BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesetaraan gender dalam bidang politik diciptakan demi mewujudkan citacita demokrasi perwakilan dengan menciptakan keseimbangan komposisi
perwakilan antara laki-laki dan perempuan di lembaga parlemen khususnya.
Karena apabila mandat diberikan kepada kaum laki-laki saja itu tidak akan
mewakili seluruh rakyat yang pada dasarnya masyarakat terdiri dari golongan
laki-laki dan perempuan, yang masing-masing di antara laki-laki dan perempuan
terdapat kepentingan dan kebutuhan yang tidak selalu sama, sehingga seperti
dalam permasalahan perempuan dianggap perempuanlah yang memberikan solusi
terhadap permasalahan perempuan tersebut. Hal ini terjadi karena sangat kecil
peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki
tidak mengalami apa yang di rasakan oleh perempuan. 1
Kesetaraan gender di bidang politik khususnya dalam lembaga legislatif
dapat diwujudkan melalui prosedur yang demokratis yaitu pemilihan umum.
Pemilu terdiri dari beberapa pelaksanaan, yaitu pemilihan legislatif, pemilihan
Presiden, pemilihan Gubernur, dll. Dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih
berfokus pada pemilihan legislatif di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, dimana
rakyat menentukan para wakil-wakilnya untuk duduk di parlemen/lembaga
1


Lihat Harmona Daulay. 2007. Perempuan Dalam Kemelut Gender. Medan : USU Press. hal.35

Universitas Sumatera Utara

legislatif. Kesetaraan gender di lembaga legislatif merupakan hal terpenting yang
harus diwujudkan. Melalui pelaksanaan pemilihan umum secara langsung inilah
kesempatan untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Pelaksanaan pemilu ini tentunya harus menjamin setiap warganya baik
perempuan maupun laki-laki untuk bebas berpartisipasi, baik berpartisipasi hanya
sebagai pemilih maupun sebagai calon yang juga akan dipilih. Selain itu, di era
reformasi juga telah dikeluarkan kebijakan sebagai upaya meningkatkan
keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif yaitu dimulai tahun 2003,
pasal 65 dengan UU No.12 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah
pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30 persen.
(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyakbanyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah
pemilihan.
Namun demikian, meskipun kebijakan Undang-Undang mengenai kuota

30% keterwakilan perempuan telah dikeluarkan pemerintah, akan tetapi
perubahan persentase tingkatan keterwakilan perempuan belum mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Seperti misalnya keterwakilan perempuan
dalam DPR RI mulai dari 1955 hingga 2009 secara konsisten berada di bawah
target minimal kuota 30%. Hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.1:Perempuan dalam DPR-RI 1955-2004
Periode

Perempuan

Laki-laki

1955

17 (6,3%)

272 (93,7%)


Konstituante 1956-1959

25 (5,1%)

488 (94,9%)

1971-1977

36 (7,8%)

460 (92,2%)

1977-1982

29 (6,3%)

460 (93,7%)

1982-1987


39 (8,5%)

460 (91,5%)

1987-1992

65 (13%)

500 (87%)

1992-1997

62 (12,5%)

500 (87,5%)

1997-1999

54 (10,8 %)


500 (89,2%)

1999-2004

46 (9%)

500 (91%)

2004-2009

61 (11,09%)

499 (89,9%)

2009-2014

101 (18,03%)

459 (81,97%)


Sumber : Data dari website Komisi Pemilihan Umum

Dari tabel tersebut dapat terlihat jelas bahwasannya masih terjadi
ketimpangan (bias gender) dalam perpolitikan Indonesia khususnya di lembaga
legislatif. Persentase perempuan dalam tabel tersebut menunjukkan sulitnya
meningkatkan keterwakilan perempuan sampai pada periode pemilu tahun 2009
secara konsisten masih di bawah persentase 30 %. Rendahnya angka keterwakilan
perempuan ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional yaitu DPR RI, tetapi juga di
tingkat daerah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi,

Universitas Sumatera Utara

Kabupaten dan Kota. Dari pemilu 2009 lalu, rata-rata keterwakilan perempuan
secara nasional di tingkat DPRD Provinsi hanya 16%, begitupun dengan rata-rata
DPRD Kabupaten/Kota yang hanya 12% 2. Persentase perwakilan perempuan
tersebut sangatlah sedikit dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal
30%.
Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif semata-mata
tidak hanya dinilai dari kinerja pemerintah dalam membuat suatu kebijakan untuk

meningkatkan keterwakilan perempuan, hal ini dikarenakan bukan kebijakan yang
merupakan bagian terpenting, melainkan pemilih itu sendiri. Jika kebijakan telah
banyak dibuat tetapi para pemilih sangat sedikit untuk memilih perempuan
tentunya harapan akan jumlah keterwakilan perempuan yang lebih besar,
khususnya dalam memenuhi kuota 30% perempuan di lembaga legislatif akan
sangat sulit diwujudkan. Hal ini dapat diartikan keterwakilan politik sangat
ditentukan oleh pemilih, karena pemilih merupakan wujud dari partisipasi rakyat
yang menentukan wakilnya di bidang politik, sehingga rakyat sebagai pemilih
yang sangat menentukan keterwakilan politik khususnya di lembaga legislatif.
Pemilih perempuan dipengaruhi oleh banyak faktor dalam menentukan
pilihan seperti adanya pengaruh dari budaya patriarkhi yang ada. Hal ini dapat
diartikan, keterwakilan politik perempuan yang rendah bisa dikarenakan pemilih
yang sedikit untuk memilih calon perempuan dalam pemilu legislatif. Padahal jika
dilihat dari

perbandingan jumlah penduduk dan pemilih perempuan secara

2

Ayu Anastasia. Lembar Fakta WRI Reperesentasi Perempuan 1. http://www.academia.edu/. Diakses pada 5

Mei 2014, Pukul 14.00 Wib.

