Potensi Fitoremediasi Dan Constructed We

Potensi Fitoremediasi Dan Constructed Wetland Pada Pengolahan
Limbah Cair Industri Kulit Samak
Febriani Purba
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PENDAHULUAN
Latar belakang
Industri kulit samak merupakan salah
satu industri yang tidak ramah lingkungan.
Hal ini karena banyaknya jumlah limbah
padat dan cair yang dihasilkan. Dalam
setiap pengolahan 1 ton kulit mentah
menjadi kulit samak dibutuhkan sekitar
50-150 liter air dan sekitar 300 kg bahan
kimia. Bahan kimia yang biasa digunakan
pada proses produksi adalah kromium,
sulfat, sodium sulfat, kapur, ammonium
sulfat, sodium klorida, asam sulfat,
formaldehid, pigment, pewarna, dan
bahan antijamur Bahan-bahan kimia ini
membuat intensitas racun yang dihasilkan
per unit output tinggi (Khan 2001). Di

Indonesia kromium merupakan bahan
penyamak yang banyak digunkan karena
harganya
yang
murah,
proses
penyamakan
yang
cepat,
serta
menghasilkan kulit samak yang stabil.
Membuang langsung limbah cair
penyamakan
kulit
tanpa
melalui
pengolahan terlebih dahulu dapat
menyebabkan masalah lingkungan serius
karena kandungan COD, BOD, kromium
dan pewarna yang tinggi (Song et al.

2000). Limbah cair industri kulit samak
mengandung sekitar 500-1000 ppm
kromium (Aravindhan et al. 2004).
Kromium dapat meracuni hewan dan
tanaman (Chidambaran et al. 2009).
Biaya pengolahan limbah cair industry
kulit samak tergolong mahal sehingga
banyak negara berkembang yang
menggunakan
pengolahan
primer
dan/atau sekunder berupa proses biologis
dan pysico-kimia seperti, pertukaran ion
resin (ion exchange), reverse osmosis,
sistem elektrolisis, precipitation, koagulasi
dan adsorpsi (Kacaoba et al. 2002, Hafez

et al. 2002). Sistem pengelolaan ini
biasanya mahal dan menghasilkan polutan
sekunder serta tidak efektif secara

ekonomi bagi industry skala kecil dan
menegah padahal menurut data Asosiasi
Pengusaha Kulit Samak Indonesia
sebanyak 75% industri kulit samak di
Indonesia merupakan industry skala kecil
dan menegah. Oleh sebab itu dibutuhkan
teknik pengelolaan limbah cair yang lebih
sederhana dan murah.
Pengolahan limbah cair dengan
constructed wetland merupakan teknik
yang banyak dilakukan karena efisisien,
murah dan powerful (Lu et al. 2016).
Sistem constructed wetland (CW) telah
banyak digunakan untuk mengolah
berbagai bentuk limbah cair, seperti
limbah industri, limbah rumah tangga
pedesaan,
limbah
rumah
tangga

perkotaan dan nonpoint-source pollutant
(Matamoros
and
Salvado
2012;
Galanopoulos et al. 2013; Shao et al.
2013). Tanaman air yang terdapat di
dalam CW merupakan salah satu elemen
penting yang berperan dalam proses
pengolahan limbah cair. Bersama-sama
dengan hewan dan mikroorganisme yang
hidup di air serta filler, membentuk
lingkungan flora dan fauna yang unik.
Ketika limbah mengalir proses pemurnian
limbah terjadi melalui proses filtrasi,
adsorpsi, sedimentasi, pertukaran ion,
penyerapan oleh tanaman, dekomposisi
mikroba, dll (Lu et al. 2016). Pemanfaatan
tanaman dalam proses penguraian dan
pemurnian limbah ini disebut dengan

fitoremediasi.

Tujuan
Paper ini bertujuan untuk mengulas
potensi pengolahan limbah cair industry
penyamakan
kulit
dengan
teknik
fitoremediasi dan constructed wetland.
PEMBAHASAN
Karakteristik Limbah Cair Industri Kulit
Samak
Limbah cair industry penyamakan kulit
pada umumnya berwarna keruh dan
berbau tidak sedap, karena umumnya
mengandung sisa-sisa daging serta darah,
bubur kapur, bulu halus, protein terlarut,
sisa garam, asam, sisa cat dan zat samak
krom (Yazid et al. 2007). Kromium (Cr)

