Kebutuhan unsur hara beberapa tanaman ob

KEBUTUHAN UNSUR HARA BEBERAPA TANAMAN
OBAT BERIMPANG DAN RESPONNYA TERHADAP
PEMBERIAN PUPUK ORGANIK, PUPUK BIO DAN
PUPUK ALAM
Agus Ruhnayat
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Salah satu kelompok tanaman obat yang
sudah lama dibudidayakan dan dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan adalah tanaman obat
berimpang seperti jahe, kencur, temulawak,
kunyit, bangle dan lempuyang gajah. Untuk
meningkatkan jumlah, mutu dan kesinambungan produksi tanaman obat berimpang tersebut
maka, diperlukan cara budidaya yang baik.
Salah satu komponen teknologi budidaya
tersebut adalah pemupukan. Kebutuhan unsur
hara tanaman obat berimpang cukup tinggi.
Kebutuhan unsur hara tersebut umumnya
dipenuhi dari pupuk anorganik (urea, TSP/SP36 dan KCl) dan pupuk organik/pupuk kandang. Kombinasi kedua jenis pupuk tersebut
mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman obat berimpang (budidaya non
organik). Dengan adanya perubahan kecenderungan masyarakat saat ini untuk kembali ke

produk-produk alami (back to nature), maka
teknologi budidaya yang diterapkan pada tanaman obat harus mengarah kepada penggunaan input-input produksi yang lebih aman
terhadap kesehatan dan lingkungan (budidaya
organik). Selain pasar domestik, pangsa pasar
dunia akan produk organik setiap tahun terus
meningkat, tidak saja untuk pangan tetapi juga
produk kesehatan yang berbasis herbal. Pemberian pupuk organik, pupuk bio dan pupuk
alam memberikan respon yang positif terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman obat
berimpang. Pemberian bahan organik pada
budidaya tanaman obat berimpang mutlak
diperlukan. Pada budidaya organik tanaman
obat berimpang dapat diberikan pupuk organik
(pupuk kandang, limbah kulit kopi, kasting,
arang sabut kelapa dan bokashi), pupuk bio

(mikoriza, Azospirillum lipoferum, Azotobacter
beijerinckii, Aeromonas punctata dan Aspergilus niger ), dan pupuk alam (fosfat alam dan
zeolit). Oleh karena itu perlu adanya pendistrubusian dan penyediaan pupuk bio dan pupuk
alam ke sentra-sentra produksi sehingga mudah

diperoleh petani. Diperlukan komponen teknologi budidaya organik dari disiplin ilmu lainnya
seperti pemuliaan dan penyakit terutama untuk
mencegah serangan penyakit layu bakteri.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara terkaya kedua setelah Brasil mengenai
keanekaragaman hayatinya. terdapat
sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang
hidup di Indonesia dan sekitar 7.000
jenis adalah merupakan tanaman berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut diantaranya adalah tanaman obat berimpang seperti jahe, kencur, temulawak,
kunyit, bangle, lempuyang gajah dan
sebagainya. Pemanfaatan rimpang tanaman sebagai obat (herbal medicine)
di Indonesia sudah lama dikenal, yang
diikuti dengan tumbuh kembangnya
industri jamu. Industri dan perdagangan
produk-produk obat herbal, makanan
fungsional dan suplemen diet berbasis
bahan alami cenderung terus meningkat di seluruh dunia. Di Asia peluang
perdagangan obat herbal tersebut didominasi oleh China yang merupakan
pusat produksi obat herbal terbesar di


109

dunia dan mampu menghasilkan devisa
sebesar 6 miliar USD pada tahun 1997
(Sinambela, 2003). Di Indonesia sendiri telah berkembang dengan pesat
industri makanan dan minuman kesehatan, obat tradisional maupun obat
herbal terstandar serta kosmetika yang
berbasis bahan baku alami. Namun demikian, pesatnya industri disektor hilir
belum diimbangi dengan pesatnya produksi bahan baku disektor hulu. Untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut Indonesia mengimpor dari luar
negeri. Oleh karena itu peluang usaha
tani tanaman obat di dalam negeri
untuk tahun-tahun mendatang masih
mempunyai prospek yang cukup cerah.
Proyeksi nilai bisnis industri obat herbal ini pada tahun 2008 dan 2020
adalah 200 dan 300 milyar USD
(Kemala et al., 2003).
Untuk meningkatkan jumlah,
mutu dan kesinambungan produksi tanaman obat maka diperlukan cara budidaya yang baik. Cara budidaya pada

tanaman obat khususnya yang berimpang yang saat ini diacu oleh kebanyakan petani adalah budidaya anorganik. Pupuk anorganik/buatan dan pestisida kimia masih diberikan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi. Mahalnya pupuk anorganik dan
pestisida kimia selain menyebabkan
biaya produksi tinggi juga tidak akam
untuk lingkungan dan kesehata. Mengingat hal tersebut dan dengan adanya
perubahan kecenderungan masyarakat
saat ini untuk kembali ke produkproduk alami (back to nature) maka,
budidaya yang diterapkan pada tanaman obat harus mengarah kepada peng-

