KERUSAKAN HUTAN SERTA PERAN PEMERINTAH

KERUSAKAN HUTAN SERTA PERAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI KALIMANTAN

Makalah

Disusun Oleh :
Fornestor Mindaw
NIM : 101004244

JURUSAN ILMU SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA
YOGYAKARTA
2010

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

KERUSAKAN HUTAN SERTA PERAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI KALIMANTAN

Makalah


Disusun Oleh :
Fornestor Mindaw
NIM : 101004244

JURUSAN ILMU SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA
YOGYAKARTA
2010

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

KERUSAKAN HUTAN SERTA PERAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI KALIMANTAN

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Penulisan Ilmiah Di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Atma Jaya

Disusun Oleh :
Fornestor Mindaw
NIM : 101004244

JURUSAN ILMU SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA
YOGYAKARTA
2010

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karuniaNyalah makalah yang berjudul “Kerusakan Hutan Serta Peran Pemerintah Daerah
Terhadap Pengelolaan Kawasan Hutan di Kalimantan” ini dapat diselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, baik dalam bentuk materil maupun moril. Terutama bagi para penulis

dan para pemerhati lingkungan yang telah menyediakan referensi dan berbagai
data untuk menjadi bahan acuan dalam penulisan makalah ini. Sehingga
pembuatan karya tulis ini bisa berjalan dengan lancar dan pada akhirnya bisa
diselesaikan dengan baik.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini terutama untuk memenuhi syarat
mengikuti Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Penulisan Ilmiah di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atam Jaya Yogyakarta. Selian itu, tujuan
lainnya adalah untuk menambah pengetahuan penulis serta para pembaca
mengenai keadaan hutan di Kalimantan.
Mengingat keterbatasan dan keterampilan penulis, maka mohon maaf apabila
dalam penyusunan makalah ini terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan.
Untuk itu, demi hasil yang lebih baik lagi di masa yang akan datang, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak yang
membaca makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan mampu
memberikan kesadaran bagi para pembaca untuk lebih peduli terhadap lingkungan
terutama pada kawasan hutan.
Yogyakarta, 1 Desember 2010

Fornestor Mindaw


Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

ABSTRAKSI

Hubungan timbal balik antara hutan dan masyarakat di negara-negara
berkembang tergolong sangat tinggi. Indonesia merupakan salah satu contoh
negara berkembang. Ketergantungan masyarakatnya terhadap hutan jelas masih
tinggi, terutama masyarakat yang berada di luar pulau Jawa seperti di Kalimantan.
Namun luas hutan di Indonesia menyusut setiap tahunnya. Kementerian
Kehutanan mencatat kerusakan hutan selama 2009 mencapai 1,08 juta hektare per
tahun.
Melihat konteks hutan di Kalimantan, yang nota bene masyarkatnya masih
sangat tergantung akan hasil hutan dalam kehidupan sehari-hari, setiap tahunnya
luas hutan itu semakin berkurang. Tentunya deforestasi hutan yang ada, terjadi
secara tidak wajar. Hutan yang dulunya lebat berganti menjadi perkebunan kelapa
sawit dan ladang pertambangan. Menurut perhitungan Kemenhut, jumlah
deforestasi hutan Kalimantan dari tahun 2000 hingga 2005 sekitar 1.230.100
hektare, dengan rata-rata (tahun 2000 sampai 2005) 246.020 hektare per tahun.
Sumber lain seperti WWF menyebutkan, dari 73,7 persen hutan di Kalimantan

pada tahun 1985, pada tahun 2010 luas hutan berkurang menjadi 44,4 persen.
Apabila dikaitkan dengan bencana seperti banjir dan tanah longsor yang
marak terjadi di Kalimantan lima sampai sepuluh tahun terakhir, deforestasi
disinyalir menjadi penyebab utamanya. Adapun deforestasi tersebut terjadi,
sekitar 80 persen disebabkan ekspansi kelapa sawit oleh perusahaan besar, dan 20
persennya akibat pertambangan dan area transmigrasi. Ini merupakan hal yang
perlu untuk diteliti terkait kontrol dan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda)
terhadap pengelolaan kawasan hutan di Kalimantan.
Untuk mempermudah dalam memahami tentang isi dari kajian dalam tulisan
ini, kata kunci yang harus dipahami oleh pembaca di antaranya adalah hutan,
deforestasi, bencana, dan kebijakan.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
ABSTRAKSI ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................1
1.2 Permasalahan ................................................................................... 4
1.3 Tujuan .............................................................................................. 5
1.4 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 5
1.5 Sistematika Penulisan ...................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 7
2.1 Deskripsi Pulau Kalimantan ............................................................. 7
2.2 Penyebab Kerusakan Hutan di Kalimantan serta Hubungannya
dengan Bencana Alam yang Terjadi ............................................... 8
2.3 Kontrol dan Kebijakan Pemerintah Daerah terkait Kerusakan
Hutan di Kalimantan ........................................................................ 13
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................19
3.1 Simpulan .......................................................................................... 19
3.2 Saran .................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Di negara-negara berkembang, hubungan timbal balik antara hutan dan
masyarakat masih sangat kuat. Indonesia merupakan salah satu contoh negara
berkembang. Ketergantungan masyarakatnya terhadap hutan jelas masih tinggi,
terutama di luar pulau Jawa, contohnya di Kalimantan. Namun luas hutan di
Indonesia menyusut setiap tahunnya. Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan
hutan selama 2009 mencapai 1,08 juta hektare per tahun. Menurun dari data
kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar per
tahun.1 Dalam tulisan ini, hutan yang dimaksud sama artinya dengan kawasan
hutan. Kawasan hutan sendiri adalah wilayah tertentu yang berupa hutan, yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian
hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu
yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan
keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagi penggerak perekonomian lokal,
regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional
dan global.2

Kawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk
Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan Propinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil
pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dengan
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penunjukkan kawasan hutan mencakup
1

Informasi lebih lengkap bisa dilihat melaui situs BBC Indonesia (edisi Rabu, 9 Juni 2010).
http://www.bbsindonesia.com.
2
Kementrian Kehutanan Indonesia. http://www.dephut.go.id.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan
Kawasan Pelestarian Alam (KPA).3 Sehingga jelas bahwa kawasan hutan setiap
propinsi ditetapkan langsung oleh pusat (Kementrian Kehutanan), begitu juga
halnya dengan kawasan hutan yang berada di Kalimantan. Seharusnya, dalam
menentukan kebijakan dan mengontrol pengelolaan kawasan hutan, Kementrian
Kehutananlah yang harus bertanggung jawab kepada rakyat.

