Praktik Kapitalisme Kroni Pada Era Orde

Praktik Kapitalisme Kroni Pada Era Orde Baru
Studi Kasus: Grup Salim
Oleh
Eka Prasetya
I.

Pendahuluan
Pengaruh negara memainkan peran sangat penting dalam pembentukan dan

perkembangan kapitalisme di Indonesia. Pengaruhnya bersifat menentukan, tidak hanya
dalam memberikan kondisi politik bagi tumbuh dan berkembangnya kelas kapitalis, tetapi
juga menyediakan kerangka fiskal, investasi yang besar, serta serangkaian kebijakan yang tak
jarang mengintervensi pasar.Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio yang
menilai perkembangan kapitalisme yang terjadi di Asia Tenggara pada umumnya bersifat
semu (ersatz capitalism).Hal tersebut menimbulkan pencari rente di kalangan birokrat
pemerintah, serta memunculkan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina,
yang melalui koneksinya dengan para birokrasi negara berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas
khusus bagi usahanya.1
Interpretasi konservatif yang dominan dalam melihat Orde Baru ialah sebagai negara
teknokratik, dimana kebijakan ekonomi dibentuk atas dasar kriteria yang ‘rasional,’ objektif
dan universal melebihi kepentingan politik dan sosial.2 Hal ini terutama terjadi pada era awal

reorientasi kebijakan ekonomi Orde Baru pada masa konsolidasi mengingat Indonesia
membutuhkan modal asing untuk melakukan mobilisasi sumber-sumber kekayaan dalam
rangka rehabilitasi perekonomian. Akan tetapi ketika nasionalisme ekonomi dan intervensi
pemerintah mulai dihidupkan kembali pada pertengahan 1970-an, dimana pada masa itu
terjadi pertumbuhan yang didukung oleh produksi ekstraktif dan bahan mentah,3 maka Orde
Baru sesungguhnya telah kehilangan legitimasi teknokratik-nya.
Pada era dimana pemerintah menerima pemasukan yang luar biasa besar dari sektor
ekstraktif (terutama minyak), dimulailah suatu fase dimana kebijakan perekonomian dan
intervensi pemerintah dalam pasar tidak hanya mengikuti logika kepentingan nasional,
dimana akumulasi kapital dilakukan oleh sejumlah perusahaan negara, melainkan juga sarat
1

Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 2
Posisi demikian timbul mengingat kenyataan bahwa kekuatan penting pembuat
keputusan berada di tangan sekelompok ekonom didikan Amerika yang terutama
berpusat di Bappenas. Lihat: Richard Robison (1986), hal. 85
3
Andrinof Chaniago, Gagalnya Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 2012), hal. 27
2


1

dengan agenda “bagi-bagi jatah” kepada kapital swasta domestik tertentu. Pada era inilah
sejumlah grup bisnis dan keluarga yang dekat dengan kekuasaan (kroni) memperoleh
keuntungan besar dengan memanfaatkan serangkaian kebijakan negara berupa proteksi,
kredit, dan insentif yang berasal dari fiskal.
Salah satu grup bisnis milik golongan kapital swasta domestik yang terbesar ialah
Grup Liem (Salim Group) yang akibat kedekatannya dengan penguasa secara langsung,
memperoleh bagian terbesar dalam lisensi, konsesi, dan kontrak yang diberikan oleh negara.
Liem berhasil memanfaatkan kebijakan proteksi negara terhadap perusahaan berbasis industri
manufaktur substitusi impor, sehingga melalui keagenan tunggal yang dimilikinya untuk
sejumlah barang otomotif, serta lisensi monopoli atas sejumlah komoditas seperti cengkih
dan terigu, kerajaan bisnisnya memperoleh kejayaan yang pesat.
Liem juga melakukan ekspansi bisnisnya dalam bidang keuangan sebagai sumber
pendanaan untuk beragam bisnisnya meskipun ia juga membangun integrasi kapital dengan
investor asing, terutama pebisnis Cina perantauan yang berasal dari sejumlah negara Asia. Ia
juga membangun kemitraan dengan kapital domestik terutama yang memiliki kedekatan
dengan sumber-sumber perlindungan politik seperti keluarga istana maupun yayasan milik
angkatan bersenjata.


II.

