BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Perompakan Kapal Laut Di Perairan Somalia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut merupakan jalur transportasi pengiriman yang paling diminati untuk

  mengirimkan barang yang bersifat lintas negara, seiring dengan perkembangan zaman serta meningkatnya hubungan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalulintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang- barang/ kargo dari berbagai negara. Pada umumnya keamanan laut merupakan tanggung jawab semua negara. Laut dapat dikatakan aman apabila laut tersebut telah terbebas dari segala ancaman kekerasan, termasuk ancaman penggunaan kekuatan bersenjata yang dapat mengganggu dan membanyakan kapal-kapal yang berada di laut. Banyak hal yang dapat mengganggu keamanan dari laut itu sendiri, baik dari negara itu sendiri maupun dari negara lain yang biasa disebut Transnational Crimes (kejahatan lintas negara).

  Menurut United Nations Convention on Transnational Organized Crime

  

  tahun 2000, kejahatan bisa disebut bersifat transnasional jika: 1.

  Dilakukan di lebih dari satu negara, 2. Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain,

1 Romli Atmasasmita. Pengantar HUkum Pidana Internasional. PT. Eresco: Bandung.

  3. melibatkan organized criminal group (organisasi kriminal) dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara,

  4. berdampak serius pada negara lain.

  Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu. Menurut

2 Martin dan Romano;

  

“transnational crime may be defined as the behavior of ongoing organizations

that involves two or more nations, with such behavior being defined as criminal

by at least one of these nations”. “ Kejahatan lintas negara dapat didefinisikan

  sebagai prilaku organisasi yang sedang berlangsung yang melibatkan dua atau lebih negara dengan prilaku seperti yang di definisikan sebagai kriminal oleh setidaknya satu dari negara-negara”

  Berdasarkan definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang lintas antar negara. Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang. Pelakunya tak hanya nation-state (negara) tapi juga individu dan kelompok juga bisa berperan sebagai “sponsor” tak sekedar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun.

  Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak 2 Oentoeng Wahjoe, Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya. Transnational

  

Crime (kejahatan lintas negara) itu sendiri seperti terorisme, bajak laut, pencucian

  uang, perdagangan manusia (Human Trafficking), penyelundupan manusia

  

(people smuggling), perdagangan obat-obat terlarang (drugs Trafficking), dan

perdagangan senjata illegal.

  Saat ini salah satu bentuk kejahatan Transnational Crime (kejahatan lintas negara) yang paling menyita perhatian internasional ialah pembajakan atau bajak laut. Kejahatan lintas negara ini sangat meresahkan dunia internasional, karena sasaran dari kejahatan tersebut ialah kapal-kapal komersial dari berbagai negara yang melintasi wilayah laut teritorial negara maupun di laut lepas.

  Pada hakikatnya bajak laut sudah ada sejak zaman dahulu atau pada masa-masa kerajaan. Kegiatan pembajakan kapal awalnya merupakan bagian dari tugas armada laut dari sebuah kerajaan tertentu yang diberi kekuasaan langsung dari seorang raja untuk menjaga keamanan laut dari kerajaan dan kapal-kapal dagang mereka serta menyerang kapal-kapal pengangkut dari kerajaan lain untuk merampas hasil bumi dari kerajaan lain. Pembajakan ini dilakukan terhadap kapal- kapal yang memiliki bendera kapal yang berbeda, pada masa ini kegiatan perompakan tidak dapat dihukum karena mendapat kewenangan dan perlindungan langsung dari salah satu negara.

  Bajak laut muncul sekitar tahun 1600 diawali dengan berkumpulnya orang-orang yang diusir dari negara asalnya, buronan, budak, Indian pemberontak dan orang-orang yang dikejar oleh agama di sebuah pulau dibagian barat koloni Spanyol (sekarang Haiti). Pada tahun 1920 karena keterbatasan hasil bumi di pulau tersebut untuk menopang kebutuhan hidup mereka, mereka mulai melakukan perompakan kecil-kecilan terhadap kapal-kapal yang melintas di sekitar pulau, pada masa ini istilah bajak laut mulai dikenal banyak negara.

