemberi sesuatu itu lalu terbebas dari rasa syukur. Kalau pun pemberi
sesuatu itu memiliki rasa syukur, secara khusus umumnya yang dirasakan adalah
merasa bersyukur telah dapat memberi sesuatu kepada orang lain atau membantu
orang lain. Namun apakah ia mengetahui dengan sungguh-sungguh makna dari
rasa syukur yang terdalam dari rasa syukurnya itu? Secara tidak langsung
sesungguhnya ungkapan terima kasih tersebut penting pula bagi pemberi kepada

penerima, sebagai bentuk rasa syukurnya bahwa ia dapat memberikan atau
mengeluarkan sesuatu dari sebagian miliknya dan atau tindakan amal atau
darmanya untuk penerima atau bagi sesama umat. Kalau tidak ada yang dapat

2

Endah Yuniar Heni. Di balik Ucapan Kata Terima Kasih.
http://rumahpuan.com/mindsoul/detail/40, diunduh 4 Oktber 2013.

4

menerima suatu pemberian, bagaimana pemberi dapat melaksanakan tindakannya
tersebut? Dengan demikian ungkapan terima kasih tidak hanya penting bagi
penerima kepada pemberi, tetapi juga bagi pemberi kepada penerima.
Hal terakhir inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan sebuah
pertanyaan bagaimana makna kebhinekaan ungkapan terima kasih dalam dimensi
fenomenologi budaya di Indonesia?
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana makna kebhinekaan
ungkapan terima kasih dalam dimensi fenomenologi budaya di Indonesia.
Uraian tentang makna kebhinekaan ungkapan terima kasih dalam kajian

fenomenologi merupakan sudut pandang baru yang dapat dimanfaatkan untuk
menambah pengetahuan akan sebuah kesadaran kuatnya ungkapan tersebut
sebagai sebuah budaya di Indonesia yang memiliki makna luhur.
Oleh karena itu tulisan ini dikaji dalam dimensi fenomenologi sebagai
science of consciousness (ilmu tentang kesadaran). Kesadaran merupakan bagian
terpenting pada tindakan atau pola tingkah laku manusia dalam sebuah interaksi,
baik dengan manusia lain maupun bagi dirinya sendiri. Mengacu pada pendapat
David W. Smith (2007), fenomenologi Edmund Husserl merupakan upaya untuk
memahami

kesadaran

sesuai

yang

dialami

manusia


dalam

menjalani

kehidupannya, baik secara subjektif maupun intersubjektif dengan manusia lain.
Dengan kata lain, fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari
sudut pandang subjektif orang yang bersangkutan atau sudut pandang orang
pertama. Husserl sendiri telah mengemukakan perbedaan tentang subjektifitas,
intersubjektifitas, dan yang objektif. Subjektifitas merupakan pandangan
berdasarkan pengalaman manusia secara pribadi yang menjalani kehidupannya.
Intersubjektifitas adalah pandangan umum semua orang yang terkait di dalam
interaksi sosial atau di dalam dunia kehidupan sehari-hari. Adapun objektifitas
sebagai dunia kehidupan itu sendiri di lingkungan manusia yang sifatnya tetap di
dalam ruang dan waktu. Interaksi dari ketiga dunia itulah yang menjadi perhatian
dalam kajian fenomenologi. Sifat kajian berupaya membuka kesadaran baru di
dalam metode penelitian untuk menguraikan bahwa kesadaran manusia selalu
terarah pada dunia yang dimaknai sebagai dunia kehidupan, sehingga pemahaman
tentang manusia dan kesadaran dapat ditemukan. Secara literal fenomenologi

5


merupakan studi tentang fenomena yaitu tentang segala sesuatu yang tampak bagi
manusia di dalam pengalaman subjektif atau bagaimana manusia mengalami
segala sesuatu di dalam lingkungan kehidupannya. Pandangan Husserl ini dapat
digambarkan seperti berikut:

Dengan demikian kajian fenomenologi terhadap kebhinekaan ungkapan
terima kasih dimaksudkan untuk melihat sisi kesadaran tindakan manusia dari
sudut pandang subjektif dan intersubjektif dalam kehidupan dunia objektif.

Kebhinekaan Ungkapan Terima Kasih dalam Budaya Indonesia
Secara umum kata terima kasih merupakan ungkapan yang digunakan
dalam bahasa Indonesia sebagai budaya dalam sebuah interaksi kebhinekaan
antarmanusianya. Dalam konteks budaya ini ungkapan terima kasih telah
mengikat identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang santun. Hal itu dapat
dibuktikan dari kata-kata ungkapan terima kasih yang dimiliki oleh beberapa suku
bangsa Indonesia, antara lain kata Amanai3 (Migani [Papua]); Epanggawang
(Maumere); Hatur Nuhun (pisan) (Sunda); Kurrusumanga’ (Toraja); Makase
(Manado); Makaseh (Kutai); Matur Nuwun, suwun (Jawa); Mejuah-juah (Karo);
Muliate (Batak); Sakalangkong (Madura); Sauweghele (Nias); Suksema, Tiang

matur suksama, Matur suksme (Bali); Tampiaseh, matur tampiasih, tampi asiq
(Sasak); Tarima Kasih (Banjar); Tarima Kasih (Makassar); Tarimo kasi, tarimo
3

http://pengetahuanumum.wordpress.com/2010/04/22/terima-kasih-dalam-berbagai-bahasa/;
http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/13/terimakasih-568558.html