Perumusan Masalah
Intervensi negara dalam kegiatan perekonomian sejatinya merupakan agenda bagi

terwujudnya keadilan sosial, dimana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
sebagai ekses negatif dalam lingkungan persaingan pasar yang terbuka, negara dituntut hadir
memberikan sejumlah kebijakan yang mengarah pada terciptanya pemerataan kesejahteraan.
Akan tetapi, praktik intervensi negara yang dilakukan pada era Orde Baru dengan
memberikan sejumlah fasilitas dan hak monopoli pada keluarga dan grup bisnis tertentu
menunjukkan bahwa agenda terbesar yang sesungguhnya hendak diwujudkan ialah dalam
rangka memenuhi kepentingan akumulasi kapitalkroni.
Makalah ini bermaksud untuk menjelaskan secara deskriptif, bagaimana praktik
kapitalisme kroni dan pola patron-klien yang berlangsung pada era orde baru antara negara
dan grup bisnis milik pengusaha bernama Liem Sioe Liong (Grup Salim). Pemaparan akan
menjelaskan bagaimana dukungan negara terhadap sejumlah sektor bisnis yang dimiliki oleh
Liem, serta bagaimana grup bisnis Liem dapat bekerja sebagai mesin akumulasi kapital bagi
sejumlah kelompok yang dekat dengan kekuasaan Presiden Soeharto.
2


III.

LandasanTeoritis
Hal yang perlu diketahui tentang kapitalisme terkait hubungan diantara negara dengan

pengusaha adalah adanya pola kapitalisme kroni. Kapitalisme kroni sendiri pada dasarnya
kapitalisme yang berdasarkan hubungan antara negara dan juga pengusaha yang dianggap
tidak sehat, dimana terjadi kong-kali-kong atau kerjasama antara keduanya yang bertujuan
untuk memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. 4Adam Smith menjelaskan
kapitalisme kroni sebagai hubungan yang dibangun oleh dua pihak yang saling bertemu untuk
melakukan konspirasi atau kerjasama untuk kepentingan mereka sendiri dan cenderung
mengabaikan kepentingan orang lain atau publik. Smith menulis:
People of the same trade seldom meet together, even for merriment
and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the
public, or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed
to prevent such meetings, by any law which either could be executed,
or would be consistent with liberty and justice. But though the law
cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling
together, it ought to do nothing to facilitate such assemblies; much
less to render them necessary.5

Menurut Ahmad Taufan Damanik, peran intervensi negara sesungguhnya dapat
diterima. Apabila liberalisme klasik memandang negara hanya memiliki peran minimal, maka
liberalisme modern mengakui peran intervensi negara di dalam mencapai kesejahteraan
sosial. Negara dengan demikian berperan didalam distribusi sumber-sumber ekonomi
maupun kesejahteraan serta melindungi kemerdekaan individu dan kemungkinan kejahatan
yang merusaknya. Akan tetapi, masih terdapat ‘para pecundang’yang mendapatkan
perlindungan dan redistribusi melalui negara. ‘Para Pecundang’ yang dimaksud dalam
pandangan Damanik tersebut ialah para kroni atau pengusaha yang mendapatkan
proteksinegara. Dengan adanya andil negara, mereka dapat berkomplot atau bekerjasama
dengan negara untuk menguasai pasar demi mendapatkan keuntungan secara pribadi.6
Praktik kroni kapitalisme juga dapat dijelaskan berdasarkan teori patronase dan
klientalisme. Patronase (patronage) merupakan konsep yang menjelaskan adanya hubungan
antara patron dan klien melalui suatu pertukaran yang saling menguntungkan. Secara harfiah,
4

A White Paper by the Committee for Economic Development of The Conference Board,
Crony Capitalism: Unhealthy Relations Between Business and Government. 2015
5
Ibid, hlm. 29.
6

Ahmad Taufan Damanik. Ekonomi Politik Pancasila: Negara dan Keadilan Sosial.(Jakarta:
Kalam Nusantara, 2010), hlm. 71

3

patron berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan arti bangsawan,
sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut. Dalam bahasa Spanyol,
istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan, status,
wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien” berarti bawahan atau orang yang
diperintah.7
Setidaknya ada tiga ciri-ciri dari hubungan patronase yang disepakati, yakni: adanya
ketimpangan dalam pertukaran (posisi patron lebih kuat dari klien); bersikap tatap muka
(saling mengenal, percaya); serta luwes dan meluas. Patronase secara sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang bersifat
asimetris.
Perbedaan ‘derajat’ antara patron dan klien dapat berupa status, kekuasaan, maupun
penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (subordinat)
dan patron menempati kedudukan lebih tinggi. Dalam patronase, terdapat hubungan timbalbalik yang bersifat saling menguntungkan. Patron biasanya mengumpulkan kekuasaan dan
pengaruhnya melalui dukungan umum dan bantuan yang diberikan oleh klien, setelah itu
patron pun memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan tertentu berdasarkan

otoritas atau kekuasaan yang dimilikinya kepada klien sebagai imbalannya.
Dalam konteks Indonesia, teori yang juga patut untuk dikemukakan ialah teori
Oligarki dari Jeffrey Winters. Winters mengkatagorikan Soeharto denganapa yang
diistilahkan sebagai ‘Oligarki Sultanisme.’ Selama berkuasanya rezim Orde Baru seluruh
perangkat institusional yang semula memiliki kewenangan yang otonom, dibongkar dan
ditata-ulang semata-mata untuk memastikan ketertiban dan efesiensi untuk mengabdi
sepenuhnya pada kepentingan sang penguasa sendiri.8 Dengan demikian Soeharto menjadi
penentu segala hal yang berkaitan dengan pengaturan ‘bagi-bagi’ jatah, untuk mengelola
ketertiban para oligark (pemilik jaringan dan grup bisnis) yang menjadi klien-nya.
IV.