  Perompakan mencapai kejayaannya antara tahun 1690 hingga 1720 karena pada saat itu sedang ramai-ramainya pelayaran kapal-kapal dagang antara negara- negara di Eropa dengan koloni-koloninya di seluruh dunia. Di Samudra Hindia terdapat bajak laut seperti William Kidd dari Madagaskar serta bajak laut yang paling terkenal sepanjang masa karena kejahatan dan kesadisannya yaitu “Blackbeard” atau Si Janggut Hitam (nama aslinya Edward Teach). Aktifitas bajak laut sendiri mulai berkurang setelah tahun 1720, ketika era-era itu Angkatan

   Laut Inggris menyebar keseluruh dunia.

  Saat ini serangkaian peristiwa perompakan dan pembajakan kapal telah terjadi di perairan Somalia dalam beberapa waktu terakhir ini, yaitu di wilayah perairan Teluk Aden dan lepas pantai Somalia. Teluk Aden merupakan perairan yang diapit oleh dua negara yaitu Somalia dan Yaman dan berhubungan langsung dengan Lautan Hindia dan Terusan Suez serta Laut Tengah (Laut Mediterania). Terusan Suez memiliki peran yang vital dalam dunia pelayaran karena menjadi urat nadi perhubungan lalu lintas pelayaran antara Eropa dengan Dunia Timur, dimana setiap tahunnya dilewati sekitar 20.000 kapal laut. Peristiwa pembajakan ini mengakibatkan kapal-kapal pengangkut minyak, kapal-kapal kargo barang, kapal pesiar menjadi rawan terhadap ancaman perompakan. Perompakan juga 3 Sejarah Awal Mula Bajak Laut dan Jenisnya, dilakukan terhadap kapal-kapal pembawa bantuan kemanusiaan, serta kapal-kapal pembawa persenjataan.

  Peristiwa ini tidak hanya mengganggu keamanan nasional Somalia saja akan tetapi juga telah mengancam keamanan pelayaran internasional, dengan kata lain kejahatan tersebut sudah masuk dalam taraf kejahatan internasional, yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal berbendera asing maupun warga negara asing yang melintasi perairan tersebut.

  Sejak Presiden Siad Barre digulingkan dari jabatannya sebagai Presiden Somalia tahun 1991, Somalia telah mengalami krisis dalam proses penegakan hukum terutama dalam bidang pelayaran. Hal ini merupakan akibat dari kondisi pemerintahan yang tidak efektif lagi di negara tersebut, sehingga secara tidak langsung mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok kriminal bersenjata termasuk para pembajak.

  Perompakan yang terjadi di Somalia tidak akan berhenti setelah merampas barang muatan. Mereka tidak akan langsung meninggalkan kapal sasarannya, akan tetapi tidak jarang para perompak akan melakukan hal-hal yang akan meningkatkan hasil kejahatan mereka. Mereka tidak segan-segan membunuh untuk menunjukkan kekuasaan dan kekejaman mereka agar para awak kapal dan pemilik kapal takut untuk melakukan tindakan perlawanan untuk menghindarkan diri dari pembajak.

  Setelah merampas muatan, tidak sedikit perompakan juga disertai penculikan nahkoda kapal, anak buah kapal, bahkan kapal itu sendiri yang bertujuan untuk memeras pemilik kapal untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu yang telah di tentukan sehingga mereka memperoleh hasil yang lebih besar. Ancaman bagi yang menolak membayar uang tebusan ini adalah kematian bagi awaknya dan kehilangan kapalnya.

  Penegakan hukum terhadap tindakan perompakan kurang dilakukan disecara intensif. Hal ini terbukti dengan belum adanya pengadilan khusus bagi pelaku perompakan di negara Somalia maupun di tingkat pengadilan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil selama ini hanya untuk mengurangi jumlah pembajakan kapal saja, bukan untuk memberantas para pembajak tersebut hingga ke akar-akarnya.