6

kasih, makasi yo (Minangkabau); Terimo kasih (Jambi); Teurimong Gaseh beh
(Aceh); Ti’I tima woso (Bajawa)4; dan Ncewi mbeim adem5 (Bima).
Apabila diklasifikasikan dari masing-masing daerah tersebut, dari
beberapa daerah berdasarkan ungkapan katanya telah merepresentasikan arti kata
terima kasih itu sendiri. Seperti kata makase dari Manado dan Kutai, tarima kasih
dari Banjar dan Makasar, tarimo kasih dari Minangkabau, terimo kasih dari
Jambi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dari beberapa daerah di Indonesia
meskipun keberadaan daerah tidak dalam satu wilayah yang dekat secara
geografis, memungkinkan adanya ungkapan kata yang hampir sama, terutama
dengan adanya kata yang berarti terima kasih ini. Ungkapan kata terima kasih
yang hampir mirip lainnya adalah dari Aceh, teurimong gaseh beh. Adapun

ungkapan kata terima kasih dari daerah lain perlu diteliti lebih lanjut untuk
mengetahui makna sesungguhnya dari kata yang disampaikan. Sebab jika
membaca kata yang diucap, meskipun secara umum telah diartikan sebagai
ungkapan rasa terima kasih, tetapi berbeda dari arti kata yang dimaksud.
Kata-kata tersebut seperti ungkapan hatur nuhun dari Sunda, matur nuwun
dari Jawa, matur suksma dari Bali, matur tampiasih dari Sasak. Kata hatur atau
matur berarti menyampaikan atau mengucapkan, sedangkan nuhun, nuwun,
suksma, tampiasih memiliki arti yang sama sekali dapat dikatakan bukan berarti
terima kasih. Berdasarkan telusur di web, bahasa daerah yang memiliki jumlah
penutur terbanyak sehingga dikenal oleh masyarakat secara luas di Indonesia
adalah bahasa Jawa6, Sunda7, Madura8, dan Minangkabau9. Oleh karena itu,
berikut merupakan salah satu contoh pembahasan tentang makna terima kasih
dalam bahasa Jawa, matur nuwun. Seringkali kata tersebut diucapkan dengan kata
matur suwun atau matur kesuwun. Dalam berita kompasiana.com dituliskan

4

http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/13/terimakasih-568558.html
Udin Sape Bima. Makna ungkapan dibalik ucapan “Terima kasih” dalam bahasa Bima.
http://elmyhafizha.blogspot.com/2011/07/makna-ungkapan-dibalik-ucapan-terima.html
6
Nomor 1 dari jumlah penutur terbanyak di Indonesia. 10 Bahasa Daerah dengan Penutur
Terbanyak di Indonesia. http://users.elite.net/runner/jennifers/thankyou.htm
7
Nomor 2 dari jumlah penutur terbanyak di Indonesia. 10 Bahasa Daerah dengan Penutur
Terbanyak di Indonesia. http://users.elite.net/runner/jennifers/thankyou.htm
8
Nomor 3 dari jumlah penutur terbanyak di Indonesia. 10 Bahasa Daerah dengan Penutur
Terbanyak di Indonesia. http://users.elite.net/runner/jennifers/thankyou.htm
9
Nomor 4 dari jumlah penutur terbanyak di Indonesia. 10 Bahasa Daerah dengan Penutur
Terbanyak di Indonesia. http://users.elite.net/runner/jennifers/thankyou.htm
5

7

bahwa menurut beberapa sumber tutur sebenarnya ucapan matur suwun atau
matur kesuwun bukan sebagai bentuk ucapan terima kasih dan bukan pula
bermakna terima kasih. Bahkan secara etimologis kata matur diartikan ucap atau
lafal, sedangkan suwun berarti minta, sehingga dimaknai dengan “melafalkan
sebuah ucapan permintaan atas sesuatu yang sebenarnya sudah diterima”. Adapun
“melafalkan sebuah ucapan permintaan atas sesuatu” seringkali bersifat abstrak,
dan “yang sebenarnya sudah diterima” seringkali dalam konteksnya memiliki arti
saling. Selanjutnya diperjelas lagi bahwa:
Kata ini diucapkan dalam konteks saling pengikhlasan akan suatu perkara,
sehingga berujung pada kelegaan antar pihak-pihak yang berhubungan.
Contoh : dalam transaksi jual beli, seringkali ada ukuran, takaran,
pembayaran, kembalian dsb yang tidak sesuai dengan yang seharusnya,
baik disengaja maupun tidak oleh kedua belah pihak. Nah, pada akhir
transaski sebagai bentuk penghalalan/pengikhlasan perkara ini kedua belah
pihak layak mengucapkan matur suwun, baru dilanjutkan dengan matur
nuwun10.
Akan tetapi penjelasan di atas tidak membawa akibat pada makna
ungkapan kata terima kasih itu sendiri. Meskipun ditegaskan bahwa ungkapan
yang benar untuk menyampaikan rasa terima kasih tersebut adalah matur nuwun
bukan matur suwun, namun kedua ungkapan, baik matur nuwun maupun matur
suwun, dalam kehidupan masyarakat Jawa tetap digunakan sebagai kata untuk
menyampaikan rasa terima kasih dari penerima kepada pemberi.
Demikian pula kata-kata dari daerah lain yang telah disebutkan terdahulu
seperti

amanai,

epanggawang,

kurrusumanga’,

mejuah-juah,

muliate,

sakalangkong, sauweghele, ti’l tima woso, dan ncewi mbeim adem penting untuk
ditelusuri secara lebih rinci agar dapat diketahui makna di balik ungkapan tersebut
yang kemudian menjadi diartikan sebagai ungkapan “terima kasih.” Namun pada
kesempatan ini, sebagai penelitian awal data dari arti kata-kata tersebut belum
diperoleh secara lengkap, sehingga akan dilakukan penelitian lebih lanjut. Berikut
hanya akan dikemukan satu contoh lagi dari sebuah penelitian yang ditulis oleh
Udin Sape Bima (2011) yang telah mengurai tentang kata ncewi mbeim adem

10

Matur nuwun dan Matur Suwun (Jawa). 2013.
http://bahasa.kompasiana.com/2013/07/30/matur-nuwun-dan-matur-suwun-jawa-577812.html,
diunduh 13 September 2013.

