BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi - Hubungan Jumlah Saudara Terhadap Kejadian Rinitis Alergi Pada Anak

2.1. Rinitis Alergi

  2.1.1. Definisi

  Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE-mediated)

  9 terhadap paparan alergen pada membran nasal.

  2.1.2. Epidemiologi

  Rinitis alergi terjadi pada sekitar 20 sampai 40 juta penduduk Amerika Serikat setiap

  10

  tahunnya, mencakup 10% sampai 30% pasien dewasa dan 40% anak-anak. Rinitis

  9-11

  alergi sering dijumpai terutama pada anak usia sekolah. Sebuah penelitian oleh

  

International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) fase 3 yang

  dilakukan di 98 negara di seluruh dunia melaporkan prevalensi rinitis alergi sangat bervariasi dengan rerata 8.5% untuk usia 6 sampai 7 tahun dan 14.6% pada usia 13

  7

  sampai 14 tahun. Faktor risiko rinitis alergi adalah faktor genetik (riwayat keluarga

  9 atopi), pemberian makanan padat terlalu dini, dan ibu merokok selama kehamilan.

  Sebaliknya, jumlah saudara yang banyak pada anak dikatakan sebagai faktor

  9-11 protektif.

  4 Walaupun belum ada metode baku yang diterima secara luas dalam menentukan derajat keparahan rinitis alergi, badan internasional Allergic Rhinitis and its Impact

  

on Asthma (ARIA) pada tahun 2001 telah menyusun klasifikasi rinitis alergi sebagai

  berikut:

  9 Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi

  9

  1 “Intermittent” bila gejala ditemukan:

  • kurang dari 4 hari dalam seminggu,
  • atau berlangsung kurang dari 4 minggu 2 “Persistent” bila gejala ditemukan:
  • lebih dari 4 hari dalam seminggu,
  • dan berlangsung lebih dari 4 minggu 3 “Mild” bila tidak dijumpai gejala-gejala berikut:
  • gangguan tidur,
  • gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga,
  • gangguan kegiatan sekolah atau kerja,
  • gejala lainnya yang mengganggu 4 ”Moderate-severe” bila dijumpai satu atau lebih gejala berikut:
  • gangguan tidur,
  • gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga,
  • gangguan kegiatan sekolah atau kerja,
  • gejala lainnya yang mengganggu Berdasarkan klasifikasi di atas, seorang pasien rinitis alergi dapat dimasukkan dalam salah satu dari 4 kategori: (1) mild intermittent, (2) mild persistent, (3)

  

moderate/severe intermittent, dan (4) moderate/severe persistent. Klasifikasi

  tersebut tidak menggunakan istilah ‘seasonal’ dan ‘perennial’, dan menekankan bahwa suatu alergen inhalan (seperti grass pollen) yang terdapat secara musiman

  (ACAAI) dan Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology Joint Task Force on

  

Practice Parameters dalam dokumennya, ‘The diagnosis and management of

rhinitis: An updated practice parameter’ tahun 2008 tetap mempertahankan istilah

  ‘seasonal’ dan ‘perennial’ dalam klasifikasi pasien rinitis alergi. Istilah klasik ini berguna secara klinis dalam menggolongkan pasien secara akurat ke dalam kategori rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial), atau rinitis alergi

  11 sepanjang tahun dengan eksaserbasi musiman.

2.1.4. Patofisiologi

  Paparan berulang terhadap alergen akan menghasilkan presentasi alergen oleh

  

antigen presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan

  interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan berlanjut dengan terjadinya kaskade respons imun sehingga menimbulkan

  12

  gejala klinis rinitis alergi. Respons alergi pada rinitis alergi dibagi atas fase awal

  12,13

  dan fase lambat. Selama fase awal, terjadi peningkatan IgE yang berikatan pada sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator yang telah terbentuk (preformed mediators) seperti histamin, triptase, kininogenase (menghasilkan bradikinin), heparin dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, sel mast juga mensekresi mediator seperti prostaglandin-D2 (PGD2) dan sulfidopeptidyl

  12

leukotrienes (LT)C4, LTD4, dan LTE4. Mediator tersebut menyebabkan

  peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menimbulkan gejala klinis bersin,

  3,12,13 12,13

  paparan alergen.

  Sekitar 50% gejala rinitis alergi merupakan menifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala timbul setelah 4 sampai 6 jam pasca

  13

  paparan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Gejala rinitis alergi fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman dan hipereaktivitas hidung disebabkan oleh eosinofilia lokal pada mukosa hidung dengan

  3,13 mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti.