Pembahasan
Liem Sioe Liong (Sudono Salim) lahir di Fukkian, daratan Tiongkok pada 1916.

Kemudian ia datang ke Kota Kudus, Jawa Tengah pada 1936 pada usia 20 tahun untuk
berdagang minyak kacang tanah bersama kakak lelakinya, Liem Sioe Hie.9 Setelah itu ia
memperluas bisnis ke perdagangan cengkih sebagai pemasok pabrik-pabrik rokok kretek
setempat. Karena kedekatannya dengan kekuatan-kekuatan republik pada 1945, bisnisnya
7


James C. Scott (1972), hal.92
Jeffrey A. Winters (2011)
9
Log Cit, Yoshihara Kunio (1990), hlm. 327
8

4

berkembang baik. Ia menjadi pemasok bahan makanan, pakaian, obat-obatan, dan bahkan
senjata.10Kedekatan antara Liem dan Soeharto sudah terjalin, sejak 1950, ketika Soeharto
menjabat Panglima Divisi Diponegoro dan Soedjono Hoemardani menjabat Asisten
Keuangan. Pada permulaan 1950-an, ia mendirikan Bank Windu Kencana, kemudian pada
1957, ia membeli Bank Central Asia. Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan 1965, Liem
sudah menjadi salah satu pemilik grup bisnis dengan bidang usaha yang beragam.
Pada awal rezim Orde Baru, Liem berhasil memanfaatkan kesempatan kebijakan
pemerintah untuk melindungi kapitalis domestik, terutama pada manufaktur barang substitusi
impor. Liem mengukuhkan kekuatan bisnisnya berdasarkan kedekatannya terhadap akses
kekuasaan, kemitran yang luas dengan perusahaan swasta domestik, serta integrasi dengan
kapital internasional. Dalam industri besar seperti pabrik semen dan pabrik mesin mobil, serta
jenis usaha seperti properti, konstruksi, dan keuangan, Liem membangun integrasi dengan

pemodal asing. Grup Liem juga mengandalkan dana internasional dalam proyek-proyek skala
besar yang dikerjakan korporasinya. Ia juga mengandalkan manajemen asing dalam masalah
teknik dan operasi.11
Selain itu Liem juga mengembangkan kemitraan yang luas dengan perusahaan swasta
domestik seperti grup Ciputra (PT Metropolitan) dalam bidang konstruksi dan manufaktur,
grup Sahid milik Sukamdani dan perakitan mobil yang merosot, National Motors yang
dimiliki Mochtar Lubis. Kemitraan juga dibangun dengan grup perusahaan publik milik
negara, Krakatau Steel. Terakhir, kemitraan yang strategis untuk memperoleh perlindungan
dan dukungan politik penguasa juga dibangun antara grup Liem dengan keluarga Cendana.
Seperti misalnya dalam kepemilikan Waringin, Indocement, dan Bogasari yang
mengikutsertakan Sudwikatmono (adik tiri Presiden Soeharto), serta dalam kepemilikan
saham di Bank Central Asia yang melibatkan putra-putri Soeharto, yakni Sigit dan Tutut.
Secara tradisional, grup bisnis domestik di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang
dengan cepat jika memperoleh hak monopoli dalam perdagangan. Grup Liem merupakan
salah satu yang memperoleh hak monopoli tersebut pada masa-masa awal berkuasanya
Presiden Soeharto. Bersama Sudwikatmono dan Bambang Tirtomuljono dalam grup
Waringin Kencana, Liem mendapatkan lisensi untuk melakukan ekspansi. Waringin
berkembang pesat, terutama dalam perdagangan ekspor kopi dan karet dengan dukungan
kredit bank pemerintah yang besar serta lisensi kuota ekspor yang melebihi angka resmi.
Monopoli yang paling menguntungkan bagi Liem ialah dalam perdagangan cengkih (melalui

10

Richard Robison (1986), hal. 235
Misalnya: Indocement dikelola oleh Nihon Cement dan Taiwan Cement; Krakatau Cold
Rolling Steel dikelola oleh US Steel. Baca: Richard Robison (1986), hal. 238
11