8

sebagai ungkapan “terima kasih” dengan mensejajarkan dengan kata matur suwun
(Jawa) dan matur tampiasih (Lombok/Sasak). Dalam penelitiannya yang berjudul
Makna Ungkapan Di balik Ucapan “Terima Kasih” dalam Bahasa Bima, ia
menyatakan bahwa ungkapan ncewi mbeim adem merepresentasikan suatu
kepedulian dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Bima. Selain itu, ia
pun mengungkapkan beberapa makna yang terkandung pada ungkapan tersebut
dalam konteks kalimat bahasa Bima yang disebut juga dengan bahasa Mbojo
disesuaikan dengan terjadinya peristiwa. Makna-makna itu adalah:
1. saling mengingatkan; ketika seseorang diingatkan untuk berhati-hati dalam
menjalankan tugas disertai doa sukses atau ketika diingatkan agar berhati-hati
di jalan, maka ia akan menjawab dengan kata ncewi mbeim adem sebagai
ungkapan rasa terima kasihnya menerima peringatan dan doa yang diberikan;
dalam ungkapan bahasa Mbojo:
“Ncewi mebeim adem, io mada ma rai kanari-nari pa,ngungku rongga aka
ra lao kai”. Yang berarti “Iya saya jalan pelan-pelan saja,supaya sampai
tempat tujuan;
2. bersabar; ketika seseorang mengalami musibah menjalani kehidupannya, baik
dalam keluarga maupun dalam usahanya, ia memperoleh kata simpati dari
kerabat atau sahabat dekatnya yang mengungkapkan agar senantiasa bersabar
untuk menghadapi itu semua, sebab di balik sebuah peristiwa tentu termuat
hikmah yang dapat dipetik. Sebagai balasannya seseorang itu akan
mengucapkan ncewi mbeim adem sebagai bentuk rasa syukur dan terima
kasihnya kepada pemberi simpati. Dalam ungkapan bahasa Mbojo:
“Ncewi mbeim adem,kana’e pa kelemboade mori dei dunia,wara to’’i pa
ru’u ma taho ”. Yang berarti “ berbanyaklah bersabar hidup di dunia,
semoga ada hikmahnya;
3. hadiah atau pemberian; ketika seorang anak menerima hadiah atau
penghargaan dari sebuah kejuaraan, ia kemudian mengucapkan ncewi mbeim
adem dengan rasa senang hatinya, kemudian pemberi hadiah akan
mengucapkan kata dalam bahasa Mbojo demikian:
“Ncewi mbeim adem,tanao ka poda ade wali “. “Belajar yang lebih giat
lagi”
4. mohon maaf; ketika seseorang melakukan kesalahan dalam suatu pekerjaan
atas

perintah

atasannya

menulis

sebuah

surat

atau

mengalami

9

kesalahpahaman, seringkali mengucapkan ncewi mbeim adem untuk
mendahului permohonan maafnya sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan
yang telah dilakukan, seperti ungkapan bahasa Mbojo berikut ini:
“Ncewi mbeim adem,labo mboto – mboto kangampu ta , mada wara satoí
ncara tunti dei sura. “ Terima kasih dan banyak maaf, saya ada sedikit
kesalahan menulis di dalam surat”
5. malu dan takut; peristiwa yang dicontohkan adalah ketika seseorang merasa
“malu dan takut” menerima pemberian sembako dari tetangganya. Namun
setelah mengetahui bahwa tetangganya memberi dengan penuh keikhlasan
membantu dan bermaksud untuk menolong sesama, sebagai bentuk rasa
syukur dalam bahasa Mbojo orang tersebut mengucapkan:
“Ncewi mbeim adem, bongi la mbei ta dei mada.” Yang berarti “ terima
kasih banyak atas beras/sambako yang dikasih kepada saya”
Meskipun ungkapan ncewi mbeim adem memiliki beragam makna,
menurut Udin Sape Bima pada dasarnya merupakan bentuk balas budi seseorang
setelah menerima kebaikan dan tanda rasa syukur kepada Maha Pencipta atas
rahmat, karunia, dan nikmat yang diterima. Ungkapan tersebut termasuk dalam
kategori salah satu pola struktur bahasa Bima yang sangat santun. Dalam
kesimpulan penelitiannya diungkapkan bahwa:
.... “Ncewi mbeim adem” mencerminkan rasa kepedulian kita terhadap
sesama dan dapat mewujudkan suatu pandangan hidup yang mampu
memberikan kontribusi dalam berkomunikasi atau guna menggambarkan
kita menjadi seseorang yang bisa bertanggung jawab terhadap orang
lain. Ucapan terima kasih “Ncewi mbei adem” dapat melahirkan suatu
hubungan sosial. sehingga melahirkan kekuatan yang sangat bathin. Baik
didalam keluarga maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Contoh penelitian ungkapan “terima kasih” dalam bahasa Bima/Mbojo
tersebut dapat dikatakan lebih rinci dibandingkan dengan pembahasan yang
dipaparkan dalam bahasa Jawa. Namun dari kedua contoh pembahasan tersebut,
baik ungkapan “terima kasih” dalam bahasa Jawa maupun bahasa Bima/Mbojo,
dan untuk sementara waktu dalam pembahasan ini termasuk ungkapan dari bahasa
daerah lain, memberikan asumsi bahwa ungkapan tersebut tetap lebih ditujukan
untuk diucapkan bagi penerima pemberian. Meskipun demikian sesuai dengan
tujuan pembahasan, dengan sumber data bahasa daerah yang masih sangat
10

