BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 3 Oktober 2009, Pemerintah Republik Indonesia telah

  mensahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  Materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk kedalam ruang lingkup hukum lingkungan. Hukum lingkungan adalah juga bagian dari hukum yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan yang dapat diterapkan terhadap penegakan atau penanggulangan masalah-masalah pencemaran, pengurasan dan penyerangan.

  Hukum lingkungan mengandung ketentuan-ketentuan bagi perilaku masyarakat untuk mencegah atau menanggulangi masalah-masalah lingkungan. Perbuatan kaidahnya melalui dua cara. Langsung dengan menetapkan perintah-perintah dan larangan- larangan dan secara tidak langsung, karena hukum lingkungan memberikan peraturan-peraturan atas dasar mana organ-organ penguasa dapat merumuskan

   kaidah-kaidah warganya lebih lanjut.

1 Siti Sundari Rangkuti, Lampiran Pada Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya : Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, 1992), hlm. 2-3.

  Selanjutnya hukum lingkungan memberikan, untuk bertindaknya penguasa untuk kepentingan lingkungan, peraturan-peraturan hukum dalam bentuk ketentuan-

   ketentuan yang menciptakan kewenangan.

  Perundang-undangan lingkungan terutama terdiri dari perundang-undangan

  

  pokok (kaderwetgeving). Ciri khas dari perundang-undangan pokok membawa serta bahwa untuk daya kerja undang-undang lingkungan sejumlah pokok bahasan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau peraturan dari penguasa-penguasa yang lebih rendah. Akibatnya ialah bahwa, pelaksanaan perundang-undangan lingkungan, berada baik di tangan penguasa rendahan/(Propinsi, Kabupaten/Kotamadya dan para pengelola kualitas air) maupun di tangan penguasa

   kerajaan.

  Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat berbagai aspek hukum diantaranya Hukum Administrasi Negara (HAN) yang terdiri dari Pasal 4 sampai kepada Pasal 82 yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Hal ini juga terjabar dalam berbagai bentuk peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

  Dari ketentuan-ketentuan diatas, segi hukum administrasi (bestuur recht) berkaitan dengan peran Pemerintah untuk memberikan perizinan pendirian usaha dan melakukan langkah pengamanan atau upaya yang bersifat preventif untuk mematuhi 2 3 Ibid., hlm. 3. 4 Ibid.

  Ibid., hlm. 3-4. persyaratan-persyaratan lingkungan dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran atas perizinan lingkungan yang telah diberikan, dan gugatan administrasi.

  Perizinan adalah suatu contoh yang baik tentang berbarengnya fungsi instrumental dan normatif dari hukum lingkungan. Segi instrumental dari perizinan antara lain terdiri dari hal bahwa kebijaksanaan lingkungan dilaksanakan dengan perantaraan perizinan itu. Perizinan adalah suatu alat untuk menstimulasi perilaku yang baik untuk lingkungan atau untuk mencegah perilaku yang tidak dikehendaki. Segi normatif dari perizinan adalah bahwa hukum menentukan peraturan-peraturan mana yang dapat kita cakupkan untuk dipakai bagi suatu perizinan. Kaidah-kaidah hukum lingkungan memperoleh isi yang konkrit karena pemberian izin dan karena

   mengkaitkan peraturan-peraturan pada perizinan itu.

  Ada bermacam-macam bentuk pengaturan secara langsung dalam hukum

   lingkungan, yang paling bersifat pencegahan adalah larangan kecuali izin.

  Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh

  

  izin usaha dan/atau kegiatan. Perizinan diatur dalam pasal 36 s/d 41, menetapkan sebagai berikut : 5 6 Ibid., hlm. 17. 7 Ibid., hlm. 19.

Pasal 1 butir 35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  Pasal 36 dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan bahwa : (1)

  Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.

  (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal

  31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3)

  Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4)

  Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

  Selanjutnya Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan bahwa :

  (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.

  (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila : a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi. b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL, atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

  Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (2), izin

   lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui

   oleh masyarakat.

  Ketentuan di atas merupakan pelaksanaan atas keterbukaan informasi, dengan adanya pengumuman memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan. Izin lingkungan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,

   penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui izin lingkungan. 8 Pasal 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 9 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 10 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia, (Jakarta : P.T. Sofmedia, 2012), hlm. 108.

  Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana, diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan

   hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

  Perizinan terpadu bidang lingkungan hidup dalam hal ini tidak hanya tentang teknis administrasi (prosedur, waktu dan biaya) sebagaimana dipahami oleh aparat pemerintahan selama ini. Namun juga berkaitan dengan aspek substansi perizinan bidang lingkungan hidup itu sendiri. Sebagai suatu sistem, berdasarkan UU-PPLH perizinan lingkungan hidup harus didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup

11 Mas Achmad Santoso, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 2001), hlm. 234.

  Strategis (KLHS), rencana tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku

   kerusakan lingkungan hidup, dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

  Berkaitan dengan keterpaduan perizinan, Pasal 123 UUPPLH menyatakan, bahwa segala izin di bidang lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini ditetapkan. Izin dalam ketentuan ini, misalnya izin pengolahan limbah B3, izin

  

  Mencermati ketentuan-ketentuan berkaitan dengan perizinan dalam hal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini, pada satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan sebagai syarat mendapat izin usaha dan/atau kegiatan (sektoral). Jika terdapat kaitan yang erat antara izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan. Kedudukan AMDAL sendiri merupakan syarat memperoleh izin lingkungan dan izin usaha

   dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam UUPPLH.

  Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak

  12 13 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 7. 14 Ibid., hlm. 8.

  Ibid. lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta

   kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

  Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3,

   adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.

  Klasifikasi Bahan Berbahaya Beracun (B3) menurut karakteristiknya adalah

  

  sebagai berikut : 1. mudah meledak (explosive), 2. pengoksidasi (oxidizing), 3. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable), 4. sangat mudah menyala (highly flammable), 5. mudah menyala (flammable), 6. amat sangat beracun (extremely toxic), 7. sangat beracun (highly toxic), 8. beracun (toxic), 9. berbahaya (harmfull), 10. korosif (corrosive), 11. bersifat iritasi (irritant), 12. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment), 13. karsinogenik (carcinogenic), 15 Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 16 Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 17 Syamsul Arifin, op.cit., hlm. 119.

  14. teratogenik (teratogenic), 15. mutagenik (mutagenic).

  Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau

   penimbunan.

  Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup mengingat B3

   mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif.

   Adapun kewajiban-kewajiban Pengelola B3 adalah sebagai berikut : Penghasil, yaitu : a.

  Wajib mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, b. Wajib meregristrasikan B3 yang diproduksi, c. Wajib membuat MSDS (Material Safety Data Sheet), d. Wajib mengemas setiap B3 sesuai klasifikasinya serta memberi simbol dan label, e. Wajib memiliki tempat penyimpanan yang memenuhi syarat, f. Wajib melengkapi sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3, g.

  Wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, h. Wajib menanggulangi kecelakaan dan keadaan darurat, 18 Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 19 20 Syamsul Arifin, op.cit., hlm. 120.

  Ibid. i.

  Wajib menyampaikan laporan kegiatan.

  Penyimpan, yaitu:

  a. Wajib mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan,

  b. Wajib memiliki MSDS,

  c. Wajib mengemas setiap B3 sesuai klasifikasinya dan memberikan simbol dan label, d. Wajib memiliki sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3,

  e. Wajib melakukan penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat,

  f. Wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja,

  g. Wajib menyampaikan laporan kegiatan,

  Pengguna, yaitu: a.

  Wajib mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, b. Wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, c. Wajib memiliki MSDS, d. Wajib memasang simbol dan label sesuai klasifikasinya, e. Wajib melakukan penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat, f. Wajib memiliki prosedur penanganan dan keadaan darurat, g.

  Wajib menyampaikan laporan.

  Pengangkut, yaitu:

  a. Wajib mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan,

  b. Wajib memilik MSDS, c. Wajib menggunakan sarana yang layak operasi,

  d. Wajib mengemas B3 sesuai klasifikasinya dan memberi simbol dan label,

  e. Wajib melengkapi sistem tanggap darurat dan prosedur,

  f. Wajib melakukan penanggulangan keadaan darurat dan kecelakaan,

  g. Wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, h. Wajib menyampaikan laporan kegiatan.