110

gunaan input-input produksi yang lebih
murah dan aman terhadap kesehatan
serta lingkungan (budidaya organik).
Pada umumnya tanaman yang dibudidayakan secara organik walaupun hasil
panennya secara kuantitas lebih rendah
dibanding dengan yang dibudidayakan
secara non organik/konvensional namun secara kualitas lebih unggul dan
mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi.
Di pasaran internasional jahe dan

kunyit organik dalam bentuk bubuk
masing-masing dijual dengan harga
22,5 dan 15,5 USD per kg, sedangkan
harga yang non organik sekitar seperempatnya (www.healthybuyersclub.
com, 2007; www.organic-market.info,
2007). Salah satu komponen budidaya
organik adalah penggunaan pupuk
yang tidak mencemari lingkungan seperti pupuk organik, pupuk bio dan pupuk alam. Pupuk bio yang dimaksud
disini adalah pupuk yang bersumber
dari limbah tumbuhan maupun hewan
(hasil pangkasan tanaman, serasah,
sampah tumbuhan, kotoran hewan, dan
sebagainya), pupuk bio adalah pupuk
yang secara langsung maupun tidak
langsung bersumber dari mikroorganisme (penambat N, peraut P dan sebagainya) sedangkan pupuk alam adalah
pupuk yang bersumber dari hasil pertambangan yang sudah tersedia di alam
(fosfat alam, zeolit, kapur dan sebagainya).
Tulisan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan seberapa besar kebutuhan unsur hara beberapa tanaman obat
berimpang dan bagaimana responnya

terhadap pupuk organik, pupuk bio dan
pupuk alam. Dengan diketahuinya ke-

dua hal tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi pengembang
tanaman obat organik maupun non
organik.
KEBUTUHAN UNSUR HARA
ANORGANIK BEBERAPA
TANAMAN OBAT BERIMPANG
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Seiring dengan meningkatnya
permintaan jahe, maka untuk mempertahankan kuota dan mutu jahe, perlu
diupayakan kesinambungan sistem produksi yang dapat menjamin permintaan
dan kualitas jahe yang memenuhi
standar ekspor.
Jahe termasuk tanaman yang
membutuhkan unsur hara yang tinggi
(Januwati dan Yusron, 2003). Produktivitas jahe baik kualitas maupun kuantitas dipengaruhi oleh adanya unsur hara N, P dan K dalam jumlah yang
cukup di dalam tanah. Untuk menghasilkan rimpang segar tua 24 - 32,2 ton,
jumlah hara yang terangkut melalui

panen adalah 60,5 – 139,3 kg N/ha,
56,3 – 68,9 kg P/ha dan 77,9 – 129,5 kg
K/ha (Baustista dan Aycardo, 1979).
Kebutuhan P tanaman jahe termasuk
cukup tinggi, yaitu 100 - 400 kg/ha
(Januwati dan Yusron, 2003). Hasil
penelitian di Jawa Tengah menunjukkan bahwa pemberian pupuk TSP dan
KCl masing-masing 800 kg/ha dapat
meningkatkan produksi jahe umur 3
bulan sebesar 210,43 % (Januwati at
al., 1992). Sedangkan hasil penelitian
pengaruh unsur hara N pada jenis tanah
latosol terhadap produksi jahe menunjukkan bahwa pemberian 100 kg N/ha
dapat meningkatkan rimpang segar

sebesar 34,5 % (Muhammad dan
Sudiarto, 1997). Pupuk N selain
meningkatkan produksi rimpang juga
dapat meningkatkan ukuran rimpang
yang dihasilkan. Secara umum dosis

pupuk anorganik yang harus diberikan
untuk meningkatkan pertumbuhan dan
hasil panen jahe adalah : SP-36 300 400 kg/ha dan KCl 300 - 400 kg/ha,
diberikan pada saat tanam. Pupuk urea
diberikan 3 kali pada umur 1, 2 dan 3
bulan setelah tanam sebanyak 400 600 kg/ha, masing-masing 1/3 dosis
setiap pemberian (Rostiana et al.,
2005a).
Kencur (Kaempforia galanga L)
Produksi, mutu dan kandungan
bahan aktif didalam rimpang kencur
salah satunya ditentukan oleh kesuburan tanah. Apabila tanahnya kurang subur maka perlu dipupuk. Kebutuhan
pupuk tanaman kencur relatif cukup
tinggi. Hasil penelitian Rosita et al.
(2007 menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan rimpang segar 82,03 g/
tanaman (setara 16,41 ton/ha) akan
terangkut hara ke dalam rimpang sebesar 415,60 mg N/tanaman (setara
83,12 kg N/ha), 112,50 mg P/tanaman
(setara 22,50 kg P/ha) dan 571,70 mg

K/tanaman (setara 114,34 kg K/ha).
Rekomendasi pemupukan anorganik
secara umum untuk tanaman kencur
adalah : urea 200-250 kg/ha, SP-36
250-300 kg/ha dan KCl 250-300 kg/ha.
Urea diberikan 3 kali, yaitu pada saat
tanaman berumur 1, 2 dan 3 bulan setelah tumbuh, masing-masing 1/3 dosis.
Sedangkan SP-36 dan KCl diberikan
satu kali pada saat tanam (Rostiana et
al., 2005b).