2.1.5. Manifestasi klinis

  Gejala rinitis alergi mencakup rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing (bersin) yang bersifat

  9-11

  reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Rasa gatal di hidung akan menyebabkan bersin berulang (paroxysmal sneezing). Sekret hidung yang timbul

  3,13 dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post-nasal drip yang tertelan.

  13 Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. Gejala

  bernafas melalui mulut sering terjadi terutama pada malam hari akibat hidung yang tersumbat, sehingga menyebabkan tenggorokan kering, mengorok (snoring),

  9,11,13,14

  gangguan tidur serta kelelahan pada siang hari. Kombinasi gejala hidung berair, tersumbat, gatal dan bersin adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu

  13

  aktivitas sehari-hari. Pada rinitis alergi, sering dijumpai injeksi konjungtiva, mata

  14 berair dan merah.

  Pasien rinitis alergi dapat mempunyai wajah khas berupa warna gelap atau

  13,14

  13,14 (allergic crease).

  Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. Pada rinoskopi anterior akan ditemukan tanda klasik berupa mukosa nasal yang edema dan berwarna pucat kebiruan (lividae) disertai sekret yang

  13 encer.

  2.1.6. Temuan laboratorium

  Uji tusuk kulit merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk

  13,14

  mengidentifikasi IgE alergen-spesifik terutama untuk alergen inhalan. Walaupun serum IgE umumnya meningkat, pengukuran serum total IgE merupakan skrining

  14

  yang buruk karena tidak dapat membedakan subjek yang atopi. Pada pemeriksaan sekresi nasal atau pemeriksaan darah dapat dijumpai eosinofilia yang merupakan

  14 temuan laboratorium yang sering tetapi tidak spesifik.

  2.1.7. Diagnosis 3,9- Anamnesis yang efektif sangat penting dalam diagnosis dan evaluasi pasien.

  11,13,14

  Anamnesis harus mencakup informasi pola penyakit, lama penyakit, variasi gejala sepanjang tahun dan gejala lain yang berhubungan, respons pengobatan, ada

  9,11 tidaknya penyakit penyerta, serta paparan lingkungan dan faktor-faktor pencetus.

  Pemeriksaan fisik menyeluruh dengan memfokuskan pada saluran nafas atas harus dilakukan pada semua pasien dengan riwayat rinitis, baik dengan atau tanpa riwayat

  9-11,14 atopi.

  9,11

  saat pasien tersebut tidak menderita infeksi saluran nafas. Diagnosis mudah ditegakkan bila rinitis disertai manifestasi penyakit lain seperti konjungtivitis, alergi

  9 pada kulit dan/atau asma.

  International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) merupakan

  suatu penelitian multisenter skala besar yang dilakukan pada lebih dari 56 negara di seluruh dunia yang menggunakan kuesioner baku (ISAAC core questionnaire) untuk menilai prevalensi dan derajat keparahan asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi pada anak pada berbagai kondisi demografis dan geografis yang berbeda di seluruh

  9,15

  dunia. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) dalam laporannya tahun 2001 merekomendasikan penggunaan ISAAC core questionnaire sebagai suatu kuesioner standar yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis untuk identifikasi

  9 gejala dan evaluasi keparahan rinitis alergi terutama pada negara berkembang.

2.1.8. Diagnosis banding

  9,14

  Rinitis alergi harus dibedakan dari rinosinusitis akibat infeksi. Benda asing pada hidung dan kelainan anatomi seperti atresia koana, deviasi septum nasi, polip nasal, dan hipertropi adenoid dapat menyebabkan gejala kronis yang mirip rinitis alergi. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan dapat mengakibatkan rinitis medikamentosa akibat rebound congestion, sedangkan obat-obatan seperti propranolol, klonidin dan beberapa agen psikoaktif dapat menyebabkan hidung tersumbat. Makanan pedas dan panas dapat merangsang terjadinya gustatory

  14 rhinitis. Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat atopi cenderung menderita penyakit alergi (risiko alergi 50% sampai 80%) bila dibandingkan dengan anak tanpa riwayat

  16

  atopi keluarga (risiko alergi 20%). Sebuah studi melaporkan insidensi penyakit atopi pada anak tanpa riwayat atopi keluarga sebesar 10%, bila salah satu orangtua menderita penyakit atopi sebesar 20%, dan bila dijumpai riwayat atopi pada kedua

  17

  orangtua meningkat menjadi 42%. Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Alergi Imunologi IDAI) dan Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) memperkenalkan kartu deteksi dini risiko alergi yang merupakan sistem penilaian untuk memprediksi risiko alergi pada anak berdasarkan riwayat atopi orangtua dan saudara kandung. Berdasarkan riwayat atopi orangtua dan saudara kandung tersebut, seorang anak dikelompokkan menjadi risiko kecil,

  

18

sedang, dan tinggi untuk menderita alergi.