  Pengedar, yaitu: a.

  Wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan, b. Wajib memiliki MSDS, c. Wajib mengemas sesuai dengan klasifikasinya, memberi simbol dan label, d. Wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, e. Wajib melakukan penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat.

  Pasal 59 UUPPLH mengatur mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagai berikut : (1)

  Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.

  (2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.

  (3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

  (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

  (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.

  (6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. (7)

  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  Penjelasan dari Pasal 59 ayat (1) menyebutkan, bahwa pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha yang

   melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin.

  Bahan beracun dan berbahaya dapat diidentifikasikan dalam bentuk dan sifat bahan itu sendiri, apakah berupa cairan atau pun gas. Disamping itu perlu diketahui efek bahan kimia terhadap lingkungan, bahaya langsung terhadap masyarakat, kontak dengan sumber air, pengaruh hujan dan sebagainya. Perkiraan bahaya bahan kimia dapat diketahui dari nama suatu unsur kimia, hasil reaksinya terhadap unsur kimia lain, berat jenis, tekanan uap dan batas-batas peledakan. Bahan beracun dan berbahaya banyak dikaitkan dengan masalah penyimpanan dan penggunaan. Penyimpanan bahan yang mudah terbakar berbeda dengan penyimpanan bahan yang peka terhadap air. Bahan yang peka terhadap air antara lain, natrium, kalsium, sulfide dan alkali pekat. Bahan-bahan ini banyak digunakan sebagai bahan penolong ataupun 21 Ibid., hlm. 122. bahan-bahan utama dalam industri dan disimpan dalam pabrik. Jenis bahan-bahan oxidator seperti permanganate, bormat, kromat, ozon, perborat dan senyawa-senyawa nitrat harus disimpan dalam ruangan sejuk, yang tahan api dan terventilasi. Bahan- bahan yang bersifat korosif, natrium hidroksida, formaldehyde, kresol, natrium,

  

sodium cyanide, seng chloride dan lain-lain.

  Ketentuan tanggung jawab mutlak (“Strict Liability”) ditetapkan dalam Pasal

  88 UUPPLH, sebagai berikut : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung

   jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

   Penjelasan Pasal di atas menyebutkan, bahwa :

  Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Berdasarkan uraian diatas, dihubungkan dengan Pasal 67 UUPPLH, bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 22 23 Ibid., hlm. 167. 24 Ibid., hlm. 172-173.

  Ibid., hlm. 173. Makna yang terkandung dari ketentuan diatas memberikan kewajiban kepada setiap orang untuk mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 butir 32 dari UUPPLH, bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”.

  Dalam praktiknya terdapat banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya menghasilkan limbah dan salah satunya adalah limbah B3. Dari hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 dan 2012 terdapat banyak perusahaan yang menghasilkan limbah B3 di Provinsi Sumatera Utara antara lain adalah rumah sakit, perusahaan industri kimia dan pabrik kelapa sawit. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji ketentuan yang berhubungan dengan

   perizinan terhadap pabrik kelapa sawit.

  Dalam upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3, maka kepada perusahaan- perusahaan tersebut diwajibkan untuk memperoleh izin lingkungan. Sebagaimana dalam Pasal 1 butir 35 UUPPLH, izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL- UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

25 Wawancara langsung dengan Kepala Bagian Penegakan Hukum BLH-SU Bapak Dr. Indra Utama Msi, pada tanggal 19 Februari 2013, pukul 10.00 WIB, di Kantor BLH-SU.

  Sebagai salah satu persyaratan yang wajib dilakukan oleh perusahaan adalah izin lingkungan. Terutama dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah dimana terdapat 5 (lima) kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang terwujud dalam bentuk perizinan yaitu perizinan penyimpanan, perizinan pengumpulan, perizinan pengangkutan, perizinan pemanfaatan, dan perizinan pengolahan limbah B3. Namun dalam praktik dan penerapan telah menimbulkan permasalahan.