Jika yang dilihat adalah dalam konteks kawasan hutan yang ada di
Kalimantan, fakta menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan yang ada saat ini
tergolong sangat tinggi. Menurut data Kementerian Kehutanan, kerusakan hutan
akibat penebangan dan alih fungsi kawasan hutan (deforestasi) di Indonesia ratarata 1,2 juta hektare per tahun. Angka tersebut membawa hutan Indonesia dalam
keadaan yang sangat kritis. Padahal apabila dilihat secara cermat, khususnya di
Kalimantan, baik dalam memenuhi kebutuhan memasak, maupun kebutuhan akan
hasil kayu, pohon-pohon di hutan menjadi sangat penting. Kebutuhan memasak
ini dibagi menjadi kebutuhan langsung dan tidak langsung. Kebutuhan secara
langsung contohnya pada masyarakat Dayak di pedalaman. Hasil hutan diolah
secara alamiah untuk makanan sehari-hari. Sedangkan kebutuhan makanan tidak
langsung misalnya dengan mengolah karet alam untuk dijual dan kemudian hasil
penjualan digunakan dalam membeli kebutuhan hidup sehari-hari.4 Kemudian
kebutuhan terhadap hasil kayu. Masyarakat pedalaman di Kalimantan mengolah
hasil hutan seperti kayu ulin untuk dijadikan bahan utama pembuatan rumah
mereka. Selain di pedalaman, di daerah perkotaanpun masih banyak yang
menggunakan kayu sebagai kerangka utama pembuatan rumah.
Bahkan di sebagian besar negara-negara berkembang, sebenarnya setiap
keluarga menggunakan kayu untuk sebagian atau seluruh kegiatan memasak. Di
sebagaian besar negara bagian “dunia ketiga”, penggunaan kayu dan arang tetap
3


Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan DEPARTEMEN
KEHUTANAN 2002.
4
Karet alam merupakan komoditi utama bagi masyarakat di pedalaman Kalimantan sebelum
masuknya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan sampai sekarang. Pasaran karet alam
sendiri pernah mengalami penurunan harga sampai 50 % pada tahun 2008 akibat dampak krisis
ekonomi global.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

menonjol untuk bahan bakar memasak. Industri seperti pengeringan tembakau,
pengeringan teh dan kopi, industri bata dan genteng, semuanya menggunakan
bahan bakar kayu. Di kota-kota terdapat restoran, warung teh, toko roti, dan
perusahaan komersial lainnya yang memerlukan arang dan kayu bakar, dalam hal
ini semakin menambah permintaan jumlah kayu bakar. Di negara sangat miskin,
jumlah kayu bakar yang digunakan masyarakatnya mencapai lebih 90% dari total
konsumsi energi yang digunakan (Awang, 2004: 11).5
Selain kebutuhan akan hutan dalam hal memasak dan pengolahan hasil kayu
oleh masyarakat di Kalimantan, secara global, hutan juga memiliki peranan

penting dalam hal menjaga keseimbangan dan kesehatan lingkungan. Hutan sering
disebut sebagai paru-paru dunia. Jika kita analogikan dengan manusia, dapat
dibayangkan apabila paru-paru manusia tersebut menjadi rusak. Jelas paru-paru
yang rusak ini dapat menyebabkan manusia menjadi tidak sehat, dan begitu juga
halnya dengan hutan. Hutan yang semakin rusak berimplikasi terhadap
keseimbangan dan kesehatan lingkungan. Hutan merupakan salah satu komponen
kunci yang mengatur peredaran karbon dunia. Jumlah dan luas hutan menentukan
keadaan iklim di dunia. Hutan berkontribusi dalam hal keseimbangan alam dan
lingkungan serta berfungsi menahan air tanah supaya tidak terjadi banjir. Pada
saat sumberdaya pohon-pohonan semakin berkurang, persediaan produk-produk
utama dari pohon menjadi semakin langka, dan bentang alam akan lebih mudah
mengalami erosi dan degradasi.
Kembali melihat konteks hutan di Kalimantan, yang nota bene masyarkatnya
masih sangat tergantung akan hasil hutan dalam kehidupan sehari-hari, setiap
tahunnya luas hutan itu semakin berkurang. Tentunya deforestasi hutan yang ada,
terjadi secara tidak wajar. Hutan yang dulunya lebat berganti menjadi perkebunan
kelapa sawit dan ladang pertambangan. Menurut perhitungan Kemenhut, jumlah
deforestasi hutan Kalimantan dari tahun 2000 hingga 2005 sekitar 1.230.100
hektare, dengan rata-rata (tahun 2000 sampai 2005) 246.020 hektare per tahun.
5