5

PT Mega).12 Dengan adanya industri rokok kretek yang besar di Indonesia, perdagangan
cengkih menjadi strategis dengan nilai 60,9 juta dolar AS pada 1980 dan 120,1 juta dolar AS
pada 1981. Dari kegiatan Waringin dan Mega inilah basis kapital grup Liem mulai dibangun.
Setelah itu, Liem merambah dunia otomotif yang sedang berkembang karena
pengusaha domestik yang memiliki lisensi keagenan tunggal untuk impor dan distribusi
kendaraan pabrikan asing mendapatkan proteksi dari pemerintah. Kebijakan pemerintah ialah
untuk mendorong para pemegang lisensi agar dapat berkembang menjadi perakit dan
kemudian meningkat lagi menjadi pabrikan komponen dan mesin. Meskipun grup Liem
terlambat masuk ke bidang otomotif, akan tetapi ia berhasil memastikan kedudukannya
sebagai perakit dan agen tunggal untuk Hino, Mazda, Suzuki, dan Volvo. Ia juga menyerap
perusahaan National Motors yang sedang diambang kejatuhan.

Dalam bidang manufaktur, diakibatkan kebijakan pemerintah untuk melindungi dan
memberikan subsidi serta dana dalam negeri untuk mendorong industrialisasi barang-barang
manufaktur substitusi impor, grup Liem memperoleh kemajuan yang luar biasa. PT
Tarumatex, perusaan yang bergerak di bidang tekstil milik Liem misalnya mengalami
kemajuan yang bagus pada 1960-an dan permulaan 1970-an, serta memperoleh tambahan
kontrak dari pemerintah untuk memasoknya. Saat pemerintah memutuskan untuk mendirikan
pabrik tepung terigu untuk memasok kebutuhan di Indonesia pada 1969/1970, grup Liem
mendirikan PT Bogasari yang kemudian akan menjadi jantung kerajaan manufaktur grup
Liem. PT Bogasari membukukan pasokan terigu sebesar Rp. 400 juta dolar pada 1983 karena
monopoli lisensi yang diperolehnya akibat persekutuannya dengan keluarga cendana dan
Kostrad.13
Pada mulanya, lisensi pertama diberikan kepada kapital asing, yakni PT Prima yang
berasal dari Singapura. Setelah didirikannya PT Bogasari oleh grup Liem yang dalam akta
perusahaannya, disebutkan 26% keuntungannya disisihkan untuk sumbangan kepada
Yayasan Harapan Kita yang dipimpin oleh Tien Soeharto dan Yayasan Dharma Putra
Kostrad, Bulog kemudian mengalihkan lisensi pengolahan dan pemasaran produk terigu
untuk wilayah Indonesia Barat kepada PT Bogasari. Sedangkan PT Prima memperoleh lisensi
untuk wilayah pemasaran yang kurang menguntungkan, yakni Indonesia bagian timur.

12

Pada 1968 pemerintah memutuskan untuk membatasi impor cengkih hanya pada dua
perusahaan, PT Mercu Buana milik Probosutedjo dan PT Mega milik Liem. Baca:
Wawancara dengan Probosutedjo pada Kompas 29.9.76 dalam R. Robison (1986), hal.
239
13
Op Cit, R. Robison (1986), hal. 240