  PT. Permata Hijau Sawit yang bergerak dalam bidang industri pengelolaan kelapa sawit yang beralokasi di Jalan Lintas Sibuhuan-Sosa, Desa Mananti, Kecamatan Hutaraja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas Propinsi Sumatera Utara. Dan kemudian PT. Permata Hijau Sawit ini berkantor di Jl. Sultan Iskandar Muda No. 107 Medan 20154 Indonesia yang telah melakukan usahanya sejak tahun 2008 dan telah melakukan penyusunan dokumen UKL dan UPL ini sesuai dengan format Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 86/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup.

  Oleh karena itu beranjak dari uraian-uraian latar belakang di atas dipilihlah judul tentang “Kajian Hukum Adminsitrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit”.

B. Perumusan Masalah

  Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaturan mengenai perizinan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit ?

2. Bagaimana keterkaitan antara perizinan Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata

  Hijau Sawit dengan pengelolaan limbah dalam upaya mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup ?

  3. Bagaimana kendala dan upaya dalam memperoleh perizinan dalam pengelolaan limbah pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit dalam praktek hukumnya ?

C. Tujuan Penelitian

  Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan

  

  penulisan tersebut Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

  1. Untuk menganalisis pengaturan mengenai perizinan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit.

2. Untuk menganalisis dan menjelaskan keterkaitan antara perizinan Pabrik

  Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit dengan pengelolaan limbah dalam 26 upaya mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1986), hlm. 118.

  3. Untuk menganalisis kendala dan upaya dalam memperoleh perizinan dalam pengelolaan limbah pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit dalam praktek hukumnya.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam

  

  memproses ilmu pengetahuan. Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, menunjang pembangunan,

   mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia.

  Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa

  

  yang seyogyanya atas isu yang diajukan. Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu:

a. Secara teoritis

  Secara teoritis, penelitian ini diharapkan membuka wawasan dan paradigma 27 berpikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum yang

  Bahder Johan Nasution , Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hlm. 10. 28 29 Ibid., hlm. 77.

  Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 41. berkaitan dengan Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

b. Secara praktis

  Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada Pemerintah Indonesia melalui Perizinan Atas Pengelolaan Limbah. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah.

E. Keaslian Penelitian

  Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

  Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut: Perizinan Atas Pengelolaan Limbah yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu :

  1. Zainal Abidin, Nim: 037005028, Program Studi Ilmu Hukum, Judul Tesis Pengelolaan Limbah B3 Dirumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhoksemawe.

  2. Syarifuddin Siba, Nim: 067005079, Program Studi Ilmu Hukum, Judul Tesis Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pengelolaan Limbah di Kawasan Industri Medan.

  3. Hendra G. Aman, Nim: 087005027, Program Studi Ilmu Hukum, Judul Tesis Analisis Hukum Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Studi di Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang).

  Namun demikian penelitian-penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilaksanakan adalah asli dan dapat saya pertanggung jawabkan. Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila dikemudian hari ternyata dapat dibuktikan adanya plagiat dalam hasil penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena

  

  tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya, dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat 30 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, (Bandung : Refika Aditama 2005), hlm. 23.

  

  menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain, sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan

   teoritis.

  Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan Anton F Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang

   ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.

  Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial

   bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.

  Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah Teori Roscoe Pound, law as a tool of engineering sebagai landasan teoretis pembinaan hukum di Indonesia yang dikembangkan oleh Mochtar

  31 32 Ibid. 33 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 34 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, op.cit., hlm. 22.

  Ibid., hlm. 23. Kusumaatmadja. Perkembangan selanjutnya, konsep pembinaan hukum ini diberi

   nama “teori hukum pembangunan”.

  Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang ke arah yang

   dikehendaki oleh pembangunan.

  Hubungan antara hukum dan pembangunan, menurut Michael Hager yang mengintrodusir konsep development law meliputi tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga hukum, profesi hukum, dan lembaga pendidikan hukum, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan

   penyelesaian problema-problema khusus pembangunan.