  Pembajakan yang terjadi di Somalia berupa pembajakan dan perompakan di laut. Pembajakan ini terjadi bukan hanya di wilayah teritorial Somalia saja, tetapi, pembajakan juga di lakukan di wilayah lepas pantai Somalia, sehingga dalam penerapan hukumnya pun berbeda satu sama lain. Penerapan hukum terhadap pembajakan mengacu kepada Konvensi Hukum Laut tahun 1982 sedangkan pada kasus perompakan mengacu pada Konvensi Roma 1988 yang sejalan dengan prinsip universal hukum internasional. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

B. Rumusan Masalah

  Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai perkembangan perompakan yang menjadi gangguan kemanan pelayaran internasional, penulis ingin membuka mata kita semua atas apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan nyata yang mana menjadi resiko dengan taruhan nyawa bagi seorang pelaut yang ingin berlayar dengan selamat dengan adanya kejahatan perompakan ini.

  Sehubungan dengan hal ini, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam bab selanjutnya adalah :

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional terhadap Perompakan

  Kapal Laut? 2. Bagaimana perompakan kapal laut yang terjadi di Somalia? 3.

  Bagaimana pertanggungjawaban kejahatan yang telah dilakukan oleh perompak Somalia menurut Hukum Internasional?

C. Tujuan Pembahasan.

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1.

  Untuk menjelaskan pengaturan tentang kejahatan pelayaran menurut hukum internasional;

  2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengatasi perompakan yang terjadi di Somalia;

  3. Untuk menjelaskan pelaksanaan yurisdiksi terhadap kejahatan perompakan di Somalia menurut hukum internasional;

  4. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain : 1.

  Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pihak lain yang turut membaca karya tulis ini tentang kejahatan perompakan yang terjadi di Somalia 2. Agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa membentuk suatu usaha yang nyata untuk dapat memberantas perompakan yang terjadi di Somalia yang telah mengganggu kemanan pelayaran internasional D.

   Keaslian Penulisan

  Skripsi ini berjudul Tinjauan Yuridis Tentang Perompakan Kapal Laut Di Perairan Somalia.

  Dalam penulisan ini penulis melakukan studi kepustakaan guna memperoleh data yang dapat mendukung penulisan sekripsi ini.

  Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat dalam perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar- benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Negara

  Negara merupakan suatu lembaga yaitu sistem yang mengatur hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan yang paling pokok yaitu suatu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan. Negara memiliki sifat territorial/ kewilayahan dan pemerintahan yang menjalankan kekuasaan dan pengawasan atas orang-orang dan barang-barang dalam batas kewilayahannya.

  Negara merupakan subjek hukum terpenting dibandingkan subjek hukum internasional lainnya. Dalam hukum internasional, terdapat pengertian bahwa suatu negara menempati daerah tertentu dari permukaan bumi, dimana negara menjalankan yurisdiksinya dengan mengenyampingkan yurisdiksi

   negara lain, akan tetapi selalu tunduk kepada hukum internasional.

2. Unsur-Unsur Negara

  Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek hukum

   internasional memerlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut.

  1) Penduduk yang tetap Penduduk merupaka unsur pokok bagi pembentukan suatu negara.

  Penduduk adalah kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua jenis 4 kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama dan kebudayaan, yang Huala Adolf, Aspek-asopek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi) . PT.

  RajaGrafindo Persada 2002: Jakarta hal. 1 5 hidup dalam suatu negara melalui hubungan yuridis dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan.

  2) Wilayah tertentu Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara diatasnya.