111

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb)
Produksi dan mutu temulawak
sangat dipengaruhi oleh teknologi budidaya salah satunya adalah pemupukan.
Secara umum dosis pupuk anorganik
yang harus diberikan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen
temulawak adalah : urea, SP-36 dan

KCl, dengan dosis masing-masing 200
kg, 100 kg dan 100 kg/ha untuk pola
monokultur, serta 200 kg/ha untuk pola
tumpangsari. SP-36 dan KCl diberikan
pada saat tanam, urea diberikan 3 kali
yaitu, pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam masing-masing sepertiga
bagian (Rahardjo dan Rostiana, 2005a).
Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Kunyit dapat tumbuh dan menghasilkan rimpang yang baik memerlukan unsur hara. Secara umum jenis dan
dosis pupuk anorganik yang telah dianjurkan untuk kunyit adalah pupuk
urea, SP-36 dan KCl, dengan dosis
masing-masing 100 kg, 200 kg dan 200
kg/ha untuk pola monokultur, serta 200
kg/ha, untuk pola tumpangsari. Pupuk
SP-36 dan KCl diberikan pada saat
tanam dan dosis urea dipecah menjadi
menjadi 2 bagian yang diberikan pada
umur 1 dan 3 bulan setelah tanam
(Rahardjo dan Rostiana, 2005b).
Bangle (Zingiber purpureum Roxb.)

dan lempuyang gajah (Zingiber
zerumbet Smith)
Dosis pupuk anorganik anjuran
umum untuk tanaman bangle adalah
urea 250 kg, SP-36 250 kg dan KCl
250 kg/ha. Namun berapa peningkatan
hasil dari pemberian pupuk anorganik

112

tersebut belum ada laporannya. Sedangkan untuk tanaman lempuyang
gajah pemberian pupuk urea sebanyak
15 g/rumpun dan TSP 7,5 g/rumpun
dapat meningkatkan bobot biomas dan
rimpang segar sebesar 58,5 % dan 55,3
% (Ruhnayat, 2002).
PENGARUH PUPUK ORGANIK, PUPUK BIO DAN PUPUK
ALAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
BEBERAPA TANAMAN OBAT
BERIMPANG
Jahe
Produktivitas jahe sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen.
Umumnya kebutuhan N dipenuhi dari
pupuk buatan, seperti urea, ZA dan pupuk buatan lainnya. Dari beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian peranan pupuk N buatan ini dapat
diganti dengan pupuk organik, bio dan
alam. Pada umumnya untuk tanaman
berimpang pupuk organik diperlukan
dalam jumlah yang relatif besar baik
untuk kesuburan fisik, kimia dan biologi. Pupuk organik yang dapat digunakan antara lain pupuk kandang, kasting,
limbah kulit kopi dan sekam padi.
Pemanfaatan sumber bahan organik
seperti pupuk kandang, kasting, sekam
padi dan limbah kulit kopi merupakan
alternatif untuk memperbaiki kesuburan tanah dalam menunjang pertumbuhan dan produksi jahe (Trisilawati dan
Gusmaini, 1999; Rosita et al., 2006a).
Penggunaan humus dan pupuk
kandang sapi/kambing, berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan dan produksi jahe minimal 2 kali lebih besar

dibandingkan
dengan
kontrol
(Gusmaini dan Trisilawati, 1998).
Dosis anjuran umum pemberian pupuk
organik untuk tanaman jahe adalah sekitar 20 – 30 ton/ha berupa pupuk kandang. Untuk daerah yang sulit memperoleh pupuk kandang, penggunaannya
dapat dikombinasikan dengan bahan
organik lainnya. Pemberian pupuk kandang yang dikombinasikan dengan limbah kulit kopi masing-masing sebanyak
250 g/rumpun dapat meningkatkan
jumlah anakan dan jumlah daun jahe
putih besar masing-masing sebesar
81,72 % dan 57,93 %, sedangkan pemberian 125 g pupuk kandang, 250 g
limbah kulit kopi dan 125 g sekam padi
per rumpun dapat meningkatkan rimpang segar sebesar 117,85 %.
(Gusmaini dan Maslahah, 2002).
Pupuk organik lainnya yang cukup potensial untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi jahe adalah
kasting dan kotoran cacing yang saat
ini sudah banyak beredar di pasaran.
Pupuk organik tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah, penyedia nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, menetralkan pH tanah dan
memperbaiki kemampuan menahan air
(Mulongoy dan Badoret dalam Dewi,
1995). Pemberian kasting sebanyak
500 g/rumpun atau (setara 20 ton/ha)
dapat meningkatkan tinggi tanaman,
jumlah daun dan bobot rimpang kering
jahe putih besar masing-masing sebesar
10,96 %, 42,46 % dan 118,60 % dibanding dengan hanya diberi pupuk
buatan dosis anjuran (Rosita et al,.
2006a).

