Tinjauan Yuridis Tentang Perompakan Kapal Laut Di Perairan Somalia

(1)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI PERAIRAN SOMALIA

SKRIPSI

Ditujukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

WIRA YUDHA NUGRAHA 080200426

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI PERAIRAN SOMALIA

SKRIPSI

Ditujukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

WIRA YUDHA NUGRAHA 080200426

Departemen Hukum Internasional

Diketahui/Disetujui Oleh

Ketua Jurusan Departemen Hukum Internasional

NIP. 1964033019930310

Arif, SH. M.H

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

ROSMI HASIBUAN, SH.MH

NIP. 194710281980022001 NIP. 196808022003121002 DENI PURBA, SH.LLM


(3)

ABSTRAKSI

Tindakan perompakan kapal yang dilakukan perompak Somalia merupakan kejahatan yang paling meresahkan dunia perkapalan dan sangat mengganggu keamanan Internasional. Kita ketahui bahwa pembajakan ini terus saja terjadi sejak tahun 1991 hingga sekarang yang sasarannya kapal-kapal asing yang melewati perairan Somalia. Akibat dari pembajakan ini adalah banyak kapal-kapal kargo dan kapal-kapal pengangkut minyak yang mengalami kerugian cukup besar dikarenakan barang-barang dan minyak yang diangkutnya dirampas dan disandera oleh perompak Somalia. Banyak juga kapal-kapal asing yang melewati perairan di laut lepas dibajak oleh perompak Somalia yang tujuannya hanya untuk memperoleh uang tebusan dari setiap kapal yang mereka bajak. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisis mengenai bangaimana pengaturan Hukum Internasional terhadap perompakan kapal laut. Kedua bagaimana perompakan kapal laut yang terjadi di Somalaia. Ketiga bagaimana pertanggungjawaban kejahatan yang telah dilakukan oleh perompak Somalia menurut Hukum Internasional.

Pembahasan terhadap permasalahan diatas dilakukan melalui metode pengumpulan data yang bersumber dari media massa elektronik yang menyangkut tentang permasalahan khusus mengenai perompakan di Somalia dan juga menggunakan metode Library Research yaitu suatu teknik pengumpulan data yang tidak secara langsung ke objek penelitian melainkan dengan penelusuran buku-buku, dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian pemasalahan.

Dalam penulisan ini dapat ditarik kesimpulan yakni, pertama hukum Internasional UNCLOS 1982, IMO dan IMB telah menggolongkan aksi perompakan sebagai aksi pembajakan yang tergolong kedalam aksi

Transnational Crime karena dampaknya bagi keamanan internasional. Kedua.

Perompakan yang terjadi merupakan akibat dari tidak adanya ketidakstabilan politik dan pemerintahan serta tingkat perekonomian yang rendah dinegara tersebut yang mendorong masyarakat untuk melakukan aksi perompakan. Ketiga penegakan hukum terhadap tindak pidana pembajakan kapal oleh perompak Somalia dilakukan dengan penerapan hukum pidana nasional negara-negara asing berdasarkan perinsip universalitas, ini dikarenakan negara-negara Somalia belum memiliki aturan hukum mengenai pengaturan penegakan hukum dan sanksi yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana perompakan kapal. Sehingga negara manapun dapat memberlakukan yurisdiksinya kepada para perompak yang tertangkap.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI PERAIRAN SOMALIA” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang membentu penulis baik dengan dukungan moril maupun materil selalu mendorong penulis untuk selalu bersemangat dalam pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan rasa terimakasih yang dalam kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH.M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Arif, SH.M.H selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum

Internasional

3. Ibu Rosmi Hasibuan, SH.MH. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Deni Purba,SH.LL.m selaku Dosen pembimbing II yang sudah sangan membantu dan meluangkan waktunya untuk membaca dan memriksa serta memberikan petunjuk dan pengarahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar dan staf pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara

5. Kepada kedua orang tua tersayang, Bapak Drs. Syahrizal dan Ibu Wadriah B.A yang telah membesarkan dan mendidik anak-anaknya sehingga menjadi manusia ang lebih beradab. Terimakasih yang tak terhingga buat semua yang telah kaliah berdua berikan.


(5)

6. Kapada kakakku tersayang Wulan Sari Amd. terimakasih karena telah merapikan buku-buku dan berkas kuliah yang berserakan di kamar, walau pun dengan merepet pastinya. Dan kepada adekku yang paling unyu-unyu Annisa Rizana terima kasih karena sudah mijitin abang saat sedang kecapean, meskipun kadang susah banget nyuruh kecilin suara tv waktu abang lgi kerjai skripsi. Tapi abang sayang adik.

7. Kepada kekasihku tercinta Fauziah Nur Simamora yang telah

memberikannya dukungannya dan selalu memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih ya sayang karena uda mau temenin aku ke perustakaan kampus sampai perpustakaan daerah selama ini.

8. Untuk teman terbaik aku Jandri M. Manurung. Makasih buat semua arah san solusi yang Kam berikan selama ini Pal, semuanya sangan membantu. Makasih juga buat tumpangan ngekost 1 minggunya ya pal.

9. Teman teman yang memberikan dukungannya. Jefri, Dedi, Harianto, Ranto, Guntur, Kufner, Ayuk, Nova, Aziz, Dirga, Bowo, Rian,

Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa tanpa dukunan dan bantuan dari semua pihak maka penulis tidak akan mingkin mampu

menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dan kekurangan selama ini. Somoga Allah SWT mengkaruniakan kebahagian dunia akhirat kepada kita semua. Amin

Hormat saya Penulis


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Pembahasan ……….. 7

D. Keaslian Penulisan ……… 8

E. Tinjauan Kepustakaan ……….. 9

F. Metode Penulisan ………... 30

G. Sistematika Penulisan ……… 31

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 ………..34

B. Perompakan menurut IMO (International Maritime Organization) ……….. 37

C. Perompakan menurut IMB (International Maritime Bereau) ……… 42

BAB III PEROMPAKAN DI PERAIRAN SOMALIA A. Negara Somalia dan perompakan di perairan Somalia ………. 44

1) Sejarah perompakan di Somalia ……… 50

2) Perkembangan perompakan di Somalia ………. 58

B. Beberapa kasus perompakan di Somalia ……… 62

C. Upaya pemerintah Somalia mengatasi perompakan di periaran negaranya……… 67


(7)

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI PERAIRAN SOMALIA.

A. Pertanggung Jawaban Pelaku Perompakan Menurut

Hukum Internasional ……….…….….. 71

B. Yurisdiksi Pengadilan Yang Berwenang Untuk Mengadili Prompak

Somalia ………. 74

C. Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

menanggulangi perompakan di Somalia……….……….. 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 95


(8)

ABSTRAKSI

Tindakan perompakan kapal yang dilakukan perompak Somalia merupakan kejahatan yang paling meresahkan dunia perkapalan dan sangat mengganggu keamanan Internasional. Kita ketahui bahwa pembajakan ini terus saja terjadi sejak tahun 1991 hingga sekarang yang sasarannya kapal-kapal asing yang melewati perairan Somalia. Akibat dari pembajakan ini adalah banyak kapal-kapal kargo dan kapal-kapal pengangkut minyak yang mengalami kerugian cukup besar dikarenakan barang-barang dan minyak yang diangkutnya dirampas dan disandera oleh perompak Somalia. Banyak juga kapal-kapal asing yang melewati perairan di laut lepas dibajak oleh perompak Somalia yang tujuannya hanya untuk memperoleh uang tebusan dari setiap kapal yang mereka bajak. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisis mengenai bangaimana pengaturan Hukum Internasional terhadap perompakan kapal laut. Kedua bagaimana perompakan kapal laut yang terjadi di Somalaia. Ketiga bagaimana pertanggungjawaban kejahatan yang telah dilakukan oleh perompak Somalia menurut Hukum Internasional.

Pembahasan terhadap permasalahan diatas dilakukan melalui metode pengumpulan data yang bersumber dari media massa elektronik yang menyangkut tentang permasalahan khusus mengenai perompakan di Somalia dan juga menggunakan metode Library Research yaitu suatu teknik pengumpulan data yang tidak secara langsung ke objek penelitian melainkan dengan penelusuran buku-buku, dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian pemasalahan.

Dalam penulisan ini dapat ditarik kesimpulan yakni, pertama hukum Internasional UNCLOS 1982, IMO dan IMB telah menggolongkan aksi perompakan sebagai aksi pembajakan yang tergolong kedalam aksi

Transnational Crime karena dampaknya bagi keamanan internasional. Kedua.