terbatas, pengikat ungkapan kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kesadaran
interaksi sosial bangsa Indonesia adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia,
yaitu kata “terima kasih”, sehingga budaya terima kasih berkembang di Indonesia
dalam keteraturan yang dianggap penting, wajib diucapkan, menjadi ukuran nilai,
dan memiliki makna yang luhur.
Secara khusus “terima kasih” merupakan dua kata yang menjadi kata
majemuk sehingga memiliki satu makna. Dalam KBBI terima kasih diartikan
sebagai rasa syukur; adapun berterima kasih merupakan sebuah kata untuk
mengucap syukur; melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima
kebaikan dan lain sebagainya. Dengan arti yang demikian maka terima kasih
menjadi bermakna bahwa ucapan tersebut disampaikan bila seseorang
memperoleh sesuatu yang bernilai baik bagi dirinya. Oleh karena itu apabila
seseorang menerima pemberian, ada sebuah tuntutan secara tidak tertulis
selayaknya mengucapkan terima kasih kepada orang lain yang telah memberinya.
Apabila tidak dilaksanakan, maka penerima sesuatu itu dianggap tidak beradab,
tidak sopan, tidak beretika, tidak tahu adat atau tidak berbudaya, sehingga
memiliki makna yang nista dan menimbulkan kekacauan (cheos).
Secara tidak langsung KBBI pun telah turut mendidik masyarakat secara
sepihak bahwa ungkapan kata terima kasih terutama disampaikan oleh penerima
sesuatu. Tanpa menyadari bahwa sesungguhnya ungkapan terima kasih itu
memiliki nilai keluhuran dan mengandung makna yang sangat dalam dan tidak
sekadar sebagai bentuk rasa syukur saja, baik dalam interaksi sesama manusia
maupun interaksi manusia dengan Ilahi. Salah satu contohnya seperti pandangan
dalam kutipan berikut.
Dengan mengucapkan terima-kasih saja dengan tulus dan disertai rasa atau
ungkapan syukur akan bermanfaat bagi perkembangan jiwa kita. Jiwa kita
semakin peka dan berkembang. Kebiasaan mengucapkan terima kasih bisa
membuat jiwa kita mekar atau berkembang. Jiwa yang semakin subur
karena selalu respon atau berapresiasi terhadap mereka yang telah
memberikan sesuatu dapat membuat hati ceria. Saya juga tidak tahu dari
mana asal kata ini. Namun jika direnungkan memberikan makna yang

11

sangat dalam. Inilah kata yang diciptakan oleh suatu bangsa yang
berbudaya tinggi11.
Memperhatikan fenomena tersebut dapat dikatakan makna tertinggi dari
mengungkap kata terima kasih adalah rasa syukur kepada Ilahi yang telah
memberi atau mengabulkan doa melalui orang-orang yang berperan membantu
orang lain atau pemberi. Di lain pihak, seolah-olah rasa syukur itu hanya
merupakan kewajiban dari penerima pemberian. Hal itu dapat dimaknai sebagai
suatu bentuk apresiasi terhadap orang yang memberi dari orang yang menerima.
Bahkan dipahami pula sebagai suatu bentuk rasa syukur telah mendapatkan
sesuatu atau menerima sesuatu.
Oleh sebab itu, secara umum ungkapan terima kasih dapat dibagi ke dalam
tiga kategori, yaitu:
1. sekedar meyampaikan apresiasi terhadap orang yang telah memberikan
sesuatu;
2. sebagai ungkapan terima kasih yang tulus kepada seseorang yang telah
memberi sesuatu;
3. sebagai rasa syukur telah menerima sesuatu dari Sang Pencipta kehidupan
melalui seseorang yang memberi itu.
Kategori ketiga dianggap memiliki nilai yang paling tinggi dari ungkapan terima
kasih karena merupakan rasa kesyukuran memperoleh sesuatu dari Sang Maha
Pemberi yang selalu memberi segala sesuatu dan memberi kenikmatan hidup
kepada manusia melalui orang-orangNya dengan berbagai wujud manifestasiNya.
Akan tetapi bagaimana makna luhur atau keadiluhungan ungkapan terima kasih
tersebut, hingga tulisan ini dipaparkan belum ditemukan pembahasan yang
dilakukan secara mendalam dengan menggunakan sebuah teori.
Berikut pembahasan dilakukan berdasarkan teori fenomenologi yang telah
dipaparkan sebelumnya dalam pendahuluan seperti diagram di bawah ini:

11

Betapa Tinggi Arti Kata Terima Kasih. http://sejarah.kompasiana.com/2012/03/17/betapatinggi-arti-kata-terima-kasih-447129.html, diunduh 5 Oktober 2013

12

Dalam dimensi fenomenologi, budaya terima kasih merupakan objek dari
sebuah esensi ideal yang memiliki korelat dengan esensi kesadaran. Akan tetapi
untuk memperoleh esensi kesadaran tersebut dibutuhkan penundaan akan sebuah
asumsi tentang kenyataan sebagai sebuah fenomena. Dengan demikian sisi
kesadaran tindakan manusia dari sudut pandang subjektif dan intersubjektif dalam
kehidupan dunia objektif dapat diketahui sebagai esensi kesadaran makna
ungkapan terima kasih.