merupakan logam dengan nilai oksidasi
mulai 2+ sampai 6+ Cr, namun biasanya
ada sebagai kromium trivalen Cr (III) dan
kromium heksavalen Cr (VI) (Cheung et al.
2007). Kromium dalam bentuk Cr(VI)
memiliki tingkat toksisitas yang paling
tinggi sekitar 10 sampai 100 kali dari Cr(III)
(Chauhan et al. 2015). The United States
Environmental Protection Agency telah
menggolongkan Cr6 + sebagai salah satu
dari 17 bahan kimia beracun bagi manusia.
Hal ini dianggap sebagai salah satu dari 20
kontaminan yang perlu ditangani sebelum
di buang ke lingkungan. Karakteristik
limbah cair industry penyamakan kulit dari
beberapa hasil penelitian oleh peneliti
terdahulu disajikan pada Gambar 1.
Tabel 1 Kandungan zat kimia limbah cair
Parameter


pH
BOD5*
COD*
TSS*
Cr total*

Singgih Cristina Terfie
et al.
et al.
et al.
(2008) (2007) (2015)
6.14 ±
8.2 ±
1.10
2.3
20
1000 ± 1054 ±
88
448
54

2250 ± 4434 ±
565
1846
20
92 ± 36
<
0.027 ±
40 ±
0.0072
0.075
27

Cr(VI) *

-

NH3*

0.58


NH4+*

-

*

0.004 ±
0.006
100 ±
14
-

-

563 ±
4

dalam mg/l

Fitoremediasi

Tanaman merupakan paru-paru alam
yang memilikim kemampuan untuk
membersihkan udara melalui mekanisme
fotosintesis dan meminimumkan jumlah
logam beracun dari tanah dengan bantuan
mikroorganisme melalui mekanisme
asimlilasi dan proses biotransformasi.
Vaskular tanaman menyerap racun dari
udara melalui daun atau dari tanah dan air
melalui akar. Berbagai spesies tanaman
diketahui dan telah diuji memiliki
kemampuan untuk menyerap dan
mengakumulasi beragam jenis logam
beracun, senyawa fenolik, pewarna azo,
berbagai kontaminan organik dan
anorganik lainya. Spesies tanaman ini
dapat bertindak sebagai excluders,
akumulator
dan
hiper-akumulator.

Excluders menumpuk polutan dari
substrat ke dalam akar dan membatasi
perpindahanya ke bagian lain, misalnya
tunas.
Akumulator
menumpuk
dan
mengubah polutan menjadi bentuk inert
dalam jaringan aerial, sedangkan
hyperaccumlators
mampu
mengumpulkan polutan dalam jumlah
yang sangat tinggi dibandingkan dengan
jenis tanaman lainnya (Memon et al.
2001; Sinha et al. 2007; Memon and
Schroder 2009; Sheoran et al. 2011; Malik
and Biswas 2012). Beberapa karakteristik
fitoremediasi sebagai teknologi ramah
lingkungan telah disajikan dalam Tabel 2.
Penelitian
tentang
mekanisme
penyerapan logam pada tanaman telah
banyak dilakukan (Lone et al. 2008;
Sureshvarr et al. 2010; Ali et al. 2013).

Tabel 2 Karakteristik fitoremediasi
Keuntungan
Sistem
autotrophic

Kekurangan
Biomassa rendah
dan pertumbuhan
lamban terutama
dalam hal
hyperaccumulators
Membutuhkan
Membutuhkan
input
nutrisi banyak waktu
sedikit,
tidak
memerlukan
tempat
pembuangan
khusus
Cost effective
Bioavailabilitas
polutan terbatas
Strategi
yang Risiko kontaminasi
berkelanjutan
pada
rantai
dan
ramah makanan
lingkungan
Sumber: Khandare et al. 92011a,b); Telke
et al. (2011;) Ali et al. (2013)
Fitoremediasi merupakan proses yang
murah, efisien, dan ramah lingkungan.
Teknik ini memanfaatkan secara efisien
penggunaan tanaman, enzim yang terkait
dan mikroba yang ikut berperan untuk
isolasi,
trasnportasi,
penyerapan,
detoksifikasi dan penghilangan mineral
beracun melalui proses biologis, fisiologi,
dan kimia yang kompleks (Sureshvarr et al.
2010; Khandare et al. 2011a,b; Etim 2012;
Ali et al. 2013). Tanaman ini selanjutnya
dapat dipanen dan diproses atau dibuang
secara aman. Cara ini cocok dilakukan
untuk menghilangkan kontaminan pada
level rendah sampai sedang (Ghosh dan
Singh 2005). Berdasarkan proses
detoksifikasi, jenis bahan pencemar,
medium, dan kadar polutan, fitoremediasi
dapat
diklasifikasikan
menjadi
phytoextraction,
phytofiltration,
phytostabilization, rhizodegradation dan
phytovolatilization (Tabel 3) (Raskin dan
Ensley 2000; Sureshvarr et al. 2010; Ali et
al. 2013). Efektivitas fitoremediasi dan
mekanisme penyerapan polutan (baik