  Konfrensi PBB III mengenai Hukum Laut telah mengelompokkan sebagian besar negara di dunia atas tiga kelompok, yaitu kelompok negara pantai (the coastal state group), negara yang tidak berpantai (the land-

  locked state group) dan negara-negara yang secara geografis tidak

  menguntungkan (the geographically disadvantaged state group) wilayah merupakan unsur mutlak bagi pembentukan suatu negara 3)

  Pemerintahan Yang dimaksud dengan pemerintahan biasanya adalah badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat tersebut, hukum internasional menghendaki bahwa pemerintah yang ada mempunyai kekuasaan yang efektif ialah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kapasitas nyata untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri.

  4) Kedaulatan

  Kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya yang tidak bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan juga mempunyai arti yang sama dengan kemerdekaan. Kata merdeka lebih mengacu pada suatu negara yang tidak lagi berada dibawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya, sedangkan kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eksklusif yang memiliki negara tersebut dalam melaksanakan kebijaksanaannya.

3. Laut Sebagai Bagian Dari Wilayah Negara a.

  Pengertian Laut Secara geografis, laut dapat diartikan sebagai kumpulan air asin yang sangat luas yang memisahkan benua yang satu dengan benua lainnya dan juga memisahkan pulau yang satu dengan pulau lainnya. Sedangkan dari segi hukum, laut merupakan keseluruhan air laut yang berhubungan secara

  

bebas diseluruh permukaan bumi.

  b.

  Laut dan Pengaturannya Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai. Oleh karena itu kewenangan negara pantai dapat menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah perairannya terhadap kejahatan-kejahatan. Khususnya yang

6 DR Boer Mauna,op.ci.t hal 305

  dilakukan oleh kapal asing harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional.

4. Laut Yang Tunduk Dibawah Kedaulatan Negara Pantai dan Negara Kepulauan a.

   Perairan pedalaman

  Perairan pedalaman (internal,national, atau interior waters) adalah perairan yang berada pada sisi darat ( dalam) garis pangkal. Pada perairan pedalaman ini, negara pantai memiliki kedaulatan penuh atasnya. Pada prinsipnya negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau menikmati hak lintas (damai) di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini terbentuk karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas

   damai di perairan tersebut dapat dinikmati oleh negara-negara lain.

  b.

   Laut Teritorial

  Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak lebih lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di perairan teritorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya (Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982). Istilah perairan teritorial ini mengandung arti bahwa perairan itu sepenuhnya merupakan bagian wilayah suatu negara,

   7 sebagaimana halnya dengan wilayah daratannya.

  

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi) . PT.

RajaGrafindo Persada: Jakarta.2002 hal 147 8

  c.

   Selat

  Selat yang dimaksud disini adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (straits used for international navigation). Hal ini diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 35 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara-negara yang berada di tepi selat memiliki kedulatan (yurisdiksi) penuh diatasnya.

  Ada dua kategori selat, yaitu selat-selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional yang menghubungkan laut lepas atau ZEE lainnya (Pasal 37 KHL 1982), dalam kategori berikut ini berlaku hak lintas transit kapal-kapal asing. Selanjutnya selat-selat yang menghubungkan laut lepas

  

  atau ZEE dengan perairan teritorial suatu negara asing d.

   Zona Tambahan (Contiguous Zone)

  Zona tambahan diatur pada Pasal 33 KHL 1982 yang menentukan sebagai berikut:

  1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan untuk keperluan: a) pencegahan pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiskal, keimigrasian atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya;

  b) menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

  9

2. Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.

  e.

   Zona Ekonomo Eksklusif (ZEE)

  Pasal 55 UNCLOS 1982 mengenai rezim khusus ZEE, disebutkan bahwa,”Zona Laut Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan nama hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan kebebasan negara lain, diatur oleh

  

  ketentuan-ketentuan yang relevan dengan konvensi ini” Selanjutnya Pasal 57 menentukan bahwa,”Zona Ekonomi Eksklusif tidak melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial”

  Hak-hak negara pantai Dalam Zona Ekonomi EKsklusif adalah

  a) Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;

  b) Negara pantai memiliki yurisdiksi yang berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

  Hak-hak dan kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi Eksklusif, diatur 10 dalam Pasal 58 KHL 1982, sebagai berikut: a) Pada ZEE, semua negara baik negara pantai maupun bukan dapat menikmati (dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi ini) kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini; b)

  Pasal 88 sampai dengan pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain berlaku terhadap Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab V Konvensi Hukum Laut 1982;

  c) Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara-negara harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab V Konvensi Hukum Laut 1982.

  f.