Awang, S.A. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan lingkungan.
Yogyakarta: BIGRAF Publishing & Program Pustaka, hal. 11.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sumber lain seperti WWF menyebutkan, dari 73,7 persen hutan di Kalimantan
pada tahun 1985, pada tahun 2010 luas hutan berkurang menjadi 44,4 persen.
Apabila dikaitkan dengan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang
marak terjadi di Kalimantan lima sampai sepuluh tahun terakhir, deforestasi
disinyalir menjadi penyebab utama bencana yang ada. Adapun deforestasi tersebut
terjadi, menurut sebuah lembaga peduli lingkungan, Save Our Borneo (SOB),
sekitar 80 persen disebabkan ekspansi kelapa sawit oleh perusahaan besar, dan 20
persennya akibat pertambangan dan area transmigrasi. Ini merupakan hal yang
perlu untuk diteliti terkait kontrol dan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda)
terhadap pengelolaan kawasan hutan di Kalimantan.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai KERUSAKAN
HUTAN

SERTA

PERAN

PEMERINTAH

DAERAH

TERHADAP

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI KALIMANTAN. Perlu untuk
dibatasi bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah tersebut hanya dalam
lingkup empat propinsi yang ada di Kalimantan. Selain itu, yang menjadi sampel
dari penelitian ini hanya sebatas pada empat tingkat propinsi dan beberapa
kabupaten yang ada di Kalimantan, dan tidak mencakup kelseluruhuannya, tetapi
dapat menjadi tolak ukur atau acuan penyebab kerusakan hutan di Kalimantan.

1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut :
a.

Apa yang menyebabkan deforestasi hutan di Kalimantan tergolong sangat
tinggi sehingga berakibat pada maraknya bencana alam yang terjadi ?

b.

Bagaimana peran, dalam hal ini, kontrol dan kebijakan Pemerintah Daerah
terkait dengan kerusakan hutan di Kalimantan ?

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

1.3 Tujuan
a. Untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah
Penulisan Ilmiah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
b. Memberi informasi kepada pembaca tentang keadaan hutan di Kalimantan
serta kaitannya dengan bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir.
c. Untuk mengetahui peran Pemerintah Daerah dalam mengontrol berbagai
bentuk pengelolaan hutan Kalimantan.

1.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikemukakan dalam karya tulis ini diperoleh melalui berbagai
macam metode. Pertama, dengan membaca buku-buku sumber yang ada
hubungannya dengan kerusakan hutan. Selain buku, ada juga majalah, koran , dan
berbagai informasi yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Daerah yang ada
di Kalimantan. Kedua, data juga diperoleh melalui observasi yang dilakukan oleh
penulis selama berada di Kalimantan. Dalam pengumpulan data ini juga tidak
terlepas dari sumber-sumber dari di internet yang bisa untuk dipertanggung
jawabkan.

1.5 Sistematika Penulisan
Perlu untuk diketahui bahwa karya tulis ini disusun dengan urutan sebagai
berikut.
Bab I Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penulisan, metode pengumpilan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan, menjelaskan dan memaparkan tentang deskripsi Pulau
Kalimantan pada umumnya, membahas tentang penyebab terjadinya
kerusakan hutan di Kalimantan serta hubungannya dengan bencana alam yang
sering terjadi, dan terakhir membahas mengenai kontrol dan kebijakan

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

pemerintah daerah terkait kerusakan hutan di Kalimantan serta solusi yang
ditawarkan.
Bab III Simpulan dan Saran, memuat tentang kesimpulan dari pokok masalah
yang dibahas dalam karya tulis ini serta saran dari penulis terkait pengelolaan
kawasan hutan di Kalimantan.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Pulau Kalimantan
Kalimantan merupakan bagian wilayah Indonesia yang ada di Pulau Borneo
dan meliputi 73 persen massa daratan pulau tersebut. Secara geografis pulau
Kalimantan terletak di antara 40 24` LU - 40 10` LS dan di antara 1080 30` BT 1190 00` BT dengan luas wilayah sekitar 535.834 km2. Berbatasan langsung
dengan negara Malaysia (Sabah dan Serawak) di sebelah utara, yang panjang
perbatasannya mencapai 3000 km. Pulau Kalimantan yang mencakup daerah
pegunungan atau perbukitan sekitar 39,69 %, daratan 35,08 %, sisanya dataran
pantai dan dataran aluvial masing-masing 11,73 % dan 12,47 %, dan lain–lain
sekitar 0,93 %. Pada umumnya topografi bagian tengah dan utara adalah daerah
pegunungan tinggi dengan lereng yang terjal dan merupakan kawasan hutan dan
hutan lindung yang perlu untuk dipertahankan agar dapat berperan sebagai
cadangan air di masa yang akan datang.
Pegunungan utama sebagai kesatuan ekologis di Kalimantan adalah
Pegunungan Muller, Schwaner, Pegunungan Iban dan Kapuas Hulu serta di
bagian selatannya terdapat Pegunungan Meratus. Sejumlah sungai besar
merupakan urat nadi transportasi utama yang menjalarkan kegiatan perdagangan
hasil sumber daya alam dan olahan antar wilayah dan eksport-import. Sungaisungai di Kalimantan ini cukup panjang dan yang terpanjang adalah sungai
Kapuas (1.143 km) di Kalbar dan dapat menjelajah 65 % wilayah Kalimantan
Barat.
Kalimantan merupakan salah satu daerah yang memiliki hutan alam terbesar.
Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's Forests, FAO (Food
and Agricultural Organization) menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari
sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Hutan Kalimantan
Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

termasuk dalam golongan “hutan hujan tropis”, dan pada umumnya menghasilkan
kayu industri, rotan, damar, dan tengkawang. Selain itu pada hutan karet alam,
yang dapat dihasilkan tentu saja karet alam itu sendiri, yang menjadi mata
pencaharian utama masyarakat pedalaman Kalimantan.
Kalimantan terbagi menjadi empat propinsi, yaitu Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, luas seluruhnya
mencapai 549.032 km2. Luasan ini merupakan 28 % dari seluruh daratan
Indonesia. Kementerian Kehutanan menyebutkan, saat ini terdapat 500 kabupaten
di Kalimantan, meningkat lebih dari 100 % dari sebelumnya yang hanya 200
kabupaten.

