BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaum elit merupakan suatu istilah yang sering kita dengar, tidak hanya

  dalam aktivitas politik namun juga dalam aktivitas sosial. Awal kemunculannya ialah karena kritik keras terhadap politik sosialisme (sosialisme marxis). Teori ini juga di arahkan untuk mementang gagasan demokratis dan sebagai bentuk sinisme

  1

  terhadap aristrokrat. Menurut pandangan Vilfredo Pareto , elit ialah kelompok orang yang mempunyai indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka, apapun bentuknya akan tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri pada apa yang disebut sebagai “elit penguasa” yang dipertentangkan dengan massa yang

  2

  tidak berkuasa, dan Gaetano Mosca yang meringkaskan konsep umumnya dengan mengatakan bahwa di semua masyarakat, ada satu hal yang menonjol, yakni “dua kelas manusia – kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Elit merupakan orang-orang yang dan yang mampu menduduki jabatan yang tinggi dalam masyarakat. Seperti yang kita ketahui kaum elit di mana pun berada pasti mempunyai suatu power (kekuasaan) untuk melakukan suatu kegiatan ataupun tindakan.

  Dalam menganalisa kedudukan elit dalam masyarakat, elemen yang perlu 1 di perhatikan adalah konsep kekuasaan.Hal ini disadari bahwa elit dan kekuasaan

  

S.P.Varma. 1999. Teori Politik Modern. Penyunting Tohir Efendi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal 2 200 ibid merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elit adalah merupakan sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan sebaliknya. Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elit. Elit politik adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik.

  Peranan kaum elit di negara berkembang seperti Indonesia ialah, sebagai pemegang sumber-sumber kekuasaan seperti sumber ekonomi, sosial budaya dan lain-lain, sehingga secara otomatis mereka dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting guna mengukur posisi elit partai yang akan maju atau elit di luar partai politik yang dijagokan oleh partai. Walau demikian, elit di luar partai juga termasuk elit dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat. Elit dalam pengaruhnya dapat memotori suatu partai ataupun perilaku masyarakat untuk menetapkan pilihannya, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam suatu pemilihan umum.

  Adapun yang mendorong elite politik atau kelompok-kelompok elite untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik ada dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut. Keinginan berebut kuasa dan berusaha memperbesar kekuasaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergumulan politik antar elite di dunia politik.

  Seperti yang ditulis oleh Jaap Timmer dalam Politik lokal di Indonesia mengenai pemustan atau pergerakan massa yang dilakukan oleh pemusatan kekuatan oleh elit-elit politik yang mempunyai kepentingan terhadap daerah tersebut. Dalam kasus ini elit mencoba untuk memberikan strategi yang sangat menguntungkan dari otonomi daerah dan menjaga kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur tidak percaya pada negara, bagi mereka yang terbukti gagal dalam

  3 banyak hal.

  Pemilihan umum ialah salah satu syarat dalam era demokrasi, dimana pemilihan umum merupakan ajang partai politik bertarung serta memberi kesempatan atau peluang untuk menduduki Eksekutif dan Legislatif. Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang membangun proses demokrasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pemilahan demokrasi lokal bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik

  4

  di pemerintahan daerah. Pembentukan partai politik berdasarkan atas prinsip- prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas melalui 3 pemilihan umum.Untuk menciptakan pemerintahan yang mayoritas, diperlukan

  

Henk Schulte nordholt dan Gerry van klinken. 2014. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka 4 Obor Indonesia. Hal 595 Rudini, H, Atas Nama Demokrasi Indonesia, Jakarta, 1994, hal.6-7 partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Bagi J Kristiadi, pemilu demokratis adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit atau

  5 pergantian kekuasaan dapat dilakukan secara damai dan beradab.

  Pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif di Kab.Langkat yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dapat dikatakan berjalan tanpa mengalami hambatan yang terlalu berarti. Semua proses dari awal dibukanya tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari lima dapil yang ada hingga pencatatan hasil akhir pilihan masyarakat terhadap calon anggota legislatif tidak didapati penyelewangan seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Adapun yang menarik perhatian adalah kemenangan partai Golkar yang memperoleh suara yang signifikan di banyak daerah di Kab.Langkat dan yang tidak luput dari perhatian adalah yang menjadi pemenang adalah elit partai Golkar yang notabene juga merupakan tokoh masyarakat di daerah tempat pemilihannya.