Universitas Sumatera Utara

nasional pada tahun 2010 perbedaannya tidak jauh dengan laki-laki, yaitu jumlah
penduduk perempuan 118.010.413 dan jumlah penduduk laki-laki 119 630 913 3.
Akan tetapi banyak provinsi yang memiliki jumlah penduduk perempuan lebih
besar, seperti di Sumatera Utara dimana jumlah penduduk perempuan berjumlah
6.498.850 jiwa dan jumlah laki-laki 6.483.354 jiwa 4, sehingga seharusnya apabila
mayoritas dari penduduk perempuan tersebut memilih calon legislatif dari kaum
perempuan juga tentunya perolehan suara calon perempuan akan lebih besar dan
keterwakilan politik perempuan di legislatif akan lebih banyak pula, minimal
memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan.
Sama seperti yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu legislatif di kota
Medan masih terdapat beberapa daerah pemilihan yang sulit untuk meloloskan
calon legislatif perempuan ke kursi anggota dewan dengan target 30%
keterwakilan perempuan. Hal tersebut seperti pada daerah pemilihan 2 Kota
Medan yang terdiri dari Medan Johor, Medan Maimun, Medan Polonia, Medan
Selayang, Medan Sunggal, dan Medan Tuntungan. Bercermin dari pemilu
legislatif sebelumnya yaitu di tahun 2009, pada pemilihan anggota DPRD Kota

Medan dapil 2 bahkan sama sekali tidak meloloskan calon legislatif perempuan
dari jatah 11 kursi anggota parlemen yang artinya tidak sampai memenuhi kuota
30% keterwakilan perempuan. Padahal jumlah pemilih perempuan di kota Medan

3
Badan Pusat Statistik. Data Penduduk. http://sp2010.bps.go.id/. Diakses pada 18 Agustus 2014, Pukul 07.00
Wib.
4
Badan Pusat Statistik. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pada tahun 2009 sebesar 929.534 dari 1.838.737 total pemilih di Kota Medan 5,
dengan jumlah penduduk Kota Medan tahun 2009 berjumlah 2.121.053 jiwa,
dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 1.049.457, dan jumlah penduduk
perempuan berjumlah 1.071.596 6. Banyaknya jumlah pemilih perempuan pada
2009 dapat dinyatakan bahwa pemilih perempuan saat itu lebih besar
dibandingkan pemilih laki-laki.
Permasalahan kurangnya dukungan terhadap calon legislatif perempuan
masih terjadi pada pemilu legislatif 2014, bahkan seperti pada pemilihan anggota

DPRD Kab/Kota di Medan terdapat dua daerah pemilihan yang tidak berhasil
meloloskan calong anggota DPRD Kab/Kota berjenis kelamin perempuan.
Adapun hasil pemilu anggota DPRD Kab/Kota sebagai berikut.

Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Anggota DPRD Kota Medan Terpilih
2014
Anggota DPRD Kota Medan
Daerah
Pemilihan

Terpilih
Laki-

JUMLAH

Perempuan

Laki
Dapil 1


11

0

11

5

Komunitas Sekolah Sumatera. 18 Oktober 2008. http://www.isekolah.org/. Diakses pada 17 Agustus 2014,
Pukul 07.00 Wib.
6
Data diambil dari Portal Resmi Pemerintah Kota Medan. www.PemkoMedan.go.id. Diakses pada 23
Agustus 2014, pukul 08.00 Wib.

Universitas Sumatera Utara

Dapil 2

12

0

12

Dapil 3

6

2

8

Dapil 4

6

2

8

Dapil 5

10

1

11

Total

45

5

50

Dari tabel 1.2 di atas terlihat jelas bahwa rendahnya dukungan terhadap
calon perempuan yang nantinya akan berdampak pada rendahnya keterwakilan
perempuan di lembaga DPRD Kota Medan. Seperti yang juga dapat dilihat pada
tabel tersebut, ada 2 dapil yang tidak memiliki anggota DRPD perempuan, yaitu
dapil 1 dan dapil 2 Kota Medan. Ketiadaan anggota legislatif perempuan
merupakan sebuah permasalahan serius dimana di daerah pemilihan tersebut
memiliki jumlah pemilih berjenis kelamin perempuan paling banyak diantara
dapil lainnya, akan tetapi kedua dapil tersebut tidak mampu meloloskan calon
perempuan. Permasalahan ini yang melatarbelakangi peneliti/penulis dalam
mengambil pembahasan mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan
politiknya. Akan tetapi, penelitian ini akan lebih spesifik membahas perilaku
perempuan yang berada di daerah pemilihan 2 sebagai fokus objek penelitian.
Alasan peneliti yaitu karena pemilih yang berjenis kelamin perempuan di dapil 2
lebih banyak dari dapil 1 dan bahkan dapil 3,4, dan 5, dengan jumlah 211.258
pemilih (perempuan). Hal ini dapat dilihat dalam data sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.3 Jumlah Pemilih (Perempuan) pada Pemilu Legislatif 2014
Daerah

Jumlah Pemilih

Jumlah

Pemilihan

Laki-Laki

Perempuan

(Laki-Laki + Perempuan)

Dapil 1

193.781

198.241

392.022

Dapil 2

202.765

211.258

414.023

Dapil 3

144.970

152.166

297.136

Dapil 4

131.173

138.094

269.267

Dapil 5

180.812

178.631

359.443

Total

853.501

878.390

1.731.891

*Data diperoleh dari Rekapitulasi DPT Kab/Kota Pemilu Anggota DPR,DPRD,DPD
Tahun 2014 Oleh KPU Medan

Selain itu dapil 2 memiliki jatah kursi yang lebih banyak dari dapil lainnya
yang sebenarnya membuat peluang calon perempuan lebih besar untuk
mendapatkan jatah kursi, akan tetapi calon perempuan di dapil 2 tetap saja tidak
mampu mendapatkan jatah kursi DPRD kota Medan. Padahal setiap partai politik
telah memenuhi aturan penetapan calon perempuan sebesar 30% untuk
dicantumkan pada daftar calon tetap. Mulai dari partai Nasdem yang persentase
keterwakilan perempuannya untuk dijadikan calon anggota DPRD di dapil 2
sebesar 36,36% (4 calon perempuan), partai PKB 33,33% (4 calon perempuan),
partai PKS 33,33% (4 calon perempuan), PDIP 33,33%, partai Golkar 41,67 (5
calon perempuan), partai Gerindra 33,33% (3 calon perempuan), PAN 33,33% (4
calon perempuan), PPP 33,33% (4 calon perempuan), partai Hanura 33,33% (4