  Kiranya pendapat Michael Hager tersebut, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas- asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes)

  

  yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan kata lain, suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila 35 Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M ., (Bandung : Alumni, 2002), hlm. 5. 36 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung : Bina Cipta, 1995), hlm. 19. 37 Syamsuhardi Bethan, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi , (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 25. 38 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung : Bina Cipta, 1986), hlm. 11. akan melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh. Selanjutnya, Mochtar menyatakan bahwa hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses

   (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

  Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan, menurut Michael Hager dapat

  

  mengabdi dalam tiga sektor, yaitu sebagai berikut: 1.

  Hukum sebagai alat penertib (ordering). Dalam rangka penertiban hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Ia pun dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.

  2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara, kepentingan umum, dan kepentingan perorangan.

  3. Hukum sebagai katalisator. Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law

  reform ) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.

  Perwujudan hukum sebagai sarana pembangunan muncul dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang kehidupan. Salah 39 40 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm. 15.

  Ibid. satuya adalah pengaturan mengenai lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan hukum positif yang mengatur pokok-pokok pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

  Teori hukum pembangunan menjabarkan dan mewujudkan pembangunan nasional. Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, wujud pembangunan tersebut muncul dalam peraturan perundang-undangan bidang

   pengelolaan lingkungan di Indonesia sebagai hukum lingkungan nasional.

  Pengelolaan lingkungan hidup hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan, apabila administrasi pemerintahan berfungsi secara efektif dan terpadu. Perizinan lingkungan hidup terpadu merupakan salah satu sarana yuridis untuk mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.

  Perizinan merupakan wujud keputusan pemerintahan dalam hukum administrasi

   negara.

  Sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan adalah tindakan hukum pemerintah berdasarkan kewenangan publik yang membolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk

  

  melakukan sesuatu kegiatan. Instrumen perizinan diperlukan pemerintah untuk

  41 42 Helmi, op.cit., hlm. 22. 43 Ibid., hlm. 28.

  Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perizinan Pada Era Otonomi Daerah, (Surabaya : Makalah, 2001), hlm. 1. mengkonkretkan wewenang pemerintah. Tindakan ini dilakukan melalui penerbitan

   keputusan tata usaha negara.

  Keputusan izin diberikan untuk melakukan suatu usaha atau kegiatan termasuk bidang usaha atau kegiatan bidang lingkungan hidup. Drupsteen mengatakan, perizinan merupakan instrumen kebijaksanaan lingkungan yang paling penting. Berdasarkan uraian tentang perizinan, perizinan bidang lingkungan hidup adalah perizinan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

   didasarkan pada UU tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

  Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa perizinan merupakan upaya pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental terhadap tindakan pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, perizinan ditujukan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan

   perusakan lingkungan hidup.

2. Konsepsi

  Konsep merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi

  

  dan realita. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

  44 45 Helmi, op.cit., hlm. 29. 46 Siti Sundari Rangkuti, op.cit., hlm. 146. 47 Loc.cit.

  

Masri Singarimbun dkk., Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1989), hlm. 34. digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.

48 Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif

  konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut.

  Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.

   Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain,

  seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.

50 Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

   Selanjutnya konsep atau

  pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala- gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variable-variable yang ingin menentukan adanya gejala empiris.

   48 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : RajaGrafindo, 1998), hlm. 307. 49 Komaruddin, Yooke Tjuparmah S, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm. 122. 50 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 70. 51 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 7. 52 Koentjoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 21. Beranjak dari judul tesis ini, yaitu: “Kajian Hukum Administrasi

  

Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa

Sawit PT. Permata Hijau Sawit” maka dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun

  pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut : 1.

  Kajian adalah hasil peningkatan dari upaya dan kegiatan untuk menambah

   pengetahuan.

  2. Hukum admnistrasi lingkungan adalah suatu aturan kaedah yang mengatur kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hukum lingkungan.

  3. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang

   dilakukan oleh masyarakat.

  4. Pengelolaan ialah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang

   terlibat di pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.

   5.

  Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

  6. PT. Permata Hijau Sawit adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pengelolaan kelapa sawit.

  53 Bambang Setyabudi, Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara

Lingkungan hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), (Jakarta : Deputi Bidang Tata

Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2007), hlm. 1. 54 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 168. 55 http://m.artikata.com/arti-367785-pengelolaan.html, diakses pada hari Senin tanggal 18

  Februari 2013 jam 13.20 WIB. 56 Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

G. Metode Penelitian Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah.

  Selain itu, penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologi yang merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan

  

  yang menjadi induknya. Pada penelitian hukum ini, jelas bahwa bidang ilmu hukum yang menjadi landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.

  Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau gejala hukum tertentu dengan jelas

  

  menganalisanya. Agar mendapat hasil yang lebih maksimal maka saya melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian dan Sifat Penelitian

  Sesuai dengan rumusan penelitian maka penelitian ini dilakukan 57 dengan yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian

  Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 9. 58 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2006), hlm. 43.

  analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan pengelolaan limbah pada pabrik kelapa sawit PT. Permata Hijau Sawit.

  Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang

  

  berlaku. Dalam penelitian ini metode deskriptif analisis digunakan untuk memberikan gambaran atau suatu fenomena yang berhubungan dengan Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit.

2. Sumber Data/Bahan Hukum

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data-data sekunder untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran secara konseptual yang ada kaitannya dengan objek yang diteliti. Adapun sumber-sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  

  a. yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu: Undang- Bahan hukum primer, 59 Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha 60 Wiranto Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung : Transito, 1978), hlm. 132.

  Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hlm. 55.

  Negara/PERATUN, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-51/MENLH/10/1995 dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

  

  b. yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan Bahan hukum sekunder, hukum primer, antara lain berupa buku-buku, makalah, dokumen Berita

  Acara Pemeriksaan tanggal 1 Juni 2011, putusan sela Pengadilan Negeri Padang Sidempuan Nomor: 675/Pid. Sus/2011/PN. Psp, Berita Acara Verifikasi Pelaksanaan Sanksi Administrasi tanggal 6 Mei 2009, dokumen laporan akhir Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) Pabrik Minyak Sawit PT. Permata Hijau Sawit, dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Perkebunan Kelapa Sawit serta Pengolahan Minyak Sawit PT. 61 Permata Hijau Sawit dan sebagainya.

  Ibid. c.

  Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Internet, Wawancara, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data.

  Menurut Bambang Sunggono:

  

  “Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dengan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut adakan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab”.

  Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research (studi pustaka) dimana alat pengumpulan datanya adalah studi dokumentasi yang dilakukan dengan cara memilih data-data yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data-data yang telah dipilih kemudian dipilah-pilah dengan cara mengkaitkannya dengan permasalahan yang diteliti untuk selanjutnya dianalisa sehingga mendapatkan kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat terjawab. 62 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT.

  RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 195-196.

  4. Alat Pengumpulan Data.

  Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara : a.

  Studi Dokumen.

  Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.

   b.

  Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan percakapan atau tatap muka kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara Ibu Dr. Ir. Hj. Hidayati Msi dan Kepala Bagian Penegakan Hukum Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara Bapak Dr. Indra Utama Msi guna memperoleh keterangan atau data- data yang diperlukan.

  5. Analisis Data.

  Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.

  

63 Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 21.

  Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokkan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti.

Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Administrasi Lingkungan Tentang Perizinan Atas Pengelolaan Limbah Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Permata Hijau Sawit

4 72 129

Penyebaran Unsur Hara Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Yang Diaplikasikan Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Amal Tani

1 42 58

BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit Antara PT. Bima Dwi Pertiwi Nusantara Dengan PT. Mutiara Sawit Lestari

0 1 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Pendelegasian Wewenang Ditinjau dari Persepektif Hukum Administrasi Negara (Studi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Medan)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Penerimaan Sawit Rakyat Ke Pabrik Kelapa Sawit ( Pks ) Di Ptpn Ii Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara ( Studi Di Ptpn Ii Sawit Seberang )

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Asupan Zat Gizi, Status Gizi, dan Produktivitas Kerja Pada Pekerja Pabrik Kelapa Sawit Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum 2013

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyederhaan Prosedur Perizinan Bagi Tenaga Kerja Asing Ditinjau Dari Hukum Ketenagakerjaan

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perolehan Izin Praktik Dokter Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara

0 2 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Perlindungan Kesehatan terhadap Staf, Karyawan dan Pensiunan (Studi Pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Pengadukan terhadap Produksi Biogas pada Proses Metanogenesis Berbahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

0 0 8