Perlindungan Hukum pada Merek yang Terda
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar
Nur Hidayati
Staf pengajar pada Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang
Abstract: Protection of the brand through brand registration system has a
specific purpose, such as the protection of employers' brand owners, consumer
protection, protection of society through the prevention and control of all forms of
unfair competition, justice, public order and legal certainty. If the trademark
registration contrary to that goal as pemboncengan brand (passing off) certainly
needs to be prevented. The use of the brand by the brand owners who have
registered with the means he uses brand rights penuh. Therefore considering the
importance of trademark registration in the constitutive system adopted by
Indonesia today, it is expected to brand users to register its brand in the
trademark office in order to avoid lawsuits either and criminal claims for
compensation from another party.
Keywords: protection, registration, brand
I. Pendahuluan
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar adalah sebagai suatu jaminan hukum
terhadap merek yang telah terdaftar agar diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku
(Ferry Susanto Limbang, 2011). Masalah utama dibidang merek adalah banyaknya
pemalsuan merek tanpa hak terutama terhadap merek terkenal yang dilakukan dengan
sengaja oleh pihak lain dengan tujuan untuk mencari keuntungan.
Hukum pada dasarnya adalah aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat agar
tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum dipergunakan sebagai
patokan-patokan sebagaimana masyarakat harus bertingkah laku. Karena terjadi kemacetan
dalam lalu lintas kehidupan masyarakat, hukum inilah yang memperlancar interaksi sosial.
Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang
lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang
kemudian dilepaskan ditempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu memang
merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan hewan yang bersangkutan adalah milik
orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan dengan tanda atau merek digunakan inisial
dari nama pemilik sendiri sebagai tanda pembeda (Harsono Adisumarto. 1989)
Perlindungan hukum di Indonesia pada dekade ini ditandai dengan peningkatan
gerakan perlindungan hukum terhadap Hak Milik Intelektual. Pemerintah Indonesia telah
mengambil langkah-langkah guna meningkatkan perlindungan hukum dan pembinaan di
bidang hak milik intelektual, termasuk hak atas merek, hak cipta dan hak paten.
Menurut Etty Susilowati (2010), Eksisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangatlah
erat dengan dunia perdagangan baik domestik maupun global, untuk itu masyarakat dunia
harus berada pada global commitment untuk saling mengakui dan menghargai akan potensi
intelektual masing-masing negara. Semakin berkembangnya makna aspek-aspek bisnis
dalam karya-kaya intelektual telah mengindikasikan terdapatnya dinamika baru berupa
potensialnya hasil dari intelektualitas manusia dari rasa, karsa dan cipta. Hasil karya yang
berupa karya intelektual manusia yang memilki nilai ekonomis yang sangat tinggi,
hendaknya juga mendapatkan perlindungan yang sangat memadai. Hal ini ditunjang dengan
rasa keadilan untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya untuk kesejahteraan sosial dan
ekonomi sebagai penghargaan dari hasil intelektualnya.
Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual yang memiliki peran penting bagi
kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Pentingnya peraturan merek
tersebut, menurut Isan Budi Maulana (1997) Merek tersebut dianggap “roh” bagi suatu
produk barang atau jasa. Sedangkan Wiratno Dianggoro yang dikutip Isan Budi Maulana
174
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
(2000) mengatakan merek sebagai tanda pengenal dan tanda pembeda akan dapat
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) reputasi barang dan jasa hasil usahanya
sewaktu diperdagangkan. Karena disatu sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan
nilai hasil produksi khususnya mengenai kualitas pemakaianya. Dari sisi pedagang, merek
digunakan sebagai promosi barang-barang dagangannya untuk promosi guna mencari dan
meluaskan pasar. Dari sisi konsumen merek digunakan untuk pilihan-pilihan barang yang
akan dibeli.
Pasal 1 UU No. 15 tahun 2001 Merek adalah tanda yang dilekatkan pada suatu produk
berupa: gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang mempunyai pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Merek mempunyai peran yang begitu penting, khususnya lalu lintas
perdagangan barang dan jasa. Peran “merek” disamping sebagai tanda yang dikenal
konsumen juga dapat sebagai jaminan bagi kualitas barang/jasa yang menunjukkan asal
barang. Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dari produk
yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal-usul barang (indication of origin). Merek
dan sejenisnya dikembangkan oleh para pedagang sebelum adanya industrialisasi.
Kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan
pesatnya orang-orang yang melakukan peniruan. Terlebih pula setelah dunia perdagangan
semakin maju, serta alat transportasi yang semakin baik, juga dengan dilakukannya promosi
maka wilayah pemasaran barang pun menjadi lebih luas lagi. Keadaan seperti ini menambah
pentingnya merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang, dan kualitasnya, juga
menghindarkan peniruan. Pada gilirannya perluasan pasar seperti itu juga memerlukan
penyesuaian dalam sistem perlindungan hukum terhadap merek yang digunakan pada
produk yang diperdagangkan (M.Djumhana dan Djubaedillah. 1997). Reputasi atau itikad
baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah
perusahaan. Banyak pelaku usaha yang berjuang untuk mendapatkan reputasi mereka
dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para
konsumen. Melihat suksesnya, dan tingginya reputasi suatu perusahaan dengan produknya,
maka sering orang tergoda untuk menyamai meskipun dengan cara membonceng, meniru
dengan mengikuti, dan memirip-miripkan baik bentuk produk barang yang lebih tinggi
reputasinya, hal ini dilakukan agar mendapatkan keuntungan melalui jalan pintas dengan
segala cara dan dalih walaupun tindakan tersebut melanggar etika bisnis, norma kesusilaan
bahkan melangar hukum (Passing Off). Passing Off banyak terjadi di Indonesia terutama
membonceng reputasi atas merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri tetapi yang
membedakannya adalah bahwa di Indonesia perlindungan hukum atas merek terkenal
tersebut kurang memadai. (Onti Rug. 2008)
II. Pendaftaran Merek
Merek sebagai salah satu bagian dari hak atas kekayaan intelektual manusia yang
sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Merek adalah alat
untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh sesuatu perusahaan. Menurut
Prof. Molengraaf, “Merek yaitu dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk
menunjukkan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan
barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain.