Makna Ungkapan Terima Kasih dalam Dimensi Fenomenologi
Di Indonesia kebiasaan mengucapkan terima kasih telah menjadi budaya.
Hal itu dapat diketahui dari berbagai kata terima kasih dalam bahasa daerah
seperti yang telah dipaparkan terdahulu. Secara keseluruhan ungkapan kata dalam
berbagai bahasa daerah tersebut bermuara pada kata TERIMA KASIH dalam
bahasa Indonesia. Beberapa pertanyaan tentang maknanya sempat dilontarkan
kepada pemilik bahasa masing-masing, namun jawaban yang diperoleh tetap
sama, mereka hanya mengetahui arti kata tersebut sesuai dengan maksud frasa
diungkapkan, yaitu “terima kasih.” Adapun makna yang disampaikan antara lain
sebagai rasa syukur telah menerima suatu pemberian, baik itu bersifat materiil,
bantuan tenaga maupun pikiran. Akan tetapi esensi makna yang terkandung di
balik ungkapan terima kasih tersebut, perlu diteliti berdasarkan kesadaran
tindakan manusia dari sudut pandang subjektif.

13

Dalam dimensi fenomenologi mengacu pada pandangan Husserl ungkapan
terima kasih berlandaskan kesadaran tindakan manusia dari sudut pandang
subjektif dapat ditemukan dalam beberapa fenomena kekiatan intersubjektif di
dalam dunia objektif. Berikut merupakan fenomena peristiwa ungkapan terima
kasih yang sering terjadi atau bahkan terlupakan untuk disampaikan yang dialami
setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari:
Pertama, dalam keluarga ungkapan terima kasih diajarkan oleh orang tua
kepada anak-anaknya. Mereka diajarkan agar mengucap terima kasih kepada siapa
saja yang telah memberi sesuatu pada saat mereka menerima sesuatu itu. Praktek
dalam keluarga dijalankan secara langsung sejak mereka dalam usia dini ketika
sudah dapat berbicara. Contohnya, “terima kasih ibu atau ayah” ketika anak
dibelikan atau menerima sesuatu; “terima kasih kakak atau adik” ketika menerima
apa yang diperoleh dari saudaranya. Sebaliknya untuk membiasakan ungkapan
kata tersebut, tidak jarang orang tua juga menyampaikan terima kasih kepada
anak-anaknya pada saat mereka menerima sesuatu dari si anak. Misalnya, “terima
kasih kakak” ketika Ibu menerima suatu benda dari kakak yang diambil atas
perintahnya. Demikian pula ketika mereka bertemu dan berinteraksi dalam
keluarga besarnya, baik kakak atau adik dari Ibu atau ayahnya maupun para
sepupu.
Namun apakah mereka juga mengucapkan terima kasih kepada pembantu
rumah tangga atau supir yang telah turut berjasa kepada mereka, sehingga
pelajaran “terima kasih” dapat teraplikasi dengan baik sebagai tindakan
keseharian dalam kehidupan masyarakat. Karena terkadang kedekatan hubungan
mengakibatkan seseorang enggan melontarkan kata terima kasih tersebut. Tidak
hanya terhadap orang-orang yang telah membantu sejak masa kanak-kanak,
terhadap orang tua yang telah membesarkan, menyekolahkan, bahkan menikahkan
hingga anak-anak telah mempunyai anak atau sudah menjadi “orang” pun hal itu
seringkali tidak terimplementasi dengan baik. Demikian pula sebaliknya yang
terjadi dalam realitas kehidupan pada hubungan sesama manusia dari orang tua
kepada anaknya, terutama yang masih bayi.
Kedua, di lingkungan sekolah. Ungkapan terima kasih lebih umum
diucapkan dari murid kepada gurunya sebab mereka merasa telah dididik dan

14

diberi ilmu pengetahuan hingga menjadi orang yang berguna. Secara luas telah
dikenal bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sehingga murid-murid
yang memiliki kesadaran tentang tugas seorang guru, tidak segan memberi
penghargaan yang sangat tinggi terhadap gurunya. Salah satu contoh yang terjadi
pada tahun 2008 adalah ketika beberapa alumni SMAN 39 angkatan 1980
“patungan” mengajak beberapa gurunya berlibur ke Surabaya untuk beberapa
hari. Pada kesempatan itu pula sebagai rasa terima kasih mereka memberi
penghargaan kepada para guru yang dapat turut serta. Selain itu secara periodik
alumni tersebut mengadakan kunjungan ke rumah guru-guru yang telah pensiun
untuk menyampaikan penghargaan-penghargaan. Demikian pula apabila ada guru
mereka yang terkena musibah atau dirawat di Rumah Sakit, maka mereka dengan
kesadaran penuh segera turun tangan. Di samping itu, bagi banyak murid yang
tidak berbuat seperti yang dilakukan oleh para alumni tersebut, minimal sebagai
salah satu bentuk rasa terima kasih mereka memiliki rasa hormat dan angkat topi
terhadap apa yang telah dilakukan oleh seorang guru. Namun tidak jarang pula
yang melupakan hal itu.
Sebaliknya apakah guru juga berterima kasih kepada murid-muridnya?
Mengapa guru juga seolah dipertanyakan dan dituntut pula untuk mengungkap
rasa terima kasih? Apabila disadari timbal baliknya, seorang guru tidak mungkin
menjadi guru jika tidak ada atau tidak memiliki murid. Secara tidak langsung ia
pun tidak dapat memberi atau menyampaikan ilmu atau menjalankan tugas yang
diemban sebagai perannya dalam kehidupan ini. Terakhir di lingkungan sekolah
juga terdapat pegawai yang bertugas melancarkan jalannya tertib administrasi—
secara umum disebut tata usaha (TU)—petugas kebersihan sekolah (tukang
kebun), dan penjual di kantin. Sudahkan mereka, baik murid maupun guru,
mengungkapkan terima kasih mereka kepada pegawai TU, tukang kebun, atau
penjual di kantin, yang langsung maupun tidak langsung telah membantu
melancarkan terlaksananya pemelajaran di sekolah. Dimungkinkan hanya satu dua
guru dan atau murid yang memiliki kesadaran akan pentingnya mereka, sehingga
tidak jarang mereka memberi apresiasi akan tugas TU, tukang kebun, dan penjual
di kantin.

