BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, st

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari terjemahan bahasa Belanda yang disebut

  sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan contract. Istilah

  overeenkomst

  kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan

   overeenkomst.

  Perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini tidak jelas karena di dalam rumusan tersebut disebutkan perbuatan saja sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian selain itu tidak tampak asas konsensualisme yang menyebutkan adanya hubungan hukum timbal balik antarpihak yang saling

  

  mengikatkan diri. Selain itu pandangan kritis terhadap pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata juga dikemukakan oleh Suryodiningrat, yaitu:

  9 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Masnusia Modern , Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 43. 10 H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU ), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7.

  1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; 2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

  3. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;

  4. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir/ membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian

  

  kebendaan; perjanjian pembuktian) Dengan demikian, definisi itu perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan suatu rumusan tertentu namun cukup sulit untuk menemukan rumusan tersebut karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut

  H. Salim HS, pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana 11 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal 21 subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Menurut S.B Marsh dan J. Soulsby dalam bukunya yang dialihbahasakan oleh Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah semata- mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh

   menyangkut juga tenaga kerja.

   Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: a.

  Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum; b.

  Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar di antara mereka; c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun 12 oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai 13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006, hal. 93.

  Mohd.syaufii syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta, Sarana Bhakti Persada, hal. 5. tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum; d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; e.

  Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada; f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat- syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam kontrak juga diuraikan oleh Ahamadi

14 Miru, yaitu: 1.

  Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena jika tidak tidak ada unsur ini maka kontrak tidak ada;

  2. Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka undang- undang yang mengaturnya; 3. Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak 14 jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-klausul

  Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 23 lainnya yangs ering ditentukan dalam kontrak, yang bukan merupakan unsur esensial dalam kontrak.

  Ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentuka isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.

  Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur, artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah- kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku (dan karena itu jadi memaksa) dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri di dalam perjanjian yang mereka adakan. Kaidah-kaidah hukum seperti semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah (Optional law atau aanvullendrecht). Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak

   yang membuat suatu perjanjian.

B. Syarat-syarat sahnya perjanjian

  Syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang diatur dalam 15 Johannes Ibrahim dan Lindawaty sewu, Op.Cit, hal 44. pasal 1320 KUH Perdata. Apabila salah satu syarat atau lebih syarat tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak sah sehingga akibat-akibat hukumnya

  

  pun sebagaimana dimaksudkan tidak terjadi pula. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

  Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Hal yang penting pada suatu perjanjian adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan

  

  persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

  1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

  2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

  3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

  4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan

  

  5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

  16 A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya , Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 11. 17 18 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 7.

H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal. 9.

  Kata sepakat mereka disini harus diberikan secara bebas. Walaupun syarat kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah dipenuhi, mungkin terdapat suatu kekhilafan dimana suatu perjanjian yang telah disepakati itu, pada dasarnya ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki sesuatu yang sama akan tetapi tidak. Keadaan ini kita jumpai bilamana terjadi kekhilafan. Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat

   dibatalkan.

  Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut terpenuhi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cenderung berpendapat bahwa untuk mengetahui sejak kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai proses penawaran dan penerimaan. Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran yang diikuti dengan penerimaan, atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan adanya pihak yang menawarkan dan adanya pihak yang menerima penawaran.

  Penawaran pada asasnya merupakan pernyataan kehendak, oleh karenanya harus dinyatakan/diutarakan, penawaran adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian

   rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian.

  Kata sepakat dapat terjadi karena beberapa hal yang tidak dibenarkan secara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam praktiknya ada beberapa hal 19 20 A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 9.

  Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 7. perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum terjadi pada proses pencapaian

  

  kesepakatan, yaitu : 1)

  Penipuan (fraud) Penipuan adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak yang tidak bersalah harus bersandar pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial, pihak yang merugikan orang lain wajib membayar ganti rugi.

  2) Kesalahan (mistake)

  Kesalahan adalah apabila dua pihak mengadakan perjanjian denngan fakta yang ternyata salah, sehingga pihak tadi dapat membatalkan kontrak setelah mengetahui fakta yang sebenarnya.

  3) Paksaan (Duress)

  Paksaan terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan ancaman penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan terhadap dirinya, keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik, misalnya ancaman untuk membuat bangkrut atau tidak mendapatkan kekayaan yang menjadi haknya.

  4) Penyalahgunaan keadaan (undue influence)

  Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUH Perdata. Namun, ketiadaan aturan hukum positif tidak berarti bahwa penyelahgunaan keadaan tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia. Buktinya, ada dua putusan Mahkamah Agung (MA) yang dapat dianggap sebagai yurisprudensi, yang dalam konsideransnya memuat pertimbangan terjadinya penyalahgunaan 21 Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal. 12-14. keadaan oleh satu diantara dua pihak yang melaksanakan perjanjian, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904K/Sip/1982 dan Putusan Mahkamah Agung

22 Nomor 3431K/Pdt/1985.

  Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada dua hal berikut, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan kejiwaan. Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak pada ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar (inequality of bargaining power) atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Adapun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan terjadi apabila salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya, seperti misalnya status sosial, hubungan dokter dan pasien, pengacara dan klien, dan lain- lain.

  Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup dengan adanya konsensus (kesepakatan) para pihak. Dalam berbagai literatur

  

  disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya perjanjian, yaitu: a.

  Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran 22 itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru 23 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit. hal 120.

H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal. 25-26.

  menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

  b.

  Teori Pengiriman (verzendtheorie) Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

  c.

  Teori Pengetahuan (vernemingstheorie) Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

  d.

  Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Menurut teori penerimaan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

  Didalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun doktrin, teori yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie) dengan sedikit koreksi dari teori penerimaan (Ontvangstheorie). Maksudnya penerapan teori pengetahuan tidak secara mutlak, sebab lalu lintas hukum menghendaki gerak cepat dan tidak menghendaki formalitas yang kaku sehingga teori pengetahuan yang dianut. Diperlukan waktu yang lama jika harus menunggu sampai mengetahui secara langsung adanya jawaban dari pihak lawan (Teori

   penerimaan).

2. Kecakapan bertindak

  Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang (natuurlijk persoon) atau badan hukum (rechtspersoon), yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

  Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.

  Logemann menyebut badan hukum sebagai suatu personifikasi atau perwujudan (bestendigheid) hak dan kewajiban. Sedangkan R. Subekti mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Disamping itu, Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pengertian suatu badan hukum yaitu badan, disamping manusia perseorangan yang dianggap dapat

24 Ibid.

  bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, juga kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

   Perseroan Terbatas (PT) merupakan suatu bentuk organisasi yang diakui

  hukum yang dijadikan sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, PT merupakan pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu PT dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtspersoon, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu

   1.

  Para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta notaris, akta yang mencakup pula amggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian perseroan. : 2.

  Para pendiri bersama-sama mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui jasa Teknologi Informasi Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik.

  3. Setelah melakukan pengesahan, menteri akan melakukan pendaftaran PT 4. Pengumuman di Tambahan Berita Negara RI oleh menteri.

   Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang yang

  dianggap sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, adalah orang-orang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu

  

  

  25 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal. 73-74. 26 Hukumonline.com. Tanya Jawab Hukum Perusahaan, Jakarta, Visimedia, 2009, hal. 6. 27 Lihat UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 28 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 13. a.

  Orang yang belum dewasa Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin. Namun masih terdapat perdebatan mengenai standar usia dewasa. Menurut J. Satrio dengan menerapkan asas lex posteriori derogat lex priori, maka seharusnya nalar penetapan usia dewasa yang mendasarkan Pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata menjadi absurd dan melanggar asas hukum tersebut. Artinya, sejak diundangkan dan berlakunya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan mengenai kedewasaan dalam pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata tidak lagi dijadikan sumber hukum.

  Jadi, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait dengan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Agung RI Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13 Oktober 1976. Usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam perkembangannya kemudian diadopsi secara sinkron dan konsisten oleh aturan positif lainnya, yaitu Pasal 5 jo. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 39 Undang-Undang Nomor

  30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 5 jo. Pasal 6, Pasal 9,

  Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

   Kewarganegaraan Republik Indonesia.

29 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal. 126.

  b.

  Mereka yang berada di bawah pengampuan Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.

  Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau

   pengampunya.

  Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampu. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa, kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

  c.

  Orang perempuan yang bersuami. Pada awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin tertulis dari suaminya. Tidak cakapnya seorang perempuan yang bersuami berdasarkan KUH Perdata itu, di Negara Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Ketentuan tersebut di Indonesia sudah dihapuskan. Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 s/d 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang 30 Lihat Pasal 433 KUH Perdata. istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa bantuan atau izin dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

  Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seijin suami dan kemudian setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku

   lagi, antara lain pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan pasal 1238 KUH Perdata.

  d.

  Orang yang dilarang Undang-undang Dalam kasus orang yang dilarang oleh undang-undang, dapat diambil contoh dari ketentuan Pasal 1601i KUH Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian undang-undang melarang suami dan istri untuk membuat perjanjian kerja.

3. Suatu Hal tertentu

  Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek suatu perjanjian yang telah ditentukan dan disepakati. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak- tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan

   asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. 31 32 A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 10.

  Budiman N.P.D Sinaga, Hukum kontrak & Penyelesaian sengketa dari perspektif Sekretaris , Jakarta, Rajagrafindo persada, 2005, hal. 18. Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa

  

  syarat tertentu agar sah, yaitu: 1.

  Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH Perdata) 2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337

  KUH Perdata) 3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.