Universitas Sumatera Utara

calon perempuan),

PBB 33,33% (4 calon perempuan), dan PKPI sebanyak

33,33% (4 calon perempuan) keterwakilan perempuan. 7
Dari persentase calon legislatif perempuan seperti di atas tidak ada satupun
yang terpilih di dapil 2 kota Medan. Padahal setiap partai politik sudah memenuhi
dan bahkan melewati minimal kuota 30% pencalonan perempuan. Oleh karena itu,
banyaknya jumlah pemilih yang berjenis kelamin perempuan yang jumlahnya
lebih banyak dari dapil lainnya dan daerah pemilihan yang paling banyak jatah
kursi serta para calon tetap perempuan yang sudah terpenuhi kuotanya disetiap
partai politik menjadikan dapil 2 sebagai lokasi yang paling layak dan mewakili
untuk

mengeksplorasi

informasi

mengenai

perilaku

perempuan

dalam

menentukan pilihan politik pada pemilihan umum DPRD kota Medan tahun 2014.

B. Rumusan Masalah
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana perilaku pemilih (perempuan)
dalam menentukan pilihan politiknya pada pemilihan anggota DPRD kota Medan
tahun 2014?”.
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak melebar, maka penelitian ini perlu membuat
pembatasan masalah penelitian, yaitu

7

Hupmas KPU Kota Medan. 19 September 2013. Daftar Calon Tetap Anggota DPRD Kota Medan Pemilu.
http://kpud-medankota.go.id/. Diakses pada 2 September 2014,pukul 06.30 Wib.

Universitas Sumatera Utara

1.

penelitian ini hanya bersifat mengamati dan mendeskripsikan
perilaku perempuan dalam memilih calon legislatif perempuan. Hal
yang akan diamati dan dideskripsikan tersebut yaitu mengapa
perempuan tidak memilih atau sangat sedikit dalam memilih calon
legislatif perempuan dan hal-hal apa yang mempengaruhi
perempuan dalam menentukan pilihan politiknya.

2.

Di dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti pemilih yang
berjenis kelamin perempuan di dapil 2 kota Medan pada pemilihan
anggota DPRD kota Medan 2014.

D. Tujuan Penelitian
1.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil KecamatanKecamatan yang ada di Daerah Pemilihan (Dapil) 2 kota Medan.

2.

Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan dalam menentukan
pilihan politiknya paada pemilu anggota DPRD kota Medan tahun
2014 dan juga untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi
perempuan dalam menentukan pilihan politiknya.

E. Manfaat Penelitian
1.

Penelitian ini dibuat sebagai sebuah karya ilmiah dalam upaya
mengasah

dan

mengembangkan

kemampuan

penulis

dalam

Universitas Sumatera Utara

melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan
memberikan pengetahuan yang baru untuk peneliti sendiri.
2.

Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang mampu
memberikan kontribusi pemikiran mengenai perilaku perempuan
dalam menentukan pilihan politiknya termasuk dalam memilih calon
legislatif perempuan pada pemilu anggota DPRD kota Medan tahun
2014.

3.

Hasil penelitian ini nantinya akan mampu memberikan kontribusi
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
politik dan menambah referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

F. Kerangka Teori
1. Teori Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih menjadi bagian yang penting untuk dianalisis sebagai
upaya untuk mengetahui pilihan seseorang (pemilih) dalam menentukan pilihan
politiknya. Adapun perilaku pemilih menurut Surbakti adalah:
Aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan
kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih
(to vote or not vote) didalam suatu pemilihan umum(Pilkada secara

Universitas Sumatera Utara

langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka
voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. 8
Dalam menganalisis perilaku pemilih dapat dipahami dengan tiga
pendekatan,yaitu Mahzab “Columbia” yang menggunakan pendekatan sosiologis
dan Mahzab Michigan” yang dikenal dengan pendekatan Psikologis, selain itu
terdapat juga pendekatan pilihan rasional yang melihat perilaku seseorang melalui
kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut 9.
Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik
sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang
cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang 10. Peranan
masyarakat dilihat sebagai sistem yang mempunyai stratifikasi, dan kajian
terhadap pekerjaan serta kedudukan seseorang di tengah masyarakat sangat
penting dalam memahami perilaku pemilih 11.
Penjelasan mengenai pendekatan sosiologis ini diperjelas lagi seperti yang
diungkapkan P.Anthonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul “Teori-Teori
Politik” bahwa pendekatan sosiologis, tampaknya lebih cenderung pada analisis
sistem sosial atau stratifikasi sosial seperti misalnya kelompok muda-mudi ,tua
muda, dipercayai berpengaruh terhadap perilku pemilih. Selain itu, beliau juga
menambahkan bahwasannya preferensi politik seseorang pemilih dalam pemilihan
umum dipengaruhi oleh latar belakang demografis, sosial ekonomi seperti jenis
kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, pendapatan dan
agama. 12