Perompakan yang terjadi merupakan akibat dari tidak adanya ketidakstabilan politik dan pemerintahan serta tingkat perekonomian yang rendah dinegara tersebut yang mendorong masyarakat untuk melakukan aksi perompakan. Ketiga penegakan hukum terhadap tindak pidana pembajakan kapal oleh perompak Somalia dilakukan dengan penerapan hukum pidana nasional negara-negara asing berdasarkan perinsip universalitas, ini dikarenakan negara-negara Somalia belum memiliki aturan hukum mengenai pengaturan penegakan hukum dan sanksi yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana perompakan kapal. Sehingga negara manapun dapat memberlakukan yurisdiksinya kepada para perompak yang tertangkap.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laut merupakan jalur transportasi pengiriman yang paling diminati untuk mengirimkan barang yang bersifat lintas negara, seiring dengan perkembangan zaman serta meningkatnya hubungan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalulintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/ kargo dari berbagai negara. Pada umumnya keamanan laut merupakan tanggung jawab semua negara. Laut dapat dikatakan aman apabila laut tersebut telah terbebas dari segala ancaman kekerasan, termasuk ancaman penggunaan kekuatan bersenjata yang dapat mengganggu dan membanyakan kapal-kapal yang berada di laut. Banyak hal yang dapat mengganggu keamanan dari laut itu sendiri, baik dari negara itu sendiri maupun dari negara lain yang biasa disebut

Transnational Crimes (kejahatan lintas negara).

Menurut United Nations Convention on Transnational Organized Crime tahun 2000, kejahatan bisa disebut bersifat transnasional jika:1

1. Dilakukan di lebih dari satu negara,

2. Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain,

1

Romli Atmasasmita. Pengantar HUkum Pidana Internasional. PT. Eresco: Bandung. 1995, hal 51


(10)

3. melibatkan organized criminal group (organisasi kriminal) dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara,

4. berdampak serius pada negara lain.

Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu. Menurut Martin dan Romano;2

“transnational crime may be defined as the behavior of ongoing organizations that involves two or more nations, with such behavior being defined as criminal by at least one of these nations”.“ Kejahatan lintas negara dapat didefinisikan sebagai prilaku organisasi yang sedang berlangsung yang melibatkan dua atau lebih negara dengan prilaku seperti yang di definisikan sebagai kriminal oleh setidaknya satu dari negara-negara”

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang lintas antar negara. Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan matang. Pelakunya tak hanya nation-state (negara) tapi juga individu dan kelompok juga bisa berperan sebagai “sponsor” tak sekedar sebagai pelaku. Motif dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak

2

Oentoeng Wahjoe, Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, Penerbit Erlangga; Jakarta, hal 30


(11)

memandang ideologi, suku bangsa atau agama dari pelakunya. Transnational Crime (kejahatan lintas negara) itu sendiri seperti terorisme, bajak laut, pencucian uang, perdagangan manusia (Human Trafficking), penyelundupan manusia

(people smuggling), perdagangan obat-obat terlarang (drugs Trafficking), dan perdagangan senjata illegal.

Saat ini salah satu bentuk kejahatan Transnational Crime (kejahatan lintas negara) yang paling menyita perhatian internasional ialah pembajakan atau bajak laut. Kejahatan lintas negara ini sangat meresahkan dunia internasional, karena sasaran dari kejahatan tersebut ialah kapal-kapal komersial dari berbagai negara yang melintasi wilayah laut teritorial negara maupun di laut lepas.

Pada hakikatnya bajak laut sudah ada sejak zaman dahulu atau pada masa-masa kerajaan. Kegiatan pembajakan kapal awalnya merupakan bagian dari tugas armada laut dari sebuah kerajaan tertentu yang diberi kekuasaan langsung dari seorang raja untuk menjaga keamanan laut dari kerajaan dan kapal-kapal dagang mereka serta menyerang kapal-kapal pengangkut dari kerajaan lain untuk merampas hasil bumi dari kerajaan lain. Pembajakan ini dilakukan terhadap kapal-kapal yang memiliki bendera kapal-kapal yang berbeda, pada masa ini kegiatan perompakan tidak dapat dihukum karena mendapat kewenangan dan perlindungan langsung dari salah satu negara.

Bajak laut muncul sekitar tahun 1600 diawali dengan berkumpulnya orang-orang yang diusir dari negara asalnya, buronan, budak, Indian pemberontak dan orang-orang yang dikejar oleh agama di sebuah pulau dibagian barat koloni


(12)

Spanyol (sekarang Haiti). Pada tahun 1920 karena keterbatasan hasil bumi di pulau tersebut untuk menopang kebutuhan hidup mereka, mereka mulai melakukan perompakan kecil-kecilan terhadap kapal-kapal yang melintas di sekitar pulau, pada masa ini istilah bajak laut mulai dikenal banyak negara. Perompakan mencapai kejayaannya antara tahun 1690 hingga 1720 karena pada saat itu sedang ramai-ramainya pelayaran kapal-kapal dagang antara negara-negara di Eropa dengan koloni-koloninya di seluruh dunia. Di Samudra Hindia terdapat bajak laut seperti William Kidd dari Madagaskar serta bajak laut yang paling terkenal sepanjang masa karena kejahatan dan kesadisannya yaitu “Blackbeard” atau Si Janggut Hitam (nama aslinya Edward Teach). Aktifitas bajak laut sendiri mulai berkurang setelah tahun 1720, ketika era-era itu Angkatan Laut Inggris menyebar keseluruh dunia.3

Saat ini serangkaian peristiwa perompakan dan pembajakan kapal telah terjadi di perairan Somalia dalam beberapa waktu terakhir ini, yaitu di wilayah perairan Teluk Aden dan lepas pantai Somalia. Teluk Aden merupakan perairan yang diapit oleh dua negara yaitu Somalia dan Yaman dan berhubungan langsung dengan Lautan Hindia dan Terusan Suez serta Laut Tengah (Laut Mediterania). Terusan Suez memiliki peran yang vital dalam dunia pelayaran karena menjadi urat nadi perhubungan lalu lintas pelayaran antara Eropa dengan Dunia Timur, dimana setiap tahunnya dilewati sekitar 20.000 kapal laut. Peristiwa pembajakan ini mengakibatkan kapal-kapal pengangkut minyak, kapal-kapal kargo barang, kapal pesiar menjadi rawan terhadap ancaman perompakan. Perompakan juga

3

Sejarah Awal Mula Bajak Laut dan Jenisnya,


(13)

dilakukan terhadap kapal-kapal pembawa bantuan kemanusiaan, serta kapal-kapal pembawa persenjataan.

Peristiwa ini tidak hanya mengganggu keamanan nasional Somalia saja akan tetapi juga telah mengancam keamanan pelayaran internasional, dengan kata lain kejahatan tersebut sudah masuk dalam taraf kejahatan internasional, yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal berbendera asing maupun warga negara asing yang melintasi perairan tersebut.

Sejak Presiden Siad Barre digulingkan dari jabatannya sebagai Presiden Somalia tahun 1991, Somalia telah mengalami krisis dalam proses penegakan hukum terutama dalam bidang pelayaran. Hal ini merupakan akibat dari kondisi pemerintahan yang tidak efektif lagi di negara tersebut, sehingga secara tidak langsung mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok kriminal bersenjata termasuk para pembajak.

Perompakan yang terjadi di Somalia tidak akan berhenti setelah merampas barang muatan. Mereka tidak akan langsung meninggalkan kapal sasarannya, akan tetapi tidak jarang para perompak akan melakukan hal-hal yang akan meningkatkan hasil kejahatan mereka. Mereka tidak segan-segan membunuh untuk menunjukkan kekuasaan dan kekejaman mereka agar para awak kapal dan pemilik kapal takut untuk melakukan tindakan perlawanan untuk menghindarkan diri dari pembajak.

Setelah merampas muatan, tidak sedikit perompakan juga disertai penculikan nahkoda kapal, anak buah kapal, bahkan kapal itu sendiri yang


(14)

bertujuan untuk memeras pemilik kapal untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu yang telah di tentukan sehingga mereka memperoleh hasil yang lebih besar. Ancaman bagi yang menolak membayar uang tebusan ini adalah kematian bagi awaknya dan kehilangan kapalnya.

Penegakan hukum terhadap tindakan perompakan kurang dilakukan disecara intensif. Hal ini terbukti dengan belum adanya pengadilan khusus bagi pelaku perompakan di negara Somalia maupun di tingkat pengadilan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil selama ini hanya untuk mengurangi jumlah pembajakan kapal saja, bukan untuk memberantas para pembajak tersebut hingga ke akar-akarnya.