2.2 Penyebab Kerusakan Hutan di Kalimantan serta Hubungannya dengan
Bencana Alam yang Terjadi
Persaingan antar negara untuk melakukan investasi produktif dalam
perekonomian global tentu saja ditandai oleh perbedaan antara struktural negara
maju dan negara berkembang. Kita telah mengetahui bahwa alat ukur investasi
muthakir seperti Gross Domestic Product (GDP) tidak memberikan pengukuran
terhadap nilai investasi tersebut. Namun, tertipu oleh pertumbuhan GDP dan
didorong oleh kebutuhan sosial-ekonomi yang lebih besar, negara-negara
berkembang seperti Indonesia terbukti lebih bersedia menerima investasi yang
menimbulkan dampak negatif seperti eksploitasi kawasaan hutan alam menjadi
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Akibatnya, hutan yang dieksploitasi
semakin mengalami tingkat deforestasi yang tinggi dan tidak terkendali serta tidak
memiliki efektifiktas bagi masyarakat.6

6

Low, N. dan Brenden Gleeson. 2009. Politik Hijau: Kritik Terhadap Politik Konvensional Menuju
politik Berwawasan Lingkungan dan Keadilan. Terjemahan oleh Daryanto. Bandung:
Penerbit nusa Media

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hutan merupakan hal yang esensial
bagi kehidupan manusia. Hutan dapat menyediakan barang dan jasa sebagai
material dasar untuk pembangunan. Pada saat yang sama, hutan memiliki
kekayaan hewan yang sering diburu oleh manusia, dan hutan juga dijadikan
sebagai wilayah tempat pengembangan areal pertanian. Saat ini, banyak negara di
“dunia ketiga” telah membuktikan bahwa penekanan pada kegiatan industri
kehutanan tidak menghasilkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pedesaan
akan hasil hutan. Penyebabnya karena sebagian besar program kehutanan
dikembangkan untuk kepentingan pemerintah tanpa melakukan konsultasi dengan
penduduk dan pada umumnya mengabaikan peran serta masyarakat dalam
perlindungan sumber daya hutan (Rao, 1984).7 Salah satu yang menjadi korban
dari program tersebut adalah hutan di Kalimantan.
Sebagai daerah yang memiliki kawasan perbatasan dengan negara asing,
maka Kalimantan mempunyai masalah yang terkait dengan ”illegal trading” dan
”smugling”, apalagi penduduk kawasan negara tetangga jauh lebih sejahtera dan
pembangunannya maju dengan pesat. Selain itu, pesoalan ”illegal logging” yang
terjadi hingga akhir tahun 2008 sangat merusak potensi sumber daya alam (hutan
tropis). Di samping masalah dalam konteks ”illegal” tersebut, pulau Kalimantan
juga mempunyai potensi lain untuk ikut dalam sistem kerangka kerja sama
ekonomi regional seperti BIMP-EAGA (Brunai, Indonesia, Malaysia, Philipina –
Eastern Asian Growth Area) dan dilalui jalur perdagangan laut internasional
ALKI-1 dan ALKI-2 (http://saveourborneo.com, dikases 1 November 2010)8
Berdasarkan prediksi setiap sepuluh tahunan, dari luas areal pulau
Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi)
minimal telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau sekitar 2,16 persen.
Kerusakan hutan yang terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah tercatat sebagai
yang terluas dibanding tiga propinsi lain dari sisi luasan kerusakan, yaitu
7

Awang, S.A. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan lingkungan.
Yogyakarta: BIGRAF Publishing & Program Pustaka.
8
Berdasarkan data yang telah diteliti oleh forum pemerhati lingkungan hidup (Save Our Borneo).

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

mencapai 256 ribu hektare per tahun. Kalimantan Tengah, dari 10 juta hektare
luas hutan yang ada, laju kerusakannya mencapai sekitar 2,2 persen per tahun.
Sementara Propinsi Kalimantan Selatan, memiliki laju kerusakan yang paling
cepat dibanding propinsi lain, meski luasannya relatif kecil. Tercatat seluas 66,3
ribu hektare hutan musnah per tahun dari luas total hutan Kalsel yang mencapai 3
juta hektare. Kondisi yang hampir serupa terjadi di tiga propinsi lain, walaupun
dengan luas dan laju yang berbeda. Penyebab

utamanya karena pembukaan

pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit (Save Our Borneo: 2008).
Kalimantan Barat misalnya, dari luas wilayah hutan yang mencapai 12,8 juta
hektare, deforestasinya mencapai 166 ribu hektare per tahun atau sekitar 1,9
persen. Kegiatan eksploitasi hutan secara berlebihan ini, selain mengakibatkan
hutan menjadi rusak parah, juga berdampak pada terjadinya bencana banjir dan
tanah longsor.
Walaupun di Kalimantan terbebas dari bahaya gunung berapi, patahan/sesar
dan gempa bumi, namun masih mungkin terjadi beberapa potensi bahaya
lingkungan. Berdasarkan kajian Banter (1993), kemungkinan yang sering terjadi
adalah erosi pada lereng barat laut pegunungan Schwaner dan Gunung Benturan,
serta di beberapa tempat lainnya di bagian tengan dan hulu sungai besar di
Kalimantan. Erosi sabagai akibat aberasi pantai terjadi di pantai barat, selatan dan
timur. Bahaya lingkungan lainnya adalah kebakaran hutan pada musim kemarau
sebagai akibat panas alam yang membakar batu bara yang berada di bawah hutan
tropis. Beberapa tahun terakhir, bahkan hampir seluruh propinsi dan kabupaten di
Kalimantan mengalami banjir. Di kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar) misalnya,
hampir 90 % wilayahnya dilanda banjir (Borneo Tribune, 2010). Padahal, sekitar
delapan tahun yang lalu tidak pernah ada banjir sebesar itu, walaupun sebenarnya
tanda-tanda akan adanya bencana banjir besar sudah mulai terasa.
Lahan yang luas di Kalimantan telah dieksploitasi secara buruk. Operasi
pembalakan yang dikelola dengan buruk serta rencana-rencana pertanian yang
gagal, telah meninggalkan bekas-bekasnya pada bentang lahan di Kalimantan.
Padang pasir putih yang luas dan kerangas mengalami lateralisasi sehingga
Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