   Landas Kontinen

  Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 KHL 1982).

1. Hak-hak negara pantai atas landas kontinen: a.

  Negara pantai memiliki hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya (Pasal 77); b.

  Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk membangun pulau buatan instalasi, dan bangunan di atas landas kontinen (Pasal 80); c.

  Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur pemboran pada landas kontinen untuk segala keperluan (Pasal 81); d.

  Hak negara pantai untuk eksploitasi tanah di bawah landas kontinen dengan melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang kedalaman perairan di atas tanah dan di bawah landas kontinen tersebut (Pasal 85); e. Hak negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada pendudukan/okupasi (Pasal 77 ayat 3).

  2. Hak negara lain atas landas kontinen dan persyaratan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut (Pasal 79 KHL 1982): a.

  Semua negara memiliki hak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut pada landas kontinen; b.

  Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian; c.

  Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut tersebut harus mendapat persetujuan dari negara pantai; d.

  Negara pantai memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, dan memiliki yurisdiksi atasnya; e. Negara-negara yang memasang kabel dan pipa bawah laut harus memperhatikan kabel dan pipa yang sudah ada dan tidak menimbulkan kerugian bagi negara pantai atau negara lain 5.

   Laut Yang Berada Di Luar Yurisdiksi Nasional

  Bagian laut yang tidak termasuk dalam yurisdiksi suatu negara adalah laut lepas (the High Sea). Pada mulanya, laut lepas berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk pada perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara.

  

  Laut lepas merupakan res nullius (semua negara dapat memanfaatkannya), kecuali apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara. Doktrin laut bebas ini menandakan bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainnya.

11 Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional.Djambatan: Jakarta. 1989, hal

  Pada Pasal 86 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari

   Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

  Selanjutnya Pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958 tentang laut lepas, menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negara pun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya kebawah kedaulatannya. Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 2 dari konvensi dan aturan- aturan hukum internasional lainnya, baik untuk negara pantai maupun bukan negara pantai, antara lain terdiri dari:

  a) kebebasan pelayaran;

  b) kebebasan menangkap ikan;

  c) kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut; d). Kebebasan penerbangan di atas laut lepas.

  Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran. 12 Boer Mauna, Hukum Internasional. PT. Alumni Bandung. 2005, hal 312-3-13

  Pasal 92 konvensi menyatakan bahwa, sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan kapal demikian dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan.

  Mengenai status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera.

  Hal ini berarti bahwa setiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera tersebut. Untuk menentukan status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka perlu dibedakan antara kapal publik dan kapal swasta.

6. Perbedaan antara kapal-kapal publik dan kapal-kapal swasta

  Untuk membedakan kapal publik dengan kapal swasta, perlu diperhatikan tentang penggunaan kapal tersebut. Jika sebuah kapal yang disewa oleh pemerintah untuk tujuan non komersial maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik. Sedangkan jika kapal publik disewa oleh suatu perusahaan swasta untuk tujuan komersial, maka

   status kapal tersebut selama disewa adalah kapal swasta.

13 Leden Marpaung, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar Grafika:

  1. Kapal perang Kapal-kapal perang merupakan kapal publik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 29 UNCLOS 1982, yang memberikan definisi

  

  sebagai berikut:

  “Kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.”

  Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal- kapal perang bukan saja kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan angkatan laut, seperti kapal-kapal ranjau laut, kapal-kapal penarik, kapal- kapal militer, dan lain sebagainya.