  Pada tahun 2009 pemilu di Kab.Langkat dimenangkan oleh partai Demokrat dengan jumlah perolehan suara yang cukup signifikan. Seperti yang kita ketahui pada tahun 2009 hampir di setiap tempat maupun daerah di Indonesia ini dimenangkan oleh partai Demokrat sebgai partai yang mencalonkan SBY sebagai presiden yang incumbent. Sementara pada tahun 2009 perolehan suara partai Golkar dapat dikatakan hanya memperoleh sebagian dari masyarakat untuk 5 menempatkan wakilnya untuk duduk di parlemen. Hasil ini berbanding terbalik

  Hanif Suranto, Kritis Meliput Pemilu, Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2009, hal. 2 dengan apa yang terjadi tahun 2014 ini, dimana perolehan suara partai Golkar lah yang dominan dan menempatkan banyak wakilnya untuk duduk di parlemen.di daerah Kab. Langkat.

  Alasan penelitian ini berkonsentrasi terhadap partai Golkar ialah dikarenakan banyak yang bertanya mengapa Golkar dapat terus bertahan dalam perpolitikan di Indonesia, padahal Golkar sangatlah identik sekali dengan rezim orde baru. Partai Golkar dapat membuktikan bahwa dirinya adalah suatu partai yang dapat berdiri tegak dan mampu menjaga eksistensinya sebagai partai besar yang patut diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya karena partai ini melakukan, yang pertama, revitalisasi kader tingkat desa yakni asset partai Golkar dari tingkat paling bawah hingga atas, kedua ialah Golkar menyadari bahwa banyak sekali kader partai yang reformis atau dengan kata lain sebenarnya menolak sistem yang dibangun oleh Soeharto, dan yang ketiga ialah kepemimpinan dan kepengurusan yang solid, artinya Golkar tidak tergantung kepada profil seorang kader saja untuk membawa benderanya, namun tergantung kepada sistem yang ada di dalam tubuh Golkar sendiri.

  Alasan penelitian ini juga berkosentrasi terhadap elit dari partai Golkar itu sendiri ialah, karena peneliti memiliki alasan yang sangat objektif, yakni yang pertama ialah dari hasil perolehan suara yang di dapat oleh partai Golkar, dimana partai Golkar mendapat perolehan suara yang cukup signifikan di daerah pemilihan Kab. Langkat.Alasan kedua ialah elit partai Golkar yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut, sehingga membuat daya tarik terhadap masyarakat untuk memilih partai Golkar.Berikutnya alasan yang juga menyertai mengapa berkonsentrasi terhadap para elit partai Golkar ialah di mana beberapa posisi penting di duduki oleh kader partai Golkar, sebagai contoh H. Ngogesa Sitepu. SH yang sekarang meduduki jabatan sebagai Bupati Langkat.

  Partai Golkar berhasil memperoleh suara terbanyak pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 tingkat Kabupaten Langkat, dengan perolehan suara 101.936 dari total 498.361 suara sah. Rincian perolehan Partai Golkar, yakni pada tahun 2014 Dapil Langkat I yang terdiri dari Stabat, Wampu, Secanggang dan batang Serangan, Golkar memperoleh suara sebanyak 29.213 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 7.970 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 14.466 suara. Dapil Langkat II yang terdiri dari Babalan, Sei Lepan, Berandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya, Golkar memperoleh suara sebanyak 9.547 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 10.409 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 17.220 suara. Dapil Langkat III yang terdiri dari Hinai, Padang Tualang, Sawit Seberang, Tanjung Pura dan Gebang, Golkar memperoleh suara sebanyak 16.559 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 16.170 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 16.324 suara. Dapil Langkat IV yang terdiri dari Binjai, Selesai dan Serapit, Golkar memperoleh suara sebanyak 19.147 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 7.039 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 10.364 suara. Dapil Langkat V yang terdiri dari Bahorok, Kutambaru, Salapian, Kuala dan Sei Bingai, Golkar memperoleh suara sebanyak 27.470 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 12.702 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 17.663 suara. Sedangkan pada tahun 2009 Dapil Langkat I yang terdiri dari Stabat, Wampu, Secanggang dan batang Serangan, Golkar memperoleh suara sebanyak 12.371 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 18.499 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 29.584 suara. Dapil Langkat II yang terdiri dari Babalan, Sei Lepan, Berandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya, Golkar memperoleh suara sebanyak 5.738 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 6.704 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 24.245 suara. Dapil Langkat III yang terdiri dari Hinai, Padang Tualang, Sawit Seberang, Tanjung Pura dan Gebang, Golkar memperoleh suara sebanyak6.318 suara , PDI P memperoleh suara sebanyak 11.871 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 23.650 suara. Dapil Langkat IV yang terdiri dari Binjai, Selesai dan Serapit, Golkar memperoleh suara sebanyak 19.017 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 13.329 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 26.159 suara. Dapil Langkat V yang terdiri dari Bahorok, Kutambaru, Salapian, Kuala dan Sei Bingai pada saat itu belum

  6 terbentuk.