menjadi merah dan ditinggalkan. Padahal, semula lahan-lahan tersebut ditumbuhi
hutan yang sangat lebat, dan akibat dari eksploitasi tersebut, setiap tahunnya
padang alang-alang menjadi kering dan terbakar. Akibatnya hutan tidak mendapat
kesempatan untuk melakukan regeneresi, dan padang rumput terus bertambah
luas. Tidak dapat dipungkiri, kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan,
penyebab utamanya adalah perluasan kegiatan pertanian pangan, perluasan
kegiatan peternakan, meningkatnya permintaan atau tuntutan untuk hasil-hasil
hutan komersial dan non komersial, perluasan areal perkebunan swasta dan
negara, dan pembukaan wilayah untuk transmigrasi. Namun menurut berbagai
organisasi pemerhati lingkungan hidup, deforestasi lebih disebabkan oleh
pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan illegal
logging (pembalakan hutan secara liar).
Selain itu, banyaknya perkebunan kelapa sawit yang menggunakan Amdal
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang “kadaluarsa”, salah satu
contohnya yang ada di Kalteng, semakin memperburuk kondisi hutan Kalimantan.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng, Moses Nicodemus,
menyampaikan bahwa sampai saat ini masih banyak perusahaan perkebunan
kelapa sawit yang beroperasi di Kalteng dan tidak mengurus analisis mengenai
dampak lingkungan, padahal Amdal merupakan syarat khusus untuk operasi
sebuah perusahaan perkebunan. Menurut data resmi Pemprop Kalteng, terdapat
sekitar 314 unit perkebunan besar swasta (PBS) sawit yang menguasai areal
seluas 3,854 juta hektar. Dari jumlah itu, baru 117 unit yang telah melakukan
kegiatan operasional dengan luas lahan tanam sekitar 1,455 juta hektar
(Banjarmasin Post, 1 September 2010).
Contoh yang serupa misalnya di Kalbar, organisasi Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Kalbar memprediksi perampasan tanah oleh pemilik perusahaan
perkebunan berskala besar penyebab kerusakan lingkungan hidup di Kalbar.
Menurut catatan Walhi Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632
bencana terkait ekologi. Sementara menurut data Sawit Watch, sampai pada tahun

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, dan sebanyak 200 konflik
digolongkan sebagai konflik perkebunan monokultur.
Dapat dilihat dari meningkatnya kerusakan hutan di Kalimantan, penyebab
utama yang selalu menjadi sasaran dan tentunya beralasan yang kuat, pertama
yaitu pembukaan areal perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kedua, akibat
dari pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang
baru, menarik masyarakat luar Kalimantan untuk pindah dan berdomisili di daerah
tersebut. Tentu hal ini berkaitan dengan transformasi kawasan hutan untuk
dijadikan wilayah pemukiman para pendatang. Sehingga transmigrasi juga
merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang ada di Kalimantan selain
karena pembukaan areal perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ada baiknya produksi karet alam harus
diutamakan, karena merupakan salah satu komoditi ekspor utama yang mampu
memberikan kontribusi untuk meningkatkan devisa negara.9 Selain itu,
perkebunan karet juga tidak merusak struktur tanah, dan pohonnya juga
merupakan salah satu unsur yang membentuk wilayah yang disebut hutan. Perlu
juga untuk diketahui bahwa akar-akar dari pohon karet juga berfungsi untuk
menyerap air tanah dan bisa untuk menahan dan mencegah terjadinya banjir.
Dalam hal ini, pemerintah harus mau berkoordinasi dan belajar langsung dari
masyarakat pedalaman di Kalimantan untuk mengelola hutan atau perkebunan
karet alam. Sepertinya, pengembangan perkebunan karet alamlah satu-satunya
solusi bagi pencegahan kerusakan hutan dan bencana banjir di Kalimantan (bila
perlu di wilayah yang lain). Alasannya, dalam penanaman karet alam, kita tidak
perlu menghancurkan kawasan hutan alami, tetapi tunas karet alam langsung
ditanam di areal hutan alami dan penanaman itu tidak akan mempengaruhi

9

Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2,2 juta ton. Meskipun
demikian, menurut perkiraan IRSG, pasokan karet alam akan terjadi kekurangan pada dua dekade
mendatang. Hal ini yang menjadi kegalauan besar banyak pihak (konsumen) terutama pabrikpabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear, dan Michellin. Oleh sebab itu pada 2004 IRSG
membentuk REP untuk melakukan studi tentang permintaan-penawaran karet hingga 2035.
Kalimantan Review, hal. 18.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

kesuburan tanah. Selain itu, karet alam akan bisa langsung menjadi kontras dan
padu dengan hutan alami sebelumnya.10

2.3 Kontrol dan Kebijakan Pemerintah Daerah terkait Kerusakan Hutan di
Kalimantan
Kalangan ekologi politik berpendapat bahwa masyarakat maju telah
membawa bumi menuju kehancuran. Alasannya adalah karena angka produksi
dan konsumsi masyarakat maju jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat di
negara-negara berkembang.11 Selain itu, angka penggunaan sumber daya dan
penyebab pencemaran lingkungan juga tinggi. Ditambah lagi, negara-negara
berkembang sangat tertarik dengan gaya hidup negara maju, dengan
berpandangan bahwa tingkat produksi dan konsumsi yang tinggi menjadi tolak
ukur dari gaya hidup negara maju tersebut. Kritik ekologisme terhadap
masyarakat industri modern dapat diringkas dalam klaim bahwa kecenderungan
industrialisme untuk memperluas produksi dan konsumsi tidak sejalan dengan
sifat terbatas planet ini. Cepat atau lambat, batas-batas perluasan itu akan tercapai,
pada saat sumber daya habis, atau kemampuan planet ini untuk menyerap limbah
beracun juga habis, lingkungan dirampas dan kualitas hidup manusia memburuk.12
Salah satu unsur penting dalam ekologi adalah hutan, yang memiliki fungsi
serta manfaat besar dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan seimbang.