organik maupun anorganik) sangat
dipengaruhi oleh spesies tanaman dan
karakteristiknya, interaksi pada zona akar,
sifat medium, sifat kimia kontaminan,
bioavailabilitas
kontaminan,
efek
penambahan chelating agents, kondisi
lingkungan, dll (Cunningham and Ow
1996; Tangahu et al. 2011).
Constructed Wetland
Constructed wetlands (CW) merupakan
sistem yang dirancang dan dibangun
untuk memanfaatkan proses alami yang
melibatkan vegetasi di rawa, tanah, dan
kumpulan mikroba yang saling terkait
untuk mengolah air limbah. CW dirancang
untuk dapat mengambil keuntungan yang
maksimum dari proses yang terjadi di
rawa alami namun dalam lingkungan yang
lebih terkontrol. CW diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik tanaman air
yang
paling
mendominasi,
atau
macrophyte dan bentuk alur aliran air
(Gambar 1 dan Gambar 2).

Sumber: Vymazal (2001
Gambar 1 Klasifikasi constructed wetland
untuk pengolahan limbah cair
Mekanisme penghilangan logam
Mekanisme penghilangan logam berat
terjadi pada tiga kompartemen utama dari
CW, yaitu (1) tanah dan substrat, (2)
hidrologi, (3) vegetasi. Air biasanya selalu

terdapat di permukaan atau di dalam akar
untuk waktu yang lama. Hidrologi
kemungkin menjadi faktor penentu utama
pada
proses
pembentukan
dan
pemeliharaan jenis CW tertentu.
Kejenuhan yang terjadi secara permanen
atau periodik akan menghasilkan kondisi
anaerob di tanah sehingga berakibat pada
terjadinya proses biogeo-chemical. Proses
ini
menyebabkan
perkembangan
karakteristik tanah pada wetland, yang
akan mendukung adaptasi tanaman
dominan di tanah jenuh (Mitsch and
Gosselink
1993;
ITRC
2003).
Kompartemen
hidrologi
juga
mengandung polyligands yang heterogen
yaitu fulvat, humat dan tannic acids,
logam oxyhydroxides amorf, tanah liat,
bakteri di permukaan, dan exocopolymers
terkait, partikel tersuspensi dan makromolekul mis polisakarida, protein dll
(Matagi et al. 1998).
Proses penghilangan logam di dalam
CW terjadi melalui mekanisme yang
sangat kompleks. Proses ini dipengaruhi
oleh komposisi substrat, pH sedimen,
karakteristik air limbah yang mengalir, dan
jenis tanaman. Selanjutnya berbagai
proses penghilangan logam di CW dapat
terjadi melalui tiga mekanisme berikut:
Fisik, Kimia dan Proses Biologi.
Penghilangan logam melalui proses fisik
Penghilangan melalui proses fisik dapat
terjadi akibat settling dan sedimentasi.
Sedimentasi telah lama dikenal sebagai
prinsip dasar dalam penghilangan logam
berat dari air limbah di CW. Hal ini bukan
merupakan reaksi fisik yang berlangsung
secara sederhana. Proses kimia lainnya
seperti presipitasi dan co-presipitasi harus
terjadi terlebih dahulu. Sedimentasi
terjadi setelah proses fisik lain
mengakibatkan terbentuknya agregat
logam berat sehingga menjadi partikel
yang cukup besar sehingga dapat
tenggelam (Walker dan Hurl 2002). Proses
pembentukan sedimen pada CW
ditingkatkan dengan peningkatkan pH air

limbah, konsentrasi bahan terlarut,
keuatan ion dan konsentrasi alga yang
besar (Matagi et al. 1998). Dengan cara ini
logam berat dipisahkan dari air limbah dan
terperangkap di dalam sedimen CW,
sehingga dapat melindungi ekosistem
perairan di atasnya.
Penghilangan logam melalui proses kimia
Penghilangan melalui proses kimia
dapat terjadi melalui mekanisme sorpsi,
adsorpsi, oksidasi dan hidrolisis logam,
presipitasi dan co-presipitasi, metal
carbonates, dan metal sulfit. Sorpsi
merupakan transfer ion dari air ke tanah,
misal dari fase cairan ke fase padat. Sorpsi
sebenarnya menggambarkan sekelompok
proses, yang meliputi adsorpsi dan reaksi
presipitasi (Sheoran dan Sheoran 2006).
Di dalam sedimen logam berat teradsorpsi pada partikel tanah akibat
adanya
pertukaran
kation
atau
chemisorption.
Pertukaran
kation
melibatkan pelekatan secara fisik kation
(ion bermuatan positif) pada permukaan
tanah liat dan bahan organik akibat tarikmenarik elektrostatik. Apabila logam
berat telah diserap ke humic atau koloid
tanah liat, logam berat akan tetap dalam
bentuk atom logam, tidak seperti polutan
organik, yang pada akhirnya akan terurai.
karakteristik dapat berubah seiring
dengan waktu sebagai akibat perubahan
kondisi sedimen (Batty et al. 2002;
Wiebner et al. 2005). Lebih dari 50%
logam berat dapat dengan mudah
diadsorbsi ke dalam bentuk partikulat di
dalam CW sehingga dapat dihilangkan dari
air dengan sedimentasi. Besi, aluminium
dan mangan dapat membentuk senyawa
tidak larut air melalui hidrolisis dan / atau
oksidasi yang terjadi di CW, sehingga
menyebabkan pembentukan berbagai
oksida, oxyhydroxides dan hidroksida
(Batty et al. 2002; Woulds dan Ngwenya
2004).
Presipitasi dan co-presipitasi dalam
menghilangkan logam berat merupakan
mekanisme adsorptif yang penting dalam