6

PT Prima membangun pabriknya di Ujung Pandang dengan investasi senilai 13 juta
dolar AS dengan izin operasi selama 30 tahun. Bandingkan dengan PT Bogasari yang hanya
bermodalkan Rp.100 juta, tetapi kemudian memperoleh kredit bank sebesar Rp. 2,8 miliar
dari pemerintah. Keberpihakan pemerintah pada Bogasari tidak hanya sampai di situ, sejak
1972 hingga akhir 1980, alokasi gandum yang diberikan Bulog kepada PT Prima hanya
cukup untuk produksi setengah dari kapasitanya. Sedangkan pabrik PT Bogasari di Jakarta
dan Surabaya selalu mendapatkan pasokan yang cukup.14Disamping itu, Bogasari juga selalu
mendapatkan kualitas yang lebih baik untuk produksi penuh.
Saat hendak melakukan divestasi pada 1980, PT Prima tidak diperkenankan menjual
sahamnya sebesar 25% kepada pelaku bisnis swasta, Wirontono. Alasannya, pabrik terigu
merupakan salah satu industri nasional yang strategis, karen itu PT Prima hendaknya menjual
sahamnya hanya kepada perusahaan milik negara. Selain itu, penjualan semacam itu
mustinya sebesar 50% dan bukannya 25% saja. Bulog kemudian mencabut lisensi PT Prima
untuk melayani pasar Kalimantan, sehingga praktis hanya diizinkan melayani pasar Sulawesi.
Pasokan gandum pun dikurangi hanya sebatas kapasitas 20% produksi.15 Terakhir, saat
hendak hengkang dari Indonesia secara keseluruhan, PT Prima diberikan opsi untuk menjual
45% saham kepada Bogasari, 30% kepada perusahaan dagang negara di bawah Bulog,
Berdikari, 20% kepada Sigit Soeharto, dan 5% kepada dirinya sendiri. Akhirnya Prima
menjual 100% sahamnya kepada berdikari seharga 31,5 juta dolar AS.
Liem juga berjaya membangun bisnis semen melalui PT Indocement yang bersekutu
dengan keluarga Djuhar, Sudwikatmono, dan Risjad. Indocement mengoperasikan lima
perusahaan semen yang memasok 30% semen di seluruh Indonesia pada tahun 1980.
Indocement juga melakukan usaha patungan dengan grup Sahid (Sukamdani) dan grup
Metropolitan (Ciputra) untuk membangun pabrik semen sebesar 290 juta dolar AS, yaitu PT
Tridaya Manunggal Perkasa.16 Belakangan grup ini juga mengambil 60% saham PT Semen
Madura yang awalnya dimiliki oleh negara dan dipindahkan ke swasta. Dominasi Liem
dalam industri semen tidak mungkin terjadi tanpa adanya perlindungan politik dan integrasi
dengan kapital internasional. Pada masa permulaan PT Distinct Cement dimiliki sahamnya
oleh Hongkong sebesar 44%, sedangkan PT Tridaya Manunggal Perkasa dibangun atas 97

14

Op Cit, R. Robison (1986), hal. 182
J.P Manguno & S.K. Witcher, “Soeharto Relatives, Ofcials Gain Control of Indonesian
Flour Trade,” AWSJ, 23.11.80: 2-3; Tempo, 20.3.82 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal.
182
16
ICN 201, 5.7.82 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal 241
15

7

juta dolar investasi domestik dan 193 juta dolar pinjaman yang terutama berasal dari sumber
pendanan asing.
Tabel.1 Investasi dan Produksi Grup Indocement 198017
Kapasitas
PT Distinct Indonesia Cement
PT Perkasa Indonesia
PT Perkasa Agung Utama
PT Perkasa Indah Cement Putih
PT Perkasa Inti Abadi

(ton/tahun)
1.000.000
2.000.000
1.500.000
200.000
1.500.000

Investasi
(dalam juta dolar AS)
115
188
219
40
258

Bisnis industri grup Liem telah menunjukkan kapasitasnya untuk menghimpun
sumber-sumber kapital, mendapatkan dana di pasar internasional dan mengerjakan proyek
yang rumit. Bersama dengan negara dan grup Metropolitan milik Ciputra, Liem membangun
pabrik baja batangan seharga 800 juta dolar AS, Krakatau Steel. 18 Grup Liem merupakan
perusahaan swasta domestik pertama yang mengembangkan kapasitas untuk bergerak ke
bidang manufaktur yang besar dan rumit seperti semen dan baja. Sebelumnya bidang-bidang
semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh kapital negara dengan memanfaatkan mobilisasi
sumber daya untuk investasi. Dengan demikian negara sudah memberikan peluang masuknya
investasi swasta yang telah memiliki basis kapital dan struktur korporasi yang kuat.
Dalam bidang properti dan konstruksi, grup bisnis Liem melalui sejumlah
perusahaannya, terutama PT Perwick Agung dan PT Kabele Asia Nusantara berhasil
membangun sejumlah proyek, dua diantara yang terkenal ialah Wisma Metropolitian dan
Hotel Mandarin. Dalam bidang ini, Liem cenderung mengintegrasikan modalnya kepada
sejumlah mitra swasta domestik, termasuk Ciputra (Metropolitan) yang juga mengepalai grup
perusahaan milik Pemerintah DKI Jakarta, PT Jaya yang memiliki otoritas untuk membagi
wilayah properti dan lisensi proyek-proyek pembangunan gedung di Jakarta.
Adapun dalam bidang perbankan, keluarga Liem mula-mula masuk dengan
mendirikan Bank Windu Kencana pada 1954. Pada 1957 muncul Bank Central Asia yang di
17

Sumber: ICN 166, 26.1.81 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal 241
Perincian dana tersebut adalah 218 juta dolar dari pinjaman bank-bank internasional,
334 juta dolar dari kredit ekspor Prancis dan Spanyol (konsorsium kedua negara ini yang
membangun pabrik), 100 juta dolar disiapkan negara melalui PT Krakatau Steel, 25 juta
dolar dari BNI 1946, dan 213 juta dolar sisanya merupakan investasi Liem dan Ciputra.
Baca: “Liem & Partner di Krakatau Steel” Tempo 9.7.83 dalam Op Cit, R. Robison (1986),
hal. 242
18