Di Indonesia pengertian merek mempunyai kesamaan dengan ketentuan di Inggris.
Pasal 1 butir 1 UU No. 15 tahun 2001 menyebutkan pengertian tentang merek adalah tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka-angka, susunan atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Bertitik tolak dari batasan tersebut, pada hakikatnya merek adalah suatu
tanda yang dilekatkan pada suatu produk, agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek
harus memiliki daya pembeda yang cukup. Yang dimaksud dengan mempunyai daya
pembeda yang cukup (capable of distinguishing) di sini adalah tanda yang dipakai (sign)
tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi
sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
175
merek itu harus dapat memberikan penentuan atau “individualisering” pada barang atau jasa
bersangkutan. (M. Djumhana dan Djubaedillah. 1997)
Salah satu kategori dari merek yang tidak dapat didaftarkan menurut UU merek
Indonesia adalah merek yang tidak memiliki daya pembeda. Suatu merek harus memiliki
daya pembeda karena pendaftaran merek berkaitan dengan pemberian monopoli atas nama
atau simbol (atau dalam bentuk lain). Para pejabat hukum di seluruh dunia enggan
memberikan hak eksklusif atas suatu merek kepada pelaku usaha. Keengganan ini
disebabkan karena pemberian hak eksklusif tadi akan menghalangi orang lain untuk
menggunakan merek tersebut.
Hak atas suatu merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. Merek diberikan kepada pemohon yang beriktikad baik yaitu pemohon
yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk
membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan
usahanya yang berakibat pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang,
mengecoh atau menyesatkan konsumen. Misalnya merek Dagang A yang sudah dikenal
masyarakat secara umum bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek Dagang A tersebut. Ini
berarti sudah terjadi iktikad dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur
kesengajaannya dalam meniru merek Dagang yang sudah dikenal masyarakat tersebut.
(Richard Burton Simatupang, 2007)
Di Indonesia merek sekarang ini diatur dalam undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagai Pengganti UndangUndang Nomor 14 Tahun
1997 Tentang Merek. Pasal 5 Undang-Undang Merek menegaskan bahwa apabila merek
yang hendak didaftarkan mengandung unsur-unsur tertentu tidak dapat didaftarkan oleh
kantor merek. Alasan ini dapat dipahami karena perlindungan merek melalui sistem
pendaftaran merek mempunyai tujuan tertentu, antara lain perlindungan pengusaha pemilik
merek, perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat melalui pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk persaingan curang, keadilan, ketertiban, dan kepastian
hukum. Apabila pendaftaran merek berlawanan dengan tujuan tersebut tentunya perlu
dicegah. Undang-Undang Merek memperkenalkan 3 (tiga) jenis merek, yaitu merek dagang
(trade mark), merek jasa (service mark), dan merek kombinasi. Merek dagang adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kombinasi adalah merek
yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama, yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Fungsi merek adalah sebagai berikut: (Etty Susilowati. 2010)
1. Sebagai tanda pengenal atau untuk membedakan hasil produksi seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain/
badan hukum lainnya.
2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan
menyebut mereknya. Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran
karena publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa
dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga
secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan
aset riil perusahaan tersebut.
3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya. Merek juga berguna untuk para konsumen. Merek
tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek
tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, para konsumen
mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitas yang lebih rendah.
176
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
Menurut UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek, hal-hal yang tidak dapat didaftarkan
sebagai merek adalah sebagai berikut:
1. Merek yang permohonannya diajukan atas dasar itikad tidak baik (Pasal 4).
2. Merek yang bertentangan dengan moral, perundang-undangan dan ketertiban umum
(pasal 5 (a)).
3. Merek yang tidak memiliki daya pembeda ( pasal 5 (b)).
4. Tanda-tanda yang telah menjadi milik umum (pasal 5 (c)), contohnya tengkorak atau
tulang bersilang sebagai tanda bahaya.
Permohonan merek juga harus ditolak jika:
1. Mempunyai persamaaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah
terdaftar milik orang lain dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa yang sama
( Pasal 6 (1.a)).
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik
pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ( Pasal 6 (1.b)).
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan indikasi geografis yang
sudah dikenal ( Pasal 6 (1.c)).
4. Nama dan foto dari orang terkenal, tanpa izin darinya (Pasal 6 (3.a)).
5. Lambang-lambang negara, bendera tanpa izin dari pemerintah (Pasal 6 (3.b)).
6. Tanda atau cap atau stempel resmi tanpa persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang
(Pasl 6 (3.c)).
Sistem pendaftaran merek di Indonesia adalah menganut sistem konstitutif yang berarti
hak merek ada karena pendaftarannya, sehingga hak merek tidak timbul secara otomatis.
Hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No. 15 tahun 2001 yaitu:
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri
merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Keuntungan dari sistem konstitutif ini lebih menjamin adanya kepastian hukum dalam
arti siapa yang mereknya terdaftar dalam Daftar Umum Merek, maka orang tersebut yang
berhak atas merek untuk barang sejenis. Demikian juga dalam hal pembuktian jika terjadi
sengketa, pemilik merek cukup menunjukkan Sertifikat Pendaftaran Merek yang dikeluarkan
Dirjen HKI. Sertiikat merek tersebut merupakan bukti orang tersebut adalah pemilik yang
berhak atas merek yang bersangkutan.