15

Ketiga, di lingkungan kerja atau di kantor terdapat interaksi sosial yang
antara lain terdiri dari atasan, bawahan, antarkolega, kurir, pelayan, petugas
kebersihan (cleaning service). Ungkapan terima kasih dalam lingkungan ini
umumnya terimplementasi secara dua arah, baik dari bawahan kepada atasan
maupun dari atasan kepada bawahan dan atau antarkolega. Ketika bawahan
memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya, bawahan akan langsung
mengungkapkan rasa terima kasihnya terhadap atasan. Namun

secara tidak

langsung atasan pun mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan memberi
apresiasi terhadap bawahan yang berprestasi tersebut. Bahkan dalam lingkungan
kantor yang kondusif hal itu terjadi pula kepada kurir, para pelayan dan petugas
kebersihan, sehingga dengan sendirinya hubungan antarkolega di lingkungan ini
terjaga keseimbangannya ketika budaya terima kasih terimplementasi dengan
baik. Meskipun tidak jarang pula kantor-kantor memiliki lingkungan yang
demikian sempurna.
Keempat, dalam kehidupan masyarakat terdapat hubungan interaksi sosial
yang sangat luas sesuai dengan lingkungan wilayah tempat-tempat tertentu.
Misalnya di daerah perumahan terdapat rukun tetangga, rukun warga, organisasi
pemuda, tukang koran, penjaja makanan, pengamen, pengemis dan lain
sebagainya. Dua yang terakhir juga terdapat di lingkungan umum, seperti di
restoran, di pasar, di jalan-jalan. Tempat-tempat umum yang mengakibatkan
interaksi sosial terjadi, seperti di pom bensin, bengkel, toko-toko, dan lain-lain
tidak jarang ungkapan terima kasih terimplementasi dengan sendirinya bagi orang
yang telah memiliki kesadaran budaya yang tinggi.
Terkadang ungkapan terima kasih tidak selalu dengan mengucap kata
terima kasih, tetapi dapat hanya dengan melakukan lambaian tangan terhadap
pengendara mobil yang telah memberi kesempatan menyeberang jalan. Namun
terkadang orang pun alpa menyampaikan terima kasih kepada para penjual,
pedagang, atau supir angkot, tukang parkir, tukang ojek, karena merasa
mengeluarkan uang untuk membayar tanda jasa yang mereka lakukan. Apalagi
terhadap pengamen dan pengemis, tentu sangat jarang dari orang yang memberi
uang kepada mereka dapat mengucapkan terima kasihnya. Bahkan bisa jadi tidak
mungkin, karena dianggap tidak biasa, tidak wajar, dan aneh. Padahal tanpa

16

disadari mereka dibutuhkan bagi orang yang perlu mengeluarkan sebagian zakat
untuk membersihkan hartanya.
Kelima, adanya tempat-tempat umum yang secara tidak langsung memberi
bantuan kesehatan dan melakukan ibadah, seperti rumah sakit, mesjid, yayasan
yatim piatu, rumah jompo, tuna wisma, tuna wicara, dan sebagainya. Interaksi
yang terjadi pada lingkungan ini agak berbeda dengan fenomena sebelumnya.
Contoh soal yang sering terjadi misalnya ketika seseorang memberi atau
menyumbang untuk pembangunan sebuah mesjid, apakah mesjid dapat
mengucapkan terima kasihnya.
Keenam, dalam pergaulan pribadi seseorang di sanggar seni, tempat olah
raga,

komunitas

sosial

sering terjadi

hubungan

sosial

informal

yang

mengakibatkan budaya terima kasih dianggap perlu diungkapkan. Namun
seringkali hal itu agak sulit dilakukan karena merasa berat mengucapkannya,
terlebih kepada orang yang mengalami persatruan karena ada suatu kebencian
yang muncul. Meskipun demikian apabila hal itu tetap dilakukan justru akan
membawa dampak positif dalam pergaulan. Misalnya seseorang yang memiliki
kebencian mengungkapkan terima kasih terhadap orang yang dibenci, akan dapat
mencairkan suasana, bahkan memberikan rasa lega dan melenyapkan rasa dendam
yang ada dalam dirinya.
Ketujuh, terhadap asupan tubuh seperti makanan, minuman, buah-buahan,
herbal atau obat yang telah menyehatkan tubuh ini. Secara tidak langsung asupan
tersebut turut berperan aktif dalam kehidupan manusia untuk memenuhi
kebutuhan jasmani. Namun pernahkah manusia dalam kesadarannya memiliki
apresiasi terhadap mereka? Meskipun asupan memiliki peran sangat penting
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi karena tidak dirasakan bahwa
asupan bersifat memberi sehingga secara umum tidak ada kewajiban atau tuntutan
yang mengajarkan untuk mengapresiasi perannya.
Kedelapan, demikian pula terhadap benda-benda yang digunakan oleh
manusia dalam kehidupan ini, seperti alat pembersih dan perapi diri: sabun,
shampo, odol, sikat gigi, handuk, sisir, alas bedak, bedak, deodoran, minyak
wangi; barang-barang yang dikenakan oleh tubuh: pakaian (luar-dalam), sepatu,
sandal; alat-alat yang membantu manusia: sapu, kain pel, mesin cuci, laptop, dan