Kebutuhan unsur hara P tanaman
jahe cukup tinggi, yaitu 100 - 400 kg/ha
(Januwati dan Yusron, 2003). Penggunaan pupuk buatan tersebut dapat
dikurangi bahkan digantikan dengan
pemberian pupuk bio dan pupuk alam.
Hasil penelitian Trisilawati et al.
(2003) menunjukkan bahwa pemberian
500 spora jamur mikoriza arbuskula
dapat meningkatkan bobot segar dan
rimpang kering jahe putih besar sebesar
32,6 % dan 54,65 %, bobot rimpang
segar jahe merah sebesar 41,9 % dan
jahe putih kecil sebesar 137,56 %.
Pemberian pupuk bio tersebut dapat
meningkatkan serapan hara P rimpang
sebesar 68,7 %. Selain unsur hara P
mikoriza juga dapat meningkatkan efisiensi serapan unsur hara lainnya seperti K, Zn dan S (Pearson dan Diem,
1982). Penggunaan pupuk P buatan dapat juga diganti dengan pemberian pupuk alam seperti fosfat alam dan ziolit
serta pupuk bio pelarut P. Supanjani et
al. (2006) mengemukakan bahwa
penggunaan fosfat alam dan bakteri pelarut P merupakan salah satu alternatif
cara untuk mengurangi penggunaan
pupuk kimia. Pemberian 350 kg/ha fosfat alam, 140 kg/ha pupuk bio
(Azospirillum lipoferum, Azotobacter
beijerinckii, Aeromonas punctata dan
Aspergilus niger ) dan 400 kg/ha zeolit
dapat meningkatkan rimpang segar
sebesar 11,54 % dibandingkan dengan
pemberian pupuk SP-36 sebanyak 300
kg/ha (Januwati dan Yusron, 2003).
Penggunaan fosfat alam bersama-sama
zeolit dan pupuk bio tersebut selain
dapat mengganti pupuk P buatan juga

113

dapat menekan biaya produksi sebesar
30,12 %.
Pemilihan rekomendasi paket
pemupukan organik mana yang akan
diterapkan untuk budidaya organik jahe
tergantung kepada ketersedia sumbersumber pupuk tersebut di lapangan.
Kencur
Pemupukan merupakan salah satu komponen teknologi penting di dalam budidaya tanaman kencur. Pemberian pupuk anorganik saja seperti urea,
TSP/SP-36 dan KCl tidak cukup untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksinya. Oleh karena itu pemberian
pupuk organik pada pembudidayaan
kencur mutlak dilakukan. Pupuk organik yang sudah lama dianjurkan adalah
pupuk kandang dengan dosis 20 – 40
ton/ha, tergantung kesuburan tanah pada masing-masing lokasi penanaman
(Rosita et al., 2006b). Penggunaan pupuk kandang 20 ton/ha yang dikombinasikan dengan urea 300 kg/ha, TSP
200 kg/ha dan KCl 200 kg/ha pada
tanah asosiasi latosol-grumosol, Boyolali, Jawa Tengah, menghasilkan produksi rimpang kencur 7,64 ton/ha
(Sudiarto et al., 1996). Sedangkan pada
polatanam di bawah tegakan jati pada
tanah mediteranian coklat tua, Wonoharjo, Jawa Tengah, pemberian pupuk
kandang 20 ton/ha, urea 250 kg/ha,
SP36 200 kg/ha dan KCl 200 kg/ha,
menghasilkan rimpang kencur 6,97
ton/ha (Yusron et al., 2005). Namun
hasil penelitian Rosita et al. (2007) pada lima nomor unggul kencur menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang kerbau saja dengan dosis 20 ton/
ha lebih efisien dalam meningkatkan