Penggunaan merek oleh pemilik merek yang sudah terdaftar berarti ia menggunakan
merek dengan hak penuh.Oleh karena itu mengingat pentingnya pendaftaran merek dalam
sistem konstitutif yang dianut Indonesia sekarang ini, maka diharapkan kepada pemakai
merek untuk segera mendaftarkan mereknya di Kantor Merek agar terhindar dari tuntutan
hukum baik pidana maupun tuntutan ganti rugi dari pihak lain.
Syarat-syarat permohonan merek, antara lain:
1. Pemohon mengisi formulir pendaftaran merek yang telah disediakan 4 lembar salah satu
diberi meterai.
2. Pemohon melampirkan surat kuasa, bila diberi materai.
3. Nama lengkap pemohon, kewarganegaraan dan alamat pemohon.
4. Nama lengkap dan alamat kuasa bila pemohon mengajukan melalui kuasa.
5. 20 lembar etiket merek (contoh merek yang diajukan).
6. Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya.
7. Bukti biaya permohonan merek (bukti setoran bank) sesuai besaran yang telah
ditentukan.
Kantor merek setelah mendapat permintaan pendaftaran merek, segera mengumumkan permintaan pendaftaran merek yang telah memenuhi persyaratan. Manfaat pengumuman ini, memungkinkan setiap orang atau badan hukum dapat mengajukan keberatan secara
tertulis kepada kantor merek atas permintaan pendaftaran merek yang bersangkutan.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
177
Pihak yang mengajukan permintaan pendaftaran merek berhak mengajukan sanggahan terhadap keberatan tersebut. Sanggahan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya 2
bulan sejak tanggal pemerimaan salinan keberatan yang disampaikan oleh kantor merek.
Kantor merek menggunakan keberatan, dan sanggahan sebagai bahan tambahan dalam
pemeriksaan terhadap permintaan pendaftaran merek.
Pemeriksaan substantif dilakukan oleh pemeriksa merek yang mempunyai keahlian
dan kualifikasi sebagai pemeriksa merek. Hasil pemeriksaan ini adalah bahwa permintaan
pendaftaran merek tersebut bisa disetujui atau ditolak.
Pemeriksaan substantif meliputi:
1. Pemeriksaan mengenai merek yang dimintakan pendaftaran. Apakah dapat didaftarkan
atau tidak (Pasal 5 UU No. 15 tahun 2001).
2. Pemeriksaan permintaan pendaftaran merek berdasarkan persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah didaftarkan terlebih dahulu
untuk barang dan jasa sejenis (Pasal 6 (1) sub a UU No.15 tahun 2001).
3. Pemeriksaan permintaan pendaftaran merek berdasarkan persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang
dan atau jasa sejenis (Pasal 6 (1) sub a UU No.15 tahun 2001).
4. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis
yang sudah dikenal (Pasal 6(1) sub c UU No.15 tahun 2001).
Sebuah merek terdaftar terlindungi (berarti orang lain tidak dapat memakainya) selama
jangka waktu 10 tahun dari tanggal penerimaan (Pasal 28). Jangka waktu ini dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun (Pasal 35 (1) UU No. 15 tahun
2001). Namun, pemilik harus mengajukan perpanjangan 12 bulan sebelum merek tersebut
berakhir (Pasal 35 (2) ). Merek akan diperpanjang masa berlakunya hanya jika pemilik masih
memakai merek tersebut dalam perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 36 huruf (a) dan
(b)).
Berdasarkan Pasal 40 (1) UU No 15 tahun 2001 menyatakan merek dapat dialihkan
dengan cara: (1) Pewarisan, (2) Wasiat, (3) Hibah, (4) Perjanjian atau (5) Sebab-sebab lain
yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengalihan ini harus dicatat dalam Daftar Umum Merek, diarsipkan oleh kantor HKI
dan diumumkan dalam berita resmi merek (Pasal 40 (2) dan (4) UU No. 15 tahun 2001).
Jika pemilik merek telah melisensikan mereknya kepada orang lain yang beriktikad
baik dan kemudian merek tersebut digugat karena mirip dengan merek pihak lain. Kemudian
merek tesebut dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya, penerima lisensi dari merek tersebut mempunyai hak untuk menggunakan merek
tersebut sampai berakhirnya masa lisensi (Pasal 48 (1), namun penerima lisensi harus
membayar royalti kepada pemilik merek yang baru (Pasal 48 (2)).
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 UU No. 15 tahun 2001, Direktorat Jenderal dapat
menghapus merek dari daftar umum merek, jika:
1. Merek tersebut tidak digunakan dalam perdagangan selama 3 tahun berturut-turut
2. Merek tersebut digunakan untuk barang atau jasa yang berbeda dari barang atau jasa
yang tercantum di dalam permohonan pendaftaran merek.
III. Pemboncengan Merek (Passsing off)
Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan
secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal
di masyarakat. Dari tindakan tersebut maka masyarakat dirugikan, baik itu produsen maupun
konsumennya, selain itu negarapun juga dirugikan.
Menurut M. Djumhana dan Djubaedillah (1997), dari setiap UU yang mengatur merek
ditetapkan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi untuk pelanggar hak merek
orang lain. Ketentuan yang mengaturnya dapat bersifat pidana, perdata, maupun
administrasi, bahkan bisa pula tindakan pencegahan lain yang bersifat non yuridis, seperti:
178
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
1. Persaingan tidak jujur (unfair competition). Persaingan tidak jujur dengan sendirinya
besifat melawan hukum, karena UU dan hukum memberikan perlindungan terhadap
pergaulan yang tertib dalam dunia usaha. Persaingan tidak jujur inipun dogolongkan
suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 382 bis KUHP. Perbuatan materiil diancam
hukuman penjara setinggi-tingginya 1 tahun atau denda, setinggi-tingginya Rp 900,00
ialah melakukan perbuatan yang tipu muslihat untuk mengelabuhi masyarakat atau
seorang tertentu. Pengelabuhan ini dipakai oleh si pembuat sebagai upaya untuk
memelihara atau menambah hasil perdagangan atau perusahaannya si pembuat atau
orang lain.