8

Lihat Muhammad Riska Aditama. 2013. Perilaku Memilih Masyarakat pada Pemilu Kepala Daerah Dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kendal 2010. Semarang:Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas
Dipenogoro. hal.8.
9
Lihat T.Irmayani. 2012. Perilaku Perempuan Pemilih dalam Menetapkan Pilihan pada Pemilu 2009.
Medan: POLITEIA,Jurnal Ilmu Politik.Vo.4,Nomor.1. Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Unviersitas Sumatera Utara. hal.14.
10
Muhammad Riska Aditama.Op.cit.hal. 9.
11
T.Irmayani.Loc.cit.
12
P.Anthonius Sitepu. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta:Graha Ilmu. hal.91.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya pendekatan kedua yaitu pendekatan psikologis. Pendekatan ini
menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan
sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih 13. Faktor psikologis pemilih
merupakan obyek yang menjadi sasaran untuk mempengaruhi perilaku pemilih
seseorang.
Oleh karena itu, pendekatan psikologis menentukan pada tiga aspek
psikologis sebagai kajian utama, yaitu: ikatan emosional pada suatu partai politik,
orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Identitfikasi partai atau
ikatan emosional pada suatu ikatan partai politik diartikan sebagai keyakinan yang
diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan
tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar
selama masa dewasa. 14
Pendekatan psikologis ini merujuk kepada persepsi pemilih atau partaipartai politik yang ada atau adanya korelasi atau keterikatan emosional pemilih
terhadap partai-partai politik tertentu. Konkritnya, partai-partai politik yang secara
emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih
tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lainnya. Antara diri dan keadaan seseorang
dengan partai politik yang hendak dipilihnya (seperti identifikasi seseorang calon
pemilih dari kalangan pedagang kecil misalnya dengan citra Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai politik wong cilik). Dalam hal ini para

13
14

T.Irmayani.Loc.cit.
T.Irmayani.Ibid. hal.15.

Universitas Sumatera Utara

pemilih dilihat sebagai orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan satu partai
politik tertentu. 15
Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pilihan rasional. Dalam konteks
pilihan rasional ada analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku pemilih (politik).
Ketika pemilih merasa tidak mendapatkan keuntungan dengan memilih partai atau
calon yang sedang berkompetisi, maka ia tidak akan memilih ketika pemilu
dilaksanakan. Hal tersebut dilandaskan pada kalkulasi ekonomi, apabila
perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih besar dengan apa yang akan
didapatkannya kelak maka jalan terbaik bagi pemilih tersebut adalah melakukan
aktivitas sehari-harinya 16. Dengan kata lain, pemilih benar-benar rasional dan
sangat memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus dalam menggunakan hak
pilihnya, pertimbangan-pertimbangan tersebut berupa apa untung dan ruginya
apabila pemilih mempergunakan hak pilihnya untuk memilih partai tertentu atau
kandidat tertentu. Hal ini dikarenakan pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip,
pegetahuan dan informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah karena
kebetulan atau pun. 17
2. Teori Gender
Konsep gender pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial
dengan memberikan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat
lahiriah dan yang merupakan hasil dari konstruksi budaya. Pembedaan antara laki15

P.Anthonius Sitepu.Loc.cit.
T.Irmayani.Loc.cit.
17
T.Irmayani.Ibid.

16

Universitas Sumatera Utara

laki dan perempuan ini bermaksud untuk membedakan ciri-ciri manusia yang
sudah tidak bisa diubah (kodrati) dan ciri-ciri manusia yang sewaktu-waktu dapat
berubah (gender). Hal yang tidak bisa diubah ini sering dianggap sebagai seks,
bagian dari manusia yang bersifat permanen, tidak dapat diubah ataupun ditukar.
Pembedaan tersebut bermaksud agar dalam memahami konsep/defenisi mengenai
gender harus terlebih dulu membedakan antara seks dan gender.
Secara historis, konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal
Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks 18. Seks
dimaknai sebagai perbedaan secara biologis yaitu yang berkaitan dengan
perbedaan jenis kelamin yang dimiliki oleh jenis kelamin tertentu (anatomi
biologis). Seks inilah yang merupakan karakteristik manusia yang bersifat kodrati,
permanen dan tidak dapat diubah. Sedangkan perbedaan secara gender identik
dengan peranan, kemampuan, dunia pekerjaan diantara perempuan dan lak-laki
dan semua itu bersifat tidak permanen, serta peranan, kemampuan, dan dunia
pekerjaan tersebut tidak bisa dipastikan dimiliki/melekat oleh salah satu jenis
kelamin, karena ini bisa dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Dari pemahaman mengenai gender secara historis, maka dapat ditarik
sebuah pengertian mengenai gender tersebut. Gender adalah perbedaan peran,
perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya / masyarakat melalui
interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan 19. Gender juga

18
19

Harmona Daulay. Op.Cit. hal.3
Harmona Daulay. Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada
laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya
yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. 20
Sedangkan defenisi konsep gender menurut Mansour Fakih adalah :
“Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan
laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
tempat ke tempat yang lainnya, maupun berbeda dari suatu klas ke
klas yang lainnya” 21.
Berdasarkan defenisi mengenai gender tersebut dapat dimaknai
bahwasannya gender bersifat fleksibel. Kemudian konstruksi sosial dan
budaya terhadap penciptaan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
nantinya akan dapat dikatakan sebagai identitas gender. Identitas gender
ini biasa dikenal oleh manusia dimulai dari lingkungan keluarga, proses
belajar, dan dari lingkungan masyarakat melalui kebudayaannya.
Teori gender ini membentuk ideologi gender yang membentuk
Mind Set masyarakat atau terjadinya Streotipe yang membenarkan adanya
perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang akan menimbulkan rasa
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Meluasnya ideologi gender ini
seperti tidak ada yang bisa menghalangi, hal ini didukung oleh adanya
faktor budaya patriarkhi yang dianut oleh masyarakat pada umumnya,
kerena budaya patriarkhi dianggap sebagai budaya yang didukung oleh
20

Herien Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: ITB Press.
hal.1.
21
Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal. 229.