  Lebih lanjut dijelaskan dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat sesuatu (te doen). Ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja seperti diatur dalam Pasal 1603 KUH Perdata, pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya sedangkan bersifat negatif jika isi perjanjian

  

  memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu (niet te doen) Prestasi ini terdiri atas: 1) memberikan sesuatu, 2) berbuat sesuatu, dan 3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian

  33 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 68 34 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal 10 rumah itu dan dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah

  

melakukan pekerjaan dan membayar upah.

4. Suatu Sebab yang Halal

  Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian harus dihilangkan kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kata sebab adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menyebutkan: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab yang lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah” Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang.

  Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan

   hukum.

   Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu : 1.

  Syarat Subjektif

  35 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori& Teknik penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 34 36 37 Lihat pasal 1335 KUH Perdata Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 19-20.

  Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut antara pihak yang mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

  Dalam syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan (vernietigbaar). Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas yaitu orang tua atau walinya, atau pun dirinya sendiri apabila kelak sudah menjadi cakap dan/atau pihak yang memberikan izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.

  Dalam Pasal 1446 KUH Perdata disebutkan bahwa: semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang- orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hokum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka. Disini perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan.

  Dengan demikian, kelanjutan perjanjian itu seperti tidak pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.

  Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh undang-undang kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat dilakukan dengan penguatan oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu dapat terjadi secara tegas, atau dapat terjadi secara diam-diam. Atau apabila orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada para pihak untuk melakukan pembatalan perjanjian atau tidak. Perjanjian demikian itu tidak batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

2. Syarat Objektif

  Syarat objektif adalah mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian adalah syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig), karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena objek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

  Berkaitan dengan pembahasan mengenai syarat sahnya perjanjian ini, Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian perjanjian inti dan bagian yang bukan inti. Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta, seperti para pihak dan objek dari perjanjian. Naturalia, bagian yang merupakan bawaan dari perjanjian, secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat pada benda yang dijual. Sedangkan aksidentalia adalah bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian oleh para pihak,

   seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.

C. Asas-asas Hukum perjanjian

  Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, antara lain: 1.

  Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak yang disebut di dalam Pasal 1338 ayat (1)

  KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan

   undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

  Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui 38 39 Ibid.

A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 19.

  antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rousseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Pada akhir abad ke-9, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan karena paham individualis memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Masyarakat ingin pihak yang lemah mendapatkan perlindungan. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi: a) kepentingan umum, b) perjanjian baku, dan c) perjanjian

   dengan pemerintah.

2. Asas Konsensualisme

  Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan meruapakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 40 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 21.

  Salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak yang terlibat perjanjian dimaksud. Tanda tangan mana selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan/persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian, juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat kontrak sebagai

   bukti atas suatu peristiwa.

  Terhadap asas konsensualisme ini ada pengecualiannya, yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, seperti misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian harus diadakan secara tertulis. Perjanjian ini

   dinamakan perjanjian formal.

3. Asas Keseimbangan

  Kata keseimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal). Dalam hubungannya dengan kontrak, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai

  

  Menurut AB Massier & Marjanne Termorshuizen-Arts, dalam hubungannya dengan perikatan, keseimbangan (evenwichtigheid) menunjuk dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam kontrak tersurat dalam Pasal 1320 KUH 41 Adriean Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa: Dan berbagai permasalahannya , Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 41. 42 43 A. Qirom Syamsuddin Meliala, Op.Cit, hal. 21.

  Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal. 97. Perdata, hanya jika dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian, maka tercapailah kesepakatan atau konsensus yang sah antara para pihak. Untuk penerapannya hakim memperhatikan adanya indikasi/patokan tertentu yang merupakan dasar bagi kesimpulan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan

   yang dimungkinkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan para pihak.

  Asas keseimbangan menurut Herlien Budiono dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak. Dalam terbentuknya kontrak, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) kontrak atau pelaksanaan kontrak. Pencapaian keadaan seimbang, mengimplikasikan dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah

   dirugikannya satu diantara dua pihak dalam kontrak.

4. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

  Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian uang dibuat oleh para pihak.

  44 45 Ibid.

   Ibid. Jadi dengan demikian maka pihak ketiga tidak bisa mendapatkan kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk

   pihak ketiga.

  Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang “.Menurut Subekti bahwa: “Tujuan asas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli bahwa mereka tak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya”.

5. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

  Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 46 A. Qirom Syamsuddin Meliala,Op.Cit, hal. 20.

  KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).

  Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” (MOU) yang memuat keinginan masing- masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak. Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut

   ganti rugi dalam tahap prakontrak.