8

kemudian hari menjadi pelopor bidang keuangan grup Liem. Pasca 1965, terjadi reorganisasi
yang menjadikan kepemilikan Bank Windu Kencana berada di tangan sejumlah Jenderal
Kostrad, meskipun tetap dikelola oleh Liem dalam kapasitas bank yang tetap relatif kecil.
Grup Liem kemudian fokus menjadikan BCA sebagai bank swasta dengan aset terbesar. Hal
ini memungkinkan karena BCA terintegrasi dengan jaringan industri swasta dan keuangan
terbesar di Indonesia dengan anak perusahaan yang terkait, termasuk perusahaan asuransi dan
institusi keuangan PT Multicor dalam kerjasamanya dengan kepentingan asing. BCA dimiliki
sahamnya pula oleh Mochtar Riady sebesar 17,5% serta 32% di tangan Sigit dan Tutut
Soeharto (digabung).19
Meskipun merupakan perbankan swasta dengan aset terbesar di Indonesia, BCA tidak
cukup untuk mendukung kebutuhan keuangan bisnis grup Liem. Dalam seluruh kegiatannya,
grup Liem memperoleh dananya dari empat sumber: menggunakan BCA dalam kebutuhan
perbankan sehari-hari yang menyangkut distribusi terigu dan semen; menggunakan dana
keuntungan besar dari monopoli terigu dan cengkih serta dari keuntungan investasi lainnya;
menarik kredir besar dari bank-bank internasional untuk proyek industi besar, kadang dalam
bentuk kredit ekspor; serta jaringan kredit informal grup bisnis Cina perantauan di Asia
Tenggara.20
Selain melakukan bisnisnya di Indonesia, grup Liem juga melakukan ekspansi ke luar
negeri. Akan tetapi hingga 1980-an, usaha grup Liem di luar negeri tidak berkompetisi dalam
sektor manufaktur, melainkan perdagangan dan keuangan melalui First Pacific Holdings Ltd.
dan First Pacific Finance. Melalui kedua perusahaannya ini, grup Liem membeli sejumlah
saham perusahaan Eropa dan Amerika yang berada dalam proses mapan. Investasi grup Liem
ke luar negeri didorong oleh pandangan ke depan, mengingat resiko politik yang besar
apabila kapital dalam jumlah besar dikonsentrasikan di Indonesia. Prospek turunnya Soeharto
dalam beberapa tahun berikutnya, akan berdampak pada berjalannya bisnis grup Liem.
Kematian tokoh politik yang menjadi patron, biasanya berarti hilangnya akses lisensi,
konsesi, dan kontrak dari grup bisnis yang menjadi kliennya.
Perlu diingat bahwa Liem adalah seorang kapitalis Indonesia keturunan Cina. Dengan
demikian ia menjadi sasaran berbagai tekanan dan kemarahan dari golongan pribumi,
terutama elemen kapitalis dagang dan manufaktur Pribumi yang sedang merosot. Masalah ras
19

Liem sendiri memiliki 24% saham pada BCA, lihat tabel 2
Boonchu Rojanastien, Chief Executive Bangkok Bank dalam wawancaranya dengan
Insight, menyatakan bahwa Bangkok Bank sanggup mendukung 10 atau 15 taipan,
termasuk Robin Loh di Singapura dan Liem Sioe Liong dalam membangun kerajaan
mereka. Lihat R. Salamon, “Chin Sophonpanich, the Bangkok Connection,” Insight, Juni
1978, hal.13 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal. 243
20

9

yang mudah meledak menunjukkan dengan jelas faktor resiko yang cukup tinggi akibat aksi
kekerasan anti-Cina. Sebagaimana yang akan terjadi kemudian, pada akhir era Soeharto
terjadi kerusuhan massal di kota-kota besar di Indonesia yang mengarah pada perusakan dan
penjarahan properti dan kegiatan bisnis golongan Cina.
Posisi Liem dan hubungannya dengan Soeharto, Kostrad, dan pusat kekuasaan lainnya
merupakan topik yang terlarang untuk diperdebatkan secara terbuka sejak 1974. Ironisnya,
Probosutedjo (adik tiri Presiden Soeharto) yang secara samar mengkritik melalui korannya,
Ekuin yang kemudian dilarang terbit oleh Presiden Soeharto sendiri. Dalam koran Ekuin,
Liem dikritik karena luasnya grup yang dikuasainya, rendahnya pajak yang dibayarkannya,
serta lebih jelasnya lagi ialah hengkangnya kapital Liem secara perlahan dari Indonesia.21
Pada akhir 1980-an Liem mulai memperluas kepemilikan basis kerajaan bisnisnya. Ia
mengumumkan bahwa 30%-35% saham di Indocement, perusahaan dengan laporan asetnya
sebesar 2,5 miliar dolar AS, akan dijual bertahap kepada publik. Dalam istilah politik,
kepemilikanpublik akan mencairkan perasaan anti-Cina dan kritik anticukong yang ditujukan
kepada dirinya.