114

bobot segar rimpang/rumpun dibandingkan dengan dosis anjuran umum
pemupukan kencur (20 ton pupuk
kandang + urea 250 kg/ha, SP36 200
kg/ha dan KCl 200 kg/ha), sedangkan
untuk menghasilkan bobot kering rimpang/rumpun dosis pupuk anjuran
umum tersebut (pupuk kandang + pupuk anorganik) adalah yang lebih baik.
Pengaruh pupuk bio dan pupuk alam
terhadap pertumbuhan dan produksi
kencur belum ada yang melaporkan.
Temulawak
Seperti halnya tanaman pada
umumnya, temulawak untuk dapat
tumbuh dan berproduksi perlu unsur
hara. Kebutuhan unsur hara tanaman
temulawak dapat dipenuhi dengan
pemberian pupuk anorganik dan organik. Dosis pupuk anorganik yang
diberikan adalah 200 kg urea/ha, 100
kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha untuk
pola monokultur, serta 200 kg/ha untuk
pola tumpangsari. Sedangkan pupuk
oganik yang biasa diberikan adalah
pupuk kandang sebanyak 10 - 20 ton/
ha (Rahardjo dan Rostiana, 2005b).
Pemakain pupuk kandang ini sebagian
dapat diganti dengan pemberian pupuk
bio. Beberapa spesies mikroorganisme
yang banyak dimanfaatkan sebagai pupuk bio antara lain adalah Azospirillum
sp., Azotobacter sp., dan Aspergillus sp.
(Lynch, 1983; Premono, 1997). Setiap
mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk melarutkan atau mengikat
unsur hara. Azospirillum sp mampu
menangkap dan mengikat nitrogen
atmosfer, sedangkan Aspergillus sp.
mampu melarutkan fosfat tanah.
Dengan demikian, pemakaian pupuk

bio diharapkan mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan unsur hara
(Januwati dan Yusron, 2003). Hasil
penelitian Yusron dan Januwati (2007)
pada jenis tanah Andosol menunjukkan
bahwa penambahan pupuk bio sebesar
45 kg/ha dan 90 kg/ha mampu meningkatkan produktivitas temulawak di
bawah tegakan sengon masing-masing
sebesar 27,5 % dan 34 % dibandingkan
tanpa pupuk bio. Pupuk bio yang diberikan
mengandung
Azospirillum
lipoferum Beijerincki, Azotobacter
vinelandii Beijerincki, Aeromonas
punctata Zimmermann dan Aspergillus
niger van Tiegham. Namun pemberian
pupuk bio tersebut belum mampu meningkatkan produksi rimpang temulawak pada tingkat optimal (20 ton/ha).
Akan tetapi masih lebih tinggi (14,04
ton/ha) dibandingkan dengan produksi
rata-rata nasional (10,7 ton/ha) (Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Begitu
pula hasil penelitian Rahardjo dan
Ajijah (2007) menunjukkan bahwa pupuk organik dan pupuk alam saja (bokashi 10 ton/ha + pupuk bio 90 kg/ha +
zeolit 300 kg/ha + pupuk fosfat alam
300 kg/ha.) hanya mampu menghasilkan rimpang temulawak sebesar 14,21
- 16,59 ton/ha. Pada penelitian tersebut
terlihat bahwa calon varietas unggul
temulawak Balittro 1 mempunyai respon lebih tinggi terhadap pemupukan
organik dibandingkan dengan Balittro 2
dan Balittro 3.
Kunyit
Dosis pupuk anorganik anjuran
umum untuk tanaman kunyit adalah
urea 200 kg, SP-36 200 kg dan KCl
200 kg/ha. Hasil penelitian Rosita dan

Nurhayati (2007) pada jenis tanah latosol menunjukkan bahwa apabila dosis
pupuk anorganik tersebut dikombinasikan dengan pupuk organik/kandang
20 ton /ha dapat menghasilkan rimpang
segar sebesar 17,15 ton/ha. Sedangkan
pemberian pupuk organik dan pupuk
alam saja (bokashi 10 ton/ha + pupuk
bio 90 kg/ha + zeolit 300 kg/ ha +
fosfat alam 300 kg/ha) hanya mampu
menghasilkan rimpang segar kunyit
sebesar 9,73 ton/ha. Pada jenis tanah
andosol penggantian sebagian dosis
pupuk kandang oleh pupuk bio belum
mampu menyamai produksi rimpang
segar kunyit yang diberi pupuk kandang dosis tinggi (20 ton/ha). Walaupun pemberian pupuk bio (Azospirillum sp., Azotobacter sp., dan
Aspergillus sp.) sebesar 45 dan 90 kg/
ha yang dikombinasikan dengan 10 ton
pupuk kandang + 200 kg urea + 200 kg
SP-36 + 200 kg KCl per ha dapat
meningkatkan bobot segar rimpang/ha
masing-masing sebesar 27,5 % dan 70
% dibandingkan dengan tanpa pupuk
bio namun produksinya hanya mencapai 6,44 dan 8,58 ton/ha saja (Yusron
dan Januwati, 2005).
Bangle
Dosis pupuk anorganik anjuran
umum untuk tanaman bangle adalah
urea 250 kg, SP-36 250 kg dan KCl
250 kg/ha. Pemberian bahan organik
berupa pupuk kandang sebanyak 20
ton/ha dapat meningkatkan hasil rimpang (Sudiarto et al., 2001). Pemberian
pupuk anorganik dan organik tersebut
dapat menghasilkan biomas sebanyak
701,0 g/tanaman dan simplisia kering
417,97 g/tanaman serta unsur hara yang