sedimen CW. Pembentukan endapan
logam berat tidak larut air adalah salah
satu dari banyak faktor yang membatasi
bioavailabilitas logam berat ke berbagai
ekosistem perairan. Presipitasi tergantung
pada kelarutan logam yang terlibat Ksp,
pH dari CW dan konsentrasi ion logam dan
anion yang relevan. Ketika konsentrasi
kation dan anion melebihi Ksp, maka
presipitasi terjadi. Co-presipitasi juga
merupakan fenomena adsorptive dalam
sedimen CW. Logam berat mengalami copresipitasi dengan mineral sekunder di
CW. Tembaga, nikel, seng, mangan dll
mengalami co-presipitasi dengan oksida
Fe dan kobalt, besi, nikel dan seng
mengalami co-presipitasi dengan oksida
mangan (Stumm dan Morgan 1981; Noller
et al, 1994). CW dengan substrat yang
sesuai
dapat
memepercepat
pertumbuhan bakteri pengurai sulfat
dalam kondisi anaerobic. Dalam air limbah
dengan kadar sulfat tinggi bakteri ini akan
menghasilkan hidrogen sulfida. Sebagian
besar logam berat bereaksi dengan
hidrogen sulfida dan menyebabkan
pembentukan sulfida logam yang sangat
tidak larut (Stumm dan Morgan 1981).
Penghilangan
biologis

logam

melalui

proses

Proses penghilangan logam dengan
proses biologis terjadi akibat proses
fitoremediasi oleh tumbuhan. Sharpe dan
Denny (1976) serta Welsh dan Denny
(1979) melaporkan bahwa sebagian besar
penyerapan logam oleh jaringan tanaman
terjadi melalui mekanisme penyerapan
anionik di dinding sel dan logam tidak
dapat memasuk ke dalam tanaman secara
langsung. Dalam biota, konversi biologis
terjadi melalui asimilasi dan metabolisme
mikroorganisme yang hidup di dan di
sekitar macrophyte serta penyerapan dan
metabolism tanaman. Dalam kondisi air
yang toxic secara permanen, dekomposisi
bahan organik terjadi lewat pengurangan
dan akumulasi bahan organik pada
permukaan
sedimen.
Sehingga

permukaan sedimen bertanggung jawab
untuk menangkap logam berat dari
influen (Matagi et al. 1998; Walker and
Hurl 2002; Manios et al. 2003).
Mikroorganisme
juga
dapat
mennghilangkan
dan
menyimpan
sejumlah logam berat melalui proses
metabolism. Reduksi logam ke dalam
bentuk imobil oleh aktivitas mikroba di
CW telah dilaporkan oleh Sobolewski
(1999); Logam seperti kromium dan
uranium menjadi imobil ketika direduksi
melalui proses biologis yang dikatalisis
oleh mikroorganisme (Fude et al. 1994).
Schiffer (1989), Sinicrope et al. (1992),
Nelson et al. (2002) dan Adriano (2001)
melaporkan bahwa kromium dapat
dihilangkan melalui aktivitas bakteri,
dengan tingkat penghilangan kromium
dari 40% sampai 84%.
Mekanisme Penghilangan Nitrogen
Nitrogen memiliki siklus biogeokimia
yang kompleks dengan beberapa
transformasi
biotik/abiotik
yang
melibatkan tujuh valensi (+5 sampai -3)
(Vymazal 2005). Di dalam limbah cair
industri kulit samak nitrogen berada
dalam bentuk ammonium (NH4+) dan
ammonia (NH3). Transformasi nitrogen
yang umum terjadi di CW disajikan pada
Tabel 4. Berbagai bentuk nitrogen terus
terlibat dalam transformasi kimia dari
anorganik ke senyawa organik dan
kembali dari organik ke anorganik.
Beberapa dari proses ini membutuhkan
energi (biasanya berasal dari sumber
karbon organik) untuk dapat berlangsung,
dan yang lain melepaskan energi, yang
digunakan oleh organisme untuk
pertumbuhan
dan
kelangsungan
hidupnya. Semua transformasi ini
diperlukan agar ekosistem CW berfungsi
dengan baik, dan sebagian besar
perubahan kimia dikendalikan melalui
produksi enzim dan katalis oleh organisme
hidup.