  Ini berdasarkan hasil rapat pleno rekapitulasi dan penetapan perolehan suara Pemilu 2014 Tingkat Kabupaten Langkat yang diselenggarakan KPUD Langkat selama dua hari sejak tanggal 20 hingga 21 April di Gedung Pegnasos, 6 Stabat, Langkat. Kemudian, posisi kedua yakni Partai Demokrat meraih 76.037

  

Diolah dari Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik dalam Pemilu Anggota DPRD Kab Langkat tahun 2014. KPUD Kab. Langkat suara, PDIP memperoleh 54.290 suara, Gerindra 52.932 suara, Hanura 39.061 suara, NasDem 38.891 suara, PAN 29.563 suara, PBB 26.144 suara, PPP 24.934 suara, PKB 23.613 suara, PKS 23.030 suara, dan posisi juru kunci adalah PKPI dengan perolehan sebanyak 7.930 suara. Hasil ini tidak hanya menempatkan Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak di Kabupaten Langkat, namun dipredikdi akan memproleh sebanyak sebelas kursi legislatif di DPRD Kabupaten Langkat, dari total 50 kursi legislatif yang diperebutkan.

  Adapun Elit lokal yang akan diulas lebih lanjut didalam penelitian ini yaitu Bapak Ngogesa Sitepu sebagai salah satu elit partai Golkar dan sedang meduduki jabatan sebagai Kepala daerah di Kab. Langkat dan Suri Alam SE sebagai Wakil ketua II DPRD Kab. Langkat yang masih menduduki jabatannya sampai saat ini dan sebagai Ketua Pujakesuma ( Putra Jawa Kelahiran Sumatera).

  Pengaruh status seorang kandidat dari suatu partai yang ingin memenangkan perolehan suara dalam kancah pemilihan umum di daerah terhadap perilaku pemilih di suatu daerah sangatlah berkaitan.Beranjak dari yang dikemukakan sebelumnya maka dalam penelitian ini, peneliti ingin mengkaji bagaimana pengaruh yang diberikan elit terhadap kemenangan suatu partai, yakni partai Golkar yang berada di sekitarnya.

I.2. Perumusan Masalah

  Perumusan masalah dalam penelitian saya ini adalah : “Bagaimana peran elit lokal terhadap kemenangan partai Golkar pada pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Langkat? 1.3.

   Pembatasan Masalah

  Dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian ini, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalah :

  1. Penelitian ini hanya mengkaji peranan elit dalam pemenangan Pemilihan legislatif pada tahun 2014.

  2. Penelitian ini hanya mengkaji tentang pengaruh elit dalam pemenangan Calon Legislatif dari Partai Golkar.

  3. Penelitian ini hanya mengkaji tentang peranan elit Partai Golkar dalam pemenagan pemilihan legislatif kabupaten Langkat tahun 2014.

1.4.Tujuan Penelitian

  Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Memahami bagaimana peranan elit dalam pemenangan Pemilihan legislatif pada tahun 2014.

  2. Memahami dan menganalisa pengaruh elit dalam pemenangan Calon Legislatif dari Partai Golkar.

  3. Menganalisa peranan elit Partai Golkar dalam pemenagan pemilihan legislatif kabupaten Langkat tahun 2014.

  I.5. Mamfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat yang secara garis besar, yakni :

  1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memebrikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalama studi pengaruh elit lokal dalam suatu partai politik, khususnya di Indonesia.

  2. Secara lembaga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

  3. Secara kemasyarakatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kehidupan bermasyarakat, khususnya mampu menjadi salah satu literatur dalam menganalisis bagaimana elit lokal dan pemilu di Indonesia

  I.6. Kerangka Teori

  I.6.1 Teori Elit

  Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan.

  7 Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional .

  Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, 7 pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para

  Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka jaya. Hal. 12 intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis

  8

  daripada praktis. Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne

9 Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan.

  Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

  Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan 8 Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, 9 Ibid.

  Lihat Jayadi Nas. Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal, Hal.33 suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua

  10 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

  Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governing elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya

  11 10 lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah. 11 Ibid . Hal. 34 Ibid.