115

terserap sebanyak 8,48 g N, 4,02 g K
dan 1,72 g P/tanaman (Rosita et al.,
2005). Pemberian pupuk kandang
ayam saja dapat meningkatkan jumlah
anakan, jumlah daun dan bobot segar
dan kering rimpang (Maslahah, 2005).
Pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 6 – 30 ton/ha dapat menghasilkan
rimpang segar 1,21 – 2,43 kg/rumpun
dan rimpang kering 0,19 – 0,44 kg/
rumpun. Peningkatan hasil rimpang dengan pemberian pupuk ayam tersebut
untuk rimpang segar antara 127,6 – 356
% dan rimpang kering 108,7 – 388,5 %
dibandingkan dengan tanpa pemberian
pupuk kandang. Pengaruh pupuk bio
dan pupuk alam terhadap pertumbuhan
dan produksi bangle belum ada yang
melaporkan.

perti arang sekam padi, arang sabut
kelapa, arang serbuk gergaji dan abu
sekam padi masing-masing dapat
meningkatkan bobot rimpang segar
sebesar 4,6 %, 38 %, 21,6 % dan 7,6
%. Arang sabut kelapa merupakan
bahan organik terbaik untuk pertumbuhan dan produksi rimpang lempuyang gajah. Dari keempat jenis pupuk
organik tersebut arang sabut kelapa
mengandung unsur hara K lebih tinggi
(2 %). Unsur K dapat mempercepat
proses penyimpanan hasil fotosintesa
pada organ-organ tanaman, seperti umbi, rimpang, daun dan buah (Ruhnayat,
1995). Pengaruh pupuk bio dan pupuk
alam terhadap pertumbuhan dan produksi lempuyang gajah belum ada yang
melaporkan.

Lempuyang gajah (Zingiber zerumbet Smith)
Kebutuhan unsur hara tanaman
lempuyang gajah belum banyak diketahui, namun diduga kebutuhannya cukup tinggi. Pemberian pupuk anorganik
dan berbagai jenis bahan organik memberikan respon yang positif terhadap
pertumbuhan dan produksi rimpang.
Pemberian pupuk urea sebanyak 15
g/rumpun dan TSP 7,5 g/rumpun dapat
meningkatkan bobot biomas dan rimpang segar sebesar 58,5 % dan 55,3 %
(Ruhnayat, 2002). Pemberian pupuk
organik akan dapat mengurangi pemberian pupuk urea sekaligus meningkatkan produksi rimpang. Pemberian
urea dan TSP masing-masing 7,5 g/
rumpun ditambah dengan arang sabut
kelapa dapat meningkatkan bobot rimpang segar sebesar 64,7 %. Pemberian
berbagai jenis pupuk organik saja se-

SARAN DAN TINDAK LANJUT

116

Kebutuhan unsur hara beberapa
tanaman berimpang seperti jahe, kencur, temulawak, kunyit, bangle dan
lempuyang gajah cukup tinggi. Upaya
pemupukan berupa pupuk anorganik
dan organik baik kombinasinya maupun tunggal terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil rimpang.
Berdasarkan pada cara budidayanya,
saat ini dipasaran ada dua jenis produk
tanaman obat yaitu produk organik dan
non organik. Kedua produk tersebut
mempunyai segmen pasar masingmasing. Oleh karena itu tanaman obat
khususnya yang berimpang sebaiknya
dibudidayakan secara organik dan non
organik. Apabila yang diinginkan produksi rimpang yang tinggi maka
sebaiknya dibudidayakan secara non
organik (pemberian pupuk anorganik

dan pestisida kimia masih diperbolehkan). Namun apabila mutu dan keamanan terhadap lingkungan dan kesehatan yang diutamakan maka budidaya
organik bisa diterapkan. Walaupun produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan cara budidaya anorganik,
namun harga produk organik bisa mencapai 3 - 4 kali lipat.
Jenis/varietas tanaman berimpang yang akan dibudidayakan secara
organik sebaiknya dipilih yang relatif
tahan terhadap serangan hama dan penyakit, hal ini untuk menghindari pemakaian pestisida yang dapat mencemari lingkungan dan kesehatan. Untuk
tanaman jahe sebaiknya dipilih jenis
jahe merah varietas Jahira 1 dan Jahira
2 yang toleran terhadap penyakit layu
bakteri. Apabila akan mengembangkan
jahe putih besar atau jahe putih kecil
organik sebaiknya dipanen pada umur
3 - 4 bulan untuk menghindari serangan
penyakit layu. Upaya penyediaan benih
sehat jahe putih besar melalui kultur
jaringan yang saat ini sedang diteliti
oleh Balittro diharapkan akan memberi
peluang jenis jahe tersebut untuk dibudidayakan secara organik sampai umur
panen 9 bulan. Untuk kunyit walaupun
semua varietas yang telah dilepas rentan terhadap penyakit layu bakteri namun varietas Turina-3 lebih tahan dibanding dua varietas lainnya. Untuk
varietas kencur tidak ada yang lebih
tahan terhadap penyakit layu bakteri,
oleh karena itu teknis budidaya perlu
diperhatikan (tidak dianjurkan untuk
menanam kencur pada lahan bekas jahe
putih). Temulawak nomor harapan
Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung le-