2. Penanganan melalui hukum perdata. Pemakaian merek tanpa hak, dapat digugat
berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Sebagai pihak
penggugat harus membuktikan bahwa ia karena perbuatan melanggar hukum tergugat,
menderita kerugian.
3. Penanganan melalui hukum pidana. Sanksi pidana terhadap tindakan yang melanggar
hak seseorang dibidang merek selain diatur khusus dalam ketentuan sanksi peraturan
perundang-undangan merek itu sendiri, juga terdapat dalam ketentuan KUH Pidana.
Salah satu ketentuan yang terdapat dalam KUH Pidana, yaitu ketentuan Pasal 393 ayat
(1) yang berbunyi: “Barangsiapa yang memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan terang
untuk dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan
atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada
bungkusnya dipakaikan secara palsu nama, firma atau mereka yang menjadi hak orang
lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan
ditambahkan nama firma yang khayal, ataupun bahwa pada barangnya sendiri atau pada
sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah”.
Pasal 393 ayat (2) KUH Pidana: “Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga,
dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal
demi pasal “, yaitu dalam tindak pidana ini tidak perlu bahwa merek, nama atau firma
yang dipasang persis serupa dengan merek, nama atau nama firma orang lain tersebut.
Dengan demikian meskipun ada perbedaannya kecil, tetap masih dapat dihukum.
Perbuatan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak indikasi geografis dan
hak indikasi asal, semuanya dikualifikasikan sebagai kejahatan dengan ancaman pidana
bersifat kumulatif.
4. Penanganan melalui Administrasi Negara. Bila terjadi pelanggaran terhadap hak
intelektual, negara bisa juga menggunakan kekuasaannya untuk melindungi pemilik hak
yang sah. Melalui kewenangan administrasi negara, yaitu di antaranya melalui Pabean,
Standar industri, kewenangan pengawasan badan penyiaran, kewenangan pengawasan
standar periklanan.
Pemboncengan merek dalam common law system dikenal dengan istilah passing off.
Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hukum diberikan terhadap suatu barang
/jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai reputasi. Adanya perlindungan
hukum ini mengakibatkan pesaing bisnis tidak berhak menggunakan merek, huruf-huruf dan
bentuk kemasan dalam produk yang digunakannya. Passing off mencegah pihak lain untuk
melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang/jasa tersebut milik orang lain; dan
2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan barang atau
jasa milik orang lain.
Elemen yang terdapat pada tindakan passing off sebagaimana yang dinyatakan dalam
elemen pertama adalah dengan adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu
apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga
usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum. Pada elemen passing off yang kedua, adanya
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
179
misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut,
maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat
dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih
produk yang diinginkan. Selanjutnya, elemen passing off yang ketiga yaitu terdapatnya
kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang
dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip
atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih
produk oleh masyarakat (public misleading).
Dalam sistem hukum common law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan
suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikarenakan tindakan ini
mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan
itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau
mendompleng merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dimana hal
tersebut dilandasi niat untuk mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya
tidak perlu memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi. Passing off
juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan menyebabkan kebingungan publik
(public confusion) ataupun misleading di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.
Terhadap adanya tindakan passing off ini, ketentuan dasar yang dilanggar yaitu Pasal
3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Merek. Selain ketentuan khusus mengenai merek tersebut,
terhadap tindakan passing off juga dapat dikenakan ketentuan pidana, karena tindakan
passing off ini sarat dengan unsur perbuatan curang. Hal ini sebagaimana yang terdapat
pada Pasal 382 bis Bab XXV KUH Pidana tentang Perbuatan curang yang berbunyi:
“Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan
atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat
menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain
karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah”.
IV. Kesimpulan
Tindakan hukum terhadap pemboncengan reputasi atau kasus “action for passing off ”
adalah sebagai berikut: penanganan melalui hukum perdata (Pasal 1365 KUH Perdata),
penanganan melalui hukum pidana (Pasal 382 bis Bab XXV KUH Pidana tentang
Perbuatan curang, Pasal 393 ayat (1) dan Pasal 393 ayat (2) KUH Pidana, serta
penanganan melalui administrasi negara melalui kewenangan administrasi negara, yaitu di
antaranya melalui Pabean, Standar industri, kewenangan pengawasan badan penyiaran,
kewenangan pengawasan standar periklanan.
Daftar Pustaka
Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik Perindustrian
(Industrial Property), Jakarta: Akademika Pressindo.
Etty Susilowati. 2010, Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual, Semarang: Undip.
Ferry Susanto Limbang. 2011, Perlindungan Hukum pada Merek dalam http://repository.usu.
ac.id/handle/123456789/4855, diunduh 17-02-2011.
Harsono Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik
Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: Akademika Pressindo.
Insan Budi Maulana. 1997, “Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Cipta, Bandung: Citra
Adhy Bakti.
---------- dan Ridwan Khairandy. 2000, Kapita Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Yayasan
Klinik HAKI.
Muhamad Djumhana dan Djubaedillah. 1997, “Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
180
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
Onti-Rug. 2008, Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pemboncengan Ketenaran Merek Asing
Terkenal Untuk Barang yang Tidak Sejenis (Kasus Merek Intel Corporation Lawan Intel
Jeans) dalam http://www.lawskripsi.com.published diunduh 28-01-2011.
Richard Burton Simatupang. 2007, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Soesilo, R. 1997, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Semarang: Aneka Ilmu.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1992, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita.