  Pengertian Elite Politik adalah sekelompok kecil orang berkualitas yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat yang diperlukan pada kekuasan sosial politik untuk memerintah, yang menurut Pareto, masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu: lapisan elite yang jumlahnya kecil dan mempunyai kemampuan memerintah (governing elit), yang lapisan non elite yang

  12 jumlahnya besar yang ditakdirkan untuk diperintah (non elit).

  Dalam tulisan Eugene J. Meehan sebagaimana dikutip oleh S.P.Varma bahwamulanya “teori elit politik”, lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C.Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awalmunculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), RobertMichels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol), Pareto percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orangyang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan orang yang terbaik.Merekalah yang dikenal sebagai elit.

  Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat.Mereka terdiri dari pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada 12 pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas

  Op. Cit , hal. 199 yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya.

  Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagike dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non- governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan yang dilihatnya sebagai hal yang penting.

13 Kajian ini membagi dua katagori elit :

  A. Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan- jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik. Dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.

  B. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan- jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya. Perbedaan tipe elit 13 lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat

  

Lihat S. P. Varma, Teori Politik Modren, (1987. Jakarta: Rajawali Pers), Maurice Duverger, Sosiologi

Politik , (1982. Jakarta: Rajawali Pers). hal.179. Penjelasan lain mengenai teori-teori elit ini dapat dilihat pada Mark. N. Hagopian. Regimes,Movement, and Ideology. (1978.New York and London: Logman) hal. 223-249. memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah di tingkat lokal.

  Teori elit mengandung bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering di artikan sebagai sekumpulan orang sebagi individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi strtifikasi dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing

  elit ), elit yang tidak memerintah (non-governing elite)dan mkassa umum (non- elite )

  Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a). Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan

  14 14 masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.

  Op. Cit , hal. 203

  Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebut menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa

  15

  yang baru .Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh Mosca, terutama karena terjadinya penjatuhan rejim, konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing- masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain

  16 sebagainya.

  Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana di atur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit. Dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku massa.

  Sementara itu, Baswedan (2006) membedakan 3 macam tipe elit yakni: 15 Pertama, elit intelektual merupakan elit yang didasarkan atas ukuran tingkat 16 S.P Varma, Ibid, hal. 203

S.P Varma, Ibid, hal. 275. Amitai Etzioni. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organization. New

  York: Free Press. pendidikan. Kedua, elit aktivis merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang mengkaitkan diri dengan dunia politik, dan ketiga, elit militer merupakan aktor-aktor yang menginstitusikan dirinya dalam

  17 dunia militer.

  Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi.Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.

  Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

  Gelombang demokratisasi yang menggulingkan penguasa otoriter di 17 beberapa negara, ternyata belum diimbangi oleh kelembagaan politik yang

  http://www.scribd.com/doc/78494242/10/B-Teori-Elit-Oleh-Ahli, diakses 14/05/2014 mampu menopang proses politik di tingkat lanjutan agar mampu bergerak secara solid ke arah konsolidasi. Larry Diamond menyatakan: “sampai derajat yang besar, perbedaan antara bentuk dan substansi demokrasi di dunia adalah kesenjangan kelembagaan. Tidak ada sistem politik di dunia yang beroperasi secara tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan formalnya, tetapi apa yang membedakan kebanyakan negara demokrasi di Amerika Latin, Afrika, dan bekas negara-negara komunis adalah institusi-institusi politiknya terlalu lemah untuk menjamin perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang beragam,

  18 supremasi konstitusional, rule of law, dan pembatasan eksekutif”.

  Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller (1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni:

  (1) pertumbuhan penduduk (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi (4) perkembangan keagamaan moral

  Konsekuensinya, kaum elit pun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih

  19 bersifat otonom.

  Untuk melancarkan mekanisme sistem politik liberal maka para elit politik 18 atau elit penguasa harus mampu mengakomodasi berbagai berbagai tuntutan 19 Larry Diamond. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta : IRE Press. hal. 43 Larry Dimaond, Ibid hal. 44 masyaraka atau warga Negara. Kemudian tuntutan itu diolah menurut mekanisme sistem politik liberal yang pada akhirnya menghasilkan berbagai kebijakan atau keputusan yang dapat menjawab berbagai tuntutan masyarakat. Keputusan atau kebijakan ini juga memberi kesejahteraan pada anggota masyarakat. Elit politik liberal bertindak secara demokratis untuk menghargai hak-hak warganegara dan terbuka terhadap berbagai golongan. Kolaborasi diantara diantara para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan tidak dibenarkan.

