MENCERMATI DESTINASI WISATA BERBASIS WAR

MENCERMATI DESTINASI WISATA BERBASIS WARISAN BUDAYA KOTAGEDE

By: Erda Rindrasih

Berkunjung ke Jogjakarta tak lengkap rasanya jika tak menyempatkan ke Kotagede. Kotagede
merupakan cikal bakal keberadaan Yogyakarta. Jika Jakarta punya Kotatua maka Jogjakarta punya
Kotagede. Keberadaan Kotagede telah memperkaya khasanah destinasi pariwisata Jogja yang memang
telah kaya dengan destinasi budayanya.
Sejarah mencatat bahwa Kotagede memiliki kaitan yang sangat erat dengan Kerajaan
Mataram. Pada abad ke-8 wilayah Mataram merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai
Pulau Jawa. Pada jaman tersebut, kerajaan Mataram memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar
biasa. Hal ini dapat dilihat dari hasil hasil kebudayaan yang tinggi seperti candi candi kuno dengan
arsitektur megah. Enam abad kemudian, Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah, Sultan
Hadiwijaya menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas
keberhasilannya menaklukan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya
lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu
dahulu.
Desa tersebut kemudian berkembang sangat pesat sepeninggal Ki Gede Pemanahan yang
kemudian digantikan oleh putranya Senapati Ingalaga. Karena tumbuh pesatnya ekonomi di kawasan
1
desa Alas Mentaok ini kemudian disebut Kotagede . Senapati Ingalaga kemudian membangun benteng

dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota
seluas kurang lebih 200 ha.
Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat,
putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Benawa lalu meminta
bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang.
Perangpun terjadi, Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati Pangeran
Benawa lalu menawarkan tahta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun
kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati.
Sejak saat itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau
memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa Istana
pemerintahannya terletak di Kotagede.
Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan
dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian
menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya
dibawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan
Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai
pusat kerajaan Mataram Islam.
Sejarah tersebut telah menorehkan cerita bagi masyarakat sekarang dan memperkaya nilai dari
keberadaan Kotagede. Saat ini terdapat peninggalan peninggalan fisik yang masih bisa dinikmati, juga

peninggalan sistem ekonomi serta daya tarik kehidupan masyarakat itu sendiri. Terdapat pasar kotagede
yang menjadi pusat dari kegiatan jual beli di masa lalu. Sampai saat ini pasar Kotagede masih beroperasi
dengan baik dan justru mengalami renovasi dan perbaikan namun posisi bangunan tidak berubah sejak
1

Kotagede, dalam bahasa Indonesia berarti kota besar

1

dahulu kala. Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun alun dan pasar dalam poros
selatan utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke 14)
menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak
2
jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga saat ini. Setiap pagi legi dalam calendar Jawa, penjual,
pembeli dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini.
Selain itu terdapat Kompleks Makam Pendiri Kerajaan. Kompleks ini terletak 100 meter kea rah
selatan Pasar Kotagede. Kompleks ini dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh dengan gapura
berarsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Corak
khas hindu sangat mewarnai di makan ini meskipun merupakan kerajaan Islam. Makam ini terbuka untuk
umum pada hari hari tertentu dan dengan peraturan tertentu yang dikenakan pada pengunjung ketika

memasuki makam ini. Di dalamnya terdapat makam Sultan Hadiwijaya, Ki Gede Pemanahan,
Panembahan Senopati dan keluarganya.
Yang juga menarik dari Kotagede adalah Masjid Kotagede. Masjid ini konon merupakan masjid
tertua di Yogyakarta. Masjid ini masih berada di kompleks makam, yang masih dipergunakan oleh
masyarakat sampai saat ini. Arsitektur masjid sangat unik dan kaya akan filosofi.

Gambar 1.Gerbang Masuk Masjid Kotagede
Sumber: http://www.kotajogja.com/wisata/index/125
Hal yang menarik dari Kotagede adalah keberadaan Rumah Tradisional yang masih terawat baik
dan masih berfungsi sebagai rumah tinggal. Terdapat pula Kedhaton yaitu tiga pohon beringin yang
berada di tengah jalan, dimana terdapat bangunan kecil untuk menyimpan “watu gilang” sebuah batu
hitam yang berbentuk bujur sangkar. Terdapat pula watu cantheng yang terbuat dari batu berwarna
kekuning kuningan. Reruntuhan benteng lama juga menjadi daya tarik bagi kegiatan pariwisata di
Kotagede. Panempahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan
disekeliling kraton dengan luas kira kira 400 x 400 meter.
Selain peninggalan yang berupa fisik, terdapat peninggalan local wisdom yang masih terjaga
dengan baik di Kotagede. Tata nilai dan adat istiadat jawa masih dijunjung dengan baik kendati banyak
pendatang yang menetap di kawasan Kotagede.