  Untuk sebagai pedoman, dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT terdapat prinsip yang relevan dengan penggunaan itikad baik ini, yaitu Prinsip nomor lima, yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk yang terdapat pada Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International

  

Commercial Contracts ). Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum

  telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu : 47 Jusuf Patrick, culpa in contrahendo / pars pro toto (tanggung jawab hukum

  prakontraktual) dalam prinsip hukum unidroit,diunduh pada 16 April 2014.

  1. Kebebasan negosiasi; 2.

  Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk; 3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

  Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain. Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang

   batal diadakan itu.

  Seperti di Perancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud sungguh-sungguh untuk membuat perjanjian atau pihak yang membatalkan perjanjian tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lainnya atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai tingkat yang matang untuk lahirnya suatu perjanjian, pihak yang mengundurkan diri dari perundingan mungkin saja dibebani kewajiban berdasarkan hubungan

   kontraktual.

  6. Asas Kepatutan Asas kepatutan mengarahkan substansi atau isi kontrak yang disepakati para pihak yang akan dicantumkan dalam kontrak harus memperhatikan perasaan 48 49 Ibid.

  Suharnoko, Hukum Perjanjian:Teori dan analisa Kasus, Jakarta, Kencana, 2007, hal.

  9. keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat. Perasaan keadilan dalam masyarakat inilah yang akan menentukan hubungan hukum diantara para pihak itu patut atau tidak patut, adil atau tidak adil.

   a.

  Fungsi melarang, artinya suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan. Contoh: dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, karena bertentangan dengan asas kepatutan. Pemberlakuan asas kepatutan dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu: b.

  Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan asas kepatutan untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.

  Asas kepatutan yang maknanya diuaraikan diatas terkandung secara tegas dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala ssuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” 7. Asas Kepribadian (Personalitas)

  Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “ Pada umumnya seseorang tidak 50 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit. hal. 102. dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

  Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: “Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang- orang yang memperoleh hak dari padanya.

  Disamping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.

D. Bentuk-bentuk dan fungsi Perjanjian

1. Bentuk Perjanjian

  Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Adapun perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada dua bentuk perjanjian tertulis, yaitu yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta

   autentik.

  Akta dibawah tangan meruapakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta

  

  ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1.

  Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);

  2. Akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) oleh notaris/pejabat yang berwenang;

3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang berwenang.

  Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, istilah yang digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di bawah tangan yang disahkan. Akta di bawah tangan yang disahkan merupakan akta yang harus ditandatangani dan disahkan di depan notaris/pejabat yang berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap akta di bawah tangan adalah 51 52 Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal.16-17.

  Ibid.

  1. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;

2. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan pada tanggal yang disebutkan dalam kontrak.

  Sementara istilah akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) adalah dibukukan. Akta di bawah tangan yang dibukukan merupakan akta yang telah ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut dalam akta oleh para pihak, dan tanda tangan tersebut bukan dihadapan notaris/pejabat yang berwenang. Makna akta dibawah tangan yang dibukukan adalah notaris menjamin akta tersebut memang benar telah ada pada hari dan tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh notaris.

  Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dibuat dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Ada tiga fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu:

  1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu;

  2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;

  3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika ditentukan sebaliknya, para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak. Akta notariel merupakan bukti prima factie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam kata notaris, mengingat notaris di Indonesia adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian atau melegalisasi suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal di suatu pengadilan, maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel, kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu dari akta telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para pihak, pembuktian mana sangat berat.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Kontak Alergi 2.1.1. Definisi - Hubungan Merokok dengan Kejadian Dermatitis Kontak Alergi

0 0 15

Lampiran 2 INSTRUMEN PENELITIAN Pengetahuan Orang Tua tentang Bullying pada Anak di Kelurahan Bangun Mulia Kecamatan Medan Amplas

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengetahuan Orang Tua tentang Bullying pada Anak di Kelurahan Bangun Mulia Kecamatan Medan Amplas

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Dampak Penggunaan Pupuk Kompos Terhadap Pendapatan Usahatani Jagung Di Kabupaten Simalungun (Kasus: Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok Pardamean)

0 0 11

II. PERSEPSI PENJUAL - Kajian Penggunaan Ruang Publik Dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku Studi Kasus: PKL Di Jalan Sutomo Medan Dan Sekitarnya

0 0 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembahasan Arsitektur Perilaku - Kajian Penggunaan Ruang Publik Dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku Studi Kasus: PKL Di Jalan Sutomo Medan Dan Sekitarnya

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Tuberkulosis - Gambaran Karakteristik Penderita TB MDR Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan

0 0 20

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangm - Gambaran Karakteristik Penderita TB MDR Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan

0 0 8

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TB MDR YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV 2.1.1 Epidemiologi 1.Situasi Global - Profil Pasien Hiv Dengan Tuberkulosis Yang Berobat Ke Balai Pengobatan Paru Provinsi (Bp4), Medan Dari Juli 2011 Hingga Juni 2013

0 0 36