Pembajakan yang terjadi di Somalia berupa pembajakan dan perompakan di laut. Pembajakan ini terjadi bukan hanya di wilayah teritorial Somalia saja, tetapi, pembajakan juga di lakukan di wilayah lepas pantai Somalia, sehingga dalam penerapan hukumnya pun berbeda satu sama lain. Penerapan hukum terhadap pembajakan mengacu kepada Konvensi Hukum Laut tahun 1982 sedangkan pada kasus perompakan mengacu pada Konvensi Roma 1988 yang sejalan dengan prinsip universal hukum internasional. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai perkembangan perompakan yang menjadi gangguan kemanan pelayaran internasional, penulis ingin membuka mata kita semua atas apa yang sebenarnya terjadi di dalam


(15)

kehidupan nyata yang mana menjadi resiko dengan taruhan nyawa bagi seorang pelaut yang ingin berlayar dengan selamat dengan adanya kejahatan perompakan ini.

Sehubungan dengan hal ini, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam bab selanjutnya adalah :

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional terhadap Perompakan Kapal Laut?

2. Bagaimana perompakan kapal laut yang terjadi di Somalia?

3. Bagaimana pertanggungjawaban kejahatan yang telah dilakukan oleh perompak Somalia menurut Hukum Internasional?

C. Tujuan Pembahasan.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk menjelaskan pengaturan tentang kejahatan pelayaran menurut hukum internasional;

2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengatasi perompakan yang terjadi di Somalia;

3. Untuk menjelaskan pelaksanaan yurisdiksi terhadap kejahatan perompakan di Somalia menurut hukum internasional;

4. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(16)

Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain :

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pihak lain yang turut membaca karya tulis ini tentang kejahatan perompakan yang terjadi di Somalia

2. Agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa membentuk suatu usaha yang nyata untuk dapat memberantas perompakan yang terjadi di Somalia yang telah mengganggu kemanan pelayaran internasional

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul Tinjauan Yuridis Tentang Perompakan Kapal Laut Di Perairan Somalia.

Dalam penulisan ini penulis melakukan studi kepustakaan guna memperoleh data yang dapat mendukung penulisan sekripsi ini.

Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat dalam perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.


(17)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Negara

Negara merupakan suatu lembaga yaitu sistem yang mengatur hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan yang paling pokok yaitu suatu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan. Negara memiliki sifat territorial/ kewilayahan dan pemerintahan yang menjalankan kekuasaan dan pengawasan atas orang-orang dan barang-barang dalam batas kewilayahannya.

Negara merupakan subjek hukum terpenting dibandingkan subjek hukum internasional lainnya. Dalam hukum internasional, terdapat pengertian bahwa suatu negara menempati daerah tertentu dari permukaan bumi, dimana negara menjalankan yurisdiksinya dengan mengenyampingkan yurisdiksi negara lain, akan tetapi selalu tunduk kepada hukum internasional.4

2. Unsur-Unsur Negara

Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek hukum internasional memerlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut.5

1) Penduduk yang tetap

Penduduk merupaka unsur pokok bagi pembentukan suatu negara. Penduduk adalah kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua jenis kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama dan kebudayaan, yang

4

Huala Adolf, Aspek-asopek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi) . PT. RajaGrafindo Persada 2002: Jakarta hal. 1

5


(18)

hidup dalam suatu negara melalui hubungan yuridis dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan.

2) Wilayah tertentu

Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara diatasnya. Konfrensi PBB III mengenai Hukum Laut telah mengelompokkan sebagian besar negara di dunia atas tiga kelompok, yaitu kelompok negara pantai (the coastal state group), negara yang tidak berpantai (the

land-locked state group) dan negara-negara yang secara geografis tidak

menguntungkan (the geographically disadvantaged state group) wilayah merupakan unsur mutlak bagi pembentukan suatu negara

3) Pemerintahan

Yang dimaksud dengan pemerintahan biasanya adalah badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat tersebut, hukum internasional menghendaki bahwa pemerintah yang ada mempunyai kekuasaan yang efektif ialah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kapasitas nyata untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri.

4) Kedaulatan

Kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya


(19)

yang tidak bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan juga mempunyai arti yang sama dengan kemerdekaan. Kata merdeka lebih mengacu pada suatu negara yang tidak lagi berada dibawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya, sedangkan kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eksklusif yang memiliki negara tersebut dalam melaksanakan kebijaksanaannya.

3. Laut Sebagai Bagian Dari Wilayah Negara

a. Pengertian Laut

Secara geografis, laut dapat diartikan sebagai kumpulan air asin yang sangat luas yang memisahkan benua yang satu dengan benua lainnya dan juga memisahkan pulau yang satu dengan pulau lainnya. Sedangkan dari segi hukum, laut merupakan keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas diseluruh permukaan bumi.6

b. Laut dan Pengaturannya

Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai. Oleh karena itu kewenangan negara pantai dapat menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah perairannya terhadap kejahatan-kejahatan. Khususnya yang

6


(20)

dilakukan oleh kapal asing harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional.

4. Laut Yang Tunduk Dibawah Kedaulatan Negara Pantai dan Negara Kepulauan

a. Perairan pedalaman

Perairan pedalaman (internal,national, atau interior waters) adalah perairan yang berada pada sisi darat ( dalam) garis pangkal. Pada perairan pedalaman ini, negara pantai memiliki kedaulatan penuh atasnya. Pada prinsipnya negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau menikmati hak lintas (damai) di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini terbentuk karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas damai di perairan tersebut dapat dinikmati oleh negara-negara lain.7

b. Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak lebih lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di perairan teritorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya (Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982). Istilah perairan teritorial ini mengandung arti bahwa perairan itu sepenuhnya merupakan bagian wilayah suatu negara, sebagaimana halnya dengan wilayah daratannya.8

7

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi) . PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.2002 hal 147

8


(21)

c. Selat

Selat yang dimaksud disini adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (straits used for international navigation). Hal ini diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 35 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara-negara yang berada di tepi selat memiliki kedulatan (yurisdiksi) penuh diatasnya.

Ada dua kategori selat, yaitu selat-selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional yang menghubungkan laut lepas atau ZEE lainnya (Pasal 37 KHL 1982), dalam kategori berikut ini berlaku hak lintas transit kapal-kapal asing. Selanjutnya selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan teritorial suatu negara asing9

d. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan diatur pada Pasal 33 KHL 1982 yang menentukan sebagai berikut:

1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan untuk keperluan:

a) pencegahan pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiskal, keimigrasian atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya; b) menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran peraturan

tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

9


(22)

2. Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.

e. Zona Ekonomo Eksklusif (ZEE)

Pasal 55 UNCLOS 1982 mengenai rezim khusus ZEE, disebutkan bahwa,”Zona Laut Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan nama hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dengan konvensi ini”10

Selanjutnya Pasal 57 menentukan bahwa,”Zona Ekonomi Eksklusif tidak melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial”

Hak-hak negara pantai Dalam Zona Ekonomi EKsklusif adalah

a) Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;

b) Negara pantai memiliki yurisdiksi yang berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Hak-hak dan kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi Eksklusif, diatur dalam Pasal 58 KHL 1982, sebagai berikut:

10


(23)

a) Pada ZEE, semua negara baik negara pantai maupun bukan dapat menikmati (dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi ini) kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini;

b) Pasal 88 sampai dengan pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain berlaku terhadap Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab V Konvensi Hukum Laut 1982;

c) Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara-negara harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab V Konvensi Hukum Laut 1982.

f. Landas Kontinen

Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis


(24)

pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 KHL 1982).

1. Hak-hak negara pantai atas landas kontinen:

a. Negara pantai memiliki hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya (Pasal 77);

b. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk membangun pulau buatan instalasi, dan bangunan di atas landas kontinen (Pasal 80);

c. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur pemboran pada landas kontinen untuk segala keperluan (Pasal 81); d. Hak negara pantai untuk eksploitasi tanah di bawah landas kontinen

dengan melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang kedalaman perairan di atas tanah dan di bawah landas kontinen tersebut (Pasal 85);

e. Hak negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada pendudukan/okupasi (Pasal 77 ayat 3).

2. Hak negara lain atas landas kontinen dan persyaratan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut (Pasal 79 KHL 1982):

a. Semua negara memiliki hak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut pada landas kontinen;

b. Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak


(25)

boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian;

c. Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut tersebut harus mendapat persetujuan dari negara pantai;

d. Negara pantai memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, dan memiliki yurisdiksi atasnya;

e. Negara-negara yang memasang kabel dan pipa bawah laut harus memperhatikan kabel dan pipa yang sudah ada dan tidak menimbulkan kerugian bagi negara pantai atau negara lain

5. Laut Yang Berada Di Luar Yurisdiksi Nasional

Bagian laut yang tidak termasuk dalam yurisdiksi suatu negara adalah laut lepas (the High Sea). Pada mulanya, laut lepas berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk pada perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara.11

11

Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional.Djambatan: Jakarta. 1989, hal 62

Laut lepas merupakan res nullius (semua negara dapat memanfaatkannya), kecuali apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara. Doktrin laut bebas ini menandakan bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainnya.