  2. Kapal-kapal publik non-militer Kapal-kapal publik yang dimaksud disini yaitu, kapal-kapal pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal- kapal logistik pemerintah, kapal-kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal-kapal pengawasan pantai, dan lain sebagainya.

  3. Kapal-kapal dagang Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk 14 kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta.

  4. Kapal organisasi-organisasi internasional Yaitu kapal yang digunakan oleh organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional. Misalnya PBB, Badan-Badan khusus

  PBB dapat memakai kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-masing bendera sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS 1982.

7. Wewenang penuh ketentuan-ketentuan negara bendera

  Pasal 92 UNCLOS 1982 menentukan bahwa, semua kapal yang berada di laut lepas tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan negara bendera. Suatu kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Wewenang ini dilaksanakan karena tidak adanya kekuasaan internasional di laut lepas, sehingga masing-masing kapal akan

   memakai dan tunduk pada undang-undang negara benderanya.

  Kemudian dalam hal pemberian kebangsaan pada kapal-kapal yang berlayar di laut lepas diatur dalam Pasal 19 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa, “setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian 15 kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hak mengibarkan benderanya”. Pasal tersebut menegaskan bahwa harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu. Selanjutnya Pasal 94 menguatkan bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. Selanjutnya pasal tersebut juga menyatakan bahwa, bila sebuah kapal berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dapat dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan 8.

   Kejahatan Pelayaran a. Pembajakan di Laut

  Defenisi perompak (pirates) diatur dalam pasal 101 United Nations

  Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982; dimana

  pengertian perompakan mengandung makna :

  a) Any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation commited for private ends by crew or passenger rof a private ship or a private aircraft and directed : i.

   On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft ii.

   Against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any state.

  b) Any act of voluntary participation in the operation of ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a private ship or aircraft.

  c) Any act inciting of internationally facilitating an act described in sub paragraph (a) or (b)

  Secara bebas definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

  a) Setiap perbuatan illegal atas kekerasan atau penahanan, atau setiap perbuatan pembinaan yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh Anak

  Buah Kapal (ABK) atau penumpang dari sebuah kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan ditujukan: i.

  Di wilayah laut lepas, terhadap kapal atau pesawat lain atau terhadap orang atau benda-benda di atas kapal atau pesawat tersebut, ii. Terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau benda-benda di suatu wilayah diluar yurisdiksi negara manapun b)

  Setiap perbuatan ikut serta secara sukarela di dalam penyelenggaraaan suatu kapal atau sebuah pesawat sedang diketahuinya secara nyata bahwa kapal atau pesawat tersebut digunakan sebagai kapal atau pesawat perompak.

  c) Setiap perbuatan menghasut secara sengaja dengan memberi fasilitas untuk suatu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf (a) atau (b).

  Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang telah lama ada. Pembajakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan.

  Sejak abad ke-18 masyarakat bangsa-bangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional (piracy de jure gentium). Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa- bangsa karena sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsa-bangsa.

  Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut: a.

  Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat manusia); b.

  Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara; c. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan; d. Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih; e. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional.

  Kejahatan pembajakan sempat dianggap telah lenyap pada awal abad ke-19 yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut: a.

  Teknologi, peningkatan ukuran dan kecepatan kapal pada abad ke-18 dan abad ke-19 tidak menguntungkan bagi para pembajak karena tidak mudah untuk dikejar oleh para pembajak; b. Peningkatan kekuatan Angkatan Laut, pada abad ke-18 dan abad ke-19 memperlihatkan adanya peningkatan patroli angkatan laut internasional di sepanjang jalur lalu lintas laut; c. Peningkatan kualitas administrasi pemerintahan, abad ke-18 dan ke-19 ditandai dengan administrasi tetap terhadap sebagian besar pulau dan wilayah daratan oleh pemerintah kolonial atau negara-negara yang mempunyai kepentingan langsung untuk melindungi kapal-kapal mereka;

  Keseragaman peraturan pembajakan, terdapat pengakuan umum yang menyatakan pembajakan sebagai kejahatan internasional yang tidak akan ditoleransi oleh negara manapun untuk melindungi armada kapal mereka. Setelah berakhirnya perang dunia kedua pengaruh faktor-faktor diatas yang menjadi hambatan bagi berkembangnya kejahatan pembajakan mulai berkurang.