UU No. 15 tahun 2001 tentang Undang-undang Merek.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
181
Nur Hidayati
Staf pengajar pada Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang
Abstract: Protection of the brand through brand registration system has a
specific purpose, such as the protection of employers' brand owners, consumer
protection, protection of society through the prevention and control of all forms of
unfair competition, justice, public order and legal certainty. If the trademark
registration contrary to that goal as pemboncengan brand (passing off) certainly
needs to be prevented. The use of the brand by the brand owners who have
registered with the means he uses brand rights penuh. Therefore considering the
importance of trademark registration in the constitutive system adopted by
Indonesia today, it is expected to brand users to register its brand in the
trademark office in order to avoid lawsuits either and criminal claims for
compensation from another party.
Keywords: protection, registration, brand
I. Pendahuluan
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar adalah sebagai suatu jaminan hukum
terhadap merek yang telah terdaftar agar diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku
(Ferry Susanto Limbang, 2011). Masalah utama dibidang merek adalah banyaknya
pemalsuan merek tanpa hak terutama terhadap merek terkenal yang dilakukan dengan
sengaja oleh pihak lain dengan tujuan untuk mencari keuntungan.
Hukum pada dasarnya adalah aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat agar
tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum dipergunakan sebagai
patokan-patokan sebagaimana masyarakat harus bertingkah laku. Karena terjadi kemacetan
dalam lalu lintas kehidupan masyarakat, hukum inilah yang memperlancar interaksi sosial.
Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang
lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang
kemudian dilepaskan ditempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu memang
merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan hewan yang bersangkutan adalah milik
orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan dengan tanda atau merek digunakan inisial
dari nama pemilik sendiri sebagai tanda pembeda (Harsono Adisumarto. 1989)
Perlindungan hukum di Indonesia pada dekade ini ditandai dengan peningkatan
gerakan perlindungan hukum terhadap Hak Milik Intelektual. Pemerintah Indonesia telah
mengambil langkah-langkah guna meningkatkan perlindungan hukum dan pembinaan di
bidang hak milik intelektual, termasuk hak atas merek, hak cipta dan hak paten.
Menurut Etty Susilowati (2010), Eksisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangatlah
erat dengan dunia perdagangan baik domestik maupun global, untuk itu masyarakat dunia
harus berada pada global commitment untuk saling mengakui dan menghargai akan potensi
intelektual masing-masing negara. Semakin berkembangnya makna aspek-aspek bisnis
dalam karya-kaya intelektual telah mengindikasikan terdapatnya dinamika baru berupa
potensialnya hasil dari intelektualitas manusia dari rasa, karsa dan cipta. Hasil karya yang
berupa karya intelektual manusia yang memilki nilai ekonomis yang sangat tinggi,
hendaknya juga mendapatkan perlindungan yang sangat memadai. Hal ini ditunjang dengan
rasa keadilan untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya untuk kesejahteraan sosial dan
ekonomi sebagai penghargaan dari hasil intelektualnya.
Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual yang memiliki peran penting bagi
kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Pentingnya peraturan merek
tersebut, menurut Isan Budi Maulana (1997) Merek tersebut dianggap “roh” bagi suatu
produk barang atau jasa. Sedangkan Wiratno Dianggoro yang dikutip Isan Budi Maulana
174
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
(2000) mengatakan merek sebagai tanda pengenal dan tanda pembeda akan dapat
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) reputasi barang dan jasa hasil usahanya
sewaktu diperdagangkan. Karena disatu sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan
nilai hasil produksi khususnya mengenai kualitas pemakaianya. Dari sisi pedagang, merek
digunakan sebagai promosi barang-barang dagangannya untuk promosi guna mencari dan
meluaskan pasar. Dari sisi konsumen merek digunakan untuk pilihan-pilihan barang yang
akan dibeli.
Pasal 1 UU No. 15 tahun 2001 Merek adalah tanda yang dilekatkan pada suatu produk
berupa: gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang mempunyai pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Merek mempunyai peran yang begitu penting, khususnya lalu lintas
perdagangan barang dan jasa. Peran “merek” disamping sebagai tanda yang dikenal
konsumen juga dapat sebagai jaminan bagi kualitas barang/jasa yang menunjukkan asal
barang. Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dari produk
yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal-usul barang (indication of origin). Merek
dan sejenisnya dikembangkan oleh para pedagang sebelum adanya industrialisasi.
Kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan
pesatnya orang-orang yang melakukan peniruan. Terlebih pula setelah dunia perdagangan
semakin maju, serta alat transportasi yang semakin baik, juga dengan dilakukannya promosi
maka wilayah pemasaran barang pun menjadi lebih luas lagi. Keadaan seperti ini menambah
pentingnya merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang, dan kualitasnya, juga
menghindarkan peniruan. Pada gilirannya perluasan pasar seperti itu juga memerlukan
penyesuaian dalam sistem perlindungan hukum terhadap merek yang digunakan pada
produk yang diperdagangkan (M.Djumhana dan Djubaedillah. 1997). Reputasi atau itikad
baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah
perusahaan. Banyak pelaku usaha yang berjuang untuk mendapatkan reputasi mereka
dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para
konsumen. Melihat suksesnya, dan tingginya reputasi suatu perusahaan dengan produknya,
maka sering orang tergoda untuk menyamai meskipun dengan cara membonceng, meniru
dengan mengikuti, dan memirip-miripkan baik bentuk produk barang yang lebih tinggi
reputasinya, hal ini dilakukan agar mendapatkan keuntungan melalui jalan pintas dengan
segala cara dan dalih walaupun tindakan tersebut melanggar etika bisnis, norma kesusilaan
bahkan melangar hukum (Passing Off). Passing Off banyak terjadi di Indonesia terutama
membonceng reputasi atas merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri tetapi yang
membedakannya adalah bahwa di Indonesia perlindungan hukum atas merek terkenal
tersebut kurang memadai. (Onti Rug. 2008)
II. Pendaftaran Merek
Merek sebagai salah satu bagian dari hak atas kekayaan intelektual manusia yang
sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Merek adalah alat
untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh sesuatu perusahaan. Menurut
Prof. Molengraaf, “Merek yaitu dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk
menunjukkan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan
barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain.