(26)

Pada Pasal 86 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).12

Selanjutnya Pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958 tentang laut lepas, menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negara pun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya kebawah kedaulatannya. Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 2 dari konvensi dan aturan-aturan hukum internasional lainnya, baik untuk negara pantai maupun bukan negara pantai, antara lain terdiri dari:

a) kebebasan pelayaran; b) kebebasan menangkap ikan;

c) kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut; d). Kebebasan penerbangan di atas laut lepas.

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran.

12


(27)

Pasal 92 konvensi menyatakan bahwa, sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan kapal demikian dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan.

Mengenai status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Hal ini berarti bahwa setiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera tersebut. Untuk menentukan status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka perlu dibedakan antara kapal publik dan kapal swasta.

6. Perbedaan antara kapal-kapal publik dan kapal-kapal swasta

Untuk membedakan kapal publik dengan kapal swasta, perlu diperhatikan tentang penggunaan kapal tersebut. Jika sebuah kapal yang disewa oleh pemerintah untuk tujuan non komersial maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik. Sedangkan jika kapal publik disewa oleh suatu perusahaan swasta untuk tujuan komersial, maka status kapal tersebut selama disewa adalah kapal swasta.13

13

Leden Marpaung, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, 1993, hal 54-58


(28)

1. Kapal perang

Kapal-kapal perang merupakan kapal publik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 29 UNCLOS 1982, yang memberikan definisi sebagai berikut:14

“Kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.”

Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal-kapal perang bukan saja kapal-kapal-kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan angkatan laut, seperti kapal ranjau laut, kapal penarik, kapal-kapal militer, dan lain sebagainya.

2. Kapal-kapal publik non-militer

Kapal-kapal publik yang dimaksud disini yaitu, kapal-kapal pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal-kapal logistik pemerintah, kapal-kapal-kapal-kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal-kapal-kapal-kapal pengawasan pantai, dan lain sebagainya.

3. Kapal-kapal dagang

Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta.

14


(29)

4. Kapal organisasi-organisasi internasional

Yaitu kapal yang digunakan oleh organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional. Misalnya PBB, Badan-Badan khusus PBB dapat memakai kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-masing bendera sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS 1982.

7. Wewenang penuh ketentuan-ketentuan negara bendera

Pasal 92 UNCLOS 1982 menentukan bahwa, semua kapal yang berada di laut lepas tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera. Suatu kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Wewenang ini dilaksanakan karena tidak adanya kekuasaan internasional di laut lepas, sehingga masing-masing kapal akan memakai dan tunduk pada undang-undang negara benderanya.15

Kemudian dalam hal pemberian kebangsaan pada kapal-kapal yang berlayar di laut lepas diatur dalam Pasal 19 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa, “setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hak

15


(30)

mengibarkan benderanya”. Pasal tersebut menegaskan bahwa harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu. Selanjutnya Pasal 94 menguatkan bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. Selanjutnya pasal tersebut juga menyatakan bahwa, bila sebuah kapal berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dapat dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan

8. Kejahatan Pelayaran a. Pembajakan di Laut

Defenisi perompak (pirates) diatur dalam pasal 101 United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982; dimana

pengertian perompakan mengandung makna :

a) Any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation commited for private ends by crew or passenger rof a private ship or a private aircraft and directed :

i. On the high seas, against another ship or aircraft, or against

persons or property on board such ship or aircraft

ii. Against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any state.

b) Any act of voluntary participation in the operation of ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a private ship or aircraft. c) Any act inciting of internationally facilitating an act described in sub

paragraph (a) or (b)

Secara bebas definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

a) Setiap perbuatan illegal atas kekerasan atau penahanan, atau setiap perbuatan pembinaan yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh Anak


(31)

Buah Kapal (ABK) atau penumpang dari sebuah kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan ditujukan:

i. Di wilayah laut lepas, terhadap kapal atau pesawat lain atau terhadap orang atau benda-benda di atas kapal atau pesawat tersebut,

ii. Terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau benda-benda di suatu wilayah diluar yurisdiksi negara manapun

b) Setiap perbuatan ikut serta secara sukarela di dalam penyelenggaraaan suatu kapal atau sebuah pesawat sedang diketahuinya secara nyata bahwa kapal atau pesawat tersebut digunakan sebagai kapal atau pesawat perompak.

c) Setiap perbuatan menghasut secara sengaja dengan memberi fasilitas untuk suatu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf (a) atau (b).

Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang telah lama ada. Pembajakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan. Sejak abad ke-18 masyarakat bangsa-bangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional (piracy de jure gentium). Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa karena sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsa-bangsa-bangsa-bangsa.


(32)

Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat manusia);

b. Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara; c. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan;

d. Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih;

e. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional.

Kejahatan pembajakan sempat dianggap telah lenyap pada awal abad ke-19 yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

a. Teknologi, peningkatan ukuran dan kecepatan kapal pada abad ke-18 dan abad ke-19 tidak menguntungkan bagi para pembajak karena tidak mudah untuk dikejar oleh para pembajak;

b. Peningkatan kekuatan Angkatan Laut, pada abad ke-18 dan abad ke-19 memperlihatkan adanya peningkatan patroli angkatan laut internasional di sepanjang jalur lalu lintas laut;

c. Peningkatan kualitas administrasi pemerintahan, abad ke-18 dan ke-19 ditandai dengan administrasi tetap terhadap sebagian besar pulau dan wilayah daratan oleh pemerintah kolonial atau negara-negara yang mempunyai kepentingan langsung untuk melindungi kapal-kapal mereka;


(33)

Keseragaman peraturan pembajakan, terdapat pengakuan umum yang menyatakan pembajakan sebagai kejahatan internasional yang tidak akan ditoleransi oleh negara manapun untuk melindungi armada kapal mereka. Setelah berakhirnya perang dunia kedua pengaruh faktor-faktor diatas yang menjadi hambatan bagi berkembangnya kejahatan pembajakan mulai berkurang.

Dalam perkembangannya, keempat faktor diatas justru berbalik arah menjadi faktor pendukung lahirnya pembajakan laut modern. Faktor-faktor tersebut antara lain:16

a. Teknologi, kapal-kapal modern memiliki kecepatan tinggi dan peralatan canggih untuk melindungi kapal tersebut. Selain memberikan dampak positif, teknologi mengurangi jumlah awak kapal yang dipekerjakan sehingga meningkatkan jumlah awak kapal yang tidak bekerja yang akhirnya banyak diantara mereka menjadi bajak laut karena mereka tidak memiliki keterampilan lain. Para bajak laut juga memanfaatkan kecanggihan teknologi yang meningkatkan kecepatan kapal pembajak, kecanggihan senjata dan memudahkan untuk melarikan diri.

b. Menurunnya frekuensi patroli Angkatan Laut, perubahan politik dunia internasional mempengaruhi bentuk Angkatan Laut di dunia. Setelah perang dunia kedua berakhir, negara-negara tidak lagi membangun Angkatan Laut yang besar dan kuat. Negara-negara lebih memilih mempunyai Angkatan Laut yang lebih kecil dan efisien. Hal ini menyebabkan penurunan patroli di laut internasional sehingga kapal-kapal tidak lagi terlindungi.

16

Mengapa Perompakan terus Terjadi


(34)

c. Perubahan administrasi pemerintahan di wilayah kolonial. Pengaturan yang telah dibuat oleh pemerintahan kolonial tidak diterima oleh negara-negara jajahan yang menerapkan aturan-aturan baru. Namun pengaturan yang dilakukan oleh negara-negara merdeka tidak dapat berjalan efektif karena kekurangan dana. Pemerintahan baru khususnya Angkatan Laut negara-negara jajahan yang kekurangan dana, sarana dan prasarana tidak mampu mengamankan wilayah laut mereka. Hal ini menyebabkan pembajakan berkembang pesat.

d. Kurangnya peraturan yang berkaitan dengan pembajakan dan perampokan bersenjata hal ini dipengaruhi karena pembajakan dan perampokan bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kejahatan internasional serius yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional.

b. Perompakan (perompokan bersenjata) di Laut

Perompakan atau dikenal juga dengan istilah perampokan bersenjata terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22), Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or property on board such ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.” 17

17

Perompakan di Laut, http:// repository.unila.ac.id:8180/dspace. Diakses Pada 27 Mei 2012


(35)

Dapat diartikan bahwa perompakan atau perampokan bersenjata adalah:

1. Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan, yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.

2. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

9. Perbuatan Melanggar Hukum Terhadap Keselamatan Pelayaran dan Penyebab Timbulnya Kejahatan di Laut

a. Perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran

Berdasarkan Pasal 3 Konvensi Roma 1988 tentang perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation), disebutkan bahwa setiap orang dapat dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum jika orang itu tidak sah dan dengan sengaja:

1. `Mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara kekerasan atau ancaman atau bentuk intimidasi lainnya;

2. Melakukan tindak kekerasan terhadap seseorang di atas kapal, dimana tindakan tersebut dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran;


(36)

3. Menghancurkan atau menyebabkan rusaknya kapal atau muatannya yang dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran.

b. Penyebab timbulnya kejahatan di laut

Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kegiatan aksi-aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak. Adapun faktor-faktor utama yang memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata di laut adalah sebagai berikut:18

1. Situasi ekonomi di kawasan sekitar.

Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh terhadap perilaku kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut.

2. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri.

Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyatnya. Masalah-masalah seperti pemenuhan kebutuhan pokok rakyat merupakan tugas pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi kepentingan umum secara

18

Konflik Kewenangan di Laut Dalam Penegakan Hukum, Keselamatan dan Keamanan Serta Perlindingan Laut/ Maritim.


(37)

bijaksana dapat mendorong sekelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan demi kepentingan kelompoknya. Sehingga dalam hal ini, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik kepada masyarakatnya.

3. Rendahnya kemampuan para penegak hukum

Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, di kapal dan di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain. Lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang terhadap aksi kejahatan di laut. 4. Lemahnya sistem hukum di bidang maritim;

Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal. Selain itu, sistem hukum yang harus ditegakkan saat ini semestinya tidak lagi memandang kejahatan di laut sebagai tindakan kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya tersebut semakin luas.


(38)

5. Kondisi Geografis

Kondisi geografis suatu wilayah juga dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para pelaku kejahatan di laut sebelum melakukan aksinya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal terlebih dahulu. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, mendorong para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukan di perairan lepas/terbuka.

F. Metode Penulisan

Agar suatu penulisan mempunyai suatu manfaat, maka penulis merasa perlu adanya metode tertentu yang di pakai di dalam pengumpulan data guna mencapai tujuan dari penulisan itu sendiri.

Di dalam penulisan skripsi ini penulis memakai metode pengumpulan data yang bersumber dari media massa yang mengangkat permasalahan khusus mengenai hal-hal yang menyangkut Pembajakan Kapal Laut di Perairan Somalia. Dengan menggunakan metode penggabungan data-data yang telah diperoleh melaluai metode library research, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang tidak secara langsung terjun ke lapangan aau ke objek penelitian melainkan dengan mengadakan pencatatan, penelusuran buku, dokumen, majalah, surat kabar, internet dan tulisan-tulisan lain yang ada hubungannya dengan objek penelitian.


(39)

Maka dengan demikian diharapkan metode penggabungan pengumpulan data ini dapat membantu penulis dalam memahami permasalahan yang diangkat, dan menjadi landasan pemikiran penulis dalam menganalisa permasalahan tersebut. Diharapkan tujuan untuk mendapatkan kebenaran akan terjawab yang sebenar-benarnya dari permasalahan yang telah penulis angkat dalam skripsi ini dapat tercapai dengan baik.

G. Sistematika Penulisan.

Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman isi skripsi ini, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai gambaran dari keseluruhan skripsi ini yang disusun secara bertahap, yaitu bab demi bab. Namun secara menyeluruh merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan.

Ada pun sistematika dari penulisan skripsi ini disusun dalam bab-bab yang terdiri dari :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum sebagai pendahulaun untuk pembahasan dalam bab-bab berikutnya. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan yang diangkat perumusan masalah, tujuan pembahasan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.


(40)

BAB II : ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN

Dalam bab ini di uraikan mengenai pengertian serta aturan hukum internasional tentang perompakan seperti menurut United Nations

Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS), International

Maritime Organization (IMO), serta International Maritime

Bureau (IMB).

BAB III : PEROMPAKAN DI PERAIRAN SOMALIA

Bab ini membahas mengenai sejarah perompakan di Somalia, faktor penyebab serta perkembangan perompakan di Somalia, beberapa kasus pembajakan yang terjadi di Somala dan upaya dari pemerintah Somalia dalam mengatasi perompakan di wilayah perairan negaranya.

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PEROMPAKAN KAPAL LAUT DI

PERAIRAN SOMALIA

Bab ini menguraikan tentang bagaimana pertanggungjawaban pelaku perompakan menurut hukum internasional dan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perompak Somalia serta


(41)

peranan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menanggulangi perompakan di Somalia.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini meguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan yang ada, kemudian dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian permasalahan dimasa yang akan datang.


(42)

BAB II

ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN

A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea)

Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United

Nation Convention on The Law of The Sea) UNCLOS 1982 yang mengatur

tentang perompakan terdapat di dalam pasal 100-107. Didalam pasal 100 disebutkan bahwa aksi kejahatan Piracy (perompakan) merupakan tindakan ilegal yang terjadi di laut lepas atau disuatu tempat diluar yurisdiksi suatu negara. Kemudian dalam pasal 101 UNCLOS 1982, yang isinya sebagai berikut :

a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan :

i. Di laut lepas, terhadap suatu kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau pesawat udara demikian; ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang disuatu tempat

di luar yurisdiksi Negara manapun;

b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela delam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.


(43)

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub ayat (a) atau (b).

Dari isi pasal diatas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa perompakan di laut dapat disebut sebagai piracy apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum; 2. Untuk tujuan pribadi;

3. Yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship atau

private aircraft;

4. Terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara.

Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini merupakan tindakan kejahatan yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Karena pada kenyataannya justru sebagian besar insiden perompakan terjadi di laut teritorial suatu negara. Jadi mengenai aksi perompakan yang sering terjadi di perairan Somalia jika mengacu pada konvensi ini maka hal ini kurang relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengingat bahwa perompakan yang terjadi di Somalia terjadi baik di luar laut teritorial maupun di sekitar perairan laut negaranya.


(44)

Pada pasal 105 UNCLOS yang berbunyi ;

”di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara mananpun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetap kan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tujuan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik”.19

Dari isi pasal diatas dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa kapal laut yang digunakan untuk melakukan kejahatan perompakan dapat dilakukan penyitaan oleh pihak ketiga atau negara lain yang mana penyitaan kapal perompak tersebut berada diluar yurisdiksi negara manapun. Pengadilan negara ketiga tersebut dapat memberikan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan serta menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal perompak tersebut.

Sedangkan kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena perompakan tercantum dalam Pasal 107 yang berbunyi :

”Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal tersebut.”20

Dalam pasal 105 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa setiap negara manapun dapat menyita suatu kapal yang telah diambil oleh perompakdan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang

19

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Pasal 105 20


(45)

ada di kapal di setiap tempat lain di luar yurisdiksi negara manapun. Sedangkan dari pengegakan hukum terhadap pelaku perompakan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kapada negara yang telah melakukan tindakan penangkapan untuk menetapkan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan sesuai dengan hukum nasionalnya, dan juga dapat menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal dan barang-barang, yang dilakukan dengan itikad baik dari negara tersebut.

B. Perompakan Menurut IMO (International Maritime Organization)

Perompakan saat ini telah mengalami perubahan-perubahan baik dalam taktik, persenjataan maupun ruang lingkup operasi. Selain itu pada saat sekarang ini, perompakan telah dimasukkan kedalam kejahatan internasional dan diatur dalam hukum internasional. Organisasi Maritim Internasional (International

Maritime Organization-IMO) merupakan salah satu badan organisasi

internasional yang mengatur tentang perompakan di dunia. IMO mengeluarkan defenisinya tentang perompakan. Definisi yang dikeluarkan oleh IMO berdasarkan hukum laut internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea) tahun 1982:21

“any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ships or a private aircraft, and directed on the high seas against another ships or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft; against a ship, aircraft, persons, or property in a place outside the jurisdiction of any state.”

“setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan, atau tindakan penjarahan, berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang dari kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan diarahkan di laut lepas terhadap yang lain kapal atau pesawat udara, atau terhadap orang atau

21


(46)

properti di kapal atau pesawat udara;. terhadap kapal, pesawat terbang, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara manapun "

Definisi IMO tersebut memiliki lima karakteristik yaitu :22

1) Pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan, penyekapan atau penjarahan.