10

Pada masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, ladang berpindah bertujuan untuk
menambah perkebunan karet alam. Setelah areal hutan ditebang dan dibakar untuk dijadikan
ladang padi tradisional, bekas ladang tersebut ditanami dengan karet alam dan berbagai pohon
buah-buahan. Maka sebenarnya selain untuk memberi kesempatan kepada hutan untuk
bereproduksi, orang Dayak melakukan investasi yang sehat. Di samping itu, apabila hal yang
serupa diterapkan di seluruh masyarakat di Indonesia, kegiatan sperti “Gerak Tanam Seribu
Pohon” tidak perlu untuk dilakukan, karena hanya menghabis-habiskan dana dan hasilnya belum
tentu maksimal.
11
Sebagai contoh, menurut Ted Trainer, tiap warga AS menggunakan energi 617 kali lipat per
tahun dibandingkan warga Ethiopia.
12
Materi didapat melalui kuliah Pengantar Ilmu Politik di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu
tentang Ideologi Politik – Ekologisme.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Lingkungan yang sehat dan seimbang dapat tercipta jika bencana alam seperti
halnya erosi dan banjir tidak sering terjadi dalam suatu wilayah. Di Kalimantan
yang sebagian besar wilayahnya meliputi hutan alam, selama dua tahun
belakangan (sejak 2008) bencana alam seperti banjir sudah mencapai tingkat yang
sangat parah. Walaupun hutan-hutan yang ada, seperti yang telah diketahui,13
banyak mengalami deforestasi. Hutan-hutan yang ada di Kalimantan tentu saja
dikolola dan berada di bawah tanggung jawab Kementerian Kehutanan
(Kemenhut). Namun yang menjadi persoalan, tumpang tindih kebijakan tata ruang
dan kawasan hutan serta tidak patuhnya daerah terhadap peraturan pusat
mengakibatkan sulitnya pengendalian kerusakan hutan di lapangan. Sehingga
analisisnya bahwa perintah daerah memegang peranan penting dalam mengontrol
dan menentukan kebijakan terkait pengelolaan hutannya masing-masing.14
Sebagai bahan pertimbangan dan dasar dari pemikiran yang dipaparkan, misalnya
tentang hutan kemasyarakatan tahun 1995 sampai 2004.
Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) sendiri dimulai pada tahun 1995
oleh Departemen Kehutanan (sekarang Kementrian Kehutanan). Program ini
muncul karena banyak desakan dari publik agar institusi kehutanan lebih
meningkatkan kepeduliannya kepada masyrakat miskin di sekitar hutan. Gagasan
HKm juga muncul tidak hanya karena tuntutan publik, tetapi juga karena program
Bina Desa Hutan oleh HPH tidak menunjukkan gejala membaik dan diterima oleh
masyarakat. Program HKm masih terus berlanjut di beberapa tempat di Indonesia
sampai sekarang, lebih terfokus kepada kegiatan rehabilitasi hutan dan kemudian
mengatur pembagian manfaat antar masyarakat dengan pemerintah. Perangkat
kelembagaan belum dikembangkan sehingga muncul ketidakpastian manfaat bagi
masyrakat, terutama dari aspek perizinan HKm yang banyak mengalami
hambatan. Era otonomi daerah seharusnya mempermudah izin HKm, tetapi
13

Ibid. 8
Pemerintah tingkat II (Kabupaten) jauh lebih memegang peranan penting dalam mengontrol
pengelolaan hutan dalam suatu daerah. Seperti kasus yang ada di Kalimantan Barat tahun 2009,
dimana Gubernurnya kesulitan dalam menginterpensi kebijakan Bupati di salah satu kabupaten
yang dinilai banyak kalangan telah menyebabkan deforestasi dan alih fungsi hutan alam menjadi
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta pembalakan hutan secara liar.