  Dalam perkembangannya, keempat faktor diatas justru berbalik arah menjadi faktor pendukung lahirnya pembajakan laut modern. Faktor-faktor

  

  tersebut antara lain: a.

  Teknologi, kapal-kapal modern memiliki kecepatan tinggi dan peralatan canggih untuk melindungi kapal tersebut. Selain memberikan dampak positif, teknologi mengurangi jumlah awak kapal yang dipekerjakan sehingga meningkatkan jumlah awak kapal yang tidak bekerja yang akhirnya banyak diantara mereka menjadi bajak laut karena mereka tidak memiliki keterampilan lain. Para bajak laut juga memanfaatkan kecanggihan teknologi yang meningkatkan kecepatan kapal pembajak, kecanggihan senjata dan memudahkan untuk melarikan diri.

  b.

  Menurunnya frekuensi patroli Angkatan Laut, perubahan politik dunia internasional mempengaruhi bentuk Angkatan Laut di dunia. Setelah perang dunia kedua berakhir, negara-negara tidak lagi membangun Angkatan Laut yang besar dan kuat. Negara-negara lebih memilih mempunyai Angkatan Laut yang lebih kecil dan efisien. Hal ini menyebabkan penurunan patroli di laut internasional sehingga kapal-kapal tidak lagi terlindungi. 16 Mengapa Perompakan terus Terjadi, c.

  Perubahan administrasi pemerintahan di wilayah kolonial. Pengaturan yang telah dibuat oleh pemerintahan kolonial tidak diterima oleh negara-negara jajahan yang menerapkan aturan-aturan baru. Namun pengaturan yang dilakukan oleh negara-negara merdeka tidak dapat berjalan efektif karena kekurangan dana. Pemerintahan baru khususnya Angkatan Laut negara-negara jajahan yang kekurangan dana, sarana dan prasarana tidak mampu mengamankan wilayah laut mereka. Hal ini menyebabkan pembajakan berkembang pesat.

  d.

  Kurangnya peraturan yang berkaitan dengan pembajakan dan perampokan bersenjata hal ini dipengaruhi karena pembajakan dan perampokan bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kejahatan internasional serius yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional.

b. Perompakan (perompokan bersenjata) di Laut

  Perompakan atau dikenal juga dengan istilah perampokan bersenjata terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22), Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or property on board such ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.”

  

17 Perompakan di Laut, http:// repository.unila.ac.id:8180/dspace. Diakses Pada 27 Mei

  Dapat diartikan bahwa perompakan atau perampokan bersenjata adalah:

  1. Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan, yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.

  2. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

  

9. Perbuatan Melanggar Hukum Terhadap Keselamatan Pelayaran dan

Penyebab Timbulnya Kejahatan di Laut

  a.

  Perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran Berdasarkan Pasal 3 Konvensi Roma 1988 tentang perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran (Convention for the

  Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation), disebutkan bahwa setiap orang dapat dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum jika orang itu tidak sah dan dengan sengaja: 1.

  `Mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara kekerasan atau ancaman atau bentuk intimidasi lainnya;

  2. Melakukan tindak kekerasan terhadap seseorang di atas kapal, dimana tindakan tersebut dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran;

3. Menghancurkan atau menyebabkan rusaknya kapal atau muatannya yang dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran.

  b.

  Penyebab timbulnya kejahatan di laut Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kegiatan aksi-aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak. Adapun faktor-faktor utama yang memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata di laut

  

  adalah sebagai berikut: 1.