Model Matematika untuk Prediksi
Penghilangan Nitrogen
Model matematika dapat digunakan
untuk memprediski jumlah nitrogen yang
dapat diuraikan selama jangka waktu
tertentu pada suatu jenis konstruksik
wetland. Pemodelan ini sangat membantu
engineer dalam merancang konstruksi
wetland yang tepat. Model matematika
untuk satu constructed wetland berbeda
dengan model matematika untuk jenis
constructed wetland lainnya. Karakteristik
limbah cair, suhu, keadaan lingkungan,
jenis tanaman, jenis batuan yang
digunakan, laju alir limbah cair,
merupakan
hal-hal
yang
dapat
mempengaruhi model matematika suatu
constructed wetland.
Mayo
dan
Bigambo
(2015)
mengusulkan model matematika yang
menngambarkan mekanisme perubahan
nitrogen di dalam horizontal subsurface
constructed wetland dengan karakteristik
limbah domestik. Model matematika ini
memperhitungkan aktivitas biomassa
yang terlarut dalam air limbah dan agregat
biofilm yang terbentuk serta akar
tanaman dengan variable berupa
konsentrasi bahan organic, amoniak, dan
nitrat-nitrogen serta tanaman dan
agregat. Adapun proses transformasi
nitrogen utama yang dipertimbangkan
adalah
mineralisasi,
nitrifikasi,
denitrifikasi,
penyerapan
tanaman,
pembusukan tanaman dan sedimentasi.
Fungsi lain yang dianggap mempengaruhi
model adalah adalah suhu, pH dan oksigen
terlarut. Gambar 3 adalah salah satu
persamaan matematika yang digunakan
untuk memodelkan proses nitrifikasi oleh
bakteri dan nitrifikasi biofilm. Model ini
pertama kali dikembangkan oleh
Polprasert dan Agarwalla (1994) disebut
dengan model Monod.

Sumber: Mayo dan Bigambo (2015)
Gambar 2 Persamaan untuk model
Monod
dengan ln adalah laju pertumbuhan
maksimum Nitrosomonas (d-1), Yn adalah
koefisien
yield
untuk
bakteri
Nitrosomonas dalam mg VSS/mg N, KN
adalah konstanta ammonia Nitrosomonas
half saturation (g/m3), KNO adalah
konstanta oksigen Nitrosomonas half
saturation (g/m3), CT adalah temperature
yang merupakan faktor dependen, CpH
adalah faktor penghambat pertumbuhan
Nitrosomonas untuk pH, rb1 aadalah
konstanta laju reaksi biofilm untuk
agregat (d-1), rb2 adalah konstanta laju
reaksi biofilm untuk tanaman (d-1).
Potensi Aplikasi untuk Pengolahan
Limbah Cair Industri Kulit Samak
Penelitian tentang pengolahan limbah
cair industry penyamakan kulit dengan
memanfatkan teknik fitoremediasi di
dalam constructed wetland belum banyak
dilakukukan.
Beberapa
peneliti
melakukan penelitian pemilihan jenis
tanaman untuk fitoremediasi di CW (Tabel
5 dan Gambar 4). Dari data pada Tabel 5
diketahui bahwa spesies tanaman Typha
domingensis dan Borassus aethiopium
memiliki efisiensi penghilangan krom yang
paling tinggi yakni mencapai 99%, spesies
Phragmites (reeds) memiliki efisiensi
penghilangan COD paling tinggi mencapai
85%, dan spesies Phragmites australis
memiliki
efisiensi
penghilangan
ammonium paling tinggi mencapai 82.5%.
Hasil penelitian Cristina et al. (2007)
menunjukkan bahwa tanaman spesies T.
latifolia dan P. australis memiliki
kemampuan adaptasi propagasi yang
paling baik terhadap limbah cair industry
kulit samak. Konstruksi CW jenis

horizontal sub-surface flow diketahui
merupakan jenis CW terbaik untuk
pengolahan limbah cair industry kulit
samak. Jenis ini mampu mentolerir
fluktuasi input, termasuk jika terjadi
kelebihan input. Kemampuan ini sangat
penting karena pada umumnya kapasitas
produksi industry kulit samak skala kecil
dan menegah khususnya di Indonesia
berfluktuasi sepanjang tahun.

to remediate heavy metals from
tannery waste: A review. Advanced in
Applied Science research 6(3): 119128.
Cheung K, Gu JD. 2007. International
Biodeterioration & Biodegradation,
59(1): 8-15.
Chidambaram A, Sundaramoorthy P,

KESIMPULAN

Murugan A, Ganesh K S. 2009.
Hasil studi literature menunjukkan
bahwa penerapan sistem CW untuk
pengolahan limbah industry penyamakan
kulit merupakan pendekatan yang
menjanjikan untuk tahapan pengolahan
sekunder.