  Partisipasi politik elit politik masyarakat di Indonesia berdasarkan intensitasnya terbagi dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktivis. Masyarakat sebagai pengamat ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara.Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik. Adapun seberapa besar seseorang (aktor) berpengaruh pada pembuatan kebijakan dipengaruhi beberapa faktor di antaranya: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman politik, kecakapan dan sumber daya politik, partisipasi politik, kedudukan politik serta kekuasaan politik

  Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.

I.6.2. Teori Perilaku Pemilih

  Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek yang sangat penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilihan umum. Perilaku pemilih dapat didefinisikan sebagai salah satu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan

  20 umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.

  Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan.Beberapa indikator yang biasa 20 dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat

  Jack C. Plano, Robert E. Rangga dan Helena S. Robin, Op. Cit yang hendak mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.

  21 Sementara itu Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh menyatakan

  bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif- alternatif berupa pilihan yang ada.Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup.Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis.Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum.

  Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya.Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada 21 pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh

  

Dennis Kavanagh. 1992. Political Science and Political Behavior. dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. hal.146 karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut.

  Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalam pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas kepribadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya.

  Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa

  

22

  yang dikemukakan oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa:

  Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional :

  1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif

  2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain

  3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C

  4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan

  5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan 22 kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat

  Dan Nimmo. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung : CV. Remaja Karya. hal 148 preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama.

  Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu.Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya.Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut.dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

  Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice). Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masing- masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik.

  

Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan

  roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum.

  Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu

  23 kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat.

  Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.

  Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu 23 public choice, terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi

James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A.

  Levin. 1995. The New Politics of Public Policy. London : The Johns Hopkins University Press. hal

263, dalam skripsi Dani Tri Anggoro. 2005. Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris. Unej 2006. hal 11- 14 peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi.

  Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika

  24 kita memandangnya dari perspektif teori yang sama.

  Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya.Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara- negara maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim.

24 Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan

  Kenneth A. Shelpse. 1990. Perspective on Positive Political Economy. Melbourne: Cambridge University Press. hal.15. dalam skripsi Dani Tri Anggoro. 2006. Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005. Unej. hal 14

  25 Oleh karena itu menurut Saiful Mujani , seorang pemilih akan cenderung

  memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.

1.6.3 Teori Partai Politik

  Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Dan partai politik juga dianggap sebagai perwujudan atau lambang dari negara modern. Maka tak heran bila hampir semua negara demokrasi maupun negara komunis, negara maju maupun negara berkembang memiliki partai politik.

  Partai Politik dilihat sebagai sebuah “autonomous Groups that make

  nominations and contest elections in the hope of eventually gaining and exercise

control the personnel and policies of goverment” (Kelompok Otonom yang

25 membuat nominasi dan pemilihan umum dengan harapan mendapatkan dan

Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam

http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703

  

menjalankan kontrol individu dan kebijakan pemerintah) dalam konteks ini,

  mereka melihat bahwa tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapatkan kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya, partai politik sangat terkait dengan kekuasaannya untuk membentuk dan mengontrol kebijakan publik. Selain itu, partai politik juga diharapkan untuk independen dari pengaruh pemerintah . hal in i tentunya menyiratkan tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan

  26 dan tidak tergantung pada pemerintah yang dikritisi.

  La Palombara dan Weiner (1966) mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas organisasi yang dikategorikan sebagai partai politik.

  Kriteria mereka sangat populer dewasa ini untuk melakukan studi komparatis politis keempat karakteristik dasar partai politik adalah sebagai berikut :

  1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai poltik harus bersifat jangka panjang, diharapkan terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi.

Dokumen yang terkait

BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA A. Pengertian Advokat - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN - Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN - Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

0 0 12

BAB II LEGALITAS PERDAGANGAN MULTI LEVEL MARKETING DI INDONESIA A. Pengertian Multi Level Marketing - Analisa Yuridis Terhadap Praktik Money Game Dalam Transaksi Perdagangan Berbasis Multi Level Marketing

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Yuridis Terhadap Praktik Money Game Dalam Transaksi Perdagangan Berbasis Multi Level Marketing

0 0 20

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencur

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 25

Pengujian Peckingorder Theory Dalam Pembentukan Struktur Modal Pada Perusahaan Consumer Goods Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

0 0 11

BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN ELIT KAB. LANGKAT II.1. Sejarah Kab. Langkat II.1.1. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang - Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

1 2 28