Universitas Sumatera Utara

agama yang memang dalam agama terdapat perbedaan peran antara lakilaki dan perempuan.
Secara umum, patriarkhi dapat didefenisikan sebagai suatu sistem
yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa
untuk menentukan 22. Adanya budaya patriarkhi ini seakan menjadi
penyebab terjadinya disparitas gender. Padahal, gender bersifat netral
terhadap perempuan dan laki-laki. Hanya saja, budaya patriarkhi ini yang
selama ini membentuk kondisi sosial yang lebih menunjukkan peran lakilaki. Maksud dari konsep gender disini adalah untuk menimbulkan
kesadaran kepada kaum perempuan bahwa kaum perempuan harus
bangkit, sehingga apa yang disebut dengan kesetaraan dan keadilan gender
dapat terwujud berkat perjuangan dari kaum perempuan itu sendiri.
Ketidakadilan gender sering terjadi akibat kesalahpahaman
memaknai gender, sehingga relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi
rusak. Relasi yang terbentuk dianggap menjadikan laki-laki sebagai subjek
dan perempuan menjadi objek, yang artinya perempuan ditempatkan
sebagai manusia kelas kedua. Hal ini berimplikasi pada adanya masalahmasalah terkait isu gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender.
Masalah ketidakadilan gender bentuknya adalah pandangan posisi
subordinat terhadap perempuan, pandangan streotipe terhadap perempuan

22

A. Nunuk P. Murniati. 2004. Getar Gender : Buku Kedua. Magelang : Yayasan Indonesia Tera. hal. 80-81.

Universitas Sumatera Utara

dan laki-laki, beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan
terhadap perempuan. 23
Dalam permasalahan yang sering muncul terkait gender yaitu
munculnya anggapan publik bahwa perempuan merupakan makhluk yang
tercipta hanya sebagai pendamping dan pelengkap dari laki-laki dengan
lingkup bagian kerja diranah domestik. Oleh karenanya masalah gender ini
secara lebih luas pada bidang politik dapat berdampak pada partisipasi
perempuan yang tidak lagi independen, melainkan sudah dimobilisasi
kaum laki-laki yang dianggap lebih mengetahui apa yang terbaik
untuknya. Partisipasi perempuan yang dipengaruhi oleh kaum laki-laki ini
sangat berpengaruh terhadap pilihan politiknya, karena perempuan
cenderung memilih untuk bergantung pada perempuan, termasuk dalam
mengikuti pilihan politik laki-laki.
Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu:
1.

Teori Nurture
Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada

hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial
budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan
perempuan.
23

A. Nunuk P. Murniati. Ibid. hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

2. Teori Nature
Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan
adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan
dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya.
Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula
yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara
kodrat alamiah.
3. Teori Keseimbangan
Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori
yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada
konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan
perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis
antara keduanya. 24
Di Indonesia, gender memiliki sejarah yang panjang dengan melalui
perjuangan pergerakan perempuan di Indonesia. Perjuangan perempuan di
Indonesia mengalami fase pasang-surut seiring perubahan rezim yang selalu
berganti. Tokoh yang sangat terkenal dalam memperjuangkan gerakan perempuan
adalah R.A Kartini. Beliau merupakan tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan
perempuan, bahkan bukan hanya ingin menjadikan perempuan sebagai sosok yang

24

Nur Heffina. 2011. Perempuan dan Politik.: Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang UndangUndang Anti Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara.. http://repository.usu.ac.id/bitstream/. Diakses
pada tanggal 20 Juni 2014. Pukul: 07.00 Wib.

Universitas Sumatera Utara

mandiri, melainkan sebagai sosok yang bisa ikut serta bagi kemajuan
bangsanya/masyarakatnya. Seperti apa yang ditulis oleh Kartini seperti berikut.
“Kecerdasan pikiran penduduk bumiputera tidak akan maju pesat
bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, (yaitu) perempuan jadi
pembawa peradaban” 25.
Dengan

perjuangannya,

R.A

Kartini

menjadi

titik

tolak

yang

menumbuhkan semangat kaum perempuan dalam menuntut keadilan dan
kesetaraannya. Kesetaraan dan keadilan ini termasuk dalam bidang politik. Di
dalam bidang politik, khususnya pada pelaksanaan pemilihan umum perempuan
sudah mendapat pengakuan terkait hak pilihnya di bidang politik. Pengakuan
terhadap hak pilih perempuan ini dimulai dari adanya Kongres perempuan
pertamadi Yogyakarta pada tahun 1928 dan dilanjutkan dengan konvensi
mengenai hak-hak politik perempuan oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa pada 20 Desember 1952. Hal ini merupakan awal kesadaran bagi
perempuan d Indonesia dalam bidang politik, sehingga pada tahun 1955 Indonesia
melaksanakan pemilu yang untuk pertama kali memberikan hak pilih kepada
perempuan.
Selanjutnya,

pemerintah

memberikan

perbaikan-perbaikan

dengan

mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan maksud untuk memberikan hak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, salah satu kebijakan pemerintah
yaitu kebijakan affirmative action dengan memberikan batasan minimal kuota
25

Artikel 1 Syahfitri Anita. 2006. Gerakan Perempuan:Tinjauan Sejarah .Jakarta : Sebagai Pengantar
Diskusi Lingkar Studi Perempuan. hal.3.

Universitas Sumatera Utara

30% keterwakilan perempuan untuk ikut serta sebagai kandidat dalam pemilihan
umum.
Selain itu, permasalahan gender yang menjadi isu hangat lainnya yaitu di
India, dimana India merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah panjang
dalam perjuangan pergerakan perempuan. Awal perjuangan gerakan perempuan di
India dimulai setelah India meraih kemerdekaannya pada 1947 yang pada saat itu
pemerintahan Congres yang pada saat itu merupakan partai yang sedang berkuasa
akan mengupayakan memenuhi janji-janjinya yang salah satunya yaitu
mendeklarasikan UUD India mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki,
memberikan jalan bagi kaum perempuan untuk masuk ke dalam pemerintahan dan
membentuk badan-badan administrasi yang membuka kesempatan pada
perempuan.
Akan tetapi, apa yang dijanjikan pemerintah tidak sesuai dengan
kenyataannya, sehingga muncul berbagai gerakan perempuan yang gencar
menyuarakan keinginan mereka melalui kampanye-kampanye. Gerakan ini
muncul sebagai bentuk protes para kaum perempuan terhadap bentuk kekerasan
terhadap perempuan seperti yang dilakukan oleh gerakan Shahada pada akhir
tahun 1960-an. Dari sejarah pergerakan perempuan di Indonesia dan India dapat
disimpulkan bahwasannya sejarah kaum perempuan di kedua negara dimulai dari
keinginan untuk memperoleh keadilan dan keseteraan serta kesempatan yang
sama seperti apa yang diperoleh oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, kaum
perempuan melakukan perjuangan dengan segala cara untuk dapat memperoleh