2) Pembajakan laut harus dilakukan di laut lepas atau tempat lain diluar yurisdiksi sebuah negara. Ketentuan tersebut membatasi defenisi pada sebuah tindakan kekerasan atau penahanan illegal terhadap sebuah kapal di laut bebas atau di wilayah lainnyadi luar yurisdiksi sebuah negara. Sehingga, aksi perompakan dan pembajakan yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorial suatu negara tidak akan dimasukkan kedalam istilah bajak laut. Oleh karena itu IMO mendefinisikan serangan kriminal dengan senjata terhadap kapal di dalam perairan teritorial sebagai perompakan bersenjata, bukan aksi bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum terhadap para tersangka termasuk prosedur penangkapan, penahanan dan pengadilan serta vonis hukuman.

3) Defenisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua kapal (two ships requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal dari dalam kapal tidak termasuk aksi perompakan. Begitu juga dengan

22

Defenisi Bajak Laut IMO.


(47)

penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas dermaga.

4) Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak dimasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak laut. 5) Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi perompakan

karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang kapal milik pribadi.

Dan berdasarkan Pasal 2.2 dari International Maritime Organization

Maritime Security Commite (Organisasi Maritim Internasional Komite Keamanan

Maritim) (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (Naskah kode praktek Investigasi terhadap Kejahatan Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery against ship (perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut:23

Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or

detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offenses” “perompakan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan, atau pembunuhan terhadap tawanan, terhadap kapal, individu, harta kekayaan, yang dilakukan didalam wilayah yurisdiksi suatu negara” (IMO Draft Code of Practice).

23

Pembajakan dan Perompakan Bersenjata Terhadap Kapal-Kapal,


(48)

Dalam definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi perompakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa perompakan terjadi diluar yurisdiksi suatu negara. Sedangkan aksi kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara disebut sebagai armed robbery (perampokan bersenjata).

Kekhawatiran akan tindakan melanggar hukum yang mengancam keselamatan kapal dan penumpang kapal dan awak kapal pada tahun 1980-an, IMO mengadakan sebuah koferensi pada Maret 1988 di Roma. Dalam konferensi ini lahirlah sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988). Tujuan utama Konvensi ini adalah memastikan bahwa diambilnya tindakan yang tepat terhadap orang-orang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan kekerasan terhadap orang-orang di kapal.

Tindakan melanggar hukum dalam Konvensi ini terdapat dalam Pasal 3 yang berbunyi:24

“1. Setiap orang yang melakukan kejahatan jika orang tersebut secara melawan hukum dan dengan sengaja:

a)Merebut atau mengambil kendali atas kapal dengan kekerasan atau

ancaman daripadanya atau bentuk intimidasi lainnya; atau

24

Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (Rome, march 1988), Pasal 3


(49)

b)Melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal jika tindakan yang kemungkinan besar akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau

c) Menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan pada kapal

atau muatannya yang kemungkinan akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau

d)Ditempatkan atau dengan sengaja menempatkan dikapal, dengan cara

apapun alat-alat yang kemungkinan akan merusak kapal itu atau menyebabkan kerusakan pada kapal itu, atau muatannya yang membahayakan atau mungkin membahayakan navigasi yang aman dari sebuah kapal; atau

e)Menghancurkan atau merusak fasilitas nevigasi lautatau mengganggu

jalannaya kegiatan mereka, jika tindakan tersebut akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal; atau

f) Memberikan informasi yang salah, sehingga membahayakan navigasi

aman kapal;

g)Melukai atau membunuh seseorang,sehubungan dengan percobaan setiap

tindak pidana yang ditetapkan dalm sub ayat (a) sampai (f)”

Dilihat dari segi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di laut (perompakan) IMO menyerahkannya kepada negara-negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para pelaku dapat dihukum sesuai dengan hukum nasional negara mereka. Keterlibatan negara yang diharapkan oleh Imo adalah dengan menetapkan suatu tindakan pembajakan sebagai tindak pidana, mengakuinya sebagai perbuatan melawan hukum dan memiliki sifat pida dengan menetapkan kewajiban untuk melarang dilakukan mencegah, menuntut, dan memidana.


(50)

Dalam Pasal 11 Konvensi Roma 1988 dijelaskan bahwa setiap negara mengupayakan untuk memasukkan kejahatan-kejahatan di laut (perompakan) sebagai kejahatan yang dapat di ekstradisi. Hal ini diharapkan dapat memimalkan lepasnya para perompak dari pemidanaan, akibat dari belum adanya hukum nasional yang menetapkan tindakan pembajakan sebgai tindakan yang melawan hukum di negra yang menangkap para pelaku pembajakan.

C. Perompakan Menurut IMB (International Maritime Bureau)

International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi piracy -perompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa perompakan hendaknya diartikan sebagai: “act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof”“tindakan menumpang terhadap kapal dengan tujuan untuk mencuri atau

tindakan kejahatan lainnya dengan dorongan untuk menggunakan kekerasan”.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan pembajakan. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi pembajakan yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap


(51)

keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.

Sejalan dengan UNCLOS 1982 dan IMO, IMB juga menekankan penegakan hukum kepada para pelaku perompakan kapada negara-negara yang memiliki kepentingan dalam hal pemberantasan pembajakan. IMB tidak memiliki aturan secara khusus tentang pemidanaan para perompak, tatapi IMB memiliki Pusat Pelaporan Pembajakan yang bertugas untuk memberikan informasi kepada negara pemilik kapal agar dapat melakukan penegakan hukum terhadap aksi tersebut.


(52)

BAB III

PEROMPAKAN DI PERAIRAN SOMALIA

A. Sejarah Negara Somalia dan Perompakan di Perairan Somalia

Republik Demokratik Somalia adalah sebuah negara yang terletak di sebelah timur Afrika, di Samudera Hindia dan Teluk Aden. Negara ini berbatasan dengan Djibouti, Ethiopia dan Kenya. Keseluruhan populasi Somalia diperkirakan sekitar 6.000.000 jiwa. Negara ini juga memiliki populasi pengungsi terbesar di seluruh dunia. Kelompok etnis di negara ini mencakup Somalia (98%) dan Arab serta Asia (2%). Bahasa yang banyak digunakan adalah bahasa Arab dan Somalia (keduanya bahasa resmi), Inggris juga Italia. Islam (Sunni) adalah agama utama. Tingkat baca tulis diperkirakan sekitar 40%.

Pemerintah negara ini pada tahun 1990 berbentuk Republik. Berdasarkan konstitusi tahun 1979, Presiden dinominasikan oleh Komite Pusat Partai Sosialis Revolusioner Somalia (Central Committee of the Somali Revolutionary Socialist Partay) dan dipilih oleh Sidang Rakyat (People’s Assembly) untuk masa jabatan enam tahun. Sidang ini dinominasikan oleh partai dan dipilih oleh suara terbanyak untuk masa jabatan lima tahun, dan enam anggota yang ditunjuk oleh Presiden. Pengadilan terdiri dari Pengadilan Distrik, Pengadilan Regional, Mahkamah Banding dan Mahkamah Agung.


(53)

Masyarakat Somalia terbagi menjadi klan dan sub-klan, sub-klan itu sendiri berada dibawah klan yang kemudian seterusnya berlanjut hingga menjadi satuan negara. Lima Klan tersebut ialah Darod, Hawiya, Isaak, Dir dan Digil Mirifleh. Namun, dalam perjalanannya keinginan untuk mempersatukan kependudukan Somalia itu menemui kegagalan yang berujung terhadap kekalahan militer dan konflik internal yang kemudian tumbuh.

Pada Mei 1991, klan-klan di daerah utara yang sekarang disebut dengan Somali Land memproklamasikan kemerdekaannya. Walaupun tidak diakui oleh kebanyakan negara, entitas ini masih tetap ada dengan bantuan klan berkuasa yang sangat berpengaruh dan infrastruktur ekonomi bekas peninggalan program kerjasama militer dengan Inggris, Rusia dan Amerika Serikat.

Somalia dahulunya berupa Protektorat Britania. Tidak lama kemudian setelah Somalia Britania merdeka, dia bergabung dengan Somalia Italia untuk membentuk Somalia pada 1960. Perdana menteri Somalia Britania, Ibrahim Egal, menjadi salah satu menteri di Republik Somalia. Ia menjadi Perdana Menteri pada 1967 tetapi digulingkan melalui kudeta pada 1969.

Pada 1991, setelah ambruknya pemerintah Somalia, wilayah di bagian barat laut Somalia ini memproklamasikan kemerdekaan Republik Somalia, meskipun hampir tidak ada kalangan internasional yang mengakui kedaulatannya. Egal dilantik sebagai Presiden pada 1993, terpilih kembali pada 1998 dan tetap berkuasa hingga dirinya meninggal pada 03 Mei 2002. Wakil presiden Dahir Riyale Kahin menggantikan posisi Egal.