14

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

ternyata izin tersebut sangat sulit untuk diwujudkan. Pada periode ini kebijakan
dari Departemen Kehutanan selalu berganti, dan hal ini membuat instansi
kehutanan di daerah kebingungan, gamang, apalagi masyrakat lebih bingung lagi.
Setelah reformasi 1998, HKm dapat dilaksanakan di hutan alam yang masih
utuh kayunya melalui lembaga koperasi (menggunakan SK Mentri No.677 /
1998). Oleh karena itu, sejak tahun 2000-2002 banyak bermunculan HKm dengan
fokus kegiatan penebangan kayu oleh koperasi yang luasnya 100 sampai 1.000
hektare. Tetapi sayangnya kegiatan penebangan kayu oleh koperasi ini, yang
hampir seluruhnya berada di Kalimantan mengalami kegagalan karena tidak
adanya perencanaan, bahkan menjadi ajang kolusi dan korupsi baru. Langkah ini
blunder bagi Departemen Kehutanan karena kerusakan hutan semakin parah di
banyak wilayah kabupaten di Kalimantan. Sampai saat ini belum ada cerita sukses
dari pelaksanaan HKm tersebut dengan berbasis bisnis penebangan kayu.
Dari program HKm tersebut, dapat dilihat bahwa tujuan dari Departemen
Kehutanan yang berlaku sebagai pemerintah pusat sendiri sangat positif. Namun
kenyataannya, peran pemerintah daerah di lapangan jauh lebih besar, dan
keseriusan serta kontrol pemerintah daerah sendiri boleh dikatakan tidak ada,
maka korupsi dan kolusi menjadi tujuan yang tersembunyi, dan tentunya banyak
melibatkan pejabat-pejabat di daerah. Dikatakan tidak ada sama sekali dalam hal
pengontrolan pengelolaan kawasan hutan, karena secara nyata, para pejabat
bahkan kepala daerah tingkat II (Bupati) di Kalimantan sebelum tahun 2010 juga
berperan sebagai pelaku bisnis perkebunan kelapa sawit, pertambangan serta
campur tangan dalam pembalakan hutan. Secara logika, kita dapat berargumen
bahwa sebenarnya dalam hal pengelolaan hutan di Kalimantan, orang yang
membalak hutan secara liar diawasi oleh pembalak hutan itu sendiri. Sehingga
peraturan yang turun dari pusat hanya sebatas abstraksi dan tidak diaplikasikan di
lapangan. Sehingga jelas, kontrol pemerintah daerah itu sendiri tidak pernah ada
sama sekali.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kemudian dalam hal kebijakan yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas
lingkungan serta kelestarian hutan, lagi-lagi kepala daerah memegang hak
prerogatif. Dapat dibayangkan jika yang bertindak sebagai pembalak hutan di
Kalimantan adalah para pejabat daerah, tentunya kebijakan pemerintah daerahpun
akan memberikan keuntungan bagi para pejabat yang “bermain”. Artinya bahwa
kebijakan dari pemerintah di atasnya (propinsi ataupun pusat), tidak mungkin
untuk direspons. Karena permasalahan hutan yang ada begitu kompleks, maka
menimbulkan kesulitan bagi pemerintah pusat untuk menanggulangi kerusakan
hutan di Kalimantan maupun di daerah yang lain. Ditambah lagi tidak adanya
kesadaran dari pemerintah daerah di tingkat Kabupaten untuk mencoba
memahami betapa pentingnya peranan hutan bagi kehidupan di Bumi. Semakin
sulitnya pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenhut, untuk mengatasi masalah
yang berkaitan dengan hutan di Kalimantan, terlihat dari peran langsung
pemerintah daerah kabupaten di lapangan untuk menentukan keputusan “terakhir”
terkait pengelolaan kawasan hutan di wilayak kabupatennya masing-masing.
Dengan demikian, harapan penulis, selain dalam hal menetapkan kawasan
hutan di setiap daerah di Indonesia, Kementrian Kehutanan (pemerintah pusat)
juga berperan aktif dalam mengontrol pengelolaan kawasan hutan di daera-daerah,
terutama di Kalimantan. Tentunya kontrol dari pemerintah pusat diharapkan
mampu untuk mengatasi masalah hutan yang ada di Kalimantan. Selain itu, jika
melihat mengenai kebijakan di Indonesia yang diturunkan dari pusat, dan tidak
ada realisasinya di tingkat daerah (khususnya di tingkat kabupaten), sebaiknya
alur kebijakan yang ada diubah. Kebijakan yang diturunkan langsung dari pusat
kepada pemerintah propinsi terkait pengelolaan kawasan hutan, langsung
diturunkan kepada rakyat tanpa melalui pemerintah kabupaten, dengan demikian
dalam hal pengawasan akan lebih mudah. Apabila ke depannya ada kelalaian
dalam hal kontrol dari pemerintah propinsi maka akan mudah untuk dideteksi dan
dimintai pertanggungjawaban. Di samping itu, perlu dibuat dan diatur dalam
undang-undang mengenai tanggung jawab pengelolaan hutan oleh pemerintah
(propinsi) dan oleh rakyat secara tegas dan tidak tumpang tindih. Dalam undang-

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

undang tersebut perlu dimuat mengenai sanksi yang akan ditanggung jika terjadi
pelanggaran oleh pemerintah dan rakyat. Bila perlu, penyalahgunaan ataupun
ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola dan mengontrol kawasan hutan,
sanksi atau hukumannya disetarakan dengan hukuman akan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM).
Di samping itu, karena tujuan utama dari pengubahan pola penurunan
kebijakan terkait pengelolaan hutan adalah demi kesejahteraan rakyat, maka
tujuan utamanya adalah rakyat mengelola sendiri kawasan hutan di bawah kontrol
pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Dengan mengadopsi pola dan siklus
ladang berpindah yang diterapkan oleh masyarakat pedalaman di Kalimantan,
mustahil harapan akan lestarinya kawasan hutan di Indonesia akan tercapai.
Namun tidak terlepas dari hal ini, kestabilan harga karet alam di pasaran juga
harus diperhatikan, karena apabila harga karet alam tinggi maka masyarakat tidak
mungkin akan meninggalkan mata pencaharian yang bertumpu akan karet
tersebut. Sbagai pelengkap, siklus ladang berpindah yang diterapkan oleh
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Siklus ladang berpindah pada masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan secara
umum

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sehingga dengan menerapkan sistem ladang berpindah seperti yang ada pada
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, dan tentunya dengan meninggalkan
sistem perkebunan kelapa sawit serta pertambangan yang dituding merusak
kawasan hutan, selain kelestarian lingkungan bisa terjaga, maka perekonomian
masyarakat sekitar hutan juga bisa terjamin. Dengan catatan, harga karet di
pasaran juga perlu untuk diperhatikan. Untuk jauh ke depan, selain sebagai pusat
perkebunan karet, sepertinya Kalimantan juga berpotensi untuk dijadikan pusat
idustri pengolahan karet mentah menjadi karet jadi. Harapanya jelas untuk
kepentingan masyarakat dan peningkatan devisa negara.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan dalam
makalah ini, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal terkait kerusakan hutan di
Kalimantan serta peran pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan hutan.
Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :
1.