17

sebagainya; termasuk alat transportasi: pesawat terbang, kereta api, bis, mobil,
motor, sepeda. Perlukah mengungkap terima kasih? Secara tidak langsung,
ungkapan terima kasih tidak menggunakan kata, tetapi dengan rasa syukur
terlengkapi memiliki segalanya. Namun karena merasa memiliki tidak jarang rasa
syukur atau berterima kasih terungkap secara mendalam.
Deskripsi ungkapan terima kasih yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
seperti yang diuraikan itu merupakan fenomena yang ada sesuai keadaan dan
keberadaannya. Pada dasarnya ungkapan terima kasih yang diucapkan di saat dan
pada tempat yang tepat menumbuhkan rasa mendalam bagi diri seseorang, baik
dari pihak pemberi maupun penerima (yang diberi). Sesungguhnya tidak ada
manusia yang pekerjaannya 100 % hanya memberi atau menerima saja. Meskipun
tampaknya dalam konsepnya seseorang itu memberi, tetapi dalam realitas yang
sesungguhnya ia telah menerima pula, yaitu atas kesempatan atau tempat bagi
dirinya untuk memberi. Jika tidak maka ia tidak mungkin dapat memberi kepada
siapa pun, karena tidak memiliki kesempatan dan tempat untuk melaksanakan
niatnya tersebut.
Berdasarkan fenomena keadaan dan keberadaan ungkapan terima kasih
dalam budaya di Indonesia dipandang dari teori Husserl, secara objektif (di dunia
kehidupan pada lingkungan manusia yang sifatnya tetap dalam ruang dan waktu),
seseorang menyatakan “terima kasih” merupakan bentuk kesadaran atas nilai
moral yang berlaku. Apabila digambarkan dalam bentuk sebuah diagram, akan
tampak seperti berikut.

18

Artinya seseorang mengungkap kata terima kasih didasari oleh nilai-nilai
yang mengikatnya dalam konteks ruang dan waktu. Seperti di rumah, sekolah,
atau di tempat-tempat tertentu yang sesuai dengan nilai yang berlaku di
lingkungan mana ia berada dan dalam kondisi yang sesuai dengan lingkungan
tersebut.
Dalam pandangan umum, bagi semua orang yang terkait di dalam interaksi
sosial, makna ungkapan terima kasih merupakan bentuk kesadaran atas adab
kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Apabila digambarkan
dalam bentuk sebuah diagram, akan tampak seperti berikut.

Artinya seseorang mengungkap kata terima kasih berdasarkan atas adab
kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan pandangan
umum semua orang di lingkungannya yang terkait di dalam setiap interaksi sosial.
Misalnya dalam kehidupan masyarakat Jawa, Sunda, Minangkabau dan lain
sebagainya bagaimana seseorang dapat menempatkan diri sebagai penerima lebih
dituntut untuk mengucapkan terima kasih kepada pemberi. Dengan mengucap
terima kasih kepada pemberi, ia akan dapat merasa dihargai sebab telah turut
berkontribusi terhadap diri penerima. Dengan kata lain, dalam ucapan terima
kasih itu juga termuat makna memberi, yaitu memberi penghargaan, apresiasi
kepada orang yang telah memberi. Adab kebiasaan tersebut menjadi budaya dari

19

lingkungan yang telah teratur secara sistematis dalam kehidupan sehari-hari secara
turun temurun.
Adapun yang terakhir merupakan upaya untuk memahami kesadaran dari
sudut pandang subjektif orang yang bersangkutan atau sudut pandang orang
pertama. Untuk memahami kesadaran tersebut perlu memperhatikan pandangan
pengalaman manusia yang secara pribadi menjalaninya. Pengalaman manusia
yang menjadi dasar di sini adalah bagaimana ia mengungkap kata terima kasih
dan ungkapan tersebut merupakan bentuk kesadaran tindakannya secara individu.
Apabila digambarkan dalam bentuk sebuah diagram, akan tampak seperti berikut.