Di Indonesia pengertian merek mempunyai kesamaan dengan ketentuan di Inggris.
Pasal 1 butir 1 UU No. 15 tahun 2001 menyebutkan pengertian tentang merek adalah tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka-angka, susunan atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Bertitik tolak dari batasan tersebut, pada hakikatnya merek adalah suatu
tanda yang dilekatkan pada suatu produk, agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek
harus memiliki daya pembeda yang cukup. Yang dimaksud dengan mempunyai daya
pembeda yang cukup (capable of distinguishing) di sini adalah tanda yang dipakai (sign)
tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi
sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
175
merek itu harus dapat memberikan penentuan atau “individualisering” pada barang atau jasa
bersangkutan. (M. Djumhana dan Djubaedillah. 1997)
Salah satu kategori dari merek yang tidak dapat didaftarkan menurut UU merek
Indonesia adalah merek yang tidak memiliki daya pembeda. Suatu merek harus memiliki
daya pembeda karena pendaftaran merek berkaitan dengan pemberian monopoli atas nama
atau simbol (atau dalam bentuk lain). Para pejabat hukum di seluruh dunia enggan
memberikan hak eksklusif atas suatu merek kepada pelaku usaha. Keengganan ini
disebabkan karena pemberian hak eksklusif tadi akan menghalangi orang lain untuk
menggunakan merek tersebut.
Hak atas suatu merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. Merek diberikan kepada pemohon yang beriktikad baik yaitu pemohon
yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk
membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan
usahanya yang berakibat pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang,
mengecoh atau menyesatkan konsumen. Misalnya merek Dagang A yang sudah dikenal
masyarakat secara umum bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek Dagang A tersebut. Ini
berarti sudah terjadi iktikad dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur
kesengajaannya dalam meniru merek Dagang yang sudah dikenal masyarakat tersebut.
(Richard Burton Simatupang, 2007)
Di Indonesia merek sekarang ini diatur dalam undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagai Pengganti UndangUndang Nomor 14 Tahun
1997 Tentang Merek. Pasal 5 Undang-Undang Merek menegaskan bahwa apabila merek
yang hendak didaftarkan mengandung unsur-unsur tertentu tidak dapat didaftarkan oleh
kantor merek. Alasan ini dapat dipahami karena perlindungan merek melalui sistem
pendaftaran merek mempunyai tujuan tertentu, antara lain perlindungan pengusaha pemilik
merek, perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat melalui pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk persaingan curang, keadilan, ketertiban, dan kepastian
hukum. Apabila pendaftaran merek berlawanan dengan tujuan tersebut tentunya perlu
dicegah. Undang-Undang Merek memperkenalkan 3 (tiga) jenis merek, yaitu merek dagang
(trade mark), merek jasa (service mark), dan merek kombinasi. Merek dagang adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kombinasi adalah merek
yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama, yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Fungsi merek adalah sebagai berikut: (Etty Susilowati. 2010)
1. Sebagai tanda pengenal atau untuk membedakan hasil produksi seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain/
badan hukum lainnya.
2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan
menyebut mereknya. Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran
karena publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa
dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga
secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan
aset riil perusahaan tersebut.
3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya. Merek juga berguna untuk para konsumen. Merek
tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek
tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, para konsumen
mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitas yang lebih rendah.
176
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
Menurut UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek, hal-hal yang tidak dapat didaftarkan
sebagai merek adalah sebagai berikut:
1. Merek yang permohonannya diajukan atas dasar itikad tidak baik (Pasal 4).
2. Merek yang bertentangan dengan moral, perundang-undangan dan ketertiban umum
(pasal 5 (a)).
3. Merek yang tidak memiliki daya pembeda ( pasal 5 (b)).
4. Tanda-tanda yang telah menjadi milik umum (pasal 5 (c)), contohnya tengkorak atau
tulang bersilang sebagai tanda bahaya.
Permohonan merek juga harus ditolak jika:
1. Mempunyai persamaaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah
terdaftar milik orang lain dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa yang sama
( Pasal 6 (1.a)).
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik
pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ( Pasal 6 (1.b)).
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan indikasi geografis yang
sudah dikenal ( Pasal 6 (1.c)).
4. Nama dan foto dari orang terkenal, tanpa izin darinya (Pasal 6 (3.a)).
5. Lambang-lambang negara, bendera tanpa izin dari pemerintah (Pasal 6 (3.b)).
6. Tanda atau cap atau stempel resmi tanpa persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang
(Pasl 6 (3.c)).
Sistem pendaftaran merek di Indonesia adalah menganut sistem konstitutif yang berarti
hak merek ada karena pendaftarannya, sehingga hak merek tidak timbul secara otomatis.
Hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No. 15 tahun 2001 yaitu:
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri
merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Keuntungan dari sistem konstitutif ini lebih menjamin adanya kepastian hukum dalam
arti siapa yang mereknya terdaftar dalam Daftar Umum Merek, maka orang tersebut yang
berhak atas merek untuk barang sejenis. Demikian juga dalam hal pembuktian jika terjadi
sengketa, pemilik merek cukup menunjukkan Sertifikat Pendaftaran Merek yang dikeluarkan
Dirjen HKI. Sertiikat merek tersebut merupakan bukti orang tersebut adalah pemilik yang
berhak atas merek yang bersangkutan.