bih sesuai untuk dibudidayakan secara
organik dibandingkan dengan Balittro
2.
Upaya-upaya yang perlu dipersiapkan untuk mendukung pengembangan budidaya organik pada tanaman
obat berimpang antara lain adalah : (1)
Penyediaan benih unggul dan bebas
penyakit serta menjalin kerjasama dengan penakar benih disentra produksi,
(2) penyaluran dan penyediaan pupuk
bio dan pupuk alam ke sentra-sentra
produksi sehingga mudah diperoleh
petani, (3) penyediaan teknologi pengendalian organisme penggangu tanaman (OPT) terpadu dengan melakukan penelitian yang berkesinambungan
mengingat sebagian besar tanaman
obat berimpang peka terhadap penyakit
layu bakteri, (4) pemanfaatan jenis
pupuk organik, pupuk bio dan pupuk
alam lainnya sebagai sumber hara dan
pengendali penyakit seperti penyisipan
tanaman kacangan-kacangan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi, kubis-kubisan (Brassica spp.) untuk menekan patogen tular tanah seperti R.
solanacearum,
Meloidogyne
dan
Fusarium sp., guano kelelawar, limbah
hasil panen (kulit buah kakao, abu
janjang kelapa sawit, limbah penyulingan minyak atsiri) dan sebagainya.
KESIMPULAN
Tanaman obat berimpang memerlukan unsur hara yang relatif tinggi.
Kebutuhannya dapat dipenuhi dari pupuk anorganik dan organik.
Pemberian pupuk organik, pupuk
bio dan pupuk alam memberikan respon yang positif terhadap pertumbuhan

117

dan produksi tanaman obat berimpang.
Pemberian bahan organik pada budidaya tanaman obat berimpang mutlak
diperlukan.
Pada budidaya organik tanaman
obat berimpang dapat diberikan pupuk
organik (pupuk kandang, limbah kulit
kopi, kasting, arang sabut kelapa dan
bokashi), pupuk bio (mikoriza,
Azospirillum lipoferum, Azotobacter
beijerinckii, Aeromonas punctata dan
Aspergilus niger ), dan pupuk alam
(fosfat alam dan zeolit).
Diperlukan komponen teknologi
budidaya organik dari disiplin ilmu
lainnya seperti pemuliaan dan penyakit
terutama untuk mencegah serangan
penyakit layu bakteri.

Gusmaini dan N. Maslahah. 2002.
Pengaruh dosis dan komposisi bahan organik terhadap pertumbuhan
dan produksi jahe muda. Buletin
TRO. XIII (2) : 43-50.

DAFTAR PUSTAKA

Kemala, S. E.R. Pribadi, Sudiarto, M.
Rahardjo, H. Nurhayati. 2003.
Studi serapan simplisia tanaman
obat. Lap. Tek. TRO Tahun 2003.

Bautista, O.K. and H.D. Aycardo.
1979. Ginger : Its production,
handling, processing and marketing
with emphasis on export. Dept. of
Horticulture College Agricu. UP:B.
Los Banos Philipines. 80 p.
Dewi. DK. 1995. Produksi umbi mini
kentang (Solanum tube-rosum L.) :
pengaruh media dan jenis stek
mikro. Thesis jurusan Budidaya
Pertanian, Faperta IPB. 55 hal.
Direktorat Aneka Tanaman, 2000.
Budidaya Tanaman Temulawak.
Jakarta. 44 hal.
Gusmaini dan O. Trisilawati, 1998.
Pertumbuhan dan produksi jahe
muda pada media humus dan
pupuk kandang. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri. IV(2): 42-48.

118

Januwati, M. dan M. Yusron. 2003.
Pengaruh P-alam, pupuk bio dan
zeolit terhadap produktivitas jahe
(Zingiber officinale Rosc.). Jurnal
Ilmiah Pertanian Gakuryoku IX(2)
: 125-128.
Januwati, M., S. Affandi, D.S. Effendi
dan J. Pramono. 1992. Pengaruh
pemupukan P dan K terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda
(Z. officinale Rosc.) var. Badak.
Pemberitaan Puslitbangtri (2) : 5660.

Lynch, J.M., 1983. Soil Biotechnology. Microbiological Factors in
Crop Productivity. Blackwell
Scientific Publications.
Maslahah, N. 2005. Pengaruh pembumbunan dan pemupukan organik
terhadap pertumbuhan dan produksi rimpang bangle (Zingiber
purpureum Roxb.). Jurnal Ilmiah
Pertanian, Gakoryoku XI (1) : 15 –
19.
Muhammad, H. dan Sudiarto. 1997.
Pemupukan jahe. Monograf No. 3
Jahe. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 78-83.

Pearson. V.G., and HG. Diem. 1982.
Endomycorrhizae
in
tropics.
Microbiologi of tropical soils and
plant productivity. Academic Press.
London.