21

Ekuin, 29.1.83 dan 28.2.83 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal. 248

10

Tabel.2 Grup Liem (Perusahaan yang Berbasis di Indonesia)22
Perdagangan
PT WARINGIN
PT WARINGIN23
KENCANA
Liem
85%
Sudwikatm
ono 5%
Risjad
5%
Bambang
Tirtimulyon
o
5%
PT PERMANENT
PT MEGA (impor
cengkih)
PT ARIMONO24
Liem
75%
Sudwikatm
ono 25%
PT HANURATA
22
23
24
25

Otomotif: Distributor
dan Perakitan

Manufaktur

PT NATIONAL
MOTOR
Sebagian milik
Liem (Agen
Tunggal Hino &
Mazda)

PT MULTILATEX
(Tekstil)

PT UNICOR PRIMA
Sebagian milik
Liem (Perakitan
Hino & Mazda)

PT INDARA MAS
(Ban sepeda
motor)
Pengolahan karet
di Palembang dan
Jambi

PT INDO MOBIL
UTAMA
(Agen tunggal
dan perakit
Suzuki)
PT CENTRAL SOLE
AGENCY
(Agen tunggal
Volvo)
PT SALIM JAYA
(ISMAC)
(Perakit Volvo)

Properti dan
Konstruksi
PROPERTI:
PT METROPOLITAN
KENCANA
Liem
50%

PT INDAH
KENCANA
(Paku)

PT WISWA
METROPOLITAN
Liem
25%
HK & Sing.
75%
PT METROPOLITAN
DEVELOPMENT

PT TARUMATEX
(Tekstil)

PT JAKARTA LAND
Hongkong
25%
Singapura
25%
Liem
25%
Jaya Grup
25%

PT PANGAN SARI
UTMA
(Pemrosesan
makanan)
PT BOGASARI25
(Pabrik terigu)
Liem
67,6%
Djuhar

Keuangan
BANK WINDU
KENCANA
BANK CENTRAL
ASIA
Liem
24,0%
M.Riady
17,5%
Sigit
16,0%
Siti (Tutut)
16,0%
Maryono
11,0%
M. Thahir
8,5%
Sumarjo
7,0%

Penebangan, Kayu
dan lain-lain
PT KAYU LAPIS
MURNI
(Kayu lapis)
PT DONO INDAH
(Penebangan
kayu)
PT OVERSEAS
TIMBER PRODUCTS
CORPORATION
(Penebangan)
INDACO LTD
(Tambang timah)
Liem
Australia CSR

PT MULTIFINANCE
CORPORATION
BCA
27,5%
Investor Asing
62,5%

Sumber dihimpun dari: BNPT; Insight (HK); ICN; Tempo; Rowley; Habir & Rowley; dan FEER dalam R.Robison (1986), hal. 236-237
BNPT 275-1970 dalam R. Robison (1986), hal. 236
BNPT 678-1973 dalam Ibid (1986)
BNPT 258-1970 dalam Ibid (1983)

11

PT HARAPAN
MOBIL NUSANTARA
(Distributor Ford)
PT INDOHERO
(Perakit sepeda
motor Suzuki)

24,4%
Risjad
4,0%
Sudwikatmono
4,0%
PT INDONESIA
CEMENT26
Liem 45%
Djuhar 45%
Risjad 5%
Sudwikatmono
5%

PT GREEN LAND
PT JAYA BALI
AGUNG
PT JAYA MANDARIN
AGUNG
(Mandarin Hotel)
Liem
40%
Hongkong
60%
PT AGUNG UTAMA
PERMAI

PT DISTINCT
INDONESIA
CEMENT
ENTERPRISE
Indocement 56%
Investor HK 44%

26

PT PERWICK
AGUNG
Liem
25%
Hongkong
75%

PT PERKASA
CEMENT
PT PERKASA
AGUNG UTAMA
CEMENT
PT PERKASA INDAH
CEMENT PUTIH
PT PERKASA INTI
ABADI CEMENT

PT ASIA
NUSANTARA
PT KALBE ASIA
NUSANTARA
Liem
25%
Hongkong
75%

PT TRIDAYA
MANUNGGAL
PERKASA

KONSTRUKSI:
PT CENTRAL SARI
INT BUILDER

BNPT 273-1974 dalam Ibid (1986)