Penggunaan merek oleh pemilik merek yang sudah terdaftar berarti ia menggunakan
merek dengan hak penuh.Oleh karena itu mengingat pentingnya pendaftaran merek dalam
sistem konstitutif yang dianut Indonesia sekarang ini, maka diharapkan kepada pemakai
merek untuk segera mendaftarkan mereknya di Kantor Merek agar terhindar dari tuntutan
hukum baik pidana maupun tuntutan ganti rugi dari pihak lain.
Syarat-syarat permohonan merek, antara lain:
1. Pemohon mengisi formulir pendaftaran merek yang telah disediakan 4 lembar salah satu
diberi meterai.
2. Pemohon melampirkan surat kuasa, bila diberi materai.
3. Nama lengkap pemohon, kewarganegaraan dan alamat pemohon.
4. Nama lengkap dan alamat kuasa bila pemohon mengajukan melalui kuasa.
5. 20 lembar etiket merek (contoh merek yang diajukan).
6. Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya.
7. Bukti biaya permohonan merek (bukti setoran bank) sesuai besaran yang telah
ditentukan.
Kantor merek setelah mendapat permintaan pendaftaran merek, segera mengumumkan permintaan pendaftaran merek yang telah memenuhi persyaratan. Manfaat pengumuman ini, memungkinkan setiap orang atau badan hukum dapat mengajukan keberatan secara
tertulis kepada kantor merek atas permintaan pendaftaran merek yang bersangkutan.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
177
Pihak yang mengajukan permintaan pendaftaran merek berhak mengajukan sanggahan terhadap keberatan tersebut. Sanggahan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya 2
bulan sejak tanggal pemerimaan salinan keberatan yang disampaikan oleh kantor merek.
Kantor merek menggunakan keberatan, dan sanggahan sebagai bahan tambahan dalam
pemeriksaan terhadap permintaan pendaftaran merek.
Pemeriksaan substantif dilakukan oleh pemeriksa merek yang mempunyai keahlian
dan kualifikasi sebagai pemeriksa merek. Hasil pemeriksaan ini adalah bahwa permintaan
pendaftaran merek tersebut bisa disetujui atau ditolak.
Pemeriksaan substantif meliputi:
1. Pemeriksaan mengenai merek yang dimintakan pendaftaran. Apakah dapat didaftarkan
atau tidak (Pasal 5 UU No. 15 tahun 2001).
2. Pemeriksaan permintaan pendaftaran merek berdasarkan persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah didaftarkan terlebih dahulu
untuk barang dan jasa sejenis (Pasal 6 (1) sub a UU No.15 tahun 2001).
3. Pemeriksaan permintaan pendaftaran merek berdasarkan persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang
dan atau jasa sejenis (Pasal 6 (1) sub a UU No.15 tahun 2001).
4. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis
yang sudah dikenal (Pasal 6(1) sub c UU No.15 tahun 2001).
Sebuah merek terdaftar terlindungi (berarti orang lain tidak dapat memakainya) selama
jangka waktu 10 tahun dari tanggal penerimaan (Pasal 28). Jangka waktu ini dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun (Pasal 35 (1) UU No. 15 tahun
2001). Namun, pemilik harus mengajukan perpanjangan 12 bulan sebelum merek tersebut
berakhir (Pasal 35 (2) ). Merek akan diperpanjang masa berlakunya hanya jika pemilik masih
memakai merek tersebut dalam perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 36 huruf (a) dan
(b)).
Berdasarkan Pasal 40 (1) UU No 15 tahun 2001 menyatakan merek dapat dialihkan
dengan cara: (1) Pewarisan, (2) Wasiat, (3) Hibah, (4) Perjanjian atau (5) Sebab-sebab lain
yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengalihan ini harus dicatat dalam Daftar Umum Merek, diarsipkan oleh kantor HKI
dan diumumkan dalam berita resmi merek (Pasal 40 (2) dan (4) UU No. 15 tahun 2001).
Jika pemilik merek telah melisensikan mereknya kepada orang lain yang beriktikad
baik dan kemudian merek tersebut digugat karena mirip dengan merek pihak lain. Kemudian
merek tesebut dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya, penerima lisensi dari merek tersebut mempunyai hak untuk menggunakan merek
tersebut sampai berakhirnya masa lisensi (Pasal 48 (1), namun penerima lisensi harus
membayar royalti kepada pemilik merek yang baru (Pasal 48 (2)).
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 UU No. 15 tahun 2001, Direktorat Jenderal dapat
menghapus merek dari daftar umum merek, jika:
1. Merek tersebut tidak digunakan dalam perdagangan selama 3 tahun berturut-turut
2. Merek tersebut digunakan untuk barang atau jasa yang berbeda dari barang atau jasa
yang tercantum di dalam permohonan pendaftaran merek.
III. Pemboncengan Merek (Passsing off)
Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan
secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal
di masyarakat. Dari tindakan tersebut maka masyarakat dirugikan, baik itu produsen maupun
konsumennya, selain itu negarapun juga dirugikan.
Menurut M. Djumhana dan Djubaedillah (1997), dari setiap UU yang mengatur merek
ditetapkan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi untuk pelanggar hak merek
orang lain. Ketentuan yang mengaturnya dapat bersifat pidana, perdata, maupun
administrasi, bahkan bisa pula tindakan pencegahan lain yang bersifat non yuridis, seperti:
178
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
1. Persaingan tidak jujur (unfair competition). Persaingan tidak jujur dengan sendirinya
besifat melawan hukum, karena UU dan hukum memberikan perlindungan terhadap
pergaulan yang tertib dalam dunia usaha. Persaingan tidak jujur inipun dogolongkan
suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 382 bis KUHP. Perbuatan materiil diancam
hukuman penjara setinggi-tingginya 1 tahun atau denda, setinggi-tingginya Rp 900,00
ialah melakukan perbuatan yang tipu muslihat untuk mengelabuhi masyarakat atau
seorang tertentu. Pengelabuhan ini dipakai oleh si pembuat sebagai upaya untuk
memelihara atau menambah hasil perdagangan atau perusahaannya si pembuat atau
orang lain.