Chromium induced cytotoxicity in black
gram. J. Environ Health. Sci. Eng., 6: 17–
22.
Cristina SC, Calheiros, Rangel AOSS, Castro
PML.

DAFTAR PUSTAKA

2007.

systems
Ali

H,

Khan

E,

Sajad

MA.

2013.

Phytoremediation of heavy metals:
concepts

and

applications.

Chemosphere 91, 869–881.

Ramasami T. 2004. Bioaccumulation of
chromium from tannery wastewater:
An approach for chrome recovery.
science

vegetated

with

wetland
different

plants applied to the treatment of
tannery wastewater. Water research
41: 1790-1798.
Cunningham SD, Ow DW. 1996. Promises

Aravindhan R, Madhan B, Rao J R, Nair U,

Environmental

Constructed

and

Technology. American chemical society
38, 1: 300-306.
Batty LC, Baker AJ, Wheeler BD. 2002.
Aluminium and Phosphate Uptake by
Phragmites australis: the Role of Fe,
Mn and al Root Plaques. Annals of
Botany 89, 443–449.
Chauhan S, Das M, Nigam H, Pandey P,
Swati P, Tiwari A, Yadav M. 2015.
Implementation of phytoremediation

and prospect of phytoremediation.
Plant Physiol. 110, 715–719.
Daniel, R. 1998. You’re now entering the
root zone-investigation: the potential
of reed beds for treating waste waters
from leather manufacture. World
Leather 11 (7): 48–50
Daniels R. 200. Enter the root-zone: green
technology

for

the

leather

manufacturer, part 1. World Leather 14
(4), 63–67.
Etim EE. 2012. Phytoremediation and its
mechanisms: a review. Int. J. Environ.
Bioenergy 2 (3), 120–136.

Galanopoulos, Christos, Sazakli, Eleni,
Leotsinidis,

Michalis,

Lyberatos,

Gerasimos. 2013. A pilot-scale study
for modeling a free water surface
constructed

wetlands

reactive dye Navy Blue HE2R (Reactive
Blue 172). Bioresour. Technol. 102,
6774– 6777.
Khandare RV, Kabra AN, Kurade MB,

wastewater

Govindwar SP. 2011b. The role of Aster

treatment system. J. Environ. Chem.

amellus Linn in the degradation of a

Eng. 1, 642e651.

sulfonated azo dye Ramazol Red: a

Ghosh M, Singh S. 2005. Asian J Energy
Environ, 6(4): 18.

phytoremediation

strategy.

Chemosphere 82, 1147–1154.

Hefez AL, El-Manharawy MS, khedr MA.

Lu S, Wang J, Pei L. 2016. Study on the

2002. RO Membrane Removal of

effects of irrigation with reclaimed

Unreacted Chromium from Spent

water on the content and distribution

tanning Effluent: A Pilot-Scale Study,

of heavy metals in soil. Int. J. Environ.

Part 2.

Res. Public Health 13, 298.

ITRC. 2003. Technical and regulatory
guidance document for constructed
treatment wetlands. The Interstate

Lone ML et al..2009. Journal of Zhejiang
University Science B, 9(3): 210-220.
Malik N, Biswas AK. 2012. Role of higher

Technology and Regulatory Council

plants

Wetlands Team. 128 pp.

contaminated soils. Sci. Rev. Chem.

Kacaoba S, Akcin G. 2002. Removal and

in

remediation

of

metal

Commun. 2, 141–146.

Recovery of Chromium and Chromium

Matamoros, Víctor, Salvado, Victoria.

Speciation with MINTEQA2. Talanta 57:

2012. Evaluation of the seasonal

23-30.

performance of a water reclamation

Khan AG. 2001. Relationships between
Chromium

Biomanification

Ratio,

Accumulation Factor, and Mycorrhizae

pond-constructed wetland system for
removing emerging contaminants.
Matagi SV, Swai D, Mugabe R. 1998. A

in Plants Growing on tannery effluent-

review

Polluted Soil. Environ. Int. 26: 417-423.

mechanisms

Khandare RV, Kabra AN, Kurade MB,
Govindwar
Phytoremediation

SP.
potential

2011a.
of

of

heavy
in

metal

removal

wetlands.