12

CENTRAL ANTAR
JASA
(Broker asuransi)
PT CENTRAL SARI
METROPOLITAN
LEASING
PT ASURANSI
CENTRAL ASIA
Liem
PT Gesurilloyd
PT ASSWANSI JAYA
CENTRAL RAYA
Liem
PT Gesurilloyd

Grup Liem
Grup Sahid
Grup Jaya

PT NUGRAHA
KENCANA JAYA
PT CAHAYA TUGU
KENCANA
PT CENTRAL SALIM
BUILDERS

PT KRAKATAU
COLD ROLLING
MILL
Liem
40%
Krakatau Steel
40%
Grup Jaya
20%

PT RIMBA
KENCANA
Liem
25%
PT BUDHI AGUNG
Liem
50%

13

V.

Kesimpulan
Bangkit dan berkembangnya satu kelas borjuasi konglomerat di Indonesia tidak

terlepas dari pengaruh negara. Orde Baru sebagai satu fase bangkitnya kapitalisme di
Indonesia, dimana terjadi proses akumulasi kekayaan secara ekstrim di tangan sejumlah
keluarga dan grup bisnis dalam waktu yang singkat, menjalankan praktik kapitalisme kroni
dimana Presiden Soeharto sendiri menjadi patron-nya. Penguasa pada era orde baru
memegang kendali untuk mengalokasikan pembagian hak monopoli dalam bentuk lisensi,
maupun kontrak dan konsesi. Seringkali prosesnya tidak mengikuti alur resmi sesuai dengan
kerangka legal-institusional, melainkan sarat dengan kepentingan bisnis grup atau keluarga
tertentu.
Liem Sioe Liong (Grup Salim) merupakan salah satu contoh pengusaha perantauan
asal Tiongkok yang sukses membangun relasi bisnisnya dengan kekuasaan Orde Baru
sehingga ia memperoleh keuntungan yang tinggi dari bekerjanya struktur kapitalisme kroni
yang dibangun oleh Soeharto. Dihidupkannya kembali kebijakan intervensi negara pada era
pertengahan 1970-an sebagai akibat melonjaknya pendapatan negara dalam sektor ekstratif,
memungkinkan kelompok-kelompok bisnis kroni di sekitar penguasa Orde Baru berkembang
pesat karena memperoleh proteksi dan insentif fiskal yang diberikan oleh negara.
Praktik kapitalisme kroni yang berlangsung selama periode pertengahan Orde Baru,
memberikan satu interpretasi baru dalam memahami dan menafsirkan kebijakan
perekonomian negara pada waktu itu yang ternyata tidak semata-mata dibentuk atas kriteria
yang rasional, objektif, dan universal demi kepentingan nasional, akan tetapi juga sarat
dengan kepentingan kelompok bisnis, yayasan, dan keluarga tertentu yang dekat dengan
kekuasaan. Hal ini tetap berlangsung hingga menurunnya kemampuan fiskal pemerintah
akibat turunnya harga minyak dunia, sehingga memaksa Orde Baru mengambil sejumlah
langkah penyesuaian struktural dan deregulasi pada pertengahan 1980-an.

VI.

Daftar Pustaka
Buku
Ahmad Taufan Damanik. 2010. Ekonomi Politik Pancasila: Negara dan Keadilan

Sosial. Jakarta: Kalam Nusantara
Andrinof Chaniago. 2012.Gagalnya Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Jeffrey A. Winters. 2011. Oligarki, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
14

Richard Robison. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. New South Wales: Allen &
Unwin Pty Ltd.
Yoshihara Kunio. 1990.Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES
Publikasi& Media
A White Paper by the Committee for Economic Development of The Conference
Board, Crony Capitalism: Unhealthy Relations Between Business and Government. 2015
Business News Paper Today No. 258-1970
Business News Paper TodayNo. 275-1970
Business News Paper TodayNo. 678-1973
Business News Paper TodayNo. 273-1974
Harian Kompas, Edisi 29 September 1976
Indonesian Commercial Newsletter (Eksekutif) No.166, 26 Januari 1981
Indonesian Commercial Newsletter (Eksekutif) No.201, 5 Juli 1982
James C. Scott, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,
American Political Science Review, 66 (Maret 1972)
J.P Manguno & S.K. Witcher, Soeharto Relatives, Officials Gain Control of
Indonesian Flour Trade,dalam Asian Wall Street Journal, Edisi 23 November 1980
Koran Ekuin, Edisi 28 Februari 1983
Koran Ekuin, Edisi 29 Januari 1983
R. Salamon, Chin Sophonpanich, the Bangkok Connection,dalam Insight, Edisi Juni
1978
Tempo,Liem & Partner di Krakatau Steel,Edisi 9 Juli 1983
Tempo, Edisi 20 Maret 1982

15

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65