(54)

Sejak meraih kemerdekaan, Somalia telah berupaya menguasai daerah Sanaag dan Sool. Upaya Somali Land untuk memproklamasikan kemerdekaannya menjadi sulit tanpa Sanag dan Sool karena wilayah Somali Land sekarang tidak memadai dari segi ekonomi. Somalia sendiri terbagi menjadi lima wilayah, yang masing-masing wilayah mempunyai pemerintahan sendiri dan berbeda dengan wilayah lainya. Pembagian wilayah tersebut, yaitu:25

1) Pembagian wilayah Somalia

Pada bagian tengah bendera Somalia terdapat gambar bintang putih yang memiliki lima segi. Bintang ini merupakan lambang bahwa sebenarnya wilayah Somalia mencakup lima wilayah, yang keseluruhannya disebut dengan Somalia Raya.

Dua di antara wilayah tersebut yaitu Somali Land dan Punt Land terbentuk dan bersatu mulai dari tahun 1960 hingga 1991. Keduanya disebut dengan Republik Somalia. Namun sejak tahun 1991, keduanya terpecah dan memiliki pemerintahan masing-masing. Sedangkan tiga wilayah lainnya bisa dinamakan dengan wilayah Somalia yang hilang. Karena hingga saat ini, wilayah tersebut masih terpisah dengan Somalia atau telah menjadi bagian dari negara tetangga. Lima wilayah tersebut adalah :

a. Somalia Italia

Wilayah ini dikenal dengan nama Somalia Italia karena ia adalah bekas jajahan Italia. Somalia Italia merupakan wilayah terluas dibanding wilayah lainnya. Wilayah ini meraih kemerdekaan dari Italia pada tanggal

25

Republik Demokratik Somalia http;/


(55)

1 Juli 1960, kota terpenting di wilayah ini adalah Mogadishu, ibu kota Somalia saat ini. Sejak meletusnya perang saudara di Somalia (1991), Somalia Italia terpecah-pecah lagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang saling terpisah. Di antara wilayah yang terpecah ini adalah:

• Negeri Punt (Punt Land), terletak di sebelah Timur Laut Somalia. Luas wilayahnya sekitar 200.000 km2, atau 33% dari luas seluruh wilayah Somalia. Punt Land dihuni oleh sekitar 2,5 juta penduduk. Sejak Agustus 1998, Dewan Suku di wilayah ini mengumumkan pemerintahan mandiri secara sepihak. Sejak saat itu, terpilihlah Abdullahi Yusuf sebagai presiden di wilayah ini.

• Wilayah Somalia Barat Daya Wilayah Somalia Barat Daya terbentuk pada April 2002 dengan nama "Kiyan Janub Gharbiy Al-Shumal". Wilayah ini menjadikan kota Baidoa sebagai ibukotanya. Di bawah kepemerintahan Kolonel Hasan Muhammad Nur.

• Wilayah Jalka'iu Wilayah ini terbentuk pada Oktober 2002 atas prakrasa dari kepala-kepala suku dan para pemuka agama. Wilayah ini terletak di sebelah timur laut Somalia. Nama wilayah ini diambil dari nama sebuah 74 daerah di Somalia yang bernama Jalka'iu. Mayoritas penduduknya berasal dari suku Hawiya dan Darod. Wilayah Jalka'iu ini membangun hubungan diplomasi dengan wilayah Punt Land.

• Wilayah Kekuasaan Pemerintahan Transisi Selain tiga wilayah di atas, sisa dari wilayah Somalia Italia saat ini adalah wilayah dari


(56)

pemerintahan transisi. Namun untuk saat ini. Pemerintahan transisi hanya menguasai sebagian saja dari wilayah ibukota, Mogadishu.

b. Ard Al-Shumal (Somali Land)

Ard Al-Shumal dikenal dengan Somali Land atau Somalia Inggris, karena wilayah ini pernah berada di bawah kekuasaan Inggris. Somali Land terletak di sebelah Barat Daya Somalia. Ia meraih kemerdekaan dari Inggris pada 26 Juni 1960. Luas wilayah Somali Land sekitar 137.600 km2 dengan jumlah penduduk 3,5 juta jiwa. Sebelah utaranya berbatasan dengan Djibouti, Ethiopia, dan Teluk Aden. Ibu kotanya Hergeisa. Somali Land memisahkan diri dari Republik Somalia sejak tahun 1991.

Ketika presiden Somalia yang diktator bernama Siad Barre berhasil digulingkan pada 19 Januari 1991, Muhammad Ibrahim Egal mengumumkan kemerdekaan wilayah Somali Land pada 18 Mei 1991. Namun pemisahan diri secara sepihak ini tidak mendapat pengakuan internasional.

Pada tahun 2001, Somali Land menyelenggarakan referendum yang menyebabkan terpisahnya Somali Land secara mutlak dengan Republik Somalia.Pada waktu yang sama, mereka membentuk wilayah dengan nama Republik Somali Land.Sebagai wilayah yang mengumumkan berpisah dan merdeka secara sepihak, Somali Land telah memiliki pemerintahan, parlemen, dan militer sendiri. Di antara kota penting di Somali Land adalah kota Barbarah. Di kota ini terdapat pelabuhan yang terletak di


(57)

Teluk Aden. Ethiopia menggunakan pelabuhan ini sebagai jalur memasok barang impor. Keistimewaan Somali Land dibandingkan dengan wilayah lainnya adalah, wilayah ini relatif aman dibanding wilayah Somalia lainnya, khususnya dengan adanya upaya terus-menerus dalam menanggalkan senjata dari milisi-milisi militer.

c. Wilayah Ogaden

Wilayah ini juga dikenal dengan Somalia Barat. Wilayah ini telah digabung menjadi bagian dari Ethiopia pada tahun 1954. Pihak Ethiopia menamakan wilayah ini dengan nama "wilayah kelima" atau wilayah Ogaden. Wilayah ini mayoritas dihuni oleh suku Arab Muslim yang memiliki dasar dari Somalia.

d. Wilayah Somalia Barat Daya

Wilayah ini dikenal dengan nama Northern Frontier District (NFD) atau Wilayah Perbatasan Utara. Wilayah Somalia ini hingga kini masih menjadi bagian dari wilayah Kenya. Ibu kotanya bernama Gharisa. Wilayah NFD ini telah digabungkan menjadi bagian dari Kenya sejak tahun 1963, setelah penandatanganan perjanjian Oresya. Sebelum Kenya merdeka dari penjajah Inggris, seluruh partai di wilayah NFD ini sepakat melakukan referendum untuk menentukan sikap mereka, apakah bergabung dengan Kenya atau kembali bergabung dengan Somalia. Hasilnya, rakyat NFD lebih memilih bergabung dengan Somalia, namun


(58)

Inggris menghapus hasil referendum ini, sehingga sampai saat ini NFD masih menjadi bagian dari wilayah Kenya.

e. Wilayah Afar dan Isa (Djibouti)

Daerah ini dikenal dengan Somalia Perancis. Sejak kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1977, wilayah ini lebih dikenal dengan nama Djibouti. Afar dan Isa adalah dua suku utama di wilayah ini. Secara sejarah, bahasa, dan system masyarakat, Djibouti ini merupakan bagian dari Somalia. Namun secara geografis telah terpisah. Setelah wilayah ini merdeka, Djibouti langsung menjadi anggota Liga Arab, PBB, dan organisasi internasional lainnya.

1) Sejarah perompak di Somalia

Somalia dahulu bernama Republik Demokratik Somali, adalah sebuah negara di pesisir Afrika Timur yang eksis secara de jure. Somalia tidak memiliki otoritas pemerintah pusat yang diakui. Otoritas secara de facto berada di tangan pemerintah yang tidak diakui, yaitu Somaliland (bekas wilayah Britania Raya yang terletak di bagian barat laut Somalia), Puntland (wilayah bagian Timur laut Somalia), dan beberapa panglima perang (warlord) yang saling bermusuhan, di mana ketiga-tiganya memimpin pemerintahan oposisi.

Pada tahun 1991, satelah runtuhnya pemerintahan Mohammed Siad Barre, Somalia terus dilanda konflik. Dan akibatnya Somalia tidak memiliki pemerintahan yang fungsional. Somalia kerap disebut sebagai negara gagal


(59)

karena kekerasan konflik, kekacauan dan kemiskinan yang terjadi. Tidak berfungsinya pemerintahan di Somalia mengakibatkan kerusuhan dan konflik internal yang berkepanjangan. Akibatnya beberapa klan militan yang terdapat di Somalia membentuk wilayahnya masing- masing dan mengklaim kemerdekaan negaranya sendiri. Klan-klan militan tersebut diantaranya adalah Darod, Hawiye, Digil-Mirifie, dan Dir.26

Kemarau yang berkepenjangan menyebabkan masyarakat dilanda kelaparan. Keadaan ini semakin memperburuk ekonomi Somalia sejak runtuhnya pemerintahan Mohammed Siad Barre. Akibatnya timbul niat jahat di masyarakat untuk melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi kehidupannya. Sedangkan sebahagian masyarakat lain memilih untuk menjadi seorang nelayan.