Universitas Sumatera Utara

apa yang seharusnya kaum perempuan dapatkan, yaitu kedudukan yang sama
dengan laki-laki sebagai sesama makhluk Tuhan yang tidak perlu dibedakan
kedudukannya.
Alasan penulis memakai teori gender ini sebagai landasan untuk
menjawab permasalahan dalam tema perilaku perempuan dalam pemilu legislatif
2014 yaitu teori gender sangat penting untuk dideskripsikan. Karena di dalam
melakukan pembahasan mengenai kaitannya gender dengan politik, perlu adanya
pemahaman mengenai konsep dasar gender itu, karena kata gender merupakan
kata yang sudah sering didengarkan, tetapi mengenai pemahaman akan gender itu
sendiri masih belum banyak dimengerti.
Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwasannya gender merupakan
konsepsi yang mengharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-lai dan
perempuan 26. Kesetaraan dan keadilan gender penting untuk diperjuangkan agar
tidak terjadi bias gender, karena masih sering perempuan dianggap sebagai kaum
marjinal padahal perempuan bukan merupakan kaum yang sedikit jumlahnya.
Streotipe dan mind set yang selama ini terbentuk juga seharusnya dijawab oleh
kaum perempuan dengan kesadaran dan perjuangan mereka serta mampu
membuktikan bahwasannya perempuan mampu bekerja di dunia politik, sehingga
perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan peranan dan kemampuan.

26

Harmona Daulay. Op.Cit. hal.5.

Universitas Sumatera Utara

3. Teori Psikologi Politik
Dalam memahami perilaku politik, penulis menekankan pentingnya teori
psikologi politik sebagai upaya untuk memahami tingkah laku manusia sebagai
makhluk politik. Dapat dikatakan bahwasannya perilaku politik merupakan kajian
yang termasuk dalam ranah psikologi politik, ini dikarenakan salah satu tujuan
psikologi politik adalah untuk menyusun dalil-dalil umum tentang perilaku yang
dapat membantu menjelaskan dan memprediksi peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sejumlah situasi yang berbeda-beda 27.
Psikologi politik pada dasarnya memiliki cakupan yang cukup luas, ini
dapat dilihat mulai dari psikologi politik dalam melihat perilaku politik dalam
memilih/memberikan suara pada pemilihan umum hingga psikologi politik yang
berkaitan dengan adanya konflik-konflik baik nasional maupun internasional.
Dalam penulisan skripsi ini, psikologi politik dalam melihat perilaku pemilih
merupakan fokus utama yang dipilih penulis. Perilaku pemilih yang dimaksud
adalah pemilih yang berjenis kelamin perempuan. Bagi penulis, perilaku pemilih
perempuan dapat dilihat dengan bantuan teori psikologi politik.
Dalam teori psikologi politik, fenomena politik dilihat dari sudut pandang
psikologi seperti halnya dalam melihat perilaku pemilih, faktor internal
merupakan faktor utama yang harus diperhatikan. Seperti apa yang dikemukakan
oleh Martha L.Cottam dkk dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Psikologi
Politik Edisi 2” mengatakan bahwasannya orang-orang bertindak terdorong oleh

27

Matha L.Cottam,dkk. 2012. Pengantar Psikologi Politik Ed.2,Cet.1. Jakarta : Rajawali Press. hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

faktor – faktor internal seperti kepribadian, sikap, dan identitas diri; mereka
mengevaluasi lingkungan mereka dan lingkungan orang lain melalui proses
kognitif yang menghasilkan citra-citra tentang orang lain; dan mereka
memutuskan bagaimana cara bertindak ketika faktor-faktor ini digabungkan 28.
Faktor-faktor internal tersebut saling memiliki keterkaitan satu dengan
yang lain. Kepribadian merupakan unsur utama yang dianggap akan
mencerminkan perilaku pemilih. Kepribadian adalah sebuah faktor psikologis
pokok yang memengaruhi perilaku politik 29. Kepribadian ini akan memengaruhi
unsur-unsur lain dalam faktor internal manusia seperti pemikiran yang pada
akhirnya membentuk perilaku, baik perilaku sehari-hari maupun perilaku yang
berhubungan dengan politik, khususnya perilaku dalam menentukan pilihan
politiknya/memberikan suara(voting). Akan tetapi, kepribadian tersebut juga
sangat dipengaruhi oleh adanya identitas sosial. Identitas sosial yang dimaksud
bagaimana seseorang mengkonsepsikan dirinya dengan melalui diri sendiri
ataupun orang lain yang menilainya.
Adanya penilaian terhadap seseorang atau sekelompok orang ini nantinya
akan menimbulkan adanya kategorisasi sosial, yaitu adanya pengelompokanpengelompokan secara sosial seperti kewarganegaraan, ras, agama, dan gender.
Penciptaan kategorisasi sosial nantinya dapat membentuk stereotip di tengah
lingkungan masyarakat. Stereotip adalah keyakinan tentang atribut orang-orang
yang berada di dalam kelompok atau kategori sosial tertentu, dan seharusnya
28
29