African

Journal for Tropical Hydrobiology and
Fisheries 8, 23–35.
Mayo AW, Bigambo T. 2015. Nitrogen

Portulaca grandiflora Hook. (Moss-

transformation

in

horizontal

Rose) in degrading a sulfonated diazo

subsurface flow constructed wetland I:

Model Development. Journal of Physics

Sheoran V, Sheoran A, Poonia P. 2011.

and Chemistry of the Earth 30: 658-

Role

667.

phytoextraction

Memon AR, Aktoprakligil D, Ozdemir A,
Vertii

A.

2001.

accumulation

Heavy

and

metal

detoxification

mechanisms in plants. Turk. J. Bot. 25,
111–121.
Memon

of

hyperaccumulators
of

metals

in
from

contaminated mining sites: a review.
Crit. Rev. Environ. Sci. Technol. 41,
168–214.
Shao, Ling, Wu, Zi, Zeng L, Chen ZM, Zhou
Y, Chen GC. 2013. Embodied energy

AR,

Schroder

2009.

assessment for ecological wastewater

Implication of metal accumulation

treatment by a constructed wetland.

mechanisms

Ecol. Model. 252, 63e71.

to

P.

phytoremediation.

Environ. Sci. Pollut. Res. 16: 162–175.

Sheoran AS, Sheoran V. 2005. Heavy

Mitsch WJ, Gosselink JG. 1993. Wetlands.

metal removal mechanism of acid mine

Van Nostrand Reinhold, New York, 722

drainage in wetlands: A critical review.

pp.

Minerals Engineering Journal, 19: 105-

Noller BN, Woods PH, Ross BJ. 1994. Case

116.

studies of wetland filtration of mine

Song Z, Williams CJ, Edyvean RGJ. 2000.

waste water in constructed and

Sedimentation of tannery wastewater.

naturally occurring systems in northern

Water Res. 34 (7), 2171–2176.

Australia.

Water

Science

and

Technology 29: 257–266.
Raskin

RD,

Salt

Sinha RK, Herat S, Tandon PK. 2007.
Phytoremediation: role of plants in

DE.

1997.

contaminated site management. In:

Phytoremediation of metals: using

Singh

plants to remove pollutants from the

Environmental

environment. Curr. Opin. Biotechnol. 8

Technologies. Springer-Verlag, Berlin

(2), 2–6.

Heidelberg, pp. 315–330.

SN,

Tripathi

RD.

(Eds.),

Bioremediation

Raskin I., Ensley BD. 2000. Recent

Sureshvarr K, Bharathiraja B, Jayakumar

developments for in situ treatment of

M, Jayamuthunagai J, Balaji L. 2010.

metal

Removal of azo-dye compounds from

contaminated

soils.

In:

Phytoremediation of Toxic Metals:

paper

Using

phytoremediation methodology. Int.

Plants

to

Clean

Up

the

Environment. John Wiley and Sons Inc.,
New York.

industries

wastes

J.Chem. Sci. 8 (1), 687–700.

using

Stumm W, Morgan J. 1981. Aquatic

Wiebner A, Kappelmeyer U, Kuschk P,

Chemistry, second ed. John Wiley &

Kastner M. 2005. Influence of the redox

Sons, New York, 780 pp.

condition dynamics on the removal

Tangahu BV, Abdullah SRS, Basri H, Idris

efficiency

of

a

laboratory-scale

M, Anuar N, Mukhlisin M. 2011. A

constructed wetland. Water Research

review on heavymetals (As, Pb and Hg)

29, 248–256.

uptake

by

plants

through

phytoremediation. Int. J. Chem. Eng.
201: 1–31.
Terife TA, Sfaw SL. 2015. Evaluation of
selected wetland plants for removal of
chromium from tannery wastewater in
constructed
African

wetlands,

Journal

of

Ethiophia.

Environmental

Science and Technology. 9(5): 420-427
Vymazal J. 2001. Types of constructed
wetlands for wastewater treatment:
their potential for nutrient removal. In:
Vymazal J, editor. Transformations of
nutrients in natural and constructed
wetlands. Leiden, The Netherlands:
Backhuys Publishers, p. 1-93.
Vymazal J. Constructed wetlands for
wastewater treatment in Europe. In:
Dunne EJ, Reddy R, Carton OT, editors.
Nutrient management in agricultural
watersheds:

a

wetland

Wageningen,

The

Wageningen

Academic

solution.

Netherlands:
Publishers;

2005a. p. 230–44.
Walker DJ, Hurl S. 2002. The reduction of
heavy metals in a storm water wetland.
Ecological Engineering 18 (4), 407–414.