2.2. Hubungan Rinitis Alergi dengan Jumlah Saudara

  Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya prevalensi rinitis alergi selama tiga

  19,20

  dekade terakhir. Pada saat yang sama, paparan anak terhadap infeksi semakin berkurang selama beberapa dekade terakhir, baik di negara maju maupun negara berkembang, sebagai dampak dari westernisation lifestyle seperti berkurangnya jumlah saudara dalam keluarga, higiene yang meningkat dan semakin seringnya

  1,2 intervensi medis berupa pemberian antibiotik dan vaksinasi.

  Hipotesis higiene yang mulai berkembang akhir 1980-an, diyakini sebagai jawaban terhadap peningkatan prevalensi rinitis alergi, asma dan penyakit atopi lain

  2

  

2,8,20

dapat melindungi anak dari penyakit atopi.

  Perkembangan terakhir mengenai diferensiasi limfosit-T mendukung adanya mekanisme tertentu yang bersifat protektif terhadap atopi yang berhubungan dengan

  2,20

  paparan infeksi sebelumnya. Masa awal kehidupan berperan penting terhadap

  2

  pembentukan sistem imun. Sel T-helper manusia yang terdiri dari T-helper 1 (Th-1) dan T-helper 2 (Th-2) mempunyai fungsi yang berbeda. Sel Th-1 efektif dalam membunuh virus tertentu dan patogen intraseluler dan meregulasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sedangkan sel Th-2 lebih efektif dalam membunuh patogen ekstraseluler seperti parasit (cacing) dan berperan dalam respons imun terhadap antigen, termasuk alergen lingkungan. Sel Th-2 merangsang eosinofil dan sel mast sehingga terjadi reaksi alergi dan inflamasi. Kedua sel Th ini saling meregulasi silang diantaranya (cross-regulate) untuk mempertahankan

  2,21 keseimbangan respons imun tubuh.

  Sistem imun fetus sedikit condong ke arah pembentukan respons imun sel Th-2. Namun, infeksi pada awal kehidupan oleh virus maupun bakteri, akan menstimulasi respons imun sel Th-1 sekaligus mengarahkan reaksi alergi yang diperantarai sel Th-2 ke pola respons imun sel Th-1 sehingga menghambat

  2,20,22

  pembentukan IgE. Periode kritis untuk tercapainya keseimbangan respon imun Th-1 dan Th-2 belum jelas, tetapi maturasi sistem imun umumnya berlanjut sampai

  22 usia 5-7 tahun.

  Berikut akan dibahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kejadian rinitis alergi sesuai dengan hipotesis higiene. Rerata jumlah saudara dalam satu keluarga mengalami penurunan pada akhir abad

  20. Di New Zealand, angka kelahiran pada tahun 2001 adalah sebesar 1.98, jika dibandingkan dengan 4.2 kelahiran pada tahun 1960 dan 3.1 kelahiran pada tahun 1920. Pada tahun 1966 terdapat rata-rata 2.5 anak per keluarga, sedangkan

  2

  pada tahun 1996 jumlah ini turun menjadi 1.95 anak per keluarga. Jumlah saudara dalam satu keluarga dikatakan sebagai determinan kuat terhadap kejadian atopi

  2,8,20

  pada anak, remaja dan dewasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah kelahiran yang rendah dalam keluarga merupakan suatu faktor risiko

  23-30

  terjadinya rinitis alergi dan penyakit atopi. Secara keseluruhan, hasil-hasil penelitian tersebut konsisten terhadap hipotesis bahwa penyebaran infeksi berulang dari saudara pada masa awal kanak-kanak mencegah berkembangnya reaksi

  26,28,29

  alergi. Sebuah systematic review mendapatkan 17 penelitian yang melaporkan hubungan hay fever terhadap jumlah saudara dan semuanya melaporkan korelasi negatif yang signifikan, dengan odds ratio (OR) antara 0.20 dan 0.65 untuk tiga atau

  30 lebih jumlah saudara dibandingkan dengan anak tanpa saudara.

  Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko atopi pada kehamilan berikutnya. Hal ini

  31

  mengacu pada hipotesis berikut ini:

  a. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran (hipotesis toleransi induksi). Toleransi imun maternal yang ditunjukkan dengan rendahnya kadar IgE berperan penting dalam respons atopi pada anak sehingga ditemukan penurunan kadar IgE serum tali pusat seiring dengan meningkatnya jumlah dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini dapat menghasilkan penurunan kadar IgE serum tali pusat pada keturunan yang memiliki jumlah saudara kandung yang lebih banyak (hipotesis toleransi transmisi). Penelitian terhadap 1456 bayi baru lahir di Inggris menunjukkan kadar IgE tali pusat menurun seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan IgE tali pusat yang diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi pada usia 4 tahun. Selain itu juga dilaporkan bahwa kadar IgE tali pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode prenatal sehingga dikatakan bahwa

  32 efek saudara kandung terhadap kejadian alergi sudah berasal dari uterus.

2.2.2. Tempat Penitipan Anak (TPA)

  Seiring dengan berkurangnya jumlah saudara dalam satu keluarga, jumlah tempat penitipan anak justru semakin bertambah dalam beberapa dekade terakhir. Tempat penitipan anak memungkinkan paparan infeksi yang sering pada awal masa kanak-

  2 kanak sehingga diyakini memiliki efek protektif terhadap terjadinya atopi.

  Sebuah penelitian melaporkan sensitisasi hay fever, asma, dan hipereaktivitas bronkus lebih sering timbul pada anak-anak di Jerman Barat dibandingkan dengan anak sebaya yang tinggal di Jerman Timur (masing-masing

  33

  37% versus 18%). Sekitar 71% anak-anak usia 1 sampai 3 tahun di Jerman Timur dititipkan di TPA, dibandingkan hanya 7% di Jerman Barat pada saat yang sama; sehingga tingginya perawatan anak di TPA di Jerman Timur sebelum unifikasi diyakini sebagai penjelasan terhadap perbedaan sensitisasi hay fever, asma, dan

  2,33 Sebuah penelitian menyatakan bahwa infeksi berulang pada awal kehidupan dapat

  8

  mencegah berkembangnya rinitis alergi (hay fever). Dikatakan bahwa faktor penting yang berkaitan dengan peningkatan penyakit atopi di negara-negara barat adalah menurunnya paparan infeksi diantara anak dikarenakan jumlah anggota keluarga

  1,2,8,30 yang semakin sedikit.

  Prevalensi atopi berhubungan terbalik terhadap frekuensi / tingkat paparan terhadap patogen orofekal atau penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) seperti Toxoplasma gondii, virus hepatitis A dan Helicobacter

  

pylori. Namun, hubungan yang sama tidak ditemukan pada infeksi oleh virus yang

  ditularkan melalui sistem organ lain seperti penyakit campak, rubela, cacar air, herpes simpleks tipe I atau penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus; sehingga dapat disimpulkan bahwa infeksi oleh patogen saluran cerna lebih baik daripada virus yang ditularkan melalui udara dikarenakan patogen saluran cerna

  34 tersebut memberikan efek proteksi dalam melawan atopi.

2.2.4. Imunisasi pada bayi

  Adanya dugaan bahwa imunisasi akan meningkatkan kejadian alergi, baik melalui pengaruh terhadap rendahnya paparan infeksi maupun efek langsung perangsangan

  2,35

  IgE oleh vaksin. Namun, dua penelitian skala besar yang dilakukan di Inggris (penelitian kohort tahun 1999 dengan jumlah sampel 9500 anak yang lahir pada awal 1990-an) dan penelitian di Swedia (jumlah sampel 9829 anak) tidak menemukan adanya hubungan antara vaksinasi pertusis terhadap kejadian asma

  36,37 Paparan lingkungan berhubungan dengan kejadian atopi. Sebuah penelitian di Quebec pada 1199 anak sekolah mendapatkan bahwa anak yang dibesarkan pada lingkungan ladang atau pedesaan semasa kecilnya memiliki risiko asma lebih kecil (OR 0.59; IK 95% 0.37 sampai 0.95) dan kejadian atopi yang lebih rendah (OR 0.58;

  38 IK 95% 0.46 sampai 0.75) dibandingkan dengan sampel lainnya. Yang diamati dalam penelitian

Gambar 2.1. Kerangka konseptual

  Genetik (riwayat atopi keluarga) Lingkungan pedesaan

  Paparan / infeksi silang

  

  Proliferasi sel Th1 ↓

  Proliferasi sel Th-2 & produksi sitokin

  

Produksi IgE

  

Rinitis alergi

  Konsentrasi IgE maternal ↑

  Konsentrasi Ig E tali pusat ↑

  Imunisasi Tempat penitipan anak

  

Jumlah saudara