2. Penanganan melalui hukum perdata. Pemakaian merek tanpa hak, dapat digugat
berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Sebagai pihak
penggugat harus membuktikan bahwa ia karena perbuatan melanggar hukum tergugat,
menderita kerugian.
3. Penanganan melalui hukum pidana. Sanksi pidana terhadap tindakan yang melanggar
hak seseorang dibidang merek selain diatur khusus dalam ketentuan sanksi peraturan
perundang-undangan merek itu sendiri, juga terdapat dalam ketentuan KUH Pidana.
Salah satu ketentuan yang terdapat dalam KUH Pidana, yaitu ketentuan Pasal 393 ayat
(1) yang berbunyi: “Barangsiapa yang memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan terang
untuk dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan
atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada
bungkusnya dipakaikan secara palsu nama, firma atau mereka yang menjadi hak orang
lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan
ditambahkan nama firma yang khayal, ataupun bahwa pada barangnya sendiri atau pada
sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah”.
Pasal 393 ayat (2) KUH Pidana: “Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga,
dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal
demi pasal “, yaitu dalam tindak pidana ini tidak perlu bahwa merek, nama atau firma
yang dipasang persis serupa dengan merek, nama atau nama firma orang lain tersebut.
Dengan demikian meskipun ada perbedaannya kecil, tetap masih dapat dihukum.
Perbuatan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak indikasi geografis dan
hak indikasi asal, semuanya dikualifikasikan sebagai kejahatan dengan ancaman pidana
bersifat kumulatif.
4. Penanganan melalui Administrasi Negara. Bila terjadi pelanggaran terhadap hak
intelektual, negara bisa juga menggunakan kekuasaannya untuk melindungi pemilik hak
yang sah. Melalui kewenangan administrasi negara, yaitu di antaranya melalui Pabean,
Standar industri, kewenangan pengawasan badan penyiaran, kewenangan pengawasan
standar periklanan.
Pemboncengan merek dalam common law system dikenal dengan istilah passing off.
Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hukum diberikan terhadap suatu barang
/jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai reputasi. Adanya perlindungan
hukum ini mengakibatkan pesaing bisnis tidak berhak menggunakan merek, huruf-huruf dan
bentuk kemasan dalam produk yang digunakannya. Passing off mencegah pihak lain untuk
melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang/jasa tersebut milik orang lain; dan
2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan barang atau
jasa milik orang lain.
Elemen yang terdapat pada tindakan passing off sebagaimana yang dinyatakan dalam
elemen pertama adalah dengan adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu
apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga
usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum. Pada elemen passing off yang kedua, adanya
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
179
misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut,
maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat
dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih
produk yang diinginkan. Selanjutnya, elemen passing off yang ketiga yaitu terdapatnya
kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang
dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip
atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih
produk oleh masyarakat (public misleading).
Dalam sistem hukum common law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan
suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikarenakan tindakan ini
mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan
itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau
mendompleng merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dimana hal
tersebut dilandasi niat untuk mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya
tidak perlu memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi. Passing off
juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan menyebabkan kebingungan publik
(public confusion) ataupun misleading di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.
Terhadap adanya tindakan passing off ini, ketentuan dasar yang dilanggar yaitu Pasal
3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Merek. Selain ketentuan khusus mengenai merek tersebut,
terhadap tindakan passing off juga dapat dikenakan ketentuan pidana, karena tindakan
passing off ini sarat dengan unsur perbuatan curang. Hal ini sebagaimana yang terdapat
pada Pasal 382 bis Bab XXV KUH Pidana tentang Perbuatan curang yang berbunyi:
“Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan
atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat
menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain
karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah”.
IV. Kesimpulan
Tindakan hukum terhadap pemboncengan reputasi atau kasus “action for passing off ”
adalah sebagai berikut: penanganan melalui hukum perdata (Pasal 1365 KUH Perdata),
penanganan melalui hukum pidana (Pasal 382 bis Bab XXV KUH Pidana tentang
Perbuatan curang, Pasal 393 ayat (1) dan Pasal 393 ayat (2) KUH Pidana, serta
penanganan melalui administrasi negara melalui kewenangan administrasi negara, yaitu di
antaranya melalui Pabean, Standar industri, kewenangan pengawasan badan penyiaran,
kewenangan pengawasan standar periklanan.
Daftar Pustaka
Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik Perindustrian
(Industrial Property), Jakarta: Akademika Pressindo.
Etty Susilowati. 2010, Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual, Semarang: Undip.
Ferry Susanto Limbang. 2011, Perlindungan Hukum pada Merek dalam http://repository.usu.
ac.id/handle/123456789/4855, diunduh 17-02-2011.
Harsono Adisumarto. 1989, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek Hak Milik
Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: Akademika Pressindo.
Insan Budi Maulana. 1997, “Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Cipta, Bandung: Citra
Adhy Bakti.
---------- dan Ridwan Khairandy. 2000, Kapita Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Yayasan
Klinik HAKI.
Muhamad Djumhana dan Djubaedillah. 1997, “Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
180
Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar (Nur Hidayati)
Onti-Rug. 2008, Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pemboncengan Ketenaran Merek Asing
Terkenal Untuk Barang yang Tidak Sejenis (Kasus Merek Intel Corporation Lawan Intel
Jeans) dalam http://www.lawskripsi.com.published diunduh 28-01-2011.
Richard Burton Simatupang. 2007, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Soesilo, R. 1997, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Semarang: Aneka Ilmu.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1992, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita.
UU No. 15 tahun 2001 tentang Undang-undang Merek.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011
181