  Situasi ekonomi di kawasan sekitar.

  Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh terhadap perilaku kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut.

2. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri.

  Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyatnya. Masalah-masalah seperti pemenuhan kebutuhan pokok rakyat merupakan tugas pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban- 18 kewajibannya untuk melindungi kepentingan umum secara

  Konflik Kewenangan di Laut Dalam Penegakan Hukum, Keselamatan dan Keamanan Serta Perlindingan Laut/ Maritim. bijaksana dapat mendorong sekelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan demi kepentingan kelompoknya. Sehingga dalam hal ini, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik kepada masyarakatnya.

  3. Rendahnya kemampuan para penegak hukum Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, di kapal dan di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain. Lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang terhadap aksi kejahatan di laut.

  4. Lemahnya sistem hukum di bidang maritim; Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal. Selain itu, sistem hukum yang harus ditegakkan saat ini semestinya tidak lagi memandang kejahatan di laut sebagai tindakan kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya tersebut semakin luas.

5. Kondisi Geografis

  Kondisi geografis suatu wilayah juga dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para pelaku kejahatan di laut sebelum melakukan aksinya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal terlebih dahulu. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, mendorong para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukan di perairan lepas/terbuka.

F. Metode Penulisan

  Agar suatu penulisan mempunyai suatu manfaat, maka penulis merasa perlu adanya metode tertentu yang di pakai di dalam pengumpulan data guna mencapai tujuan dari penulisan itu sendiri.

  Di dalam penulisan skripsi ini penulis memakai metode pengumpulan data yang bersumber dari media massa yang mengangkat permasalahan khusus mengenai hal-hal yang menyangkut Pembajakan Kapal Laut di Perairan Somalia. Dengan menggunakan metode penggabungan data-data yang telah diperoleh melaluai metode library research, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang tidak secara langsung terjun ke lapangan aau ke objek penelitian melainkan dengan mengadakan pencatatan, penelusuran buku, dokumen, majalah, surat kabar, internet dan tulisan-tulisan lain yang ada hubungannya dengan objek penelitian.

  Maka dengan demikian diharapkan metode penggabungan pengumpulan data ini dapat membantu penulis dalam memahami permasalahan yang diangkat, dan menjadi landasan pemikiran penulis dalam menganalisa permasalahan tersebut. Diharapkan tujuan untuk mendapatkan kebenaran akan terjawab yang sebenar-benarnya dari permasalahan yang telah penulis angkat dalam skripsi ini dapat tercapai dengan baik.

  G.

   Sistematika Penulisan.

  Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman isi skripsi ini, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai gambaran dari keseluruhan skripsi ini yang disusun secara bertahap, yaitu bab demi bab. Namun secara menyeluruh merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan.

  Ada pun sistematika dari penulisan skripsi ini disusun dalam bab-bab yang terdiri dari :

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang gambaran umum sebagai pendahulaun untuk pembahasan dalam bab-bab berikutnya. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan yang diangkat perumusan masalah, tujuan pembahasan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

  BAB II : ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN Dalam bab ini di uraikan mengenai pengertian serta aturan hukum internasional tentang perompakan seperti menurut United Nations

  Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS), International Maritime Organization (IMO), serta International Maritime Bureau (IMB).

  BAB III : PEROMPAKAN DI PERAIRAN SOMALIA Bab ini membahas mengenai sejarah perompakan di Somalia, faktor penyebab serta perkembangan perompakan di Somalia, beberapa kasus pembajakan yang terjadi di Somala dan upaya dari pemerintah Somalia dalam mengatasi perompakan di wilayah perairan negaranya.

  BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI PERAIRAN SOMALIA Bab ini menguraikan tentang bagaimana pertanggungjawaban pelaku perompakan menurut hukum internasional dan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perompak Somalia serta peranan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menanggulangi perompakan di Somalia.

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini meguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan yang ada, kemudian dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian permasalahan dimasa yang akan datang.