Bentuk kesadaran tindakan manusia secara individu inilah yang
diharapkan dapat terwujud dalam diri setiap manusia, sehingga implementasi dari
mengungkap kata terima kasih bukan berdasar pada nilai moral yang berlaku atau
adab kebiasaan yang ditanamkan. Namun dengan kesadaran secara individu yang
kuat dalam diri setiap manusia, maka dengan sendirinya, baik nilai moral maupun
adab kebiasaan, akan senantiasa terjaga dalam keteraturan yang menyatu
(kosmos). Bagi seseorang yang telah memahami esensi kesadaran ini, ungkapan
terima kasih berdasar pada rasa batin.
Dengan demikian apabila memperhatikan kebhinekaan ungkapan terima
kasih di Indonesia secara umum dapat dikatakan memiliki dua nuansa makna,
yaitu pertama sekadar nuansa rasa budaya atas segala pemberian yang diterima

20

seseorang dari orang lain dan kedua nuansa yang merasuk pada rasa batin yang
terdalam sebagai rasa syukur dari sebuah bentuk keimanan manusia terhadap
segala pemberian yang dimilikinya.
Akan tetapi esensi makna tidak hanya sekadar seperti itu, sebab esensi
kesadaran akan membawa seseorang dalam dimensi penyatuan antara pemberi dan
penerima sekaligus. Secara fenomenologis berlandaskan bentuk kesadaran
tindakan manusia secara individu atau dari sudut pandang subjektif (orang
pertama) akan ditemukan esensi kesadaran. Oleh karena itu subyektifitas makna
ungkapan terima kasih dalam dunia objektif merupakan bentuk rasa syukur dari
diri pemberi kepada yang diberi bahwa telah mendapat kesempatan atau peluang
dapat memberi atau berbagi kebahagiaan dan kemuliaan yang dimilikinya.
Kesadaran tersebut membawa rasa syukur kepada Ilahi, yang dalam berbagai
keagamaan diungkapkan dengan kata alhamdulillah hiRabbil ‘alamin, Puji Tuhan,
Anumodana, Om Swastyastu.
Bentuk kesadaran lain adalah bahwa rasa syukur dari diri pemberi kepada
yang diberi tersebut merupakan diri sendiri, sehingga ungkapan terima kasih
dalam dimensi fenomenologis mengungkap makna penyatuan antara pemberi dan
penerima sekaligus. Dengan kata lain, pemberi melakukan sesuatu kepada orang
lain adalah sebagai bentuk kesadaran melakukan sesuatu untuk diri sendiri,
sehingga makna penyatuan antara pemberi dan penerima terlebur di dalam diri
subjektif. Keadaan dan keberadaan tersebut membawa akibat pada ucapan terima
kasih yang menjadi tidak berarti bagi dirinya sendiri. Sebab rasa batinnya yang
terdalam telah memahami bahwa tindakannya sebagai pemberi juga sekaligus
sebagai penerima—ia memberi dari dan untuk dirinya sendiri—sehingga
ungkapan terima kasih itu pun berdampak dari dan untuk dirinya sendiri.
Pemahaman ini merupakan sebuah bentuk kesadaran terhadap esensi makna
ungkapan terima kasih dalam wujud rasa syukur yang tertinggi.

21

Kesimpulan
Ungkapan terima kasih dalam dimensi fenomenologi budaya di Indonesia
memiliki tingkatan makna. Tingkatan tersebut didasarkan pada keadaan dan
keberadaan manusia sebagai bagian dari interaksi sosial masyarakat. Dalam dunia
objektif, ungkapan terima kasih dilandasi oleh nilai-nilai moral yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat, sehingga makna yang termuat di dalamnya adalah
sebagai bentuk apresiasi, penghargaan, dan dari penerima kepada pemberi.
Sedangkan dalam dunia intersubjektif, ungkapan tersebut mengacu pada adab
kebiasaan yang berlaku secara turun temurun dalam lingkungan masyarakatnya.
Oleh karena itu memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur dari penerima, baik
kepada pemberi maupun kepada Ilahi. Kedua makna tersebut merupakan
fenomena yang terjadi dan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat di Indonesia. Adapun dalam dunia subjektif, ungkapan terima kasih
yang terjadi dari wujud kesadaran individu menjadi tanpa makna atau makna
terlebur dalam ungkapan kata terima kasih itu sendiri sebagai bentuk
keimanannya yang tertinggi. Dalam hal ini ungkapan terima kasih telah menyatu
atau menjadi satu kesatuan dari wujud kesadaran dalam setiap tindakan individu
yang beriman.
Dengan demikian, kebhinekaan ungkapan terima kasih dalam dimensi
fenomenologi budaya di Indonesia memiliki dua nuansa makna, yaitu pertama,

22

nuansa rasa budaya dalam etika moral dan kedua, nuansa rasa batin dalam etika
keimanan.

Daftar Acuan :

Betapa Tinggi Arti Kata Terima Kasih. 17 Maret 2012.
http://sejarah.kompasiana.com/2012/03/17/betapa-tinggi-arti-kata-terimakasih-447129.html, diunduh 5 Oktober 2013
Endah Yuniar Heni. Di balik Ucapan Kata Terima Kasih.
http://rumahpuan.com/mindsoul/detail/40, diunduh 4 Oktber 2013.
Firman Noor. Menimbang Perjuangan Sarekat Islam (S1) dan Relevansinya bagi
Kehidupan Politik Bangsa Saat ini dalam Masyarakat Indonesia: Majalah
Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jilid XXXIV, NO. 2, 20. Oleh lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Gellner, Ernest. 1998. Language and Solitude: Wittgenstein, Malinowski

and the Habsburg Dilemma, Cambridge: Cambridge University
Press
Matur nuwun dan Matur Suwun (Jawa). 30 July 2013.
http://bahasa.kompasiana.com/2013/07/30/matur-nuwun-dan-matursuwun-jawa-577812.html, diunduh 13 September 2013.
Smith, David Woodruff. 2007. Husserl. London: Routledge.
Udin Sape Bima. Makna Ungkapan di balik Ucapan “Terima Kasih” dalam
Bahasa Bima. 11 Juli 2011.
http://elmyhafizha.blogspot.com/2011/07/makna-ungkapan-dibalikucapan-terima.html, diunduh 28 November 2013

23