Rosita, SMD., O. Rostiana dan W.
Haryudin. 2007. Respon lima nomor unggul kencur terhadap pemupukan. Jurnal Penel. Tanaman
Industri. 13 (4) : 130-135.

Premono, M.E., 1997. Pendugaan pelarutan fosfat oleh mikroorganisme
dengan menggunakan indeks pelarutan. Buletin Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gula Indonesia.
No. 145 : 1-9.

Rosita, SMD. dan H. Nurhayati. 2007.
Respon tiga nomor harapan kunyit
(Curcuma domestica Val.) terhadap
pemupukan Buletin. Littro. XVIII
(2) : 127 – 138.

Rahardjo, M. dan O. Rostiana. 2005a.
Budidaya tanaman temulawak. Circular No. 11. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. 24-29.
Rahardjo, M. dan O. Rostiana. 2005b.
Budidaya tanaman kunyit. Circular
No. 11. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 30-35.
Rosita, SMD., M. Rahardjo dan
Kosasih. 2005. Pola pertumbuhan
dan serapan hara N, P, K tanaman
bangle
(Zingiber
purpureum
Roxb.) Jurnal Penel. Tanaman
Industri.
Rosita, SMD., I. Darwati dan H. Moko.
2006a. Pengaruh pupuk kasting dan
macam benih terhadap pertumbuhan, produksi jahe muda. Jurnal
Penel. Tanaman Industri. 11 (1) :
32-36.
Rosita SMD, O. Rostiana dan W.
Haryudin. 2006b. Respon kencur
(Kaempforia galanga L) terhadap
pemupukan. Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Tumbuhan
Obat Indonesia XX VIII. Balittro,
Pokjanas TOI. Ditjen Tan Sayuran
dan Biofarmaka.141 – 146.

Rostiana, O., N. Bermawie dan M.
Rahardjo. 2005a. Budidaya tanaman jahe. Circular No. 11. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. 1-12.
Rostiana, O., Rosita, SMD., M.
Rahardjo dan Taryono. 2005b.
Budidaya tanaman kencur. Circular
No. 11. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 13-23.
Ruhnayat, A. 1995. Peranan unsur hara
kalium dalam meningkatkan pertumbuhan, hasil dan daya tahan
tanaman rempah dan obat. Jurnal
Penel. dan Pengembangan Pertanian XIV(1) : 10-15.
Ruhnayat, A. 2002. Pengaruh jenis
bahan organik dan dosis pupuk N
terhadap pertumbuhan dan hasil
rimpang. Buletin Littro XIII (1) :
59-67.
Sinambela, J M., 2003. Stndarisasi
Sediaan Obat Herba. Makalah pada
Seminar dan Pameran Nasional
POKJANAS TOI, Jakarta, 25-26
Maret 2003. 10 halaman.
Sudiarto, O. Rostiana dan J. Pramono.
1996. Pengaruh pupuk kandang

119

terhadap hasil dua klon kencur
pada tanah asosiasi latosolgrumosol Boyolali. WARTA TOI.
3 (2): 32-34.
Sudiarto, M. Rahardjo, Rosita SMD,
E.R. Pribadi, H. Nurhayati, M.
Yusron, O. Rostiana, T. Atawidjaya, Kosasih dan S. Nursamsiah.
2001. Penyiapan teknologi usahatani bangle mendukung pemberdayaan petani dan peningkatan
ekspor. Laporan Hasil Penel.
Balittro-PAATP. 28 hal.
Supanjani, H. S. Han, J. S. Jung and K.
D. Lee, 2006. Rock phosphatepotassium and rock-solubilising
bacteria as alternative, sustainable
fertilizers. Agron. Sustain. Dev. 26:
233-240.
Trisilawati O. dan Gusmaini, 1999.
Penggunaan pupuk organik bagi
pertumbuhan dan produksi jahe.
Buletin Ilmiah Gakuryoku. V (4) :
251-257.
Trisilawati, O., Gusmaini dan I.
Rohimat. 2003. Peranan mikoriza
terhadap pertumbuhan dan produksi rimpang tiga klon jahe. Jurnal
Ilmiah Pertanian Gakuryoku IX(1)
: 85-89.

120

Yusron, M dan M. Januwati, 2005.
Pengaruh pupuk bio terhadap
pertumbuhan dan produksi kunyit
(Curcuma domestica Val.) di
bawah hutan rakyat sengon. Jurnal
Ilmiah Pertanian, Gakoryoku XI
(1) : 20 –23.
Yusron, M., D.S. Effendi dan M.
Januwati. 2005. Peluang pengembangan wanafarma di hutan rakyat
dan hutan kemasyarakatan. Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. 381386.
Yusron, M. dan M. Januwati. 2007.
Pengaruh pupuk bio terhadap pertumbuhan dan produksi temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb) di
bawah tegakan sengon. Prosiding
Seminar Nasional dan Pameran
Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. 133-138.
www.healthybuyersclub.com.
2007.
Organic spices : tumeric and ginger
powder.
www.organic-market.info. 2007. 2007.
Asia’s organic industry catching
up.