Penyebab utama kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan adalah akibat
dari perluasan kegiatan pertanian pangan, perluasan kegiatan peternakan,
meningkatnya permintaan atau tuntutan untuk hasil-hasil hutan komersial dan
non komersial, perluasan areal perkebunan swasta dan negara, dan
pembukaan wilayah untuk transmigrasi. Namun menurut berbagai organisasi
pemerhati lingkungan hidup, deforestasi lebih disebabkan oleh pembukaan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan illegal logging
(pembalakan hutan secara liar). Akibat dari pembukaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan itu maka menarik para pendatang
dari luar untuk berdomisili di Kalimantan, sehingga ada tuntutan baru supaya
ada pembukaan kawasan hutan (transformasi hutan) untuk dijadikan wilayah
pemukiman para pendatang.

2.

Walaupun di Kalimantan terbebas dari bahaya gunung berapi, patahan/sesar
dan gempa bumi, namun masih mungkin terjadi beberapa potensi bahaya
lingkungan seperti banjir dan erosi pada musim hujan dan kebakaran hutan
pada musim kemarau. Perlu untuk diketahui bahwa banjir dan erosi yang
terjadi di Kalimantan sudah sering terjadi sejak sepuluh tahun terakhir.
Tentunya ini merupakan akibat dari semakin berkurangnya kawasan hutan di

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kalimantan, sehingga menjadi ketidakmampuan pohon-pohon yang tersisa
untuk menahan dan mnyerap air tanah.
3.

Peran pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten pada umumnya,
terkait kontrol serta pengelolaan kawasan hutan di Kalimantan dinilai sangat
minim, bahkan banyak pejabat-pejabat daerah yang terlibat langsung dalam
bisnis eksploitasi hutan secara besar-besaran. Hal ini juga menyebabkan
kesulitan dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah kerusakan
hutan di Kalimantan. Alasannya karena pemerintah kabupaten lebih
memegang

“kunci”

kebijakan

pengelolaan

kawasan

hutan

dalam

penerapannya secara langsung di lapangan.

3.2 Saran
Setelah mengetahuhi tentang kerusakan hutan serta peran pemerintah daerah
terhadap pengelolaan kawasan hutan di Kalimantan serta menyimpulakan isi dari
tulisan ini, penulis menyarankan beberapa hal terkait hal tersebut di atas.
Terutama mengenai kebijakan dan langkah pemerintah, baik yang pusat maupun
daerah dalam pengelolaan kawasan hutan di Kalimantan. Ada baiknya, alur
kebijakan di Indonesia, terkait pengelolaan kawasan hutan, diubah sedemikian
rupa supaya dalam hal pengawasan atau kontrol bisa dilaksanakan menjadi lebih
baik lagi. Selain itu, penulis menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan
kembali mengenai perkebunan karet alam ketimbagan perkebunan kelapa sawit
dan pertambangan. Alasannya jelas bahwa, selain bisa meningkatkan devisa
negara, dalam pengelolaannya tidak akan merusak kawasan hutan alamiah.
Selain itu, penulis sadar bahwa karya tulis ini tidak mungkin lepas dari
berbagai kesalahan. Oleh karena itu, untuk hasil yang lebih baik lagi, harapannya
para pembaca bisa menyampaikan kritik dan saran terkait materi atau seluruh
kerangka yang ada dalam karya tulis ini.

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abidin, S. Z. 2005. Kebijakan Publik (Edisi Revisi Edisi Ketiga). Jakarta:
Penerbit Suara Bebas.
Arifin, B. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur,
Kasus, dan Alternatif Strategi. Jakarta: Erlangga.
Awang, S. A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan
Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Irwan, Z. D. 2009. Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di
Indonesia: Siapa Bisa Mengandalikan Penyulutnya ? Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Low, N. dan Brenden Gleeson. 2009. Politik Hijau: Kritik Terhadap Politik
Konvensional Menuju politik Berwawasan Lingkungan dan Keadilan.
Terjemahan oleh Daryanto. Bandung: Penerbit nusa Media
Milne, A. 1991. Dunia Di Ambang Kepunahan. Terjemahan oleh J. B. Srijanto.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

B. Koran dan Majalah
“Karet Alam yang Merana”. 2010. Oktober. Kalimantan Review.18.
Transtoto Handadhari.
Diabaikan”. Kompas.7.

2010. November 18 “Bencana Lingkungan yang

C. Internet
http://www.banjarmasinpost.com
http://www.bbsindonesia.com.
http://www.dephut.go.id.
http://www.kompas.com
http://www.saveourborneo.com

Fornestor Mindaw |Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dokumen yang terkait

ADMINISTRASI PENGGUNAAN ANGGARAN DAERAH DALAM PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP GUNA MERAIH ADIPURA PADA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN JEMBER

4 137 83

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

IDENTIFIKASI INSEKTA DI TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI DALAM BENTUK BUKU SAKU

4 92 26

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ELAKSANAAN ADMINISTRASI RETRIBUSI LELANG KAYU HASIL HUTAN PADA UPT DINAS PENDAPATAN PROVINSI JAWA TIMUR DI JEMBER TIMUR

0 32 17

FENOLOGI KEDELAI BERDASARKAN KRITERIA FEHR-CAVINESS PADA DELAPAN PERSILANGAN SERTA EMPAT TETUA KEDELAI (Glycine max. L. Merrill)

0 46 16

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1

THE EFFECTIVENESS OF THE LEADERSHIP'S ROLE AND FUNCTION OF MUHAMMADIYAH ELEMENTARY SCHOOL PRINCIPAL OF METRO EFEKTIVITAS PERAN DAN FUNGSI KEPALA SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH METRO

3 69 100

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60