Tetapi setelah runtuhnya pemerintahan Muhammed Siad Barre dan ketidakstabilan keamanan yang terjadi di Somalia, dimanfaatkan beberapa negara untuk melakukan tindakan yang melangar hukum internasional. Banyak kapal-kapal asing dari negara-negara maju dan Asia yang melakukan pembuangan limbah nuklir baracun dan penangkapan ikan secara illegal di perairan laut Somalia.27

26

Profil Negara Somalia, http;//www.indonesia-addis.org.et., Diakses Pada 31 Mei 2012

Mereka datang dengan menggunakan kapal-kapal yang memiliki teknologi terbaru untuk masuk kedalam perairan laut Somalia tanpa izin.

27

Pembajakan Kapal Somalia, Momok Industry Maritime Dunia”, oleh. Ims Sanjaya

(Dosen Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin),


(60)

Masyarakat Somalia (nelayan Somalia) merasa terganggu dengan masuknya kapal-kapal asing tersebut ke negaranya karena mengurangi hasil tangkapan mereka yang hanya mempergunakan alat-alat tradisional untuk menangkap ikan. Tindakan kapal-kapal tersebut telah merugikan nelayan Somalia yang saat itu sangat kekurangan. Masyarakat yang berada atau tinggal di pinggir pantai berfikir bahwa merekalah yang harus melindungi sendiri laut negaranya.

Nelayan-nelayan Somalia yang merasa terganggu dengan kehadiran kapal-kapal asing penangkap ikan tersebut membentuk perkumpulan yang disebut dengan penjaga pantai. Penjaga pantai ini terdiri dari nelayan-nelayan yang berada di daerah persisir Somalia. Penjaga pantai bertugas untuk mengawai serta mengusir kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan laut Somalia keluar dari negara mereka.

Pada awalnya penjaga pantai menjaga perairan laut Somalia hanya dengan menggunakan kapal nelayan biasa tanpa menggunakan senjata, dan hanya memberikan teguran kepada kapal-kapal asing tersebut, tetapi tanggapan yang mereka terima dari kapal-kapal asing penangkap ikan tersebut sangat tidak manusiawi, yaitu menabrakkan kapal-kapal besi mereka ke kapal penjaga pantai yang hanya terbuat dari kayu. Tindakaan-tindakan yang dilakukan kapal-kapal asing penangkap ikan tersebut menyebabkan kapal-kapal para penjaga pantai tenggelam dan matinya penjaga pantai.


(1)

mereka, serta mendesak semua negara memperlakukan aksi perompakan sebagai tindakan kriminal melalui hukum nasional di negara masing-masing.

Selain itu, Dewan Keamanan PBB juga menggaris bawahi pentingnya langkah-langkah untuk melakukan investigasi serta menuntut siapa pun yang mendanai, merencanakan, mengorganisir secara tidak sah menerima keuntungan dari aksi-aksi serangan yang dilakukan perompak di Perairan Somalia. Dewan Keamanan PBB melihat ketidakstabilan yang terus berlangsung di Somalia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya perompakan dan perampokan bersenjata di Perairan Somalia.

Dalam resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan, Dewan Keamanan PBB memberikan wewenang kepada negara-negara dan organisasi sekawasan untuk memasuki wilayah Somalia serta menggunakan langkah-langkah apapun yang diperlukan untuk memerangi perompakan.

Langkah-langkah yang dimaksud antara lain dengan mengerahkan kapal dan militer, juga merampas serta membuang perahu, kapal, persenjataan dan peralatan-peralatan apapun yang digunakan para perompak untuk menjalankan aksi serangannya.

Dengan keluarnya resolusi Dewan Keamanan PBB setidaknya akan memicu dan menstimulus dunia internasional dalam upaya memerangi perompak Somalia. Salah satu contohnya adalah diadilinya sepuluh perompak Somalia di Jerman dan diancam hukuman selama lima belas tahun. Tentunya dengan regulasi yang jelas, para awak kapal tidak perlu takut lagi untuk mempertahankan diri dan melawan tindakan para perompak saat melakukan pelayaran.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan penelitian yang penulis lakukan dalam menjawab permasalahan dalam skripsi ini maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil yakni:

1. Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation Convention on The Law of The Sea) 1982 telah mengatur tentang perompakan yaitu terdapat di dalam pasal 100-107. Dari pasal-pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa perompakan yang diatur dalam UNCLOS 1982 merupakan tindakan kejahatan yang terjadi dilaut bebas, dan disebut sebagai perompak. IMO yang merupakan salah satu badan organisasi internasional


(3)

yang mengatur tantang perompakan membuat konferensi di Roma yang menghasilkan sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988). Tujuan utama Konvensi ini adalah memastikan bahwa diambilnya tindakan yang tepat terhadap orang-orang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan kekerasan terhadap orang-orang di kapal. IMB sebagai Biro Martim Internasional memberikan penekanan terhadap peran dari dari negara-negara untuk memberantas perompak melalui hukum nasional mareka dengan itikad baik..

2. Perompakan yang terjadi di somalia merupakan akibat dari pemerintahan yang tidak berjalan secara efektif di negara tersebut. terdapat beberapa faktor penyebab yang menyebabkan terjadinya pembajakan kapal asing yang dilakukan oleh perompak Somalia yakni faktor ekonomi, faktor peperangan yang terus terjadi di negara tersebut yang dimanfaatkan oleh pihak luar atau asing sebagai lahan bisnis persenjataan illegal, faktor kemiskinan yang melanda negara tersebut. Masyarakat yang pada awalnya hanya seorang nelayan kini menjadi seorang perompak yang ditakuti dan mengubah perairan laut negaranya sebagai salah satu laut yang berbahaya bagi dunia pelayaran internasional. Mereka melakukan aksi perompakan kepada kapal-kapal yang berbobot mati puluhan bahkan ratusan ton yang kemudian di sandera, agar dapat meminta uang tebusan dari pemilik kapal.


(4)

3. Pertanggungjawaban kejahatan perompakan, menjurus kepada pemidanaan para pelaku perompakan. Dalam aksi perompakan ini berlaku Prinsip Yurisdiksi Universal karana telah mengancam keamanan masyarakat internasional. Dengan Prinsip Yurisdiksi Universal ini para pelaku perompakan dapat berada dibawah yurisdiksi negara mana pun yang menengkap mereka di mana pun tindakan itu dilakukan, serta tunduk pada Hukum Nasional negara yang menangkap perompak. Hal ini dikarenakan negara Somalia sendiri belum memiliki perangkat aturan hukum yang jelas mengenai pengaturan proses penegakan hukum dan sanksi yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana perompakan

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah disebutkan maka penulis memberikan beberapa saran dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Seharusnya hukum pidana nasional Somalia harus mengatur secara tegas tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana pembajakan kapal oleh perompak Somalia. Negara-negara asing yang terlibat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pembajakan kapal oleh perompak Somalia haruslah negara-negara yang hukum pidana nasionalnya telah mengatur tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana pembajakan kapal.

2. Tindakan pembajakan kapal asing yang dilakukan oleh perompak Somalia hanya dapat diberantas apabila melalui upaya kerjasama internasional dengan


(5)

negara-negara asing baik yang berkepentingan maupun yang tidak berkepentingan, sehingga sudah seharusnya negara-negara internasional turut serta dalam hal membantu negara Somalia untuk memberikan bantuan yang diperlukan negara tersebut untuk melakukan upaya penegakan hukum terhadap perompak Somalia. Bantuan yang diberikan tidak hanya sebatas dalam upaya penegakan hukum saja tetapi juga dalam hal peningkatkan perekonamian dinegara Somalia sendiri, serta membantu peningkatan kemampuan dari Angkatan Bersenjata Somalia, sehingga nantinya mereka mampu secara mandiri menjaga keamanan perairan negaranya.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja Garafindo, Jakarta, 1996.

Anwar, Chairul, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Djamban, Jakarta, 1989.

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.

Brierly, JL., Hukum Bangsa-Bangsa, PT. Bharatara, Jakarta, 1996

Marpaung, Laden SH, Tindak Pidana Perairan Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.


(6)

Marzuki, Peter Mahmud, Prof .Dr, Sh, MS,LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta 2008.

Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Bandung 2006

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Wahjoe, Oentoeng, Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Peroses Penegakannya, Erlangga, Jakarta, 2008.

B. Peraturan Perundang-undangan

- United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 - Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of