Matha L.Cottam,dkk. Ibid. hal. 11.
Matha L.Cottam,dkk. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

merupakan sebuah konsep yang dikenal 30. Munculnya stereotip ini dikarenakan
adanya kesalahan dari persepsi seseorang terhadap orang lain, atau suatu
kelompok terhadap kelompok lain, hal ini merupakan bagian dari konsekuensi
mengkategorikan orang-orang ke dalam kelompok yang karakteristiknya tidak
dimiliki oleh orang tersebut.
Oleh karena itu, dalam psikologi politik adanya faktor internal seperti yang
dijelaskan pada paragraf sebelumnya merupakan faktor utama bagi teori psikologi
politik dalam membentuk perilaku pemilih. Seperti halnya dalam membahas
perilaku pemilih perempuan, faktor internal dari pemilih perempuan merupakan
bagian yang paling berperan penting dalam membentuk perilaku perempuan
dalam menentukan pilihan politiknya. Kepribadian dan sikap perempuan tentu
berbeda dengan laki-laki ditambah lagi dengan adanya pengaruh identitas sosial
yang sering membentuk streotip di tengah masyarakat. Pembentukan stereotip
dalam hal perilaku perempuan sebagai pemilih yaitu adanya anggapan
bahwasannya perempuan tidak cocok untuk berpolitik, karena politik adalah
bagian dari dunia laki-laki (budaya patriarkhi).
Menurut penulis, perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politik
dapat diketahui dengan menggunakan teori psikologi politik yang melihat perilaku
perempuan berdasarkan faktor internal dari perempuan secara individu. Terkait
dengan

permasalahan

dalam

skripsi

ini

yaitu

permasalahan

mengenai

keterwakilan perempuan yang selalu memperoleh suara yang sangat minim di

30

Matha L.Cottam,dkk. Ibid. hal.73.

Universitas Sumatera Utara

setiap periodenya, maka penulis beranggapan bahwasannya perolehan suara dn
jumlah keterwakilan perempuan di legislatif yang sangat minim bukanlah
dikarenakan dari kebijakan pemerintah, akan tetapi yang jauh lebih vital yaitu
faktor dari pemilih perempuannya itu sendiri yang mana jumlah penduduk dan
pemilih perempuan sangatlah mendominasi, akan tetapi calon legislatif
perempuan masih juga belum memperoleh suara yang banyak. Hal ini
mengindikasikan bahwasannya perempuan lebih cenderung untuk memilih
perempuan, oleh karenanya psikologi politik sangat berguna untuk membantu
menjawab permasalahan ini.
Perempuan dianggap lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin
dikarenakan adanya faktor dari pengaruh budaya patriarkhi yang selama ini
membentuk “mind set” perempuan bahwa memang pemimpin berasal dari
kaum laki-laki, dan kaum perempuan fungsi utamanya adalah menjadi sosok
ibu yang baik yang mengurus keluarga secara penuh. Secara faktor internalnya,
perilaku perempuan sebagai pemilih sangat ditentukan oleh kepribadian
perempuan.

Kepribadian

perempuan

secara

psikologis

menganggap

bahwasannya laki-laki lebih cocok untuk memimpin dikarenakan laki-laki
dianggap mampu melindungi, mengayomi, pekerja keras, dan tidak mengambil
keputusan dengan berdasarkan hati nurani semata, hal ini dikarenakan
kepribadian perempuan yang sudah jauh terbentuk semenjak dari kecil di
dalam lingkup keluarga, perempuan melambangkan laki-laki seperti itu karena

Universitas Sumatera Utara

melihat sosok sang Ayah sebagai pemimpin keluarga dan sosok Ibu sebagai
pengurus rumh tangga yang selalu menuruti perkataan Ayah.
Selain itu, ada satu faktor yang sangat menarik dalam melihat perilaku
perempuan sebagai pemilih yang bisa dijadikan alasan untuk menjawab
permasalahan perilaku perempuan yang cenderung tidak memilih perempuan
yaitu adanya faktor “Perempuan vs Perempuan”. Faktor mengenai “perempuan
vs perempuan” ini merupakan hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam
mengamati perilaku pemilih perempuan. Faktor ini seperti menggambarkan
adanya konflik di antara perempuan ini yang sudah lama terjadi. Pemikiran ini
dimulai sejak terbitnya buku klasik berjudul Woman vs Woman karya Tara
Roth Madden (1987), seorang pakar dan pengamat masalah perempuan AS,
Madden menyimpulkan fenomena kehidupan konflik perempuan sebagai
berikut.
Ternyata di dalam diri perempuan selama ini selalu terjadi konflik
yang kritis dengan sesama jenis. Karena, perempuan seringkali
merasa belum bisa menganggap perempuan sebagai makhluk yang
dapat memberikan rasa aman di lingkungannya (privat dan publik).
Lebih jelasnya, perempuan masih menganggap bahwa perempuan
lain adalah ancaman yang membahayakan dirinya dalam karier,
rumah tangga, dan pribadi. Hal tersebut yang menyebabkan
perempuan lebih memilih berteman dengan laki-laki daripada
dengan perempuan. 31

31

Ellys Lestari Pembayun. 2009. Perempuan vs Perempuan: Realitas Gender, Tayangan Gosip, dan Dunia

Maya. Bandung: Penerbit NUANSA. hal.37.

Universitas Sumatera Utara

Berangkat dari pemikiran besar ini, Madden menegaskan bahwa konflik
di antara perempuan ini bagaikan “fenomena gunung es”, artinya konflik yang
selama ini tampak ke permukaan hanyalah bagian kecil dari “pertempuran di
antara pertempuran”, sementara bagian kedalamnya merupakan lautan konflik
yang terselami 32. Artinya konflik antara perempuan ini masih sangat banyak
jika ditelusuri lebih mendalam, konflik ini berakibat pada timbulnya persaingan
dan rasa tidak senang antara satu perempuan dengan perempuan yang lain.
Konflik ini tentunya sangat menguntungkan bagi kaum laki-laki terutama di
ranah politik.
Oleh karena itu, dalam melakukan penulisan ilmiah mengenai perilaku
perempuan dalam menentukan pilihan politiknya, penulis memandang
permasalahan kurangnya perolehan suara perempuan itu disebabkan oleh
pemilih perempuan itu sendiri, dan ini berarti adanya permasalahan
menyangkut faktor internal dari perempuan sebagai pemilih, inilah yang
menjadikan teori psikologi politik lebih dipilih penulis sebagai landasan teori
dalam penulisan ilmiah ini.
G. Metodologi Penelitian
G.1 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang
mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran 33. Penelitian ini

32

Ellys Lestari Pembayun. Ibid.