2


Perhitungan calendar Jawa

2

Gambar 2. Makanan Khas Kotagede Kipo
Sumber: http://www.kotajogja.com/wisata/index/125

Kendati demikian untuk mengembangkan Kotagede bagi kegiatan pariwisata tidaklah mudah.
Terdapat banyak persoalan dan kendala pengembangan Kotagede. Pertama, Kotagede terletak di dua
Kabupaten/Kota yaitu sebagian di Kabupaten Bantul dan sebagian lagi termasuk Kotamadya Yogyakarta
(Kota Jogja). Kondisi ini kadang kadang menyulitkan untuk membangun Kotagede dalam konteks
sebagai bekas Kota yang masyarakatnya mempunyai kesatuan sosiologis dan antropologis. Sampai saat
ini masyarakat bekas Kota Kotagede dalam kegiatan sosial sehari hari masih sangat solid dalam
kesatuan itu.
Kesulitan pembangunan oleh pemerintah muncul penanganan dilakukan oleh stakeholder
pemerintah di tingkat Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, Pemerintah Kota Yogyakarta hanya
mampu menyentuh wilayah bekas Kota Kotagede yang masuk wilayah Kota Yogyakarta. Demikian juga
Pemerintah Kabupaten Bantul hanya bisa menyentuh wilayah yang masuk Kabupaten Bantul.
Solidaritas masyarakat tersebut mewujudkan sebuah kesatuan wilayah yang tak terpisahkan

sebagaimana dulu batas wilayah Kota Kotagede ini masih eksis. Wilayah bekas Kota Kotagede harus
ditangani oleh dua unit Pemerintah yang berbeda. Dalam konteks otonomi daerah sekarang ini, ketika
kewenangan tingkat Kabupaten dan Kota relative besar, makin terasakan betapa mereka harus
menghadapi 2 (dua) kebijakan yang berbeda untuk satu kesatuan wilayah tersebut. Salah satu contoh
permasalahan yang segera dapat dilihat atau dirasakan masyarakat adalah bila menyangkut penanganan
kawasan heritage. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul mempunyai perbedaan prioritas.
Maka masyarakat Kotagede harus atau lebih sering berinteraksi dengan Pemerintah Provinsi DIY.
Kedua,berdasarkan hasil pengamatan di lapangan masyarakat kotagede cenderung risih
terhadap keberadaan wisatawan yang berlalu lalang di sekitar tempat tinggalnya. Terdapat beberapa
tokoh masyarakat yang kurang setuju jika kawasan Kotagede di kembangkan sebagai destinasi
unggulan. Hal ini karena kegiatan pariwisata yang sebelumnya pernah berlangsung kadang kadang tidak
menghormati adat dan kebiasaan masyarakat Kotagede.
Ketiga, kawasan Kotagede berada di daerah rawan bencana gempa bumi. Bangunan yang ada di
Kotagede sangatlah berdekatan dan rentan terhadap bencana. Ruang terbuka untuk evakuasi sangatlah
sempit dan sedikit. Jalan jalan untuk evakuasi juga kurang memadai. Oleh karena itu maka perlu upaya
untuk evakuasi apabila terjadi bencana gempa bumi khususnya yang disiapkan untuk wisatawan.

3

Gambar 3. Salah satu gang di Kotagede yang sempit menyulitkan dalam jalur evakuasi

http://www.kratonpedia.com/article-detail/2012/2/7/238/Menyusuri.Lorong.Kotagede.html

Keempat, fasilitas dan infrastruktur di Kotagede belum disiapkan untuk menerima wisatawan.
Menurut catatan statistik Pariwisata DIY tahun 2011 di Kecamatan Kotagede terdapat 196 kamar yang
disewakan dan belum ada satu pun homestay milik masyarakat yang disewakan untuk pengunjung atau
wisatawan. Selain itu berkaitan dengan infrastruktur, Kotagede memerlukan penataan lalu lintas
mengingat jalan jalan di Kotagede sangat sempit. Apabila terdapat satu bis besar yang memasuki
kawasan Kotagede dapat menyebabkan kemacetan yang panjang. Oleh karena itu diperlukan kawasan
kanton kantong parkir yang memberikan kesempatan juga bagi kawasan sekitarnya untuk mendapatkan
manfaat ekonomi.
Potensi pengembangan pariwisata Kotagede sangat besar khususnya pengembangan heritage
tourism. Segment pasar destinasi Kotagede sampai saat ini sudah terbentuk dan sangat memungkinkan
untuk dikembangkan lebih lanjut. Kendati demikian diperlukan dukungan fasilitas dan infrastruktur yang
memadai dan memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pengunjung dan masyarakat yang tinggal
di kawasan Kotagede. Selain itu diperlukan pula inovasi paket kegiatan pariwisata yang menarik bagi
wisatawan dalam menikmati kawasan Kotagede.

Referensi
http://www.kotajogja.com/wisata/index/125
http://www.kratonpedia.com/article-detail/2012/2/7/238/Menyusuri.Lorong.Kotagede.html


4

5