Tabel 3 Ringkasan berbagai proses dan mekanisme fitoremediasi
Mekanisme
fitoremediasi
Phytoextraction

Keterangan
Menyerap kontaminan melalui
akar dan terkonsentrasi pada
bagian tanaman yang dapat
dipanen. Misal: tunas

Cara penyerapan
kontaminan
Melalui akar tanaman

Mekanisme

Penggunaan

Referensi

Absorpsi melalui

Polutan
anorganik.
Mis: logam

McCutcheon
and Schnoor
(2003); Marmiroli
et al. (2006); Ali et al.
(2013)
Marmiroli
et al. (2006); Macek et
al. (2009); Al-Baldawi
et al. (2013); Ali et
al.(2013)

Phytofiltration

Memanfaatkan luas permukaan
akar yang luas untuk menyerap
polutan dari air

Melalui akar tanaman
(rhizofiltration), bibit
tanaman muda
(blastofiltration), atau
tunas tanaman yang
dipotong

Filtrasi, penyerapan,
presipitasi polutan yang
terdapat di sekitar zona akar

Polutan
anorganisk
Mis: logam

Phytostabilization

Imobilisasi polutan dan
bioavailibilitasnya

Melalui akar tanaman

Penyerapan, presipitasi dan
kompleksasi di rizosfer

Polutan
anorganik

Phytotransformation

Memecah komponen organic
melalui aktivitas metabolism
dan enzim tanaman

Mmelalui akar tanaman
atau proses metabolism
di sekitar akar

Polutan organik
atau xenobiotic

Rhizodegradation

Degradasi polutan melaui
simbiosis mikroba yang
terdapat pada akar tanaman

Perubahan pada daerah
akar

Phytovolatilization

Mengubah polutan dan produk
turunananya menjadi bahan
volatile atau gas dan
melepaskan ke udara melalui
proses transpirasi

Penyerapan polutan yang
larut air melalui akar
tanaman

Absorpsi oleh sistem akar
menyebabkan perubahan
melalui proses metabolisme
atau enzim
Sekresi eksudat dari akar
atau enzim di sekitar zona
akar dan degradasi oleh
mikroba xenobiotic
Modifikasi polutan selama
proses transportasi dari akar
ke daun di dalam pembuluh
tanman.

Polutan organik
atau xenobiotic

Polutan organik
atau xenobiotic

Marmiroli et al. (2006);
Macek et al. (2009); Ali
et al.(2013)
Marmiroli et al. (2006);
Macek et al. (2009); AlBaldawi et al. (2013);
Ali et al. (2013)
Al-Baldawi et al. (2013)

Marmiroli et al. (2006);
Macek et al. (2009); Ali
et al.(2013)

Sumber: Vymazal 2006
Gambar 3 Constructed wetlands untuk pengolahan limbah cair (dari atas ke bawah): CW
dengan free water surface tanaman mengambang bebas (FFP), CW dengan free
water surface dan emergent macrophytes (FWS), CW dengan horizontal subsurface flow (HSSF, HF), CW dengan vertical sub-surface flow.

Tabel 4 Transformasi nitrogen di dalam constructed wetland
Proses
Volatilisasi
Amonifikasi
Nitrifikasi
Nitrat-amonifikasi
Denitrifikasi
Fiksasi N2
Plant/microbial uptake (asimilasi)
Ammonia adsorption Organic nitrogen
burial ANAMMOX (anaerobic ammonia
oxidaton)
Sumber: Vymazal (2005)

Transformasi
Ammonia-N (aq)  ammonia-N (g)
Organic-N  ammonia-N
Ammonia-N  nitrit-N  nitrat-N
Nitrat-N  ammonia-N
Nitrit-N  nitrit-N  N(g), N2O
N2(g)  ammonia-N (organic-N)
Ammonia-, nitrit-, nitrat-N  organic-N
Ammonia-N  N2(g)

Tabel 5 Jenis tanaman potensial untuk fitoremediasi limbah cair industri kulit samak
Efisiensi penghilangan (%)
Species
Phragmites australis
C. alternifolius
Typha domingensis
Borassus aethiopum
Canna indica
Typha latifolia
Phragmites australis
Stenotaphrum
secundatum
Iris peseudacorus
Phragmite
Phragmites
Glyceria maxima
dan Phragmites

COD

BOD

Cr

80.9
64.8
56.6
58
55
56.5

77
67.5
66.7
66
50
49.2

97.7
98
99
99
94
76.5

NH4+ /
NH3
82.5
64.8
53.3
80
20
20

57.6

48.6

29.4

17.5

54.6

46.5

52.9

17.5

55
80-85
70

46.4
-

70.5
-

18.9
-

82-85

-

-

-

Phragmites australis

Referensi

Terfie et al. (2015)

Cristina et al. (2007)

Daniels (2001)
Daniels (1998)

C. alternifolius

Typha domingensis

Canna indica

Iris peseudacorus

Glyceria maxima

Stenotaphrum secundatum
Gambar 4 Jenis tanaman potensial untuk fitoremediasi limbah cair industri kulit samak