33

Dra. Trisakti, MM & Dra. Sugiarti,M.Si. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender : Edisi Revisi.
Malang : UMM Press. hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

menggunakan metode deskriptif dengan jenis kualitatif. Pendekatan kualitatif
adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia 34. Alasan peneliti
memakai metode deskriptif adalah dikarenakan peneliti menginginkan hasil yang
mendalam mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya
khususnya dalam memilih caleg perempuan pada pemilu anggota DPRD Kota
Medan.
G.2 Lokasi Penelitian
Proses penelitian dalam rangka mencari informasi/data yang berkaitan
dengan penelitian dilakukan di daerah pemilihan (Dapil) 2 kota Medan yang
meliputi Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Tuntungan, dan Medan Selayang.
G.5 Teknik Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan (1) data primer dan (2) data skunder. (1) Data primer dalam
penelitian sering diartikan sebagai data yang diperoleh secara langsung dari
responden ataupun narasumber/informan. Adapun informan-informan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:

34

Dr.Juliansyah Noor, S.E., M.M. Metodologi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertasi, & karya Ilmiah. Jakarta :
Kencana. hal. 33.

Universitas Sumatera Utara

Tabel.1.4 Daftar Nama Informan
No.

Nama

Usia

Pekerjaan

Informan
1.

Asmawati

Pendidikan
Terakhir

53

PNS/Bendahara

SMA

PKK

2

Saminam Tusti

Kecamatan

52

Sundari

Sekretaris PKK

Medan
Tuntungan

SMA

& Ketua KPPS

Medan
Sunggal

Medan Sunggal
3

Irawati

36

Sekretaris PKK

SMK

Medan
Selayang

4

Nani Rianti

52

PNS/Kasubbag

S-1

Medan Johor

S-1

Medan Johor

SMA

Medan

Keuangan/Ketua
Tim Penggerak
PKK Kelurahan
Kedai Durian
5

Idah

51

Bintang,SE
6

Eny Lilawati

PNS/Kasubbag
Pelum

51

PNS/Bendahara
Barang

Polonia

Universitas Sumatera Utara

7

Sarah

23

Mahasiswi

S-1

Kecamatan
Medan Johor

8

Silvia

23

Mahasiswi

D-3

Kecamatan
Medan
Maimun

Sedangkan (2) data skunder sering diartikan sebagai data/informasi
tambahan yang diperoleh dari data yang bersifat kepustakaan, seperti bukubuku yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dokumen-dokumen
penting yang berkaitan dengan masalah penelitian, seperti misalnya dokumen
yang berisi data mengenai perolehan suara calon legislatif perempuan di
periode sebelumnya, dan data keterwakilan perempuan di legislatif (DPRD
Kota Medan) baik di periode 2014 (sekarang) maupun periode sebelumnya,
dan lain-lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu melalui wawancara.
G.6 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data merupakan cara menganalisis data penelitian,
termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam penelitian 35.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data kualitatif, maka peneliti
35

Dr.Juliansyah Noor, S.E., M.M. Op.Cit. hal. 163.

Universitas Sumatera Utara

menggunakan teknik analisa kualitatif. Data kualitatif adalah data yang
berhubungan dengan kategorisasi dan tidak berbentuk angka 36. Analisa data
kualitatif memberikan hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap
proses yang diteliti dan juga menganalisis makna yang ada dibalik informasi,
data dan proses tersebut 37. Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu
data primer dan skunder, setelah data diperoleh kemudian diambil kesimpulan
terhadap data tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci mengenai penulisan
penelitian yang nantinya penelitian ini menjadi sebuah skripsi, maka penelitian
in dapat ditinjau ke dalam 4 bab, yaitu :
BAB 1

: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah
dimana peneliti mendeskripsikan seputar topik
permasalah yang diangkat disertai dengan alasan
ketertarikan peneliti dalam permasalahan penelitian
ini. Kemudia setelah latar belakang masalah,
dilanjutkan dengan rumusan masalah, pertanyaan
penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian,

36

Dr.Tavi Supriana. 2012. Modul Metode Penelitian Sosial. Medan: Fakultas Pertanian Program Studi
Agribisnis USU. hal.44.
37
Burhan Bungin. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana. hal. 153.

Universitas Sumatera Utara

manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II

: PROFIL DAPIL 2 KOTA MEDAN
Pada bagian ini, peneliti memberikan deskripsi
umum mengenai lokasi dapil 2 kota Medan yang
meliputi Kecamatan Medan Johor, Kec.Medan
Sunggal

BAB III

:PERILAKU
MENENTUKAN
PEMILIHAN

PEREMPUAN

DALAM

PILIHAN POLITIK PADA
ANGGOTA

DPRD

KOTA

MEDAN 2014
Bagian ini merupakan bagian vital dalam penelitian
ini dimana dalam bab ini permasalahan penelitian
akan dijawab secara jelas. Bab ini nantinya akan
berisi penyajian dan analisis data mengenai perilaku
perempuan dalam menentukan pilihan politiknya,
yaitu terkait dengan perilaku perempuan dalam
memilih calon legislatif perempuan pada pemilihan
anggota DPRD kota Medan tahun 2014.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

: PENUTUP
Bagian

ini

merupakan

bagian

penulisan skripsi ini dimana

terakhir

dalam

peneliti memberikan

kesimpulan terkait pembahasan dalam penelitian ini
yang juga disertai dengan saran-sara yang dapat
membantu penyusunan hasil penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Yuridis Terhadap Praktik Money Game Dalam Transaksi Perdagangan Berbasis Multi Level Marketing

0 0 20

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencur

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 25

Pengujian Peckingorder Theory Dalam Pembentukan Struktur Modal Pada Perusahaan Consumer Goods Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

0 0 11

BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN ELIT KAB. LANGKAT II.1. Sejarah Kab. Langkat II.1.1. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang - Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

1 2 28

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

0 0 40

Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

0 0 10

c. Pendidikan :  SLTA sederajat - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Kecerdasan Emotional Terhadap Keberhasilan Usaha pada Studi Foto

0 0 12

BAB II LANDASAN TEORI - Perbandingan Metode Deteksi Tepi Canny, Robert dan Laplacian of Gaussian Pada Hasil Citra Camera 360

0 0 13

2.1 Kecamatan Medan